Politik Luar Negeri Indonesia Masa Orde (1)

Studi Strategis Indonesia II
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Orde Baru
Diawali dari dikeluarkannya Surat Perintah Satu Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966 dan
dilanjutkan dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 yang di mana MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan
negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno, maka pada Tanggal 12 Maret 1967
Jenderal Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini pun menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru (Pudjiastuti, 2008). Terjadi berbagai
macam perubahan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto
dengan lama jabatan 32 tahun. Masa kepemimpinan yang panjang membuat dinamika perpolitikan dan ekonomi
di Indonesia menuju pada suatu bagan tertentu, tidak hanya di dalam politik dalam negeri namun juga
merambah ke politik luar negeri Indonesia. Pada era kepemimpinan Soeharto, politik luar negeri Indonesia
dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum Pemilu 1982 dan periode setelah Pemilu 1982. Pemilu
sebelum 1982 merupakan periode dimana pemerintah tergantung pada para elit politik dan ekonomi negara,
termasuk bergantung pada kekuatan militer dalam membuat keputusan-keputusan politik luar negeri. Sedangkan
Pemilu setelah 1982 adalah periode dimana pemerintahan Soeharto mulai memanfaatkan kekuatan agama Islam
sebagai kekuatan baru politiknya. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Soeharto tentu juga berbeda dengan
Soekarno dikarenakan beberapa faktor seperti adanya perbedaan latar belakang, yaitu sifat Soeharto yang lebih
kental akan adat Jawa dan juga latar belakang militer Soeharto. Maka, politik luar negeri Indonesia pun
memiliki tujuan baru di tangan Presiden Soeharto.
Terdapat perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto mengenai Politik Luar Negeri
Indonesia. Perubahan yang terjadi pada Politik Luar Negeri dikarenakan adanya militer pada masa Soeharto

yang mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dan dalam negeri. Pada masa orde baru,
militer terlibat dalam politik Indonesia. Keterlibatan militer ini dikarenakan Soeharto yang memiliki latar
belakang dalam dunia militer sehingga unsur militer pun ikut mewarnai pemerintahan Soeharto. Hingga
akhirnya pada saat kekuasaan berada di tangan Soeharto tepatnya setelah peristiwa kudeta pada tahun 1965,
militer menjadi kekuatan sosial-politik yang paling menentukan dan berkembang baik dalam ranah nasional
maupun internasional (Suryadinata,1998:43).
Militer dalam pemerintahan masa Orde Baru berperan dalam bidang kemanan dan non-kemanaan serta
merupakan asal usul konsep dwi-fungsi yang digunakan sebagai alasan keterlibatannya militer dalam dunia
politik Indonesia pada saat itu (Suryadinata,1998:44). Hal ini mengakibatkan militer memiliki legitimasi untuk
ikut terlibat dalam dunia politik. Militer pada masa Soeharto memiliki kekuasaan yang kuat khususnya dalam
lembaga pemerintahan dimana terdapat banyak perwakilan militer yang menjabat dalam lembaga pemerintahan.
Hal ini terlihat dengan adanya perumus politik luar negeri yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu

Departemen Luar Negeri dan militer (Departemen Pertahanan dan Kemanan, HANKAM, LEMHANNAS dan
Bakin) (Suryadinata,1998:49). Bahkan militer semakin berkembang hingga anggota militer juga bergerak di
Departemen Luar Negeri yang mengakibatkan adanya perselisihan antara Departemen Luar Negeri dan
kekuatan militer.
Selama Orde baru, terjadi pembagian dalam mengurus perumusan politik luar negeri dimana Deplu
mengurus urusan politik sementara kelompok militer mengurus urusan keamanan. Tetapi hal ini tak membuat
perselisihan antar kedua kelompok tak terjadi karena semakin lama kekuatan militer semakin menguasai urusan

perumusan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru. Hal ini terlihat pada Departemen Luar Negeri
memiliki peran yang penting dalam pembuatan politik luar negeri pada era Soekarno, namun peran Deplu
semakin menurun pada era Soeharto dikarenakan masuknya kekuatan militer dalam Deplu. Hingga pada
akhirnya, peran militer dilembagakan dalam Deplu pada tahun 1970 dengan membentuk Direktorat Keamanan
dan Penerangan dan Laksus yang sama-sama diketuai oleh seorang perwira militer (Suryadinata,1998:50).
Kelompok militer yang terlibat dalam perumusan politik luar negeri diantaranya Hankam (Departemen
Pertahanan dan Keamanan), Bakin (Badan Kordinasi Intelejen Negara), BAIS (Badan Intelejen Strategis),
Lemhannas (Lembaga Pertahanan Nasional) dan Setneg (Sekretaris Negara). Selain itu, lembaga lain yang
berperan dalam perumusan politik luar negeri adalah Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
Komisi Satu, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Setiap lembaga berperan aktif dalam
bidang masing-masing, mulai dari penanganan permasalahan luar negeri dan pertahanan, hingga ranah
perekonomian (Suryadinata, 1998: 49-53). Dimana dalam kelompok militer, anggota militer berperan besar
pada tiap kelompok yang juga ikut mempengaruhi dalam perumusan politik luar negeri. Sementara pada masa
Orde Baru, urusan mengenai ekonomi diurus

oleh Bappenas. Bappenas pada masa Soeharto mengalami

perkembangan dikarenakan Soeharto memiliki fokus dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kelompok
Bappenas ini terdiri oleh orang teknokrat sehingga pada hal ini terlihat bahwa kaum teknokrat juga diperlukan
dalam perumusan politik luar negeri. Sebagai contoh yaitu B.J Habibie yang dipercaya Soeharto dalam

mengurus pembelian kapal perang Jerman untuk Angkatan Laut Indonesia.
Pada awal kepemimpinan, Soeharto cenderung bersikap pasif dalam hal pembuatan keputusan luar
negeri. Hingga mengakibatkan militer melakukan intervensi ke segala bidang pada masa Orde baru hingga
mengakibatkan sering terjadi perselisihan antara Deplu dengan kelompok militer. Namun lama-kelamaan terjadi
perbedaan pemikiran antara Soeharto dengan militer (Suryadinata, 1998:59). Hal ini terlihat pada awal tahun
1980, terjadi perbedaan pemikiran mengenai normalisasi hubungan Indonesia-China. Kelompok militer yang
diwakili oleh Adam Malik ingin adanya normalisasi hubungan namun Soeharto tidak setuju mengenai
pemikiran tersebut. Dengan adanya perbedaan pemikiran ini, terlihat Seoharto mulai mengambil peran dalam

perumusan politik luar negeri dan menjadi figur yang menentukan serta dibutuhkan persetujuannya dalam setiap
kebijakan penting (Suryadinata,1998:58).
Transisi politik luar negeri Indonesia dari orde Lama ke Orde Baru dapat dilihat dari kebijakan luar
negeri Indonesia yang tidak lagi berlandaskan faham berdikari atau usaha untuk dapat mandiri dan menutup diri
dari bantuan asing, namun perlahan – lahan bergeser ke arah orientasi ke luar dengan cara membangun
hubungan persahabatan dengan pihak asing terutama negara-negara Barat. Orientasi ke dalam tetap dilakukan
oleh Soeharto, hanya saja dalam implementasinya, kebijakan – kebijakan tersebut dilakukan dengan dukungan
dan hubungan dengan pihak asing yang bertujuan untuk melancarkan pembangunan itu sendiri. Kebijakan yang
digunakan pun kebijakan pintu terbuka, dengan meningkatkan investasi asing dan mencari bantuan dana untuk
merehabilitasi ekonomi Indonesia (Suryadinata, 1998: 44). Soeharto mengupayakan agar Indonesia mampu
berperan dominan dalam permasalahan baik regional maupun internasional. Konfrontasi yang ada pun

dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan perdamaian, karena menurut Soeharto stabilitas regional
diperlukan untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan (Suryadinata, 1998: 45). Ketertarikan Soeharto
terhadap politik luar negeri mulai diperlihatkan ketika fokus dan perhatian Indonesia pada faktor stabilitas
keamanan pelan – pelan meningkat. Hal ini dapat dilihatn dalam Deklarasi Bangkok dimana Indonesia meminta
pangkalan militer asing di kawasan Asia Tenggara harus bersifat sementara dan juga masalah intervensi
Indonesia di Timor Timur. Pemerintahan Orde Baru ini juga menunjukkan penyimpangan dari arah politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif. Pada era ini terlihat bahwa Indonesia memiliki kecenderungan untuk
mendekati negara-negara Barat dan menjauhi negara-negara komunis (Suryadinata, 1998: 46). Sikap ini dapat
dilihat dari hubungan beku antara Indonesia dengan RRC.
Keputusan-keputusan Soeharto secara jelas kontras dengan langkah yang diambil Soekarno dalam
politik luar negeri Indonesia. Dalam awal-awal kepemimpinannya, Soeharto melakukan beberapa upaya demi
mengembalikan posisi Indonesia di mata dunia. Salah satu pernyataan terkenal di era Soekarno adalah semangat
perlawanan terhadap Malaysia yang saat itu dianggap sebagai negara boneka dari Inggris, dan dikenal dengan
slogan “Ganyang Malaysia”. Akan tetapi, Soeharto malah melakukan normalisasi hubungan antara Indonesia
dan Malaysia (Pudjiastuti, 2008 : 150). Ketika era Soekarno pula lah Indonesia keluar dari PBB dikarenakan
kekecewaannya terhadap sikap PBB yang mendukung Malaysia, dan pada era Soeharto, Indonesia kembali
masuk dalam PBB. Selain itu, Soeharto juga mencanangkan terwujudnya ASEAN sehingga menjadi satu dari
beberapa pendiri ASEAN. Hal yang secara implisit berubah adalah mengenai arah politik luar negeri Indonesia.
Pada era Soekarno, politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Pada era Soeharto, kata “bebas aktif” masih
digunakan sebagai penunjuk politik luar negeri Indonesia. Akan tetapi, faktanya, hubungan dengan negaranegara Barat yang dilakukan Soeharto demi mendapatkan bantuan justru menjadikan Indonesia menjadi lebih

condong ke Barat, bukan lagi ke negara-negara komunis ketika era Soekarno. Dari penjelasan tersebut, dapat

dilihat bahwa salah satu tujuan dari politik luar negeri Indonesia era Soeharto adalah melakukan hubungan baik
dengan negara asing, tanpa melihat ideologi negara tersebut.
Politik luar negeri era Soeharto memiliki peranan besar dalam sistem perekonomian Indonesia. Soeharto
membuka jalur perdagangan internasional sehingga banyak investor dari luar yang masuk dan berinvestasi di
Indonesia. Dari tindakan yang dilakukan Soeharto tersebut, maka terlihat bahwa tujuan politik luar negeri
Indonesia di era kepemimpinannya adalah mencari bantuan asing demi merehabilitasi ekonomi. Akibatnya,
rakyat merasakan dampak positif dari berjalannya politik luar negeri yang dijalankan Soeharto. Rakyat menjadi
makmur tanpa kekurangan sandang pangan. Maka, arah politik luar negeri era Soeharto lebih menekankan pada
perbaikan perekonomian atau ekonomi sebagai panglima dan pembangunan merupkan mantra pada era
kepemimpinannya. Di satu sisi negatif, meskipun memang perekonomian bersangsur-angsur membaik, akan
tetapi justru menyebabkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin terlihat semakin kontras. Tujuan
adanya investor asing adalah untuk menstabilkan perekonomian. Akan tetapi justru hal tersebut menjadi
kerugian bagi Indonesia dikarenakan ketika $1 US masuk, Indonesia sesungguhnya member investor sebesar $4
US. Akibatnya muncul berbagai pergolakan dalam negeri. Dari sinilah mulai muncul peranan dari militer dalam
era kepemimpinan Soeharto. Militer digunakan untuk memberantas pergolakan-pergolakan yang ada demi
tujuan stabilitas politik dan keamanan bangsa dan negara Indonesia maupun sebagai perwujudan politik luar
negeri Indonesia.


Referensi:
Pudjiastuti, Tri Nuke. 2008. ”Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru”, dalam Ganewati Wuryandari (ed.),
2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka
Pelajar. hlm. 112-173.
Suryadinata,Leo.1998.Politik Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru (1):Munculnya militer, dalam Politik
Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto (terj),Jakarta,LP3ES

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111