Konstruktivisme dalam Memahami Kejahatan pilitik

Memahami Sikap Israel dalam Menjustifikasi Kejahatan Perang
di Lebanon
Studi Kasus: Konflik Israel – Hizbullah pada tahun 2006

Abstraksi:
Konflik antara Israel dan Hizbullah di Lebanon pada tahun 2006 terjadi selama 34
hari dan menyebabkan jatuhnya korban sipil kurang lebih 1100 orang tewas dan
95% diantaranya merupakan warga Lebanon. Berbagai Non-governmental
Organisations (NGOs) seperti Amnesti Internasional dan Human Right Watch
menyatakan bahwa Israel dan Hizbullah telah melakukan kejahatan perang.
Dalam makalah ini, penulis berusaha menjelaskan sikap Israel dalam
menjustifikasi aksi militer Israel dalam menyerang sipil dari perspektif
Konstruktivisme

yang

memiliki

fokus

terhadap


konsep

makna

dalam

mengkonstruksi identitas dan ancaman dengan Hizbullah. Dengan melakukan
konstrukti tersebut, maka Israel merasa tindakan di luar prosedur perlu agar
ancaman terhadap Tel Aviv hilang atau berkurang.
Kata Kunci: Israel, korban sipil, Konstruktivisme, konstruksi identitas, dan
kejahatan perang.

Pendahuluan
Pada tahun 2006, terjadi konflik militer di wilayah Lebanon bagian selatan
antara Israel dengan pasukan paramiliter Hizbullah berbasis di Lebanon yang
mendapatkan dukungan militer dari pemerintah Iran (Zisser, 2011). Dukungan
militer ini membuat konflik pada tahun 2006 saat itu juga dianggap Zisser (2011)
sebagai perang proksi antara Israel dengan Iran dibandingkan kelanjutan dari
konflik Arab dan Israel.Perang ini terjadi selama 34 hari dimulai ketika Israel

melancarkan serangan udara ke wilayah Lebanon pada tanggal 12 Juli setelah
paramiliter Hizbullah seperti laporan koran The New York Times (2006)
melakukan operasi militer kecil yang menewaskan 8 tentara Israel dan menangkap

2 lainnya di perbatasan utara Israel. Operasi militer ini dikenal dengan nama
Operation Truthful Promise yang bertujuan untuk membebaskan 4 anggota
Hizbullah yang ditahan Israel, salah satunya bernama Samir Quntar1 yang ditahan
Israel pada tahun 1979 dengan dakwaan pembunuhan di Nahariya dan sedang
menjalani hukuman penjara seumur hidup di Israel. (BBC Worldwide, 2006)
Selama konflik terjadi, korban sipil berjatuhan dari kedua pihak. Pihak
sipil Lebanon merasakan dampak dari konflik paling parah karena korban sipil
yang tewas mencapai 1191 menurut data Lebanese Higher Relief Council (2006).
Bahkan UNICEF dalam laporannya (2006) menyatakan bahwa 30% korban sipil
yang diderita Lebanon merupakan anak anak berusia kurang dari 13 tahun.
Penyebab dari banyaknya korban dari pihak Lebanon ini adalah aksi militer yang
dilakukan tentara Israel dimana IDF (Israel Defense Forces) sering menyerang
infrastruktur sipil seperti bandara internasional Rafic Hariri Beirut (McGreal,
2006), mobil ambulans Palang Merah Internasional (Goldenberg, 2006),
pemukiman, dan bahkan PBB dalam laporannya (2006) menjelaskan bahwa Israel
bertanggung jawab atas penggunaan senjata bom curah dan fosfor dalam

serangannya di wilayah sipil Lebanon.
Aksi militer yang dilakukan Israel ini tentu melanggar hukum humaniter
internasional, namun Tel Aviv seolah tidak peduli dengan pelanggaran tersebut.
Hal ini yang menjadi dasar pemikiran penulis dalam memahami sikap Israel pada
perang Lebanon 2006 ini. Ini perlu diteliti karena tindakan Israel pada tahun 2006
tersebut tidak sesuai dengan berbagai hukum yang mengatur perang seperti
Hukum Humaniter Internasional dalam Konvensi Jenewa dan Konvensi Den
Haag, tetapi tetap dilanggar. Sikap Israel yang tidak mematuhi hukum
internasional terkait dengan perlindungan terhadap warga sipil di wilayah perang
pada tahun 2006 tersebut menimbulkan pertanyaan bagi akademisi terutama studi
hubungan internasional.

1 Sebelum operasi ini bernama ‘Operation Truthful Promise’, Hizbullah
menamai operasi ini sebagai ‘Freedom for Samir Quntar and His Brothers’
dengan tujuan utama membebaskan Samir Quntar

Rumusan Masalah
Mengapa Israel dalam perang melawan paramiliter Hizbullah di Lebanon pada
tahun 2006 tidak mempersoalkan aksi militer Israel (IDF) yang melakukan
serangan terhadap objek non-combatant seperti warga sipil yang melanggar

Hukum Humaniter Internasional?

Kerangka Konseptual
1. Konstruktivisme
Pendekatan Konstruktivisme studi Hubungan Internasional dalam
melihat isu-isu global merupakan cara pikir yang berusaha membantah
pendekatan pendekatan klasik terutama Realisme. Kaum Realisme
memandang fenomena atau realita sosial secara materil, konsep seperti
balance of power, kapabilitas militer, prilaku negara, dan kekuatan itu
sendiri. Sedangkan konstruktivis, yang berakar dari ilmu sosiologi, melihat
realita sosial secara sosial.
Alexander Wendt,

seorang

akademisi

yang

berpandang


konstruktivisme, menolak cara pikir kaum Realist bahwa sistem anarki
dalam politik internasional membuat negara akan berpandangan untuk
melakukan self-help dalam berinteraksi dengan negara lain. Ini artinya
kaum neorealist percaya bahwa identitas negara sudah terbentuk karena
sistem itu sendiri, sehingga negara tahu siapa mereka dan bagaimana
mereka berinteraksi dengan negara lain. Singkatnya Realis melihat
identitas dan kepentingan sebagai sesuatu yang memang didesain untuk
negara di dunia anarki (given). Wendt melihat sebaliknya, dalam bukunya
“Anarchy is what states make of it: the social construction of power
politics” (1992, hal. 394) bahwa interaksi-lah yang membuat negara
membentuk identitas atas negaranya dan memaknai negara lain, hal ini
menjadi

pertimbangan

negara

dalam


menentukan

kepentingan

nasionalnya.
“Interactions create and instantiate one structure of identities and
interests rather than another structure has no existence or causal powers
apart from process” (Wendt, 1992, hal 394)

Oleh karena itu, orang atau negara2 berprilaku berdasarkan
pemaknaan yang mereka terima terhadapnya. Hal ini sejalan dengan salah
satu konsep sosiologi yaitu interaksionisme simbolis. Pemaknaan dari satu
negara terhadap negara lain dapat menyebabkan negara yang menjadi
objek itu diintepretasikan sebagai ancaman atau teman oleh dua subjek
negara yang berbeda. Pengintepretasian ini juga merupakan cara untuk
menjelaskan identitas, dengan mengintepretasikan, maka negara telah
memberikan batasan mana yang bisa disimbolkan sebagai kami/kita (ingroup), mana yang bisa disimbolkan sebagai kamu/kalian (out-group).
Identitas ini yang kemudian menurut Wendt (1999, hal 24) mendorong
negara dalam melakukan tindakan. Jika kemudian negara memaknai
negara objek sebagai ancaman, maka negara subjek akan melakukan

proses sekuritsasi agar objek yang menjadi ancaman tersebut tidak
menimbulkan masalah kepada negara berkaitan. Proses sekuritisasi ini
akan lebih dijelaskan dalam teori Sekuritisasi Buzan.
2. Teori Sekuritisasi Buzan
Sekuritasasi menurut Buzan (1998) merupakan bentuk ekstrim dari
politisasi

isu.

Sebuah isu

yang

tadinya

hanya

merupakan

isu


standar/normal, dapat dijadikan sebagai ancaman oleh aktor yang mensekuritisasi isu tersebut seperti pemerintah/lembaga berwenang terhadap
rakyat/masyarakat secara keseluruhan. Proses ini dapat dilakukan jika
pemerintah atau aktor yang melakukan sekuritisasi dapat menjalankan
konsep speech act dengan baik. Konsep ini adalah konsep yang
menjelaskan bahwa pihak berwenang dapat mengatakan
suatu isu dalam wawancara/press release/pidato sebagai
ancaman terhadap keamanan (security). Contohnya seperti
yang

dilakukan

rencananya

oleh

untuk

George


menginvasi

W.

Bush(2001)

Afghanistan

dalam

dihadapan

Kongres Amerika Serikat dimana ia dapat melakukan
proses sekuritisasi secara baik dengan mengatakan bahwa
“Either you are with us, or with the terrorist”. Kalimat ini
2 Konstruktivisme memiliki basis sosiologi dalam menjelaskan fenomena,
sehingga kaum konstrutivis memandang negara mempunyai prilaku yang
sama dengan manusia.

membuat isu teroris yang tadinya diintepretasikan bukan

sebagai ancaman besar bagi keamanan nasional Amerika
Serikat, dikonstruksikan sebagai ancaman yang harus
dilawan.
3. Konvensi Jenewa ke-Empat (IV) tahun 1949 terkait dengan
Perlindungan Warga Sipil dalam Keadaan Perang.
Dalam konvensi ini dijelaskan bahwa ketika situasi perang terjadi,
negara yang terlibat dalam peperangan harus melindungi pihak sipil atau
yang tidak terlibat dalam peperangan dari kemungkinan menjadi korban
perang.Dalam pasal yang ada di konvensi ini dijelaskan subjek yang harus
dilindungi saat perang. Adapun beberapa subjek yang dilindungi
diantaranya adalah:
 Warga Sipil, yang menurut Konvensi ini (Protocol I, art 50) bukan
merupakan atau bagian dari personil militer. Seseorang dikatakan
bukan bagian dari militer jika tidak memberikan kontribusi efektif
terhadap keuntungan aksi militer (PI, art 52). Serangan terhadap


warga sipil dilarang oleh konvensi Jenewa. (P.I, 51)
Unit medis dan kendaraan medis, Konvensi Jenewa menjelaskan
bahwa


dalam

menggunakan

keadaan
emblem

perang
Palang

semua
Merah

unit

medis

yang

Internasional

harus

dilindungi dan dilarang untuk diserang (Protocol I, 19). Hal ini
juga termasuk kendaraan medis seperti ambulans, kapal bantuan,
dan lain lain. (I, 19/P.I, 8, 9, 12 / P.ll, 11)
Bahkan dalam Konvensi ini juga dijelaskan bahwa dalam melakukan
serangan, negara atau pihak yang terlibat harus menyelidiki kemungkinan
adanya korban dari pihak sipil (precaution) (P.I, 57, 58)
Hipotesis
Dalam konflik yang terjadi di Lebanon pada tahun 2006, dimana terjadi
perang antara Israel dan paramiliter Hizbullah, pemerintah Israel ‘membiarkan’
tentara Israel (IDF) melakukan pelanggaran terhadap Hukum Humaniter
Internasional terutama Konvensi Jenewa 4 tentang perlindungan terhadap rakyat
sipil karena Israel telah mengidentitaskan rakyat Lebanon sebagai out-group
bersama dengan paramiliter Hizbullah sehingga memaknai seluruh rakyat sebagai
ancaman bagi keamanan nasional Israel. Karena konstruksi identitas inilah yang

membuat IDF melanggar hukum dengan menjadikan rakyat sipil sebagai target
militer.
Pembahasan
Tindakan yang diambil IDF saat perang melawan Hizbullah pada tahun
2006 dengan melakukan serangan serangan terhadap rakyat sipil Lebanon tentu
merupakan pelanggaran keras terhadap hukum humaniter internasional terutama
Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap Warga Sipil dalam Keadaan
Perang. Amnesti Internasional dan Human Right Watch merupakan 2 lembaga
non-pemerintahan

(Non-Governmental

Organisation)

yang

menyuarakan

keberatan mereka atas tindakan yang diambil IDF tersebut. Amnesti Internasional
dalam laporannya (2006) mengatakan bahwa militer Israel terbukti melakukan
banyak aksi perusakan, termasuk perusakan terhadap rumah sipil, pusat instalasi
listrik, ruang publik, dan industri non militer secara sengaja dan merupakan
bagian dari strategi militer, daripada hanya merupakan collateral damage.3
Kate Gilimore, sekretaris jenderal Amnesti Internasional seperti yang
diberitakan The Guardian (2006) menjelaskan bahwa serangan Israel di wilayah
Lebanon dilakukan tidak secara proporsional dan tidak memilih antara kombatan
dengan non-kombatan. Secara detil, Amnesti Internasional mengungkapkan
bahwa selama 34 hari konflik terjadi, Israel telah menghancurkan 2 rumah sakit
dan merusak 3 rumah sakit lainnya. Bahkan Gilimore mengindikasikan adanya
penggunaan bom curah dalam serangan yang dilakukan angkatan udara Israel saat
menyerang Lebanon. Salah satu kantor berita ternama di Israel, Haaretz
melaporkan (2006) bahwa Komandan IDF mengakui penggunaan bom curah
selama operasi militer di Lebanon pada tahun 2006 “What we did was insane and
monstrous, we covered entire towns in cluster bombs”.
Human Right Watch (HRW) juga menyoroti konflik pada tahun 2006 ini
(2006) dengan menyalahkan kedua pihak baik Israel maupun Hizbullah karena
ketidakmampuan mereka dalam menjaga prinsip pembedaan kombatan atau nonkombatan dalam peperangan. Peter Bouckaert, peneliti senior Human Right Watch
mengatakan (2006) bahwa Israel tidak berniat untuk melakukan “the necessary
precautions to distinguish between civilian and military targets”. Dalam laporan
3 Collateral damage adalah kerusakan secara tidak sengaja yang ditimbulkan
terhadap warga sipil ataupun properti publik akibat serangan yang
menargetkan objek-objek militer.

HRW pada tahun 2007 mengungkapkan jika Israel melakukan serangan terhadap
pergerakan kecil yang dilakukan kendaraan ataupun warga sipil, bahkan terhadap
kendaraan yang membawa kabur warga sipil.
Dari hal-hal di atas, Israel jelas melakukan kejahatan perang di wilayah
Lebanon dalam aksi militernya melawan Hizbullah pada tahun 2006 lalu.
Pelanggaran pelanggaran tersebut menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh
Konvensi Jenewa IV terutama Protocol I, pasal 8, 9, 19, 50, 51, 52, dan 58.
“But this doesn’t justify the IDF’s failure to distinguish between civilians and
combatants, and if in doubt to treat a person as a civilian, as the laws of war
require.” – Human Right Watch (Special report on Lebanon, 2007)
Berbagai pernyataan dikeluarkan pemerintah Israel dalam menanggapi kritik
Organisasi Non-pemerintah, Palang Merah Internasional, maupun komunitas
Internasional yang ditujukan kepada Tel Aviv. Israel menyatakan sudah
menggunakan berbagai cara untuk mengurangi korban sipil di wilayah Lebanon
dengan menyebarkan selembaran sebelum serangan dimulai, namun Israel
berkilah bahwa Hizbullah menggunakan daerah padat penduduk untuk menaruh
senjata roketnya dan meluncurkan dari wilayah tersebut sehingga Israel
menjustifikasi serangan ke wilayah padat penduduk sebagai target militer.
Konstruktivisme dalam Memandang Tindakan Israel
Tindakan Israel yang agresif terhadap negara di sekitarnya merupakan
hasil dari interaksi yang telah dilakukan Israel terhadap negara negara di wilayah
tersebut. Selama ini, negara tetangga Israel seperti Mesir, Palestina (yang berada
di dalam wilayah Israel), dan Lebanon memiliki hubungan yang tidak harmonis.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan ideologis yang membuat pendefinisian
identitas antara Israel dan negara tetangganya menjadi berbeda. Hal ini berdampak
pada pemaknaan yang dimiliki masing masing negara. Israel yang berada diantara
negara yang memiliki identitas yang berbeda dengannya, memaknai negara negara
tersebut sebagai ancaman bagi kedaulatan negaranya sehingga Tel Aviv sangat
sensitif dengan isu yang menyangkut keamanan perbatasan, terutama di wilayah
utara yang berbatasan dengan Lebanon selatan yang juga merupakan basis utama
organisasi paramiliter yang juga menjadi partai politik di Lebanon, Hizbullah.

Isu keamanan perbatasan menjadi isu penting karena hubungan antara
Israel dengan Lebanon terutama Hizbullah tidaklah bagus. Sejak tahun 1982,
Israel dan Lebanon yang di wakili Hizbullah telah terlibat beberapa konflik.
Puncaknya terjadi pada tahun 2000 ketika Israel dipaksa mundur dari kawasan
selatan Lebanon oleh pasukan Hizbullah. Israel bersama aliansinya seperti
Amerika Serikat pun memberikan cap teroris terhadap organisasi Hizbullah.
Berbeda dengan Israel, pemerintah Lebanon tidak memberi cap teroris
terhadap Hizbullah, bahkan Hizbullah memiliki peranan penting dalam parlemen
Lebanon. Israel memandang sikap yang diberikan pemerintah Lebanon terhadap
Hizbullah sebagai tindakan kooperatif dengan terorisme.
Ketika Hizbullah melakukan serangan yang melewati batas antar Israel
dan Lebanon (Cross-border Raid) pada tahun 2006, Israel melihat ini sebagai
ancaman nyata bagi negaranya sehingga kemudian IDF diberi mandat untuk
melakukan serangan balasan terhadap Hizbullah di wilayahnya, Lebanon. Dalam
pernyataan resmi yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Israel (2006)
menyatakan bahwa Pemerintah Lebanon bersalah dalam melindungi Hizbullah
dan tidak menghiraukan resolusi PBB 1559 untuk menghilangkan Hizbullah dari
perbatasan Lebanon. Oleh karena itu Pemerintah Lebanon harus bertanggung
jawab atas ‘keringanan’ yang diberikan Beirut terhadap Hizbullah.
Pada titik ini, Israel berusaha untuk mendefinisikan Lebanon dengan
Hizbullah dimana Israel menjadikan negara Lebanon berada dalam satu grup yang
sama dengan Hizbullah sebagai out-group. Itu artinya, karena Israel telah
menganggap Hizbullah sebagai teroris, maka Israel memaknai seluruh negara
Lebanon sebagai teroris yang mengancam kedaulatan negara sehingga perlu
penanganan militer untuk mengurangi ancaman tersebut. Perdana Menteri Israel,
Ehud Olmert, mengatakan bahwa “Lebanon will bear the consequences of its
actions and it will face very painful and far-reaching response”, menurut
konstruktivis ini merupakan penekanan identitas dimana petinggi petinggi Israel
berusaha untuk menunjukkan bahwa Lebanon dan Hizbullah merupakan satu
kesatuan yang harus dilawan bersama sama. Hal ini berpengaruh terkait dengan
sikap tentara Israel yang tidak bisa membedakan mana kombatan dan mana warga
sipil, pandangan blur ini terjadi karena sejak awal peperangan di mulai,
pemerintah Israel telah melakukan proses pemaknaan terhadap negara dan warga

Lebanon sebagai teroris bersama dengan Hizbullah. Tentara Israel pun terdoktrin
dengan ucapan tersebut sehingga ketika mereka membunuh sipil, mereka akan
menganggap sama seperti membunuh pasukan Hizbullah.
Kesimpulan
Berdasarkan

pembahasan

singkat

yang

dibahas

diatas,

penulis

dapat

menyimpulkan bahwa hipotesis yang coba di argumentasikan penulis terbukti
secara akademis. Hipotesis penulis yang menyatakan bahwa Israel melakukan
kejahatan perang di Lebanon pada tahun 2006 dengan membunuh banyak warga
sipil Lebanon terjadi karena pelabelan identitas yang dilakukan pemerintah Israel
sehingga tentara Israel tidak mampu membedakan mana yang disebut Kombatan
dan mana yang bukan kombatan.
Adapun dalam tulisan ini masih terdapat beberapa kelemahan terkait dengan
proses sekuritisasi di wilayah Israel. Sekuritisasi bertujuan untuk membangun
opini publik bahwa ancaman yang ditimbulkan adalah nyata dan perlu tindakan
pemerintah sehingga kemudian masyarakat Israel akan mendukung kebijakan
pemerintah Israel dalam perang Lebanon. Namun di tulisan ini, penulis belum
melihat bukti kuat bahwa warga Israel mendukung penuh Israel di perang ini.

Referensi


Goldenberg, S. (2006). Red Cross ambulances destroyed in
Israeli air strike on rescue mission. The Guardian, [online] p.1.
Available

at:

http://www.theguardian.com/world/2006/jul/25/syria.israel5



[Accessed 15 May 2015].
McGreal, C. (2006). Beirut under siege as Israel attacks from air
and

sea.

The

Guardian,

[online]

p.1.

Available

at:

http://www.theguardian.com/world/2006/jul/14/syria.israelandthe



palestinians2 [Accessed 15 May 2015].
Myre, G. and Steven Erlanger, S. (2006). Clashes spread to
Lebanon as Hezbollah raids Israel - Africa & Middle East International Herald Tribune. The New York Times, [online] p.1.
Available

at:

http://www.nytimes.com/2006/07/13/world/africa/13ihtweb.0713mideast.2188501.html?_r=3&



[Accessed

13

May

2015].
Zisser, E. (2011). Iranian Involvement in Lebanon. Military and
Strategic

Affairs,

[online]

3(1),

p.3.

Available

at:

http://www.inss.org.il/uploadimages/Import/



(FILE)1308129458.pdf [Accessed 13 May 2015].
Human Right Watch, (2006). Fatal Strikes Israel’s Indiscriminate
Attacks Against Civilians in Lebanon. [online] Human Right
Watch,

p.4.

Available

http://www.hrw.org/reports/2006/lebanon0806/



at:
[Accessed

14

May 2015].
Rappaport, M. (2006). IDF commander: We fired more than a
million cluster bombs in Lebanon. Haaretz, [online] p.1. Available
at: http://www.haaretz.com/news/idf-commander-we-fired-morethan-a-million-cluster-bombs-in-lebanon-1.197099 [Accessed 14



May 2015].
Israel Ministry of Foreign Affairs, (2006). Summary of IDF
operations against Hizbullah in Lebanon. [online] Available at:
http://www.mfa.gov.il/mfa/foreignpolicy/terrorism/hizbullah/page
s/idf%20operations%20against%20hizbullah%20in%20lebanon



%2013-jul-2006.aspx [Accessed 13 May 2015].
Summary of the Geneva Conventions of 12 August 1949 and
Their Additional Protocols. (2012). 2nd ed. [ebook] Geneva:
International Committee of Red Cross, p.12. Available at:
https://www.icrc.org/eng/assets/files/publications/icrc-002-




0368.pdf [Accessed 13 May 2015].
Wendt, A. (1992). Anarchy is what States make of it.
Buzan, B., Wæver, O. and Wilde, J. (1998). Security. Boulder,
Colo.: Lynne Rienner Pub.



Fickling, D. (2006). Amnesty report accuses Israel of war crimes.
[online]

the

Guardian.

Available

at:

http://www.theguardian.com/world/2006/aug/23/israelandthepale


stinians.syria [Accessed 17 May 2015].
UN News, (2006). Israel’s ‘immoral’ use of cluster bombs in
Lebanon poses major threat – UN aid chief. [online] Available at:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?
NewsID=19670#.VVkdL_mqqkp [Accessed 12 May 2015].