Teknologi dalam Refleksi Filosofis Heide
Teknologi dalam Pemikiran Heidegger
Oleh: Joan Damaiko Udu
Pengantar
Heidegger (1889-1976) adalah filsuf dan fenomenolog yang memberikan penjelasan
menarik mengenai (filsafat) teknologi. Ia mengelaborasi fenomena teknologi sebagai suatu
realitas yang dimaknai secara esensial. Heidegger merefleksikan teknologi dari perspektif
eksistensi manusia yang secara konkret dapat dilihat dalam fenomena kehidupannya sehari-hari.
Dengan demikian, Heidegger melihat teknologi tidak hanya secara teoritis, tetapi juga secara
praktis, sebagai hasil perkembangan atau evolusi pengetahuan manusia—sebagai manifestasi
eksistensi dan fenomenologi tentang manusia.
Tulisan ini akan memberikan penjelasan tentang gagasan-gagasan pokok Heidegger
mengenai esensi teknologi dengan bertolak dari teks “Technology”, yang ditulis oleh Albert
Borgmann. Akan tetapi, dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan teks tersebut menurut
detail-detailnya. Teks tersebut hanya akan dilihat secara global dengan memberikan penekanan
utama pada gagasan-gagasan pokok Heidegger tentang teknologi.
Saya juga akan menggunakan sejumlah sumber sekunder yang sekiranya dapat membantu
untuk menjelaskan pokok refleksi Heidegger tentang teknologi. Tulisan ini akan diawali dengan
sebuah elaborasi mengenai pengertian teknologi menurut Heidegger. Kemudian akan dilanjutkan
dengan pembahasan mengenai teknologi sebagai penyingkapan kebenaran, korelasi antara esensi
teknologi dan penyingkapan kebenaran, teknologi dan sains, dan akan ditutup dengan sebuah
kesimpulan dan tanggapan kritis.
Pengertian Teknologi Menurut Heidegger
Dalam pandangan Heidegger, teknologi lebih dari sekadar aktivitas penggunaan alat-alat
teknologis.1 Dengan kata lain, esensi teknologi tidaklah bersifat teknologis. Hal yang
fundamental, menurut Heidegger, bukanlah teknologi itu sendiri ataupun bentuk-bentuk
teknologi, melainkan orientasi kita terhadap teknologi.2
1 Terkait hal tersebut, Albert Borgmann antara lain menulis, “[…] Heidegger did not think of technology as the use
of tools that is as old and universal as the human race […]. Bdk. Albert Borgmann, “Technology”, 420.
2 Bdk. Albert Borgmann, “Technology”, 420-421 dan Fadhilah, “Hakikat dan Makna Teknologi bagi Keberadaan
Manusia dalam Perspektif Heidegger”, dalam Madani, edisi 1/Mei (2006): 31-38.
1
Pada tataran ini, esensi teknologi lebih dipahami secara eksistensial karena berkaitan
dengan cara manusia memandang dunianya. Esensi teknologi merujuk pada suatu cara pandang
dan pangalaman yang membentuk dan membingkai cara bertindak kita, cara bagaimana kita
menggunakan alat-alat, dan cara bagaimana kita berhubungan dengan dunia kehidupan
(lebenswelt). Oleh karena itu, konsep teknologi yang instrumental (sebagai sarana) dan
antropologis (sebagai aktivitas manusia) ditolak oleh Heidegger.
“[…] More important still, Heidegger denied that technology is a value-neutral
instrument, but thought of it as a radically fundamental and comprehensive
phenomenon, something like the innermost character of modern culture and reality.
Eventually, Heidegger came to call the two senses of technology he rejected the
anthropological and the instrumental senses.”3
Kedua model konsep tersebut dianggap tidak memadai, dangkal, dan berpotensi
mereduksi teknologi sebagai sekadar alat bagi sains. Selain itu, kedua model konsep tersebut
juga dapat membuat orang jatuh pada pemahaman parsial bahwa teknologi hanyalah ciptaan
subjek dan berfungsi sebagai instrumen yang netral.
Menurut Heidegger, kedua model konsep tersebut (instrumental dan antropologis) de
facto memang betul (correct), tetapi belum benar (true).4 Sesuatu yang betul dapat benar hanya
dalam arti tertentu saja, yakni benar dalam bagian tertentu saja atau sebagian dari keseluruhan
atau benar dalam arti yang terbatas. Dengan kata lain, sesuatu yang ‘betul’ belum berarti ‘benar’.
Akan tetapi, sesuatu yang ‘betul’ tidak dapat dikatakan ‘tidak benar’. ‘Betul’ berarti ‘benar
secara terbatas’ atau ‘tidak mencukupi’ dan dapat dikatakan sebagai ‘kebenaran yang parsial’.
Dalam konteks ini, kebenaran, menurut Heidegger, adalah ketidaktersembunyian
(aletheia) yang dimunculkan lewat penerangan (on illuminating) atau penyingkapan.5 Kebenaran
semacam inilah yang menjadi esensi teknologi. Hal ini hendak menunjukkan bahwa dalam
pemikiran Heidegger, teknologi bukanlah suatu persoalan ontis (persoalan antropologis dan
instrumental), melainkan suatu persoalan ontologis. Dalam hal ini, teknologi, dalam arti
ontologis, merupakan suatu cara kebenaran menyingkapkan dirinya atau suatu landasan di mana
Ada atau peristiwa mengungkapkan diri dengan cara tertentu. 6 Komponen-konponen dalam
3 Albert Borgmann, “Technology”, 420.
4 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
5 Albert Borgmann, “Technology”, 420-421.
6 Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 46.
2
teknologi (instrumen-instrumen dan aktivitas subjek yang mengerjakannya) muncul dalam suatu
struktur atau landasan yang mendasarinya.
Teknologi, dalam pengertian ontologis, tidak hanya merujuk pada instrumen atau
aktivitas penggunaan alat-alat teknologis, tetapi juga pada suatu cara (techne) pengungkapan
kebenaran atau suatu wilayah di mana entitas dan aktivitas muncul seperti adanya. 7 Teknologi
muncul dalam wilayah di mana penyingkapan dan ketidaktersembunyian berlangsung—di mana
kebenaran (aletheia) terjadi. Kebenaran tersebut dicapai dengan melampaui apa yang ‘betul’
karena apa yang betul selalu didasarkan pada suatu struktur ketersingkapan yang menentukan
apa yang betul. Entitas selalu muncul dengan cara tertentu, tergantung pada struktur
ketersingkapan di mana entitas itu berada. Struktur tersebut selalu terberi (given).8 Lebih lanjut,
ciri struktur ini adalah ketersingkapan sekaligus ketersembunyian. Struktur ini kemudian
dinamakan Heidegger sebagai sejarah Ada (epoch of Being).9
Sejarah Ada tersebut, menurut Heidegger, mempunyai tujuan atau arah, yaitu ‘nasib’
(destiny).10 Akan tetapi, harus dipahami bahwa nasib pada tataran ini bukan merujuk pada
sesuatu yang sudah ditentukan. Nasib lebih berarti tujuan atau arah maju maupun mundur di
mana kita diarahkan oleh sejarah Ada. Teknologi merupakan sejarah Ada yang berlaku sekarang
dan dalam hal ini, pemahaman mengenai esensi teknologi menjadi penting supaya kita dapat
menanggapinya dengan cara yang sesuai.
Teknologi sebagai Penyingkapan Kebenaran
Sebagaimana dielaborasi sebelumnya, Heidegger memulai pembahasannya dengan
merujuk pada hal-hal yang ontis, di mana dalam kehidupan sehari-hari teknologi dipahami atau
dilihat dari sudut pandang instrumental. Hal ini hendak menunjukkan bahwa kita
mempertanyakan dalam kondisi apa sesuatu itu menjadi sarana dan tujuan. Dalam hal ini, jelas
bahwa sarana merupakan suatu cara yang melaluinya sesuatu dipengaruhi dan dicapai. Segala
sesuatu yang memiliki efek sebagai konsekuensinya disebut ‘sebab’. Oleh karena itu, jika
teknologi dipandang sebagai intrumen, kita dapat membahas tentang dialektika sebab-akibat.
7 Albert Borgmann, “Technology”, 420-421 dan Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia,
Manusia, dan Alat, 43-51.
8 Albert Borgmann, “Technology”, 424 424 dan Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia,
Manusia, dan Alat, 45.
9 Albert Borgmann, “Technology”, 424.
10 Albert Borgmann, “Technology”, 429.
3
Pada aras ini, persoalan sebab-akibat tersebut diuraikan Heidegger dengan mengacu pada
empat ‘sebab’ Aristotelian, yakni sebab material (causa materialis), sebab formal (causa
formalis), sebab final (causa finalis), dan sebab efisien (causa efficiens).11 Heidegger, secara
sederhana, menjelaskan empat ‘sebab’ tersebut dengan mengambil contoh piala perak. Dalam
contoh tersebut, sebab material adalah bahan perak yang digunakan untuk membuat piala perak;
Sebab formal adalah kepialaan piala untuk mengisi suatu cairan, misalnya air anggur; Sebab
finalnya adalah piala dibuat untuk digunakan dalam perayaan ekaristi; Kemudian yang menjadi
sebab efisien adalah tukang piala. Keempat ‘sebab’ ini tentu berbeda, tetapi secara serentak ada
bersama.
Menurut Heidegger, arti semula empat ‘sebab’ tersebut dalam pemikiran Yunani kuno
tidak lain dari sebuah cara yang bertanggung jawab untuk mengemukakan (bringing forth) apa
yang sebelumnya belum ada menjadi ada.12 ‘Akibat’, pada tataran ini, merupakan benda buatan
manusia, dan barang yang dibuat oleh manusia ini (‘akibat’) berhutang kepada empat ‘sebab’
yang membuat barang itu, dan dengan demikian, (empat) ‘sebab’ yang membuat barang itu
bertanggung jawab dalam memungkinkan ‘akibat’ terjadi atau dibuat.13
Heidegger kemudian memperkenalkan kata poiesis yang bermakna mengemukakan apa
yang sebelumnya belum ada menjadi ada.14Atau membawa apa yang tersembunyi ke
ketidaktersembunyian. Ini adalah aletheia, yakni ketidaktersembunyian atau penyingkapan
kebenaran.
Korelasi antara Esensi Teknologi dan Penyingkapan Kebenaran
Dalam pandangan Heidegger, kaitan antara esensi teknologi dan penyingkapan kebenaran
menyangkut segala-galanya karena setiap “mengemukakan-ke-hadapan” didasarkan pada
penyingkapan.15 Menurut Heidegger, kata teknologi berasal dari kata Yunani, techne, yang tidak
hanya menyangkut aktivitas atau keahlian menukang dengan tangan, tetapi juga seni pikiran (the
art of the mind) dan seni halus (fine arts).16 Techne melibatkan pengetahuan praktis dan
pengetahuan ini membawa suatu penyingkapan atau penarangan. Dalam hal ini, techne
11 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
12 Albert Borgmann, “Technology”, 428-429.
13 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays (New York: Harper & Row, 1977), 7.
14 Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, 49.
15 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, 12.
16 Albert Borgmann, “Technology”, 423 dan Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia,
dan Alat, 50-51.
4
merupakan suatu cara penyingkapan. Techne menjadi suatu cara di mana benda-benda dibantu
untuk muncul atau disingkapkan. Techne tergolong dalam poiesis yang lebih luas. Pada titik ini,
dapat dilihat suatu dimensi praksis dari fenomenologi Heidegger.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, teknologi modern bukanlah seni tangan (work of
craftsmanship), melainkan suatu penyingkapan.17 Hal yang membedakan teknologi modern dari
teknologi kuno terletak pada fakta bahwa teknologi modern tidak melibatkan suatu
“mengemukakan-ke-hadapan” dalam arti poiesis (perbuatan demi suatu hasil yang bernilai di
luar perbuatan itu sendiri, seperti membuat puisi), sedangkan teknologi kuno mempunyai sifatsifat mencipta yang puitis. Penyingkapan yang dominan dalam teknologi modern adalah
challenging forth (herausforden).18 Cara penyingkapan ini menuntut alam secara berlebihan
untuk menyumbangkan energinya supaya manusia dapat menyimpan dan menggunakannya.
Alam dan bumi dilihat sebagai persediaan (“standing reserve”/Bestand) yang dapat diambil,
disimpan, dan digunakan.19
Cara menyingkap ketidaktersembunyian alam dan cara memandang alam semacam itu di
dalam teknologi modern dinama Heidegger sebagai “enframing” (das Gestell), yaitu
membingkai.20 Dalam hal ini, teknologi sebagai penyingkapan muncul dalam proses
membingkai. Membingkai menjadi suatu cara sistemik yang membatasi dalam memandang
dunia. Dengan membingkai, seluruh bumi dilihat sebagai “standing-reserve”, di mana alam
dipandang sebagai sumber energi untuk kegunaan instrumental manusia. Implikasi dari
pandangan ini adalah bumi semata-mata dilihat sebagai sumber energi. Dalam pembingkaian,
ketidaktersembunyian disingkapkan, di mana teknologi modern menyingkapkan yang real
sebagai persediaan (standing-reserve ). 21
Heidegger kemudian menegaskan konsep awalnya bahwa esensi teknologi sendiri
tidaklah berciri teknologis; Esensi teknologi terletak pada pembingkaian, yakni pada cara
orientasi kita terhadap alam. Pembingkaian, dalam pandangan Heidegger, merupakan cara
penyingkapan yang mendominasi esensi teknologi modern dan pada dirinya sendiri tidak
teknologis.22 Esensi teknologi lebih bersifat eksistensial karena berkaitan dengan cara manusia
17 Albert Borgmann, “Technology”, 423.
18 Albert Borgmann, “Technology”, 428-429.
19 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
20 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
21Albert Borgmann, “Technology”, 428.
22 Hal itu, secara implisit, dijelaskan Heidegger dalam argumentasi penolakannya terhadap definisi teknologi yang
bersifat instrumental dan antropologis. “[…] Heidegger did not think of technology as the use of tools that is as old
5
memandang dunianya. Oleh karena itu, pengertian teknologi yang antropologis dan instrumental
dinilai tidak adekuat dan bahkan ditolak oleh Heidegger. Definisi teknologi yang benar dan
memadai adalah definisi ontologis.
Teknologi Mendahului Sains
Secara historis dan ontologis, demikian Heidegger, teknologi mendahului sains.23 Namun,
secara kronologis, teknologi muncul setelah sains. Hal itu terjadi karena secara kronologis, ilmu
fisika modern muncul pada abad ke-17, sementara teknologi berkekuatan mesin baru
berkembang setelah pertengahan abad ke-18. Namun, jika dilihat dari esensi yang mendominasi
teknologi modern tersebut, dapat dikatakan bahwa teknologi modern, secara historis, mendahului
sains.
Heidegger berpandangan demikian karena teknologi sebagai das Gestell merupakan
syarat kemungkinan bagi sains modern. Dengan kata lain, teknologi merupakan sumber sains.
Teknologi, sebagai das Gestell yang menjadi asal bagi pandangan saintifik terhadap dunia
sebagai persediaan (standing-reserve), justru menentukan arah gerak perkembangan sains.
Dalam arti tersebut, Heidegger ingin menunjukkan bahwa pandangan dunia sebagai
persediaan (standing-reserve) sudah ada sebelum teknologi muncul dalam bentuk mesin.
Pandangan bumi sebagai persediaan menentukan arah sains dalam menciptakan alat-alat untuk
menggarap bumi. Dalam konteks inilah teknologi mendahului sains. Sains pun mewujudkan diri
secara teknologis dalam bentuk alat.
Kesimpulan dan Tanggapan Kritis
Pertama, berdasarkan penjelasan sebelumnya, saya melihat bahwa pandangan mengenai
dunia sebagai persediaan (standing-reserve) mengandung sebuah risiko. Risiko atau bahaya
tersebut merujuk pada kekeliruan dalam menginterpretasikan ketidaktersembunyian, yakni
kekeliruan dalam menganggap yang ‘betul’ sebagai yang ‘benar’ dan kesalahan menganggap
bagian-bagian sama dengan keseluruhan. Selain itu, manusia juga dapat saja dilihat sebagai
persediaan belaka. Hal itu terjadi persis ketika manusia memandang dunia seluruhnya sebagai
and universal as the human race; He instead used technology in the sense of modern technology […].” Albert
Borgmann, “Technology”, 420.
23 Penjabaran tentang hal ini disarikan dari Albert Borgmann, “Technology”, 426-427 dan Francis Lim, Filsafat
Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, 56-59.
6
persediaan, dan dalam hal itu, ada kemungkinan bahwa manusia pun melihat dirinya sebagai
persediaan. Tatkala manusia memandang dirinya sebagai persediaan, ia juga dapat menganggap
dirinya sebagai tuan atas segala-galanya—tuan yang merasa perlu menggarap atau
mengeksploitasi “persediaan-persediaan” lain. Padahal, de facto, manusia sesungguhnya tidak
memahami dirinya sendiri secara integral ataupun memahami dunianya dengan baik.
Dalam hal ini, cara pandang “enframing” (das Gestell) berpotensi menyembunyikan
esensi pengada yang sebenarnya karena “enframing” (das Gestell) bersifat parsial dan tidak utuh
—hanya berdasarkan pertimbangan instrumental. Cara pandang membingkai (enfarming) yang
instrumental membahayakan manusia karena dalam cara pandang itu, manusia dan dunia dilihat
sebagai persediaan (standing-reserve) yang perlu digarap.
Akan tetapi, di pihak lain, saya melihat bahwa cara pandang “membingkai” (enframing)
semacam itu sebenarnya juga dapat berdampak positif bagi manusia, di mana cara pandang itu
dapat menjadi suatu cara pandang (membingkai) yang lebih keratif dan luas, tidak melulu
instrumental. Namun, harus dikatakan bahwa pandangan tersebut tetap mengandung bahaya.
Berhadapan dengan hal itu, kita perlu jujur bahwa Heidegger tampaknya tidak banyak
mengelaborasi perihal bagaimana menghadapi pandangan atau bahaya tersebut.
Kedua, dengan bertitik tolak dari tanggapan pertama, saya melihat bahwa pertanyaan
kritis terhadap teknologi untuk menyadari ketersembunyian dan penyingkapan kebenaran dapat
membatasi pandangan yang melihat dunia seluruhnya hanya sebagai persediaan (standingreserve). Heidegger mengajak kita untuk mempertanyakan teknologi secara kritis agar dapat
menembus batas-batas “membingkai” yang instrumental dan membuka kemungkinankemungkinan yang lebih kreatif dalam mengalami dunia.
Ketiga, pandangan alternatif dari “membingkai” dilakukan dengan menghidupkan
kembali techne sebagai seni yang dapat membendung pemahaman tentang dunia sebagai
persediaan belaka. Seni sebagai techne, menurut Heidegger, bersifat teknologis. Cara
penyingkapannya membuka cara baru untuk menyingkap Ada yang berbeda dari pemikiran
kalkulatif dan eksploitatif dalam “membingkai” (enframing). Cara-cara baru ini adalah cara
memandang dunia dengan perspektiff seni.24 Seni membiarkan Ada menyingkapkan dirinya
sendiri, tanpa melalui perantaraan manusia. Melalui seni, Ada keluar dari ketersembunyian ke
ketidaktersembunyian.
24 Bdk. Albert Borgmann, “Technology”, 428.
7
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Albert Borgmann, “Technology”, 420-432.
Sumber Pendukung:
Fadhilah, “Hakikat dan Makna Teknologi bagi Keberadaan Manusia dalam Perspektif Heidegger”, dalam
Madani, edisi 1/Mei (2006): 31-38.
Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology and Other Essays. New York: Harper & Row,
1977.
Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius,
2008.
8
Oleh: Joan Damaiko Udu
Pengantar
Heidegger (1889-1976) adalah filsuf dan fenomenolog yang memberikan penjelasan
menarik mengenai (filsafat) teknologi. Ia mengelaborasi fenomena teknologi sebagai suatu
realitas yang dimaknai secara esensial. Heidegger merefleksikan teknologi dari perspektif
eksistensi manusia yang secara konkret dapat dilihat dalam fenomena kehidupannya sehari-hari.
Dengan demikian, Heidegger melihat teknologi tidak hanya secara teoritis, tetapi juga secara
praktis, sebagai hasil perkembangan atau evolusi pengetahuan manusia—sebagai manifestasi
eksistensi dan fenomenologi tentang manusia.
Tulisan ini akan memberikan penjelasan tentang gagasan-gagasan pokok Heidegger
mengenai esensi teknologi dengan bertolak dari teks “Technology”, yang ditulis oleh Albert
Borgmann. Akan tetapi, dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan teks tersebut menurut
detail-detailnya. Teks tersebut hanya akan dilihat secara global dengan memberikan penekanan
utama pada gagasan-gagasan pokok Heidegger tentang teknologi.
Saya juga akan menggunakan sejumlah sumber sekunder yang sekiranya dapat membantu
untuk menjelaskan pokok refleksi Heidegger tentang teknologi. Tulisan ini akan diawali dengan
sebuah elaborasi mengenai pengertian teknologi menurut Heidegger. Kemudian akan dilanjutkan
dengan pembahasan mengenai teknologi sebagai penyingkapan kebenaran, korelasi antara esensi
teknologi dan penyingkapan kebenaran, teknologi dan sains, dan akan ditutup dengan sebuah
kesimpulan dan tanggapan kritis.
Pengertian Teknologi Menurut Heidegger
Dalam pandangan Heidegger, teknologi lebih dari sekadar aktivitas penggunaan alat-alat
teknologis.1 Dengan kata lain, esensi teknologi tidaklah bersifat teknologis. Hal yang
fundamental, menurut Heidegger, bukanlah teknologi itu sendiri ataupun bentuk-bentuk
teknologi, melainkan orientasi kita terhadap teknologi.2
1 Terkait hal tersebut, Albert Borgmann antara lain menulis, “[…] Heidegger did not think of technology as the use
of tools that is as old and universal as the human race […]. Bdk. Albert Borgmann, “Technology”, 420.
2 Bdk. Albert Borgmann, “Technology”, 420-421 dan Fadhilah, “Hakikat dan Makna Teknologi bagi Keberadaan
Manusia dalam Perspektif Heidegger”, dalam Madani, edisi 1/Mei (2006): 31-38.
1
Pada tataran ini, esensi teknologi lebih dipahami secara eksistensial karena berkaitan
dengan cara manusia memandang dunianya. Esensi teknologi merujuk pada suatu cara pandang
dan pangalaman yang membentuk dan membingkai cara bertindak kita, cara bagaimana kita
menggunakan alat-alat, dan cara bagaimana kita berhubungan dengan dunia kehidupan
(lebenswelt). Oleh karena itu, konsep teknologi yang instrumental (sebagai sarana) dan
antropologis (sebagai aktivitas manusia) ditolak oleh Heidegger.
“[…] More important still, Heidegger denied that technology is a value-neutral
instrument, but thought of it as a radically fundamental and comprehensive
phenomenon, something like the innermost character of modern culture and reality.
Eventually, Heidegger came to call the two senses of technology he rejected the
anthropological and the instrumental senses.”3
Kedua model konsep tersebut dianggap tidak memadai, dangkal, dan berpotensi
mereduksi teknologi sebagai sekadar alat bagi sains. Selain itu, kedua model konsep tersebut
juga dapat membuat orang jatuh pada pemahaman parsial bahwa teknologi hanyalah ciptaan
subjek dan berfungsi sebagai instrumen yang netral.
Menurut Heidegger, kedua model konsep tersebut (instrumental dan antropologis) de
facto memang betul (correct), tetapi belum benar (true).4 Sesuatu yang betul dapat benar hanya
dalam arti tertentu saja, yakni benar dalam bagian tertentu saja atau sebagian dari keseluruhan
atau benar dalam arti yang terbatas. Dengan kata lain, sesuatu yang ‘betul’ belum berarti ‘benar’.
Akan tetapi, sesuatu yang ‘betul’ tidak dapat dikatakan ‘tidak benar’. ‘Betul’ berarti ‘benar
secara terbatas’ atau ‘tidak mencukupi’ dan dapat dikatakan sebagai ‘kebenaran yang parsial’.
Dalam konteks ini, kebenaran, menurut Heidegger, adalah ketidaktersembunyian
(aletheia) yang dimunculkan lewat penerangan (on illuminating) atau penyingkapan.5 Kebenaran
semacam inilah yang menjadi esensi teknologi. Hal ini hendak menunjukkan bahwa dalam
pemikiran Heidegger, teknologi bukanlah suatu persoalan ontis (persoalan antropologis dan
instrumental), melainkan suatu persoalan ontologis. Dalam hal ini, teknologi, dalam arti
ontologis, merupakan suatu cara kebenaran menyingkapkan dirinya atau suatu landasan di mana
Ada atau peristiwa mengungkapkan diri dengan cara tertentu. 6 Komponen-konponen dalam
3 Albert Borgmann, “Technology”, 420.
4 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
5 Albert Borgmann, “Technology”, 420-421.
6 Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 46.
2
teknologi (instrumen-instrumen dan aktivitas subjek yang mengerjakannya) muncul dalam suatu
struktur atau landasan yang mendasarinya.
Teknologi, dalam pengertian ontologis, tidak hanya merujuk pada instrumen atau
aktivitas penggunaan alat-alat teknologis, tetapi juga pada suatu cara (techne) pengungkapan
kebenaran atau suatu wilayah di mana entitas dan aktivitas muncul seperti adanya. 7 Teknologi
muncul dalam wilayah di mana penyingkapan dan ketidaktersembunyian berlangsung—di mana
kebenaran (aletheia) terjadi. Kebenaran tersebut dicapai dengan melampaui apa yang ‘betul’
karena apa yang betul selalu didasarkan pada suatu struktur ketersingkapan yang menentukan
apa yang betul. Entitas selalu muncul dengan cara tertentu, tergantung pada struktur
ketersingkapan di mana entitas itu berada. Struktur tersebut selalu terberi (given).8 Lebih lanjut,
ciri struktur ini adalah ketersingkapan sekaligus ketersembunyian. Struktur ini kemudian
dinamakan Heidegger sebagai sejarah Ada (epoch of Being).9
Sejarah Ada tersebut, menurut Heidegger, mempunyai tujuan atau arah, yaitu ‘nasib’
(destiny).10 Akan tetapi, harus dipahami bahwa nasib pada tataran ini bukan merujuk pada
sesuatu yang sudah ditentukan. Nasib lebih berarti tujuan atau arah maju maupun mundur di
mana kita diarahkan oleh sejarah Ada. Teknologi merupakan sejarah Ada yang berlaku sekarang
dan dalam hal ini, pemahaman mengenai esensi teknologi menjadi penting supaya kita dapat
menanggapinya dengan cara yang sesuai.
Teknologi sebagai Penyingkapan Kebenaran
Sebagaimana dielaborasi sebelumnya, Heidegger memulai pembahasannya dengan
merujuk pada hal-hal yang ontis, di mana dalam kehidupan sehari-hari teknologi dipahami atau
dilihat dari sudut pandang instrumental. Hal ini hendak menunjukkan bahwa kita
mempertanyakan dalam kondisi apa sesuatu itu menjadi sarana dan tujuan. Dalam hal ini, jelas
bahwa sarana merupakan suatu cara yang melaluinya sesuatu dipengaruhi dan dicapai. Segala
sesuatu yang memiliki efek sebagai konsekuensinya disebut ‘sebab’. Oleh karena itu, jika
teknologi dipandang sebagai intrumen, kita dapat membahas tentang dialektika sebab-akibat.
7 Albert Borgmann, “Technology”, 420-421 dan Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia,
Manusia, dan Alat, 43-51.
8 Albert Borgmann, “Technology”, 424 424 dan Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia,
Manusia, dan Alat, 45.
9 Albert Borgmann, “Technology”, 424.
10 Albert Borgmann, “Technology”, 429.
3
Pada aras ini, persoalan sebab-akibat tersebut diuraikan Heidegger dengan mengacu pada
empat ‘sebab’ Aristotelian, yakni sebab material (causa materialis), sebab formal (causa
formalis), sebab final (causa finalis), dan sebab efisien (causa efficiens).11 Heidegger, secara
sederhana, menjelaskan empat ‘sebab’ tersebut dengan mengambil contoh piala perak. Dalam
contoh tersebut, sebab material adalah bahan perak yang digunakan untuk membuat piala perak;
Sebab formal adalah kepialaan piala untuk mengisi suatu cairan, misalnya air anggur; Sebab
finalnya adalah piala dibuat untuk digunakan dalam perayaan ekaristi; Kemudian yang menjadi
sebab efisien adalah tukang piala. Keempat ‘sebab’ ini tentu berbeda, tetapi secara serentak ada
bersama.
Menurut Heidegger, arti semula empat ‘sebab’ tersebut dalam pemikiran Yunani kuno
tidak lain dari sebuah cara yang bertanggung jawab untuk mengemukakan (bringing forth) apa
yang sebelumnya belum ada menjadi ada.12 ‘Akibat’, pada tataran ini, merupakan benda buatan
manusia, dan barang yang dibuat oleh manusia ini (‘akibat’) berhutang kepada empat ‘sebab’
yang membuat barang itu, dan dengan demikian, (empat) ‘sebab’ yang membuat barang itu
bertanggung jawab dalam memungkinkan ‘akibat’ terjadi atau dibuat.13
Heidegger kemudian memperkenalkan kata poiesis yang bermakna mengemukakan apa
yang sebelumnya belum ada menjadi ada.14Atau membawa apa yang tersembunyi ke
ketidaktersembunyian. Ini adalah aletheia, yakni ketidaktersembunyian atau penyingkapan
kebenaran.
Korelasi antara Esensi Teknologi dan Penyingkapan Kebenaran
Dalam pandangan Heidegger, kaitan antara esensi teknologi dan penyingkapan kebenaran
menyangkut segala-galanya karena setiap “mengemukakan-ke-hadapan” didasarkan pada
penyingkapan.15 Menurut Heidegger, kata teknologi berasal dari kata Yunani, techne, yang tidak
hanya menyangkut aktivitas atau keahlian menukang dengan tangan, tetapi juga seni pikiran (the
art of the mind) dan seni halus (fine arts).16 Techne melibatkan pengetahuan praktis dan
pengetahuan ini membawa suatu penyingkapan atau penarangan. Dalam hal ini, techne
11 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
12 Albert Borgmann, “Technology”, 428-429.
13 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays (New York: Harper & Row, 1977), 7.
14 Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, 49.
15 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, 12.
16 Albert Borgmann, “Technology”, 423 dan Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia,
dan Alat, 50-51.
4
merupakan suatu cara penyingkapan. Techne menjadi suatu cara di mana benda-benda dibantu
untuk muncul atau disingkapkan. Techne tergolong dalam poiesis yang lebih luas. Pada titik ini,
dapat dilihat suatu dimensi praksis dari fenomenologi Heidegger.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, teknologi modern bukanlah seni tangan (work of
craftsmanship), melainkan suatu penyingkapan.17 Hal yang membedakan teknologi modern dari
teknologi kuno terletak pada fakta bahwa teknologi modern tidak melibatkan suatu
“mengemukakan-ke-hadapan” dalam arti poiesis (perbuatan demi suatu hasil yang bernilai di
luar perbuatan itu sendiri, seperti membuat puisi), sedangkan teknologi kuno mempunyai sifatsifat mencipta yang puitis. Penyingkapan yang dominan dalam teknologi modern adalah
challenging forth (herausforden).18 Cara penyingkapan ini menuntut alam secara berlebihan
untuk menyumbangkan energinya supaya manusia dapat menyimpan dan menggunakannya.
Alam dan bumi dilihat sebagai persediaan (“standing reserve”/Bestand) yang dapat diambil,
disimpan, dan digunakan.19
Cara menyingkap ketidaktersembunyian alam dan cara memandang alam semacam itu di
dalam teknologi modern dinama Heidegger sebagai “enframing” (das Gestell), yaitu
membingkai.20 Dalam hal ini, teknologi sebagai penyingkapan muncul dalam proses
membingkai. Membingkai menjadi suatu cara sistemik yang membatasi dalam memandang
dunia. Dengan membingkai, seluruh bumi dilihat sebagai “standing-reserve”, di mana alam
dipandang sebagai sumber energi untuk kegunaan instrumental manusia. Implikasi dari
pandangan ini adalah bumi semata-mata dilihat sebagai sumber energi. Dalam pembingkaian,
ketidaktersembunyian disingkapkan, di mana teknologi modern menyingkapkan yang real
sebagai persediaan (standing-reserve ). 21
Heidegger kemudian menegaskan konsep awalnya bahwa esensi teknologi sendiri
tidaklah berciri teknologis; Esensi teknologi terletak pada pembingkaian, yakni pada cara
orientasi kita terhadap alam. Pembingkaian, dalam pandangan Heidegger, merupakan cara
penyingkapan yang mendominasi esensi teknologi modern dan pada dirinya sendiri tidak
teknologis.22 Esensi teknologi lebih bersifat eksistensial karena berkaitan dengan cara manusia
17 Albert Borgmann, “Technology”, 423.
18 Albert Borgmann, “Technology”, 428-429.
19 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
20 Albert Borgmann, “Technology”, 428.
21Albert Borgmann, “Technology”, 428.
22 Hal itu, secara implisit, dijelaskan Heidegger dalam argumentasi penolakannya terhadap definisi teknologi yang
bersifat instrumental dan antropologis. “[…] Heidegger did not think of technology as the use of tools that is as old
5
memandang dunianya. Oleh karena itu, pengertian teknologi yang antropologis dan instrumental
dinilai tidak adekuat dan bahkan ditolak oleh Heidegger. Definisi teknologi yang benar dan
memadai adalah definisi ontologis.
Teknologi Mendahului Sains
Secara historis dan ontologis, demikian Heidegger, teknologi mendahului sains.23 Namun,
secara kronologis, teknologi muncul setelah sains. Hal itu terjadi karena secara kronologis, ilmu
fisika modern muncul pada abad ke-17, sementara teknologi berkekuatan mesin baru
berkembang setelah pertengahan abad ke-18. Namun, jika dilihat dari esensi yang mendominasi
teknologi modern tersebut, dapat dikatakan bahwa teknologi modern, secara historis, mendahului
sains.
Heidegger berpandangan demikian karena teknologi sebagai das Gestell merupakan
syarat kemungkinan bagi sains modern. Dengan kata lain, teknologi merupakan sumber sains.
Teknologi, sebagai das Gestell yang menjadi asal bagi pandangan saintifik terhadap dunia
sebagai persediaan (standing-reserve), justru menentukan arah gerak perkembangan sains.
Dalam arti tersebut, Heidegger ingin menunjukkan bahwa pandangan dunia sebagai
persediaan (standing-reserve) sudah ada sebelum teknologi muncul dalam bentuk mesin.
Pandangan bumi sebagai persediaan menentukan arah sains dalam menciptakan alat-alat untuk
menggarap bumi. Dalam konteks inilah teknologi mendahului sains. Sains pun mewujudkan diri
secara teknologis dalam bentuk alat.
Kesimpulan dan Tanggapan Kritis
Pertama, berdasarkan penjelasan sebelumnya, saya melihat bahwa pandangan mengenai
dunia sebagai persediaan (standing-reserve) mengandung sebuah risiko. Risiko atau bahaya
tersebut merujuk pada kekeliruan dalam menginterpretasikan ketidaktersembunyian, yakni
kekeliruan dalam menganggap yang ‘betul’ sebagai yang ‘benar’ dan kesalahan menganggap
bagian-bagian sama dengan keseluruhan. Selain itu, manusia juga dapat saja dilihat sebagai
persediaan belaka. Hal itu terjadi persis ketika manusia memandang dunia seluruhnya sebagai
and universal as the human race; He instead used technology in the sense of modern technology […].” Albert
Borgmann, “Technology”, 420.
23 Penjabaran tentang hal ini disarikan dari Albert Borgmann, “Technology”, 426-427 dan Francis Lim, Filsafat
Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, 56-59.
6
persediaan, dan dalam hal itu, ada kemungkinan bahwa manusia pun melihat dirinya sebagai
persediaan. Tatkala manusia memandang dirinya sebagai persediaan, ia juga dapat menganggap
dirinya sebagai tuan atas segala-galanya—tuan yang merasa perlu menggarap atau
mengeksploitasi “persediaan-persediaan” lain. Padahal, de facto, manusia sesungguhnya tidak
memahami dirinya sendiri secara integral ataupun memahami dunianya dengan baik.
Dalam hal ini, cara pandang “enframing” (das Gestell) berpotensi menyembunyikan
esensi pengada yang sebenarnya karena “enframing” (das Gestell) bersifat parsial dan tidak utuh
—hanya berdasarkan pertimbangan instrumental. Cara pandang membingkai (enfarming) yang
instrumental membahayakan manusia karena dalam cara pandang itu, manusia dan dunia dilihat
sebagai persediaan (standing-reserve) yang perlu digarap.
Akan tetapi, di pihak lain, saya melihat bahwa cara pandang “membingkai” (enframing)
semacam itu sebenarnya juga dapat berdampak positif bagi manusia, di mana cara pandang itu
dapat menjadi suatu cara pandang (membingkai) yang lebih keratif dan luas, tidak melulu
instrumental. Namun, harus dikatakan bahwa pandangan tersebut tetap mengandung bahaya.
Berhadapan dengan hal itu, kita perlu jujur bahwa Heidegger tampaknya tidak banyak
mengelaborasi perihal bagaimana menghadapi pandangan atau bahaya tersebut.
Kedua, dengan bertitik tolak dari tanggapan pertama, saya melihat bahwa pertanyaan
kritis terhadap teknologi untuk menyadari ketersembunyian dan penyingkapan kebenaran dapat
membatasi pandangan yang melihat dunia seluruhnya hanya sebagai persediaan (standingreserve). Heidegger mengajak kita untuk mempertanyakan teknologi secara kritis agar dapat
menembus batas-batas “membingkai” yang instrumental dan membuka kemungkinankemungkinan yang lebih kreatif dalam mengalami dunia.
Ketiga, pandangan alternatif dari “membingkai” dilakukan dengan menghidupkan
kembali techne sebagai seni yang dapat membendung pemahaman tentang dunia sebagai
persediaan belaka. Seni sebagai techne, menurut Heidegger, bersifat teknologis. Cara
penyingkapannya membuka cara baru untuk menyingkap Ada yang berbeda dari pemikiran
kalkulatif dan eksploitatif dalam “membingkai” (enframing). Cara-cara baru ini adalah cara
memandang dunia dengan perspektiff seni.24 Seni membiarkan Ada menyingkapkan dirinya
sendiri, tanpa melalui perantaraan manusia. Melalui seni, Ada keluar dari ketersembunyian ke
ketidaktersembunyian.
24 Bdk. Albert Borgmann, “Technology”, 428.
7
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Albert Borgmann, “Technology”, 420-432.
Sumber Pendukung:
Fadhilah, “Hakikat dan Makna Teknologi bagi Keberadaan Manusia dalam Perspektif Heidegger”, dalam
Madani, edisi 1/Mei (2006): 31-38.
Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology and Other Essays. New York: Harper & Row,
1977.
Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius,
2008.
8