Analisis Teknis dan Finansial Unit Usaha

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL UNIT USAHA PANCING LAYANGAN DI PERAIRAN BANGGAE KABUPATEN MAJENE

SKRIPSI

H. SUHARTONO N. PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2004

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL UNIT USAHA PANCING LAYANGAN DI PERAIRAN BANGGAE KABUPATEN MAJENE

SKRIPSI

H. SUHARTONO N.

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2004

Judul : Analisis Teknis dan Finansial Unit Usaha Pancing

Layangan di Perairan Banggae Kabupaten Majene.

Nama Mahasiswa

: H. Suhartono N.

Stambuk

: L 231 00 009

Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh :

Ir. Mahfud Palo Dr. Ir. H. Najamuddin, M.Sc

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Mengetahui

Ir. H. Hamzah Sunusi, M.Sc Dr. Ir. H. Sudirman M.Pi

Dekan FIKP Ketua Program Studi P.S.P

Tanggal Pengesahan :

Mei 2005

ABSTRAK

SUHARTONO N. “Analisis Teknis dan Finansial Unit Usaha Pancing Layangan di Perairan Banggae Kabupaten Majene”, dibawah bimbingan MAHFUD PALO sebagai pembimbing utama, NAJAMUDDIN sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek teknis dan finansial Pancing Layangan dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi masyarakat dan instansi terkait dalam usaha pengembangan alat tangkap Pancing Layangan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2004 di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Metode penelitian ini adalah metode survei dengan sampel sebanyak 10% dari populasi Pancing Layangan. Pencatatan data dilakukan dengan mengambil data primer melalui pengukuran dan pengamatan secara langsung dengan mengikuti operasi penangkapan serta melakukan wawancara dengan pemilik/pengelola alat tangkap Pancing Layangan.

Pancing Layangan terdiri atas bagian-bagian yaitu : joran dari bambu dengan panjang 4 -5 m, cincin yang dipasang pada ujung joran, tali pancing dari bahan monofilamen No. 300 – 600 dengan panjang 300 m, layangan dengan ukuran panjang antara 42 – 100 cm dan lebar 40,5 – 85 cm yang terbuat dari plastik dengan rangka yang terbuat dari rotan, mata pancing No. 3 – 5 serta umpan tiruan berbentuk cumi-cumi yang terbuat dari karet. Ukuran utama kapal dengan panjang (L) antara 10 – 13 m, lebar (B) antara 1,4 – 1,9 m dan tinggi (D) antara 1,2 – 1,3 m, dengan kapasitas muat 3 ton. Dari rasio perbandingan yang diperoleh, nilai L/B, L/D dan B/D tidak ada kapal sampel yang memenuhi standar kelayakan sehingga masih memerlukan perbaikan. Untuk aspek finansial, usaha Pancing Layangan terdiri atas bagian-bagian yaitu : joran dari bambu dengan panjang 4 -5 m, cincin yang dipasang pada ujung joran, tali pancing dari bahan monofilamen No. 300 – 600 dengan panjang 300 m, layangan dengan ukuran panjang antara 42 – 100 cm dan lebar 40,5 – 85 cm yang terbuat dari plastik dengan rangka yang terbuat dari rotan, mata pancing No. 3 – 5 serta umpan tiruan berbentuk cumi-cumi yang terbuat dari karet. Ukuran utama kapal dengan panjang (L) antara 10 – 13 m, lebar (B) antara 1,4 – 1,9 m dan tinggi (D) antara 1,2 – 1,3 m, dengan kapasitas muat 3 ton. Dari rasio perbandingan yang diperoleh, nilai L/B, L/D dan B/D tidak ada kapal sampel yang memenuhi standar kelayakan sehingga masih memerlukan perbaikan. Untuk aspek finansial, usaha

ABSTRACT

Suhartono N. Technical and Financial Analysis of Hand Line Using a Kite in Banggae Waters of Majene District. Under the Supervison of MAHFUD PALO and NAJAMUDDIN.

This research aimed to know the technical and financial aspects of hand line using a kite. The result of this study was expected to become information to relevant institution and society in the effort of its development. This research was conducted from June to July 2004 in the sub district of Banggae, district of Majene. The survey methods were applied with samples more than 10% of hand line population. Records keeping of data were conducted by taking primary data through perception and measurement directly to the following fishing operation and interview with owner/organizer of hand line using a kite.

Hand line using a kite were consist of: Joran of bamboo with length 4 –

5 m, attached ring at the end of Joran, line with monofilament materials No. 300 – 600 with length 300 m, kite with length range 42 – 100 cm and wide range 40,5 – 85 cm, made from plastic with rattan frame, hook No. 3 – 5 and artificial bait in the form of squid made from rubber. The principle dimension of boat such as: length over all (LOA) range 10 – 13 m, wide (B) range 1,4 – 1,9 m and depth (D) range 1,2 – 1,3 m, with capacities 3 GT. The main dimension ratio obtained value of L/B, L/D of B/D of sample out of the standard ratio, so that still need repair. The financial aspect, R/C ratio value is mean 1, 58 and net benefit mean of Rp. 30.724.655,6. It’s concluded that hand line using a kite was feasible to develop either technically or financially.

RIWAYAT HIDUP

H. Suhartono N., dilahirkan di Pare pare pada tanggal 7 Juli 1982. Merupakan anak tunggal dari ayah bernama Nurdin dan ibu bernama Hj. Hasni. Penulis dibesarkan oleh pasangan H. P. Lampa dan Hj. P. Dara yang juga merupakan kakek/nenek penulis.

Penulis menjalani pendidikan formal di SD Inpres 229 Paccoka, Suppa, Pinrang pada tahun 1988 – 1994, SMP Negeri 1 Suppa, Pinrang pada tahun 1994

– 1997, dan SMU Negeri 1 Pare pare pada tahun 1997 – 2000. Penulis diterima di Universitas Hasanuddin pada tahun 2000 melalui

jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Perikanan dengan bidang Keahlian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Selama menjalani studi sebagai mahasiswa, dalam bidang akademik penulis tercatat sebagai asisten pada mata kuliah Dasar-dasar Teknologi Hasil Perikanan pada tahun 2003 dan 2004 dan mata kuliah Kepelautan pada tahun 2004.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan kelautan dan perikanan bangsa Indonesia dinilai sangat cerah karena dukungan potensi dan keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang terkandung oleh bentang alamnya yang berbentuk suatu gugusan kepulauan.

Garis pantai sepanjang 81.000 km 2 yang melingkupi sejumlah ± 17.502 buah pulau- pulau besar maupun kecil di nusantara, garis pantai ini menjadi pembatas wilayah

daratan dengan perairan laut seluas 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan kepulauan ditambah zona ekonomi eksklusif (ZEE) (Manggabarani, 2003).

Bentang alam tersebut di atas menyediakan bermacam-macam potensi sumberdaya alam hayati dan non-hayati yang telah memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa Indonesia hingga saat ini. Sektor kelautan dan perikanan telah lama menjadi tumpuan hidup keluarga nelayan dan masyarakat pesisir yang aktivitasnya terkait dengan kegiatan perikanan.

Sumberdaya perairan laut di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan cukup melimpah, kaya dan beragam, terutama di wilayah pesisir. Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, maka permintaan hasil laut khususnya ikan semakin meningkat. Meningkatnya permintaan tersebut, menuntut para nelayan dan para pengusaha yang bergerak dalam bidang penangkapan ikan untuk meningkatkan produksinya, Untuk itu perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan nelayan serta penerapan alat tangkap yang efektif dan efisien.

Kabupaten Majene merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki potensi sumberdaya perikanan terutama wilayah pesisir yang cukup besar, sehingga usaha penangkapan ikan sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Salah satu alat tangkap yang banyak dioperasikan dalam usaha penangkapan ikan di Kabupaten Majene adalah Pancing Layangan.

Pancing Layangan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tuna (Thunnus sp), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis). Pancing Layangan merupakan salah satu bentuk modifikasi dalam teknik penangkapan ikan dengan memanfaatkan sifat- sifat ikan tersebut, dalam hal ini kebiasaan dan cara makannya.

Studi tentang Pancing Layangan di perairan Kabupaten Majene masih sangat kurang. Penelitian terakhir tentang Pancing Layangan dilakukan pada tahun 1992. Dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut telah terjadi peningkatan jumlah unit Pancing Layangan yang cukup pesat, peningkatan skala usaha, modifikasi alat tangkap maupun teknik penangkapan, sehingga penelitian ini perlu dilakukan dan mengingat potensi sumberdaya ikan tuna, ikan cakalang dan ikan tongkol yang cukup melimpah di daerah tersebut.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek teknis dan finansial Pancing Layangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi masyarakat dan instansi terkait dalam usaha pengembangan Pancing Layangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Teknis

Aspek teknis dari suatu usaha penangkapan yang perlu diperhatikan adalah jenis alat dan ukurannya, jenis perahu/kapal (termasuk jenis penggerak yang digunakan), kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan, metode penangkapan, lama trip, jumlah trip per bulan, jumlah trip per tahun, penanganan hasil tangkapan selama operasi, daerah penangkapan, waktu penangkapan dan kapasitas tangkap dari unit yang diusahakan (Monintja dkk., 1986).

Berdasarkan tingkat produksi fisik yang dihasilkan untuk suatu alat tangkap, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan hasil perikanan dapat dilakukan dengan cara penambahan jumlah trip (khusus pada musim puncak). Selain itu ditunjang oleh daya tahan alat dan harga hasil penangkapan yang layak. Faktor lain yang turut menentukan peningkatan produksi adalah penyempurnaan alat, metode dan teknik penangkapan (Monintja dkk., 1986).

A. Deskripsi Alat Tangkap

Pancing adalah salah satu alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat ramai, terlebih di kalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu “tali” (Line) dan “mata pancing” (hook). Tali pancing biasa

dibuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylene, plastik (senar), dan lain-lain. Sedang mata pancingnya (mata kailnya) dibuat dari kawat berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan di tangkap (Subani dan Barus, 1988).

Menurut Subani dan Barus (1988), walaupun pancing tersebut pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama (tali, mata pancing) namun sesuai dengan macam atau jenis-jenisnya ia dapat dilengkapi dengan komponen-komponen lain, seperti : gandar atau tangkai (pole, rod), pemberat (sinker), pelampung (float).

Pada prinsipnya alat penangkapan dengan menggunakan pancing tidak banyak mengalami perubahan/kemajuan namun dalam segi teknisnya banyak mengalami perubahan dan kemajuan. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan warna tali, umpan yang di beri bau-bauan, umpan tiruan (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya ditambahkan bahwa Jenis pancing akan bergantung pada tujuan penangkapan dan dengan adanya perbedaan tersebut juga akan menyebabkan perbedaan pada struktur pancing. Karena struktur ini tidak rumit maka terlihatlah bahwa banyak variasi dari alat pancing ini.

Menurut Von Brandt (1964) Sejak jaman dulu, layang-layang telah digunakan dalam operasi penangkapan ikan di Barat Daya Asia, terutama untuk menangkap ikan garfish dan ikan bonito. Metode ini juga telah dilakukan di Micronesia, Polynesia dan Philipina. Penggunaan layang-layang dalam penangkapan ikan telah tersebar luas walaupun terhambat oleh permasalahan religius/agama. Menurut sejarahnya, penangkapan ikan dengan bantuan layang- layang diperkenalkan di Indonesia dari Philippina, yaitu dari pulau Larantuka di Laut Banda. Seperti layang-layang mainan, layang-layang yang digunakan terbuat dari kertas atau daun pandan yang dikeringkan, yang dijahit pada bingkai bambu. Layang-layang seperti itu dapat dibuat dalam ukuran yang cukup besar, panjang bisa mencapai 100 cm dan lebarnya 50 cm. Panjang tali layangan yang digunakan bisa mencapai 100 meter dan tali pancing yang diikatkan pada ekor Menurut Von Brandt (1964) Sejak jaman dulu, layang-layang telah digunakan dalam operasi penangkapan ikan di Barat Daya Asia, terutama untuk menangkap ikan garfish dan ikan bonito. Metode ini juga telah dilakukan di Micronesia, Polynesia dan Philipina. Penggunaan layang-layang dalam penangkapan ikan telah tersebar luas walaupun terhambat oleh permasalahan religius/agama. Menurut sejarahnya, penangkapan ikan dengan bantuan layang- layang diperkenalkan di Indonesia dari Philippina, yaitu dari pulau Larantuka di Laut Banda. Seperti layang-layang mainan, layang-layang yang digunakan terbuat dari kertas atau daun pandan yang dikeringkan, yang dijahit pada bingkai bambu. Layang-layang seperti itu dapat dibuat dalam ukuran yang cukup besar, panjang bisa mencapai 100 cm dan lebarnya 50 cm. Panjang tali layangan yang digunakan bisa mencapai 100 meter dan tali pancing yang diikatkan pada ekor

Menurut Ayodhyoa (1981) bahwa secara umum segi-segi positif dari pancing antara lain mudah dalam struktur sehingga operasi dapat dilakukan dengan mudah, organisasi usahanya kecil sehingga dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan, syarat-syarat fishing groundnya relatif sedikit dan dapat dengan bebas memilih, pengaruh cuaca dan suasana laut lainnya relatif kecil sehingga dengan sedikit manusia usaha sudah dapat dilakukan.

B. Kapal Penangkap

Kapal penangkap adalah kapal yang digunakan dalam usaha menangkap/mengumpulkan aquatik resources ataupun usaha peternakan aquatik resources atau pekerjaan-pekerjaan research, guidance, training, controll dan lain- lain sebagainya yang berhubungan dengan usaha-usaha tersebut di atas (Ayodhyoa, 1972). Selanjutnya dikemukakan bahwa kapal ikan adalah salah satu jenis dari kapal, dengan demikian sifat-sifat dan syarat-syarat yang diperlukan oleh sesuatu kapal akan diperlukan pula oleh kapal ikan. Tetapi berbeda dengan kapal penumpang dan kapal barang, pada kapal dilakukan kerja menangkap ikan, menyimpan ikan, mengangkut ikan dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian akan ada keistimewaan Kapal penangkap adalah kapal yang digunakan dalam usaha menangkap/mengumpulkan aquatik resources ataupun usaha peternakan aquatik resources atau pekerjaan-pekerjaan research, guidance, training, controll dan lain- lain sebagainya yang berhubungan dengan usaha-usaha tersebut di atas (Ayodhyoa, 1972). Selanjutnya dikemukakan bahwa kapal ikan adalah salah satu jenis dari kapal, dengan demikian sifat-sifat dan syarat-syarat yang diperlukan oleh sesuatu kapal akan diperlukan pula oleh kapal ikan. Tetapi berbeda dengan kapal penumpang dan kapal barang, pada kapal dilakukan kerja menangkap ikan, menyimpan ikan, mengangkut ikan dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian akan ada keistimewaan

Nomura dan Yamazaki (1977) mengemukakan bahwa kapal ikan harus selalu beroperasi bahkan pada saat cuaca yang buruk sekalipun. Oleh karena itu diperlukan stabilitas yang tinggi agar kapal tetap dapat beroperasi. Kapal ikan dibuat dengan konstruksi dan bahan yang khusus, sehingga akan menjamin keselamatan dalam operasi penangkapan. Untuk keberhasilan operasi penangkapan, kapal ikan harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti mesin, peralatan navigasi, alat pendeteksi ikan, alat komunikasi, dll.

Menurut Ayodhyoa (1972) bahwa kapal ikan mempunyai jenis dan bentuk yang beraneka ragam, dikarenakan tujuan usaha, keadaan perairan dan lain sebagainya, yang dengan demikian bentuk usaha itu akan menentukan bentuk dari kapal ikan. Ukuran utama kapal terdiri dari panjang kapal (L), lebar kapal (B), dan tinggi kapal (D). Besar kecilnya ukuran utama kapal berpengaruh pada kemampuan (ability) suatu kapal dalam melakukan pelayaran atau operasi penangkapan, dimana :

 Nilai L (panjang), erat hubungannya dengan interior arrangement, seperti letak kamar mesin, tangki bahan bakar, tangki air tawar, palka,kamar ABK, perlengkapan alat tangkap dan peralatan lainnya.

 Nilai B (lebar), berhubungan dengan stabilitas dan daya dorong kapal.  Nilai D (dalam, tinggi), berhubungan erat dengan tempat penyimpanan

barang atau ruang palka serta stabilitas dari kapal.

Jika nilai L/B mengecil, akan berpengaruh buruk terhadap kecepatan. Jika L/D membesar, longitudinal strength akan melemah. Jika B/D membesar, stabilitas akan baik tetapi daya dorong kapal akan memburuk.

Ayodhyoa (1972) menyatakan bahwa untuk kapal ikan kecil, L berkisar antara 6 – 15 meter, B antara 1,45 – 3,30 meter dan D antara 0,55 – 1,40 meter. Sedangkan untuk kapal Hand Line Panjang (L) = 10 m, Lebar (B) = 2,60 m dan tinggi (D) = 1,40, dengan rasio ukuran utama yaitu: L/B = 3,85, L/D = 7,14 dan B/D = 1,86.

C. Teknik Pengoperasian Alat Tangkap

Pengoperasian pancing layangan diusahakan demikian rupa sehingga kedudukan mata pancing selalu berada dipermukaan atas perairan. Operasi penangkapan tergantung dari keadaan angin, kalau anginnya kurang kuat, kadang harus di dayung agar layang-layang tetap di udara. Berbeda dengan pancing-pancing lainnya, mata pan cing yang digunakan berupa suatu “gelangan” (kolongan, ring). Cara memberi umpan pada mata pancing tersebut ialah dengan menusukkan salah satu ujung tali kawat pada sisi umpan sampai menembus pada sisi lainnya, kemudian dibentuk suatu gelangan sebelum didikatkan pada tali pancing. Disamping menggunakan umpan dari ikan dapat juga digunakan umpan dari sarang laba-laba yang dililit-lilitkan pada mata pancing yang terbuat dari siratan bambu atau kayu yang dibuat demikian rupa sehingga menyerupai bulatan lonjong (Subani dan Barus, 1988). Lebih lanjut dikemukakan bahwa penangkapan dengan pancing dapat dilakukan baik pada siang maupun malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim.

Aspek Finansial

Aspek finansial menyangkut terutama perbandingan antara pengeluaran uang dengan revenue earning dari pada proyek. Apakah proyek itu akan terjamin dananya yang diperlukan, apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut dan apakah proyek itu akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansal dapat berdiri sendiri (Kadariah, Karlina dan Gray, 1978).

Analisa finansial ini penting artinya dalam memperhitungkan insentif bagi orang-orang yang turut serta dalam mensukseskan pelaksanaan proyek. Sebab, tidak ada gunanya untuk melaksanakan proyek yang menguntungkan dilihat dari sudut perekonomian sebagai keseluruhan, jika para petani yang menjalankan aktivitas produksi tidak bertambah baik keadaannya (Kadariah, Karlina dan Gray, 1978).

Menurut Kadariah, Karlina dan Gray (1978) bahwa efisiensi suatu usaha penangkapan dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengukur produktifitas usaha atau dengan Gross R/C. Ditambahkan oleh Soekartawi (1995) bahwa kriteria investasi yang umum digunakan dalam suatu analisa adalah analisis R/C yaitu singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Jika R/C = 1, maka proyek bersifat tidak untung dan tidak rugi hanya sekedar menutupi biaya saja. Jika R/C > 1, maka hasil yang diperoleh lebih besar dari biaya total sehingga proyek dapat dilaksanakan. Dan jika R/C < 1, maka hasil yang diperoleh lebih kecil daripada biaya total usaha, maka proyek tidak dapat dilaksanakan. Semakin tinggi R/C, maka semakin tinggi prioritas yang dapat diberikan pada proyek tersebut.

A. Biaya-biaya

Anas (1989) berpendapat bahwa biaya meliputi semua pengeluaran yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang, yang terdiri atas :

a. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai setiap kali operasi penangkapan. Biaya ini merupakan biaya operasional, yang mencakup biaya yang habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Biaya ini terdiri atas : biaya pembelian solar, rokok, ransum, restribusi, upah pekerja, dan biaya perawatan (perawatan kapal, mesin dan alat tangkap).

b. Biaya tetap adalah biaya yang digunakan untuk menutupi penyusutan dari pada barang-barang modal (kapal, mesin dan alat tangkap) dan biaya yang merupakan kewajiban berupa SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan), yang besarnya tidak bergantung pada jumlah trip yang dijalankan.

Biaya penyusutan merupakan perbandingan antara harga pembelian (Rp) dengan waktu daya guna (tahun) dari faktor produksi. Metode untuk

menghitung penyusutan adalah metode garis lurus (Mas’ud dan Mustafa, 1982 dalam Patalle, 1993).

B. Pendapatan

Menurut Soekartawi (1995) bahwa pendapatan merupakan hasil kali atau perkalian antara produksi yang dihasilkan atau yang diperoleh dengan harga jual dari produk. Setiap usaha diharapkan untuk memperoleh pendapatan yang setinggi-tingginya. Penerimaan yang tinggi mencerminkan suatu usaha memperoleh laba yang tinggi pula, sebaliknya bila penerimaan rendah bahkan negatif berarti suatu usaha menderita kerugian. Ditambahkan oleh Anas (1989) bahwa pendapatan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya.

Laba atau keuntungan perusahaan merupakan hasil usaha yang dapat dipergunakan sebagai sumber dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan (Riyanto, 1979 dalam Patalle, 1993).

C. Sistem Bagi Hasil

Sistem bagi hasil dapat dijumpai dimana-mana, baik pada masyarakat primitif maupun pada masyarakat modern sekalipun, yang terjadinya tidak dapat diterangkan secara pasti, namun sebagai hipotesa dapat diungkapkan bahwa terjadinya sistem bagi hasil karena asas saling membantu, kemalasan dan mungkin pula untuk menghemat biaya (Harianto, 1991).

Dalam usaha penangkapan ikan di laut, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat penangkapan karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi keterbatasan modal tersebut adalah dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik peralatan melalui ikatan tertentu yang tercermin dalam sistem bagi hasil. Dengan sistem ini akan tercipta saling ketergantungan antara golongan nelayan penggarap dengan majikan sebagai pemilik alat tangkap (Harianto, 1991).

Undang-undang bagi hasil perikanan Nomor 16 tahun 1964, Pasal 3, tentang perikanan laut, dimana jika suatu usaha parikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada fihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut:

a) Jika dipergunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih;

b) Jika dipergunakan kapal motor: minimum 40% (empat puluh perseratus) dari hasil bersih (Anonim, 2004).

Aspek Biologi

Menurut Effendie (1997) bahwa dalam pengukuran panjang ikan dapat dibedakan menjadi tiga cara yaitu :

1. Panjang total atau panjang mutlak yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ke ujung terakhir bagian ekor.

2. Fork length yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ke ujung terluar lekukan ekor.

3. Panjang standar atau panjang baku yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggung.

Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat bertahan hidup hingga berusia 7 tahun, dan umumnya mulai memijah pada saat berumur 2 tahun dengan panjang 90 cm. Tuna sirip kuning memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan tuna mata besar (Thunnus obesus), dimana panjangnya dapat mencapai 210 cm dan berat 176,4 Kg (Sumadhiharga, Sapulete dan Djamali,. 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa di perairan Philipina, tuna sirip kuning bisa mencapai panjang 52,5 cm dan 56,7 cm, sedangkan di perairan sekitar Khatulistiwa tuna sirip kuning bisa mencapai panjang 70 – 80 cm.

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) umumnya mencapai panjang 40 – 60 cm dan dapat mencapai panjang satu meter serta berat 550 – 800 gram (Anonim, 1979). Sedangkan Sunusi (2001) mengemukakan bahwa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang tertangkap dengan alat tangkap Pole and Line di Perairan Kendari Sulawesi Tenggara berukuran antara 30 – 60 cm.

Ikan tongkol (Euthynnus affinis) hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian Barat. Ikan tongkol dewasa melakukan pemijahan di perairan dekat pantai, dan ukurannya bisa mencapai panjang maksimum 1 meter (Nontji, 1993).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25 Juni sampai 28 Juli 2004, di kecamatan Banggae Kabupaten Majene.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah unit usaha Pancing Layangan. Terhadap obyek penelitian tersebut (unit Pancing Layangan dan hasil tangkapannya) dilakukan pengukuran langsung dengan menggunakan peralatan meteran dan timbangan.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dan wawancara. Pengumpulan data yang dilakukan adalah pengukuran dan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian, mengikuti operasi penangkapan dan melakukan wawancara dengan para pemilik/pengelola alat tangkap Pancing Layangan. Jumlah sampel yang dijadikan obyek penelitian adalah 10% atau 10 unit dari total 100 unit pancing layangan yang ada di daerah tersebut.

Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati yaitu aspek teknis, aspek finansial dan aspek biologi :

Aspek teknis

Aspek teknis meliputi :  Deskripsi alat tangkap

o Joran o Tali pancing o Mata pancing o Layang-layang

 Kapal Penangkap o Panjang kapal (L)

o Lebar kapal (B) o Tinggi kapal (D) o Mesin kapal

 Teknik pengoperasian alat tangkap  Daerah dan musim penangkapan  Hasil tangkapan

Aspek Finansial

Aspek finansial meliputi :  Biaya-biaya

o Biaya tetap o Biaya variabel

 Pendapatan/Keuntungan  Sistem bagi hasil

Aspek Biologi

Pengamatan aspek biologi hanya mengevaluasi ukuran masing-masing jenis ikan yang tertangkap dengan menggunakan Pancing Layangan.

Analisis Data

Aspek Teknis

Analisis teknis meliputi tehnik pengoperasian alat tangkap, produksi fisik (jumlah hasil tangkapan), deskripsi alat tangkap dan juga kesesuaian ukuran utama kapal untuk mengetahui rasio ukuran utamanya (L/B, L/D, dan B/D).

Aspek finansial

Aspek finansial yang digunakan adalah analisis R/C dan pendapatan usaha.

a. R/C R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995), sebagai berikut :

Total Penerimaan (R)

R/C =

Total Biaya (C)

Keterangan :  Total Penerimaan adalah total penerimaan dari tahun yang

bersangkutan (Rp,).  Total biaya adalah total biaya yang dikeluarkan pada tahun yang

bersangkutan (Rp,).

b. Analisis Keuntungan

Analisis keuntungan diperoleh dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995), sebagai berikut :

K = Pt – ( BT + BV )

Keterangan :  Pt = Total Penerimaan  BT = Biaya tetap  BV = Biaya Variabel

Aspek Biologi

Aspek biologi meliputi pengukuran panjang ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares ), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis ) yang tertangkap adalah dengan cara mengukur Fork Length sesuai dengan yang dikemukakan oleh Effendie (1997), yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ke ujung terluar lekukan ekor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Teknis

Unit usaha perikanan Pancing Layangan yang beroperasi di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene pada umumnya mengoperasikan 4 macam alat tangkap pancing yaitu Pancing Layangan, Pancing Ulur, Pancing Tonda dan Pancing Ulur Vertikal. Namun yang lebih menonjol dan menjadi ciri khas bagi masyarakat di daerah tersebut adalah Pancing Layangan sehingga masyarakat menamakan unit penangkapan tersebut dengan nama Pancing Layangan.

A. Deskripsi Alat Tangkap

a) Pancing Layangan

Berdasarkan konstruksinya, Pancing Layangan termasuk dalam klasifikasi Pole and Line . Satu set Pancing Layangan terdiri dari joran, tali pancing, layang- layang dan mata pancing. Pada mata pancing dipasang umpan tiruan.

Nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene menggunakan bahan alami dan sintetis untuk membuat satu set Pancing Layangan. Joran terbuat dari bambu dengan panjang 4 – 5 meter, diameter pangkal 4 cm dan diameter ujung 1 cm. Joran digunakan untuk memainkan tali pancing dan layangan sehingga mata pancing tetap berada diatas gerombolan ikan. Ujung joran dipasangi cincin sebagai tempat masuknya tali pancing, sehingga memungkinkan tali pancing dimainkan. Tali pancing terbuat dari tasi (monofilamen), nomor 300 - 600 dengan panjang total 300 meter. Panjang tali pancing antara joran dengan layangan yang umum dipakai adalah < 75 meter atau disesuaikan dengan jarak antara gerombolan ikan dengan kapal, sedangkan panjang tali pancing antara layangan

dengan mata pancing adalah 4 – 6 meter. Menurut Von Brandt (1964), Panjang tali layangan yang digunakan bisa mencapai 100 meter dan tali pancing yang di ikatkan pada ekor sekitar 75 meter, yang ujungnya di ikatkan mata pancing yang telah diberi umpan. Layangan terbuat dari plastik sehingga dapat digunakan berulang kali walaupun telah jatuh ke dalam air. Rangka layangan terbuat dari rotan sehingga lebih lentur dan dapat dilengkungkan bila layangan sulit dinaikkan. Ukuran layangan yang digunakan memiliki lebar berkisar antara 42 – 100 cm dan tinggi antara 40,5 – 85 cm, Hal ini disesuaikan dengan kondisi angin pada saat Pancing Layangan dioperasikan, dimana bila angin cukup kuat maka digunakan layangan yang berukuran kecil sedangkan bila angin lemah maka digunakan layangan yang berukuran besar. Menurut Von Brandt (1964), layang-layang yang digunakan terbuat dari kertas atau daun pandan yang dikeringkan, yang dijahit pada bingkai bambu. layang-layang seperti itu dapat dibuat dalam ukuran yang cukup besar, panjang bisa mencapai 100 cm dan lebarnya 50 cm. Mata pancing yang digunakan adalah mata pancing nomor 3 – 5 dan dalam satu unit Pancing Layangan digunakan 2 atau 3 mata pancing yang diikat menjadi satu. Pada pangkal mata pancing dipasang umpan tiruan yang terbuat dari karet berbentuk cumi-cumi untuk menarik perhatian ikan (Gambar 2). Konstruksi Pancing Layangan yang digunakan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Konstruksi Pancing Layangan

Keterangan :

a. Joran

b. Tali Pancing (Joran – Layangan)

c. Layangan

d. Tali Pancing (Layangan – Mata Pancing)

e. Mata Pancing dan Umpan Tiruan

f. Gulungan Tasi

g. Cincin Baja

Gambar 2. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Layangan.

b) Pancing Ulur

Satu unit Pancing Ulur yang dioperasikan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, terdiri atas tali utama yang terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 200 – 400, dengan panjang 300 meter. Pemberat 1 (satu) buah, dari bahan timah dengan berat 0,5 Kg. Pemberat dipasang pada tali utama dengan jarak ± 20 cm diatas mata pancing. Mata pancing yang digunakan 1 (satu) buah, nomor 5 – 7. Mata pancing dipasang pada bagian ujung tali utama. Pangkal mata pancing dipasang umpan berupa sobekan kain yang berwarna-warni untuk menarik perhatian ikan (Gambar 3). Swivel dipasang pada tali utama, yaitu ± 10 cm diatas dan ± 10 dibawah pemberat, agar mata pancing dan pemberat mudah dilepaskan

Gambar 3. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Ulur.

c) Pancing Tonda

Satu unit Pancing Tonda yang dioperasikan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, terdiri atas bagian-bagian yaitu : tali utama, tali cabang, mata pancing, umpan dan swivel. Tali utama terdiri atas 3 (tiga) bagian

yaitu bagian paling atas terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 200 atau 300, dengan panjang 100 meter. Tasi tersebut kemudian disambung dengan kawat nomor 1,5, dengan panjang 30 meter, yang berfungsi sebagai pemberat. Bagian paling bawah terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 50, dengan panjang 50 meter. Antara tali utama bagian tengah (kawat) dengan tali utama bagian atas dan tali utama bagian bawah masing-masing dipasangi swivel. Tali cabang terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 40, dengan panjang ± 20 cm. Mata pancing yang digunakan adalah mata pancing nomor 9 atau 10 , dengan jumlah mata pancing untuk tiap unit adalah 7 – 15 mata pancing. Jarak antara satu mata pancing dengan mata pancing lainnya ± 3 meter. Mata pancing dipasangi umpan berupa sobekan kain yang berwarna warni untuk menarik perhatian ikan (Gambar 4).

Gambar 4. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Tonda.

d) Pancing Ulur Vertikal

Satu unit Pancing Ulur Vertikal yang dioperasikan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, terdiri atas bagian-bagian yaitu : tali utama, tali cabang, pemberat, mata pancing dan umpan. Tali utama terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 50, dengan panjang 100 meter. Tali cabang terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 40, dengan panjang masing-masing

3 – 5 cm. Pemberat yang digunakan adalah 1 (satu) buah yang terbuat dari bahan timah, dengan berat 0,5 Kg dan dipasang pada bagian ujung paling bawah dari tali utama. Mata pancing yang digunakan adalah mata pancing nomor 17 –

20. untuk satu unit Pancing Ulur Vertikal digunakan 50 – 100 mata pancing. Mata pancing dipasangi umpan berupa karet pentil dengan panjang ± 3 cm untuk menarik perhatian ikan (Gambar 5).

Gambar 5. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Ulur Vertikal.

B. Kapal Penangkap

Kapal penangkap yang digunakan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene untuk mengoperasikan alat tangkap Pancing Layangan, mempunyai ukuran panjang (L) berkisar 10 – 13 meter, lebar (B) berkisar 1,4 – 1,9 meter dan tinggi (D) berkisar 1,2 - 1,3 meter, dengan kapasitas muat berkisar 3,26 – 6,23 ton (Gambar 6).

Gambar 6. Kapal yang Digunakan Untuk Mengoperasikan Alat Tangkap Pancing Layangan.

Berdasarkan ukuran kapal yang diperoleh diketahui bahwa kapal yang digunakan oleh nelayan setempat tergolong dalam jenis kapal kecil. Hal ini sesuai dengan klasifikasi menurut Ayodhyoa (1972), bahwa untuk kapal ikan kecil, L berkisar antara 6 – 15 meter, B antara 1,45 – 3,30 meter dan D antara 0,55 – 1,40 meter, sedangkan untuk kapal Hand Line, Panjang (L) = 10 m, Lebar (B) = 2,60 m dan tinggi (D) = 1,40, dengan rasio perbandingan ukuran utama yaitu: L/B = 3,85, L/D = 7,14 dan B/D = 1,86. Ukuran utama dan kapasitas muat kapal yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Ukuran Utama, Perbandingan Ukuran Utama dan Kapasitas Muat Kapal yang Digunakan pada Operasi Penangkapan Ikan dengan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene.

Kps. Panjang Lebar

Jenis Kapal

Tinggi

B/D Muat (L) (m) (B) (m) (D) (m)

L/B

L/D

Kayu (ton)

1,38 Palapi 5,59 J

Kapal yang digunakan oleh nelayan setempat umumnya terbuat dari kayu Palapi (Heritiera sp). Untuk menggerakkan kapal, pada umumnya nelayan menggunakan mesin yang berkekuatan 23 – 24 HP dengan bahan bakar solar (Gambar 7).

Gambar 7. Mesin Utama untuk Menggerakkan Kapal.

Pengoperasian alat tangkap Pancing Layangan diperlukan kapal yang mempunyai kecepatan yang tinggi karena sifatnya mengejar gerombolan ikan, untuk itu disain bentuk kapal yang digunakan haruslah ramping dan menggunakan mesin yang berkekuatan besar.

Berdasarkan ketentuan rasio ukuran utama kapal Hand Line (Ayodhyoa, 1972), dapat diketahui sampel mana yang memenuhi ketentuan ukuran kapal. Untuk nilai L/B, tidak ada sampel yang memenuhi karena nilainya melebihi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line. Mulyanto dan Zyaki (1990) menyatakan bahwa untuk nilai L/B yang besar akan menambah kecepatan kapal, menambah harga perbandingan ruangan kapal yang lebih baik, tapi akan mengurangi kemampuan olah gerak kapal dan mengurangi stabilitas kapal, sedangkan bila nilai L/B lebih kecil maka akan menambah kemampuan stabilitas kapal yang lebih baik dan akan menambah kekuatan memanjang kapal. Ditambahkan oleh Ayodhyoa (1972) bahwa bila nilai L/B lebih kecil dari ketentuan tersebut maka akan berpengaruh buruk terhadap kecepatan kapal.

Berdasarkan nilai L/D yang diperoleh, tidak ada kapal sampel yang memenuhi ketentuan karena nilainya melebihi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line , sehingga kekuatan memanjang kapal kurang bagus. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyanto dan Zyaki (1990) bahwa nilai L/D yang besar dapat mengurangi kekuatan memanjang kapal dan bila diperkecil akan menambah kekuatan memanjang kapal.

Nilai B/D kapal sampel tidak ada yang memenuhi karena lebih kecil dari ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line, sehingga berdampak buruk terhadap stabilitas kapal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulyanto dan Zyaki

(1990) bahwa nilai B/D yang besar akan berdampak positif terhadap stabilitas kapal akan tetapi daya dorong kapal akan memburuk, sedangkan bila nilai B/D kecil maka akan berdampak buruk terhadap stabilitas kapal.

Baik nilai L/B, L/D maupun B/D, tidak ada satupun kapal sampel yang memenuhi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line, hal ini disebabkan karena Lebar kapal (B) terlalu kecil sehingga stabilitas kapal kurang baik namun daya dorong kapal cukup baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa Nilai B (lebar), berhubungan dengan stabilitas dan daya dorong kapal. Meskipun demikian, pada kenyataannya kondisi dilapangan berbeda dengan hasil analisis, hal ini karena nelayan di daerah tersebut membuat kapal Pancing Layangan secara tradisional berdasarkan pengalaman nelayan secara turun temurun yang lebih mengutamakan kecepatan kapal, sesuai dengan prinsip penangkapan Pancing Layangan yang sifatnya mengejar gerombolan ikan (hunting), kurang memperhatikan ketentuan ukuran utama kapal ikan, sehingga banyak kejadian kapal Pancing Layangan yang tenggelam saat beroperasi karena terkena ombak yang besar, oleh karena itu sebaiknya semua kapal sampel menambah ukuran lebar kapal (B), sehingga stabilitas kapal menjadi lebih baik. Dampak negatif dari penambahan lebar kapal (B) ini yaitu berkurangnya daya dorong/kecepatan kapal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka sebaiknya bersamaan dengan penambahan ukuran lebar kapal (B), tenaga mesin penggerak (HP) kapal juga ditambah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa dampak negatif dari penambahan nilai lebar kapal (B) adalah propulsive ability akan memburuk sehingga sukar mendapatkan speed yang cukup. Untuk mengatasi hal ini antara lain bisa dilakukan dengan jalan memperbesar HP yang berakibat fuel consumption juga akan membesar.

C. Metode Pengoperasian

Operasi penangkapan ikan dengan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, biasanya dilakukan 3 – 4 hari dalam 1 trip, dan dalam satu bulan ± 4 trip. Umumnya nelayan meninggalkan fishing base antara pukul 05.00 – 07.00 dan kembali sekitar pukul 15.00 – 17.00. Sebelum meninggalkan fishing base menuju fishing ground, nelayan melakukan beberapa persiapan, antara lain :

1. Persiapan bahan bakar dan es.

2. Persiapan konsumsi, meliputi beras, air minum, rempah-rempah dan rokok.

3. Persiapan alat tangkap, kapal dan mesin. Nelayan meninggalkan fishing base menuju ke fishing ground setelah semua persiapan di darat telah selesai. Daerah yang menjadi fishing ground nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene ada dua yaitu daerah Ujung Lero (Kabupaten Pinrang) dan daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju) Operasi penangkapan dengan Pancing Layangan bersifat hunting atau mengejar gerombolan ikan.

Satu unit kapal penangkap terdiri dari 4 – 5 orang, dimana 1 orang sebagai ponggawa (nakhoda) sedangkan yang lainnya adalah sawi. Satu unit Pancing Layangan dioperasikan oleh satu orang, dan umumnya dalam satu unit kapal penangkap hanya dioperasikan maksimal 2 unit Pancing Layangan, yaitu 1 orang di bagian lambung kapal dan 1 orang lagi di buritan kapal.

Nakhoda dan ABK bersama-sama mencari gerombolan ikan di daerah fishing ground . Bersamaan dengan pencarian gerombolan ikan tersebut, ABK yang bertugas mengoperasikan alat tangkap Pancing Layangan mempersiapkan alat tangkapnya Nakhoda dan ABK bersama-sama mencari gerombolan ikan di daerah fishing ground . Bersamaan dengan pencarian gerombolan ikan tersebut, ABK yang bertugas mengoperasikan alat tangkap Pancing Layangan mempersiapkan alat tangkapnya

Gambar 8. Persiapan Alat Tangkap Pancing Layangan.

Bilamana gerombolan ikan ditemukan, nakhoda akan mendekati gerombolan ikan tersebut dan mencari posisi yang tepat agar pemancing dapat mengoperasikan Pancing Layangannya. Setelah posisinya memungkinkan, maka pemancing segera menaikkan layangannya, kemudian tali pancing diulur hingga mata pancing tepat berada di gerombolan ikan yang akan ditangkap (Gambar 9).

Gambar 9.

Pemancing Menaikkan Layangan.

Posisi kapal diusahakan selalu melawan arah angin atau menyamping dari arah angin, sehingga layangan mudah dinaikkan (Gambar 10). Selama proses penangkapan, kapal bergerak terus mengikuti arah renang ikan dan jika ikan merubah arah renangnya maka pemancing akan memberi isyarat kepada nakhoda untuk merubah haluan kapal mengikuti arah renang ikan dengan posisi tetap melawan atau menyamping arah angin.

Gambar 10. Posisi Kapal, Layangan, Gerombolan Ikan dan Arah

Angin Pada Saat Pengoperasian Pancing Layangan

Bila umpan termakan oleh ikan, maka layangan akan tertarik dan jatuh ke air (Gambar 11), kemudian pemancing akan menarik tali pancing secara perlahan-lahan, sambil kapal tetap melaju namun kecepatannya dikurangi. Perlahan-lahan tali pancing ditarik hingga mencapai kapal, kemudian ikan yang tertangkap dilepaskan dari mata pancing (Gambar 12) dan alat tangkap dipersiapkan untuk dioperasikan kembali. Untuk lebih jelasnya, metode penangkapan dengan Pancing Layangan secara keseluruhan dapat dilihat dalam diagram alir pada Gambar 13.

Gambar 11. Layangan Terjatuh ke dalam Air Setelah Pancing

Termakan oleh Ikan.

Gambar 12. Ikan yang Tertangkap Dilepaskan Dari Mata Pancing.

Persiapan

(Alat tangkap, Kapal, Mesin, BBM, Es dan Konsumsi)

Berangkat dari Fishing base

Tiba di fishing ground

Pancing

Tanda-tanda alam dipersiapkan

Pencarian gerombolan ikan

(nakhoda dan ABK)

Gerombolan ikan di dekati

Pemancing bersiap-siap

pada posisinya

Posisi kapal

Layangan dinaikkan

menyamping/ melawan arah angin

Layangan tertarik

Umpan termakan oleh ikan

jatuh ke air

Tali pancing ditarik

Kecepatan kapal dikurangi

Ikan pada mata pancing dilepaskan

Pancing siap dioperasikan kembali

Gambar 13. Diagram Alir Metode Penangkapan Pancing Layangan.

Pengoperasian pancing dengan menggunakan layangan sebagai alat bantu dimaksudkan agar posisi mata pancing dan umpan selalu berada di permukaan air dan selalu bergerak-gerak untuk menarik perhatian ikan. Layangan yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan mempunyai ukuran yang beragam mulai dari yang terkecil sampai yang paling besar. Bila angin bertiup cukup kencang maka nelayan akan menggunakan layangan yang berukuran kecil, sedangkan bila kondisi angin lemah , maka nelayan menggunakan layangan yang berukuran besar. Bila nelayan mengami kesulitan untuk menaikkan layangan atau mata pancing sesalu terangkat di atas permukaan air, nelayan biasanya mengulur tali pancing untuk mengurangi tekanan angin pada layangan hingga lanyangan dan mata pancing tetap berada pada posisi yang tepat. Usaha yang lain untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memperpanjang jarak tali pancing antara layangan dengan mata pancing atau layangan diturunkan kemudian layangan dibuat lebih melengkung.

Bersamaan dengan pengoperasian Pancing Layangan, nelayan juga mengoperasikan Pancing Tonda, pengoperasiannya dilakukan dengan cara diseret pada saat kapal berjalan. Pancing tonda tersebut di operasikan pada buritan kapal. Untuk Pancing Ulur dan Pancing Ulur Vertikal, pemancingan dilakukan dengan menggunakan sampan kecil yang telah disiapkan, sedangkan kapal penangkap ditambatkan di rumpon. Tiap sampan terdiri dari satu orang pemancing dan akan mengoperasikan alat tangkap di sekitar rumpon tersebut.

D. Daerah dan Musim Penangkapan

Daerah penangkapan ikan untuk alat tangkap Pancing Layangan di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene ada dua tempat yaitu daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang (Lampiran 1) dan daerah Pulau Ambo Kabupaten Mamuju (Lampiran 2). Koordinat daerah penangkapan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3.

Ciri-ciri daerah penangkapan yang dijadikan sebagai tanda adanya gerombolan ikan yaitu adanya tanda-tanda alam seperti adanya gerombolan ikan lumba-lumba, adanya riak atau percikan air dipermukaan laut, kayu yang terapung, burung laut yang terbang dan menukik ke permukaan laut dan ikan-ikan yang berlompatan menyambar mangsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ayodhyoa (1981) bahwa petunjuk untuk mengetahui adanya gerombolan ikan adalah adanya burung-burung yang menukik menyambar ke permukaan laut, ikan yang melompat di atas permukaan atau ikut beruaya bersama kayu-kayu yang hanyut, adanya ikan paus atau ikan hiu dan lain sebagainya.

Pengoperasian alat tangkap Pancing Layangan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan kondisi oseanografi perairan dimana alat tangkap tersebut di operasikan. Walaupun pada perairan tersebut cukup banyak ikan, tetapi karena kondisi cuaca dan oseanografi yang tidak memungkinkan untuk melakukan operasi penangkapan maka hal itu tidak akan dilakukan mengingat resiko keselamatan jiwa nelayan. Oleh karena itu nelayan mempunyai dua daerah penangkapan yang berbeda yaitu daerah Ujung Lero dan daerah Pulau Ambo. Pada musim barat, nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene umumnya melakukan operasi penangkapan di daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju) karena pada musim barat, perairan di daerah tersebut cukup teduh dan aman untuk melakukan operasi penangkapan. Disamping itu Pengoperasian alat tangkap Pancing Layangan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan kondisi oseanografi perairan dimana alat tangkap tersebut di operasikan. Walaupun pada perairan tersebut cukup banyak ikan, tetapi karena kondisi cuaca dan oseanografi yang tidak memungkinkan untuk melakukan operasi penangkapan maka hal itu tidak akan dilakukan mengingat resiko keselamatan jiwa nelayan. Oleh karena itu nelayan mempunyai dua daerah penangkapan yang berbeda yaitu daerah Ujung Lero dan daerah Pulau Ambo. Pada musim barat, nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene umumnya melakukan operasi penangkapan di daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju) karena pada musim barat, perairan di daerah tersebut cukup teduh dan aman untuk melakukan operasi penangkapan. Disamping itu

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65