BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Amandemen konstitusi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum

  1

  legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun lokal. Kebijakan desentralisasi menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk memilih kepala daerah secara langsung.

  Dari sudut pandang good governance, dorongan untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi, yaitu pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya agar menjadi lebih baik, akan berpengaruh positif dalam konteks peningkatan kinerja pemerintahan serta konsolidasi demokrasi berjalan lebih baik. Harapan itu dihasilkan dari pemikiran bahwa desentralisasi membawa proses pembuatan kebijakan publik menjadi lebih dekat dengan masyarakat yang paling bawah dan dalam cakupan wilayah yang lebih kecil, sehingga kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi menjadi semakin meningkat. Partisipasi masyarakat tersebut akan menumbuhkan praktek demokrasi di tingkat lokal lokal dan sekaligus meningkatkan efisiensi pemerintahan, antara lain dengan hilangnya berbagai kendala dalam pengambilan keputusan pelaksanaan kebijakan. Terakomodasinya berbagai kepentingan

  1 Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung;

UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan dan kebutuhan masyarakat akan meningkatkan derajat penerimaan atas keputusan yang

  2 dibuat pemerintah.

  Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif tersebut, terdapat beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya kesetaraan politik

  3

  (political equality) dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi sebagian permasalahan mendasar yang dihadapi banyak negara berkembang dalam menerapkan desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang

  4 tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang lebih baik.

  Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di Asia Tenggara. Hampir menjadi keniscayaan bahwa tidak adanya korelasi antara desentralisasi, demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang- orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan umum, perpajakan, dan lain sebagainya.

  2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan

Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu Administrasi

3 FISIP UI. hal. 1 dan 13.

  

Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack

4 Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.

  

Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and

  Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam studi relasi

  5

  negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal pada dekade 1980-an, yaitu sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien (klientelisme), antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga utama dukungan terhadap kekuasaan mereka. Hanya penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan jauh lebih

  6 menonjol dalam menggambarkan hubungan antara orang kuat lokal dan pendukungnya.

  Temuan Sidel di Indonesia juga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada

  7

  individu tertentu yang kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism). Mereka memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat birokrasi pemerintah lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan- keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan

  8 kepentingan para mafia lokal tersebut.

  Selain itu, di daerah-daerah lain juga muncul mafia dan jaringan lokal di bawah kepemimpinan bangsawan lokal dan para wakil pemuka agama serta etnis yang berperan penting dalam mobilisasi kekerasan pada setiap konflik komunal di seluruh nusantara. Sebagai contoh adalah, peran ulama atau kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa 5 Timur dan pesisir utara Jawa dalam menggalang suara pemilih untuk partai dan calon

  

Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in

6 the Third World. New Jersey: Princenton University Press.

  

Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and

Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di

Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.).

7 Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.

  

Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis

abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78. tertentu pada Pemilu 1999 yang sudah berlangsung sejak Pemilu 1955; perseteruan antara mafia politisi, pengusaha, pegawai negeri sipil dan preman Kristen dan Muslim menjadi pemicu konflik kekerasan agama di Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku Utara; kehadiran organisasi-organisasi baru yang mengaku perwakilan etnis Dayak menjadi pialang dalam pemilu dan pembersihan etnis Madura pendatang di Provinsi

9 Kalimantan Tengah ; pengaruh Jawara dalam wilayah politik dan bisnis di Provinsi

  Banten juga menjelaskan fenomena munculnya bosisme dalam penguasaan politik di

  10 tingkat lokal.

  Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan

  11

  mekanisme demokrasi yang ditetapkan. Situasi itu telah membawa para aktor lokal ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah ketika otonomi daerah

  12 diberlakukan.

  Di Sumatera Utara, aktor lokal memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi yang relatif baru diterapkan. Para aktor lokal yang kuat itu berasal dari anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi keamanan yang berkedok bisnis, dan lain sebagainya. Dalam aktivitasnya, organisasi kemasyarakatan itu merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu. 9 10 Ibid. hal. 98.

  

Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi.

Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

11 Universitas Indonesia. Depok.

  

Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik

12 Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  

Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik

  13 Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering disebut sebagai preman karena

  tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan” lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang.

  Sejak masa pemerintah kolonial menguasai perkebunan, tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi para preman di Sumatera Utara untuk mempengaruhi kekuatan

  14

  politik di daerah ini. Pada tahun 1965 misalnya, banyak para preman yang digunakan oleh militer untuk membasmi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Utara. Mereka kemudian dikumpulkan oleh pemerintah Orde Baru ke dalam organisasi paramiliter yang fungsinya melakukan operasi di masyarakat untuk sebuah keputusan politik demi memperlancar kepentingan kelompok Orde Baru. Selain itu, mereka juga diorganisir untuk melancarkan kepentingan bisnis semacam penyedia jasa keamanan di Sumatera Utara pada masa Orde Baru hingga saat ini.

  Demi menjaga stabilitas politik yang mampu menunjang pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat, tidak terkecuali organisasi pemuda dan penyedia jasa kemanan di Sumatera Utara. Mereka sering melakukan tindakan kekerasan di lingkungan masyarakat yang tidak sejalan dengan mereka seperti menebar teror dan intimidasi kepada aparat pemerintah sipil jika keinginannya tidak dipenuhi. Namun, pada saat yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk 13 melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini.

  

Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan

kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki

yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki bebas yang tidak

dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman mengalami perubahan.

Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan

tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena

pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan

tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakan-

tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.

Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta:

Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah.

14 hal. 40-41.

  

Lihat juga Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-

  Salah satu organisasi yang hingga saat ini bertahan dan banyak memberikan pengaruh dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara dengan perlakuan seperti yang dijelaskan di atas adalah Pemuda Pancasila (PP). Pemerintah di daerah Sumatera Utara harus mengakomodir dan mengembangkan Pemuda Pancasila untuk mendukung kebijakan pemerintah Orde Baru. Orang-orang yang tergabung dalam Pemuda Pancasila diberikan kemudahan untuk menduduki jabatan politik seperti pengurus inti Golkar, anggota legislatif, dan diangkat menjadi pejabat birokrasi agar lebih mudah mendapatkan dana proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara).

  Tindakan itu dilakukan agar pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan politik dari masyarakat di daerah demi memperlancar kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah pusat. Sejak Orde Lama, Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu wilayah tempat bersemainya kelompok organisasi masyarakat yang berpotensi melakukan gerakan perlawanan kepada pemerintah pusat disebabkan tidak terakomodasinya kepentingan politik dan ekonomi para tokoh lokal di provinsi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru menjadikan Sumatera Utara sebagai wilayah yang mendapat perhatian khusus dengan cara memberikan peran kepada aktor lokal dalam memperoleh akses kekuasaan dan sumber daya yang disediakan. Tapi kemudian saat reformasi bergulir, para aktor lokal kembali menguasai panggung politik dan memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara.

1.2. Pokok Masalah

  Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Provinsi Sumatera Utara sangat memungkinkan akumulasi kekuasaan berada pada para aktor dan kelompok tertentu di tingkat lokal. Meskipun peraturan tentang pelaksanaan otonomi daerah telah menjamin setiap warga memiliki kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya sehingga diharapkan konsolidasi demokrasi dapat berjalan dan pemerintahan terselenggara secara efektif, namun dalam praktiknya di Sumatera Utara, muncul mafia dan jaringan lokal yang salah satunya berada di bawah kepemimpinan organisasi pemuda dan penyedia jasa keamanan. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai pengusaha, politisi dan selalu mengambil peran dalam memobilisasi dukungan pada setiap kegiatan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

  Ryter dan Lindsey adalah pengamat yang menulis tentang aktivitas kriminal yang dilakukan organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku preman masuk ke wilayah politik formal. Salah satu penyebab terjadinya perilaku tersebut adalah hubungan yang erat antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru. Tindakan kekerasan dan politik uang sering sekali mereka lakukan untuk mendapatkan posisi penting di berbagai partai politik dan lembaga parlemen, bukan hanya mengandalkan kekuatan fisik untuk selalu memobilisasi massa dan melakukan tindakan kekerasan kepada pihak lain yang dianggap berlawanan. Namun, kelebihannya adalah mereka selalu terlepas dari sangsi hukum karena mereka memberikan dukungan kepada jaringan politik yang ada. Dalam analisis Ryter dan Lindsey, tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi tindakan kekerasan di Sumatera Utara dalam mempengaruhi

  15 kekuatan politik di wilayah itu.

  Masuknya kelompok kekerasan di partai politik dan legislatif Provinsi Sumatera Utara bermula ketika ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) khususnya Angkatan Darat membutuhkan kekuatan preman untuk melawan pengaruh komunisme yang disebarkan PKI. Saat itu kekuatan fisik yang dimiliki preman sangat dibutuhkan Angkatan Darat untuk berhadapan dengan massa pengikut PKI. Ketika PKI memperluas jaringan kekuatannya dengan mendirikan organisasi Pemuda Rakyat, tidak lama

  16

  kemudian organisasi Pemuda Pancasila didirikan pada 28 Oktober l959. Di Sumatera Utara, kebanyakan pengurus dan anggota Pemuda Pancasila direkrut dari anak-anak jalanan yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan telah membantu TNI-AD untuk menghambat pengaruh komunis yang disebarluaskan PKI.

  Pada awal Orde Baru, Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi bagian organisasi pendukung pemerintah di daerah. Pengurus dan kader Pemuda Pancasila 15 Sumatera Utara diberi keleluasaan untuk membentuk organisasi sayap dari berbagai

  

Lihat tulisan Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New

Order?” Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-

September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml; T. Lindsey. 2002. “The Criminal State:

Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of

16 History. Singapore: ISEAS.

  

Tokoh-tokoh penting pendiri Pemuda Pancasila adalah Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto,

Kolonel Aziz Saleh. Organisasi Pemuda Pancasila menjadi sayap politik dari petinggi militer yang masih

aktif dalam kedinasan. Mereka tidak dapat langsung masuk ke kancah politik, karena memang undang-

undang melarang militer aktif melakukan kegiatan politik praktis. Pemuda Pancasila dibentuk oleh

organisasi IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang didukung kalangan Angkatan Darat kelompok masyarakat seperti kelompok petani, buruh, nelayan, perempuan hingga ke lingkungan kampus. Begitu pula di lingkungan birokrasi, ketika rekrutmen dan pemilihan pejabat birokrasi di Sumatera Utara, Pemuda Pancasila dapat mempengaruhi keputusan kepala daerah. Peran penting Pemuda Pancasila ketika itu adalah menjadi salah satu organisasi yang memberikan dukungannya kepada Golkar.

  Dukungan kader Pemuda Pancasila Sumatera Utara terhadap kebijakan politik Orde Baru yang semakin terinstisionalisasi tersebut, ’dibayar’ dengan terpilihnya para preman pada posisi strategis dalam kepengurusan Golkar dan menjadi anggota DPRD.

  Selama Orde Baru, bersama-sama dengan aparat keamanan, kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara berperan sebagai operator politik antara lain melakukan ancaman dan intimidasi kepada kelompok masyarakat lain yang berbeda kepentingannya. Para pimpinan organisasi pemuda tersebut, hanya melaksanakan tugas untuk mengamankan kebijakan pemerintah Orde Baru, contohnya seperti menjaga keamanan pada saat pemilu agar Golkar mengungguli Partai Persatuan Pembangunan

  17 (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam meraih suara terbanyak.

  Pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh Pemuda Pancasila itu menemukan kesempatan baru untuk ’naik kelas’ dari pelaksana menjadi pengambil keputusan atau penentu di daerah. Segenap cara dilakukan para tokohnya seperti memperbanyak kekayaan dan merebut kekuasaan untuk menaikkan status sosial. Bahkan setelah reformasi bergulir pada tahun 1999, dapat dikatakan peran Pemuda Pancasila di Sumatera Utara mengalami perluasan sekaligus pendalaman. Mereka relatif berhasil melakukan adaptasi dengan berbagai dinamika demokrasi yang terjadi di tingkat lokal seperti berperan aktif dalam pemilu hingga penyelenggaraan pilkada langsung.

  Sebagian kader dan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara tampil sebagai pemimpin partai politik dan menjadi anggota legislatif tanpa harus mendapatkan persetujuan dari elit di pusat. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil terpilih menjadi bupati dan walikota di Provinsi Sumatera Utara. Para kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara juga menjadi salah satu penentu kebijakan pada institusi masyarakat lainnya seperti menjadi pengelola di berbagai media cetak lokal, pengurus

17 Nina Karina. 2008. “Dinamika Sosial Politik Organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara”. Thesis.

  18

  asosiasi pengusaha daerah, dan jabatan strategis lainnya. Peluang dan kesempatan baru seperti itu, sangat jarang didapat oleh para tokoh lokal pada masa Orde Baru.

  Para kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, yang sering disebut ’preman’, tidak hanya mengandalkan ancaman dan intimidasi untuk melakukan kekerasan serta uang yang dimiliki. Di antara mereka juga menguasai partai politik, legislatif, birokrasi, lembaga bisnis, dan media cetak lokal untuk memenuhi kepentingannya. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan ancaman dan intimidasi untuk melakukan kekerasan. Peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh Pemuda Pancasila itu, relatif lebih memudahkan mereka mendapatkan akses terhadap

  

local government resources untuk memaksimalkan pengaruhnya pada lembaga-lembaga

  politik lokal. Meskipun dalam proses merebut sumber daya yang sifatnya terbatas itu, perselisihan di antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila juga sering terjadi.

  Asumsi awal tentang peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh Pemuda Pancasila seperti yang dijelaskan di atas, pada praktiknya akan dilihat dan dianalisis saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Terpilihnya

  19

  20

  pasangan Syamsul Arifin -Gatot Pudjonugroho sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013, tidak terlepas dari peran Pemuda Pancasila.

  18 Beberapa kajian akademis menunjukkan bahwa pasca Orde Baru, Pemuda Pancasila merupakan salah

satu organisasi yang sangat berpengaruh di Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang

ditulis Vedi R. Hadiz mengidentifikasi peran sentral para preman yang tergabung dalam organisasi

pemuda seperti Pemuda Pancasila atas kemenangan pasangan calon Walikota Medan Abdillah dan Ramli

dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan pada tahun 2000. Hadiz menunjukkan

kemampuan kader Pemuda Pancasila dalam menggunakan potensi kekerasan yang mereka miliki untuk

19 mengembangkan kekuasaan mereka. Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Ibid.

  

Syamsul Arifin adalah mantan Bupati Langkat dua periode, tokoh pemuda (mantan Ketua FKPPI dan

Ketua KNPI Provinsi Sumatera Utara), dekat dengan elit militer Orde Baru, dan memiliki usaha

penjualan minyak di wilayah Langkat. Syamsul Arifin memulai karirnya sebagai aktivis organisasi

pemuda di Sumatera Utara. Bergabung dengan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tahun 1970-an,

sempat menjadi pengurus FKPPI di Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat serta menjadi orang pertama

yang pernah menduduki jabatan bupati dari unsur pemuda pada usia 45 tahun. Saat ini menjadi tahanan

KPK dalam kasus korupsi APBD 2000-2007 senilai kurang lebih Rp 99 milyar ketika menjabat sebagai

20 Bupati Langkat.

  

Gatot Pudjonugroho adalah kader Partai Keadilan Sejahtera di Provinsi Sumatera Utara. Sebelum

menjadi aktivis partai, dia aktif sebagai pengajar di Politeknik Negeri Medan. Di kalangan organisasi

  Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila Sumatera Utara kepada Syamsul Arifin dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara diantaranya adalah memberi tugas kepada kader yang menduduki jabatan sebagai pengurus inti atau ketua partai politik agar berupaya mengusulkan Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013; membantu pembentukan tim sukses seperti diangkatnya kader Pemuda

21 Pancasila, Darwin Nasution, sebagai ketua tim pemenangan Syamsul Arifin dalam

  pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008; menginstruksikan kepada kader, anggota dan simpatisan Pemuda Pancasila di semua jajarannya untuk bekerja memenangkan Syamsul Arifin dalam pemilihan Gubernur tersebut; mempengaruhi anggota Pemuda Pancasila yang menjadi pejabat di birokrasi pemerintah daerah, anggota legislatif, para pengusaha lokal dan pengelola media cetak lokal untuk membantu memenangkan calon gubernur yang didukung; mengerahkan anggota Pemuda Pancasila untuk menjaga perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) tertentu di mana basis Pemuda Pancasila cukup kuat. Selain itu, Pemuda Pancasila juga membantu sebagian dana untuk kegiatan pemenangan yang dibutuhkan Syamsul Arifin.

  Penelitian ini ingin membuktikan adanya peran kader dan tokoh Pemuda Pancasila Provinsi Sumatera Utara dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang diselenggarakan tahun 2008. Peran yang dimaksud adalah selain mengandalkan kemampuan melakukan intimidasi dengan ancaman kekerasan fisik serta mengandalkan uang yang dimilikinya, tokoh Pemuda Pancasila juga menggunakan pengaruhnya terhadap jaringan politik yang mereka miliki untuk bekerja memenangkan calon yang didukung dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Untuk menguji asumsi tentang adanya peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 tersebut, maka penelitian ini akan menjawab sejumlah pertanyaan berikut:

  1. Seperti apakah bentuk intimidasi yang dilakukan Pemuda Pancasila dalam mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan calon 21 Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008?

  

Darwin Nasution, saat proses pemilihan Gubernur Sumut berlangsung, selain menjabat sebagai Ketua

MPW Partai Patriot Pancasila Sumatera Utara juga sebagai Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Sumatera

Utara. Darwin ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan Syampurno dalam pemilihan Gubernur Sumatera

Utara tahun 2008. Setelah pelantikan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode

  2. Bagaimana pola mobilisasi kader dan tokoh Pemuda Pancasila yang menjadi pimpinan partai politik dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam mendukung calon gubernur dan wakil gubernur yang ingin dimenangkan?

  3. Bagaimana model relasi yang dibangun antara pimpinan Pemuda Pancasila Sumatera Utara dengan pejabat birokrasi, pengusaha, dan pengelola media massa lokal di Sumatera Utara saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008?

1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk:

  1. Menjelaskan alasan-alasan yang dijadikan landasan anggota Pemuda Pancasila untuk mengintimidasi para pemilih agar memilih Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

  2. Menjelaskan model mobilisasi yang dilakukan oleh pimpinan MPW Pancasila Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara. Mobilisasi tersebut berkaitan dengan cara Pemuda Pancasila Sumatera Utara memberikan perintah kepada anggotanya yang menjadi pimpinan partai politik dan anggota legislatif untuk mempengaruhi pihak lain agar memenangkan kandidat gubernur yang didukung dalam setiap tahapan pemilihan gubernur. Oleh karena itu, dengan mengetahui model mobilisasi tersebut akan terlihat jelas signifikansi pengaruh Pemuda Pancasila dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara.

  3. Menjelaskan pola relasi antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila dengan birokrat, pengusaha, dan media massa lokal di Provinsi Sumatera Utara terkait pemilihan gubernur tahun 2008. Dengan mengetahui pola relasi itu akan terlihat pengaruh kekuasaan kader dan tokoh Pemuda Pancasila pada lembaga politik lokal dalam konteks pola hubungan negara–masyarakat (state–society) di Sumatera Utara khususnya saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

  1.4. Signifikansi Penelitian

  Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peran, kiprah, dan proses keterlibatan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara hingga bisa menjadi pimpinan partai politik, pejabat eksekutif dan legislatif, menjadi pengusaha, dan pengelola media massa lokal. Pembahasan ini diharapkan akan memberikan perspektif kontemporer mengenai peran, kiprah, dan proses yang dilakukan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara untuk mempengaruhi lembaga politik lokal dalam rangka memenuhi kepentingannya. Penelitian sebelumnya yang hampir sama di Indonesia seperti studi tentang Jawara, Bosisme, dan Premanisme menjelaskan tentang orang kuat lokal yang muncul dan mengambil alih kontrol atas politik lokal dalam proses otonomi daerah. Penelitian ini akan membahas tentang gejala kekerasan, kekuatan uang dan pemanfaatan jaringan politik yang muncul bukan hanya mengandalkan kekuatan individu seperti Jawara maupun Bosisme, namun juga mengutamakan kekuatan organisasi. Kekhususan studi ini berkaitan dengan konteks lokal di Sumatera Utara yaitu bahwa prilaku intimidasi dan uang, dalam politik lokal, dilakukan dengan menggunakan kekuatan organisasi bukan dengan mengandalkan kekuatan individu.

  Sedangkan secara praktis penelitian ini dapat memberi penjelasan bagi pemerhati kajian demokrasi, khususnya yang terjadi di Sumatera Utara terkait dengan organisasi pemuda sebagai kelompok kekerasan yang terlibat dalam perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung pada domain politik lokal yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Dari penjelasan tersebut akan terlihat apakah peran mereka dapat membantu atau justru mengganggu konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di tingkat lokal.

  1.5. Kajian Pustaka

  Penelusuran literatur terhadap topik yang relevan dengan fokus studi ini dilakukan pada jurnal ilmiah di internet, buku serta publikasi cetak lainnya. Hasilnya adalah, topik sejenis sebagian besar bisa ditemukan dalam tulisan atau artikel yang diterbitkan dalam bentuk buku yang membahas kondisi Indonesia pasca pemerintahan Presiden Soeharto. Hasil studi literatur terungkap bahwa pola hubungan antara bos lokal dengan birokrat, pimpinan partai politik, pengusaha dan aparat di daerah pada masa otonomi daerah, dilakukan berdasarkan hubungan patron klien dan simbiosis mutualisme. Kajian tersebut lebih banyak dilakukan dalam perspektif antropologi, sosiologi, dan kriminologi, namun kajian politik yang berkenaan dengan penguasaan terhadap institusi politik lokal masih sangat terbatas terutama yang berupa hasil penelitian. Atas pertimbangan tersebut, maka pencarian artikel hasil-hasil studi yang relevan berawal dari Jurnal Inside Indonesia dan artikel yang telah dibukukan.

  Buku yang ditulis oleh Colombijn dan Lindblad berjudul ”Indonesia is a violent

  

country” menyimpulkan bahwa penanganan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai

  pihak dan aturan main mengenai keamanan dan kekerasan belum juga muncul. Oleh karena itu, pemerintah pusat mencoba mengikis organisasi masyarakat yang cenderung menggunakan kekerasan dengan merevisi undang-undang mengenai organisasi

  22 masyarakat.

  Buku lain yang disunting oleh Okamato Masaaki dan Abdur Rozaki berjudul ”Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi” membedah tentang kemunduran negara (retreat of the state) di bidang keamanan dan kemunculan broker keamanan dan kelompok kekerasan dengan mengangkat beberapa kasus di Jakarta,

23 Banten, Kalimantan Barat dan Bali. Setiap kasus memiliki ciri khas yang berbeda-

  beda. Tulisan Okamoto Masaaki memperlihatkan dua jenis broker keamanan yang memiliki corak yang sangat berbeda di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk memberikan jasa pengamanan bagi mereka yang membutuhkan, walau keduanya muncul karena adanya ketidakamanan pada pasca pemerintahan Soeharto. Kondisi itu terjadi karena hubungan antara negara dan masyarakat dari segi keamanan tidak jelas

  24 lagi.

  Tulisan Untung Wahyono mengenai ”Jagoan Betawi dari Cakung” menguraikan kelompok kekerasan yang sangat mengemuka di DKI yaitu Forum Betawi Rempug (FBR) yang melakukan intimidasi dengan cara kekerasan untuk menghimpun dana kepada perusahaan, pedagang, supir angkutan umum dan warga di Jakarta dan Bekasi. Ketika berlangsung pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, FBR ikut

  25 22 mendukung salah satu kandidat.

  

Freek Colombijn dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary

23 Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS.

  

Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.

24 Yogyakarta: IRE Press.

  

Okamoto Masaaki. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam

Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 1-18.

  Di daerah Banten artikel Abdul Hamid yang berjudul ”Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten” menjelaskan dominannya kelompok jawara pada bidang politik dan ekonomi di Banten yang mengakibatkan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elit saja. Kelompok Jawara (H. Chasan/Sohib atau Abah) menjadi penentu dalam kebijakan pemerintah daerah, untuk mutasi pejabat dan alokasi proyek-proyek anggaran pemerintah. Dominasi Abah bukan hanya di aparat birokrasi namun itu juga

  26

  terjadi di kelompok masyarakat. Penelitian disertasi yang terbaru tentang Banten juga dilakukan oleh Lili Romli dengan analisis bahwa Jawara di Banten memiliki pengaruh politik yang dominan di masyarakat. Selain melakukan kontrol serta pengendalian terhadap pejabat publik juga mengontrol masyarakat sipil. Temuan dari penelitian itu

  27 disebut Romli sebagai ”bosisme plus”.

  Kondisi kekerasan terjadi juga di Madura, tulisan Abdur Rozaki menggambarkan blater yang hampir luput dari analisis sejarah di Madura, padahal kehidupan masyarakat Madura tidak akan sempurna kalau tidak ada catatan mengenai blater dan hubungan antara kyai dengan blater. Para blater dan kyai muncul sebagai pemain politik dari tingkat kabupaten hingga desa. Mereka menjalin hubungan dengan para politisi dan birokrasi menggunakan pola simbiosis mutalisme, hingga sulit bagi

  28 munculnya kelompok kritis yang mengoreksi kesalahan jalannya pemerintahan lokal.

  Menurut I Ngurah Suryawan, di Bali ternyata revitalisasi adat melahirkan penjaga keamanan ’tradisional’ yaitu pecalang sebagai tradisi yang terbuat (invented

  

tradition). Mereka kemudian digunakan oleh industri pariwisata dengan jasa penjual

  keamanan yang ’dipelihara’ menjadi ’anak manis’ dari kekuasaan resmi. Namun, kekuasaan resmi yang ada pada negara telah menyebar dalam masyarakat dan

  29 membentuk jejaring kekuasaan.

  Di wilayah Kalimantan juga terbentuk kelompok kekerasan dengan nama

  

headhunter Dayak. Dari tulisan John Bamba terlihat bahwa di kalangan masyarakat

  Dayak sendiri, militerisme juga sudah mulai merambah. Masyarakat Dayak telah terseret dalam perangkap militerisme karena termakan oleh iming-iming dan ambisi kekuasaan. Kondisi ketertindasan dan keterpinggiran yang dialami oleh sebagian besar 26 masyarakat Dayak selama ini menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap berbagai 27 Abdul Hamid. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Ibid. hal. 45-63. 28 Lili Romli. Op. Cit. 29 Abdur Rozaki. “Sosial Origindan Politik Kuasa Blater di Madura.” Ibid. hal.67-89.

  

I Ngurah Suryawan. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok tawaran dan bujukan yang seolah-olah mampu membebaskan mereka dari

  30 keterpurukan.

  Nordholt dan Klinken, mengumpulkan hasil penelitian yang berkaitan dengan munculnya kekerasan dalam politik lokal di Indonesia. Seperti peneliti sebelumnya, dalam pengantar buku tersebut, dituliskan bahwa akumulasi kekuasaan pada orang- orang atau kelompok tertentu dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintahan lokal yang sesuai dengan

  31

  mekanisme demokrasi yang ditetapkan. Situasi seperti ini telah membawa mereka dapat ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang

  32 baru terpilih.

  Meskipun terdapat penelitian yang membahas mengenai kelompok kekerasan dan orang-orang yang berpengaruh, namun penelitian yang secara khusus dilakukan mengenai politik premanisme (political gangster) di kota Medan dan Jakarta hanya dilakukan oleh Loren Ryter (1998) dan Vedi R. Hadiz (2005). Kedua peneliti itu menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru, yang melakukan tindakan kriminal, untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan politik

  33 yang ada.

  Dari paparan hasil studi di atas, terdapat temuan yang sangat relevan dan signifikan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pertama, hubungan antara negara dan masyarakat, dalam kaitannya dengan posisi bosisme dan organisasi yang dijalaninya, ternyata menunjukkan posisi negara lemah di mana negara tidak berdaya menghadapi kelompok kekerasan yang melakukan kontrol monopolisitik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumber daya politik serta ekonomi di beberapa daerah di 30 Indonesia. Kedua, dari analisis sejumlah artikel, terungkap adanya pola hubungan antara 31 John Bamba. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. Ibid. hal.115-125. 32 Henk Schutle Nordholt. 2007. Politik Lokal di Indonesia.Op. Cit.

   Ibid. birokrat, elit partai politik, pengusaha, dan aparat dilakukan berdasarkan hubungan patron-klien dan adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Ketiga, bos lokal dan organisasi yang dibentuknya memiliki sumber daya jauh lebih besar dibandingkan dengan masyarakat dan jika negara lemah dan korup maka ia akan menjadi ‘alat’ bagi bos lokal dan organisasinya daripada sebagai ‘juri’ bagi semuanya. Keempat, dengan model yang berbeda-beda di setiap wilayah di Indonesia, maka bos lokal dan organisasinya perlu merespons lingkungannya, melalui pemberian jenis bantuan dan sumber kekuasaan yang mereka miliki agar tetap dapat bertahan memberikan pengaruhnya kepada masyarakat.

  Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menjelaskan bahwa dari kasus pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara akan terlihat peran tokoh lokal di Sumatera Utara. Namun, dugaan awal, di Sumatera Utara yang dapat disebut tokoh lokal itu tidak bisa muncul karena kekuatan individu saja, mereka berada di dalam kekuatan organisasi pemuda yang anggotanya sebagian besar disebut sebagai “preman”. Organisasi pemuda yang diteliti dalam studi ini adalah Pemuda Pancasila yang merupakan organisasi pemuda tertua di Sumatera Utara dengan tokoh-tokohnya yang memiliki jaringan kepada lembaga politik lokal dalam proses otonomi daerah.

  Perbedaan studi ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, fenomena munculnya kelompok kekerasan dan tokoh lokal yang cukup kuat di Indonesia terjadi dengan model yang berbeda-beda. Studi ini akan menjelaskan bahwa di Sumatera Utara, fenomena kemunculan tokoh lokal yang cukup kuat bukan hanya berasal dari kekuatan individu berupa fisik, kekayaan atau patron semata, tetapi juga berasal dari kekuatan kelompok atau organisasi yang ada di antara organisasi sejenis dalam kehidupan masyarakat lokal. Kedua, studi sebelumnya tidak membahas mengenai fenomena muncul, bertahan dan berhasilnya tokoh lokal yang mampu menggerakkan organisasi untuk kepentingan mereka di antara kelompok masyarakat lainnya saat pemilihan kepala daerah secara langung. Studi terdahulu dilakukan sebelum pemilihan langsung kepala daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, studi ini akan membahas secara khusus tentang fenomena tersebut dengan mengambil kasus pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Sumatera Utara.

1.6. Kerangka Teori

  Untuk mengkaji peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan teori kelompok kekerasan yang ditulis oleh Masaaki dan Rozaki. Setiap kelompok kekerasaan akan selalu menampilkan tokoh yang sangat berpengaruh bagi anggota atau komunitas kelompok tersebut. Untuk menjelaskan hal tesebut, penelitian ini menggunakan teori Bossism yang ditulis oleh John T. Sidel.

Dokumen yang terkait

Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008)

21 221 405

Pemenuhan Hak-Hak Kaum Disabilitas dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 di Kota Medan

6 62 116

Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

2 75 185

Strategi Kampanye Pasangan Calon H.Syamsul Arifin Dan Gatot Pujonugroho Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2008

1 51 161

Kebijakan Dan Kiprah Politik Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Analisis Pada : Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2008)

4 96 75

Rekrutmen Calon Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Provinsi Lampung Tahun 2013

1 17 79

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Tugas Akhir dengan judul Peranan Sekretaris dalam Perjalanan Dinas Staf Ahli Gubernur pada Sekretariat Staf Ahli Gubernur di Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 1 9

Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008)

0 0 87

Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008)

0 0 11

BAB 2 SUMATERA UTARA DAN PEMUDA PANCASILA: PERSPEKTIF HISTORIS, DINAMIKA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK - Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Waki

0 1 58