Hakekat Keadilan dalam Islam pdf
Hakekat Keadilan dalam Islam
Oleh: Faza Hudaya, MM
Akhir‐akhir ini sering kita melihat unjuk rasa yang dilakukan oleh para
buruh. Mereka menuntut kenaikan upah minimum yang menjadi hak mereka
dalam melayani majikannya, sekaligus upah yang dapat mencukupi
kehidupannya secara layak. Persoalan upah buruh atau pekerja, menjadi
persoalan yang sangat pelik dari waktu ke waktu, karena hal ini menyangkut
kesetaraan, kelayakan dan yang paling penting adalah keadilan. Keadilan dalam
hal distribusi pendapatan antara pihak pekerja dan pengusaha.
Pekerja merasa bahwa mereka menjadi faktor terpenting dalam produksi
sehinga layak untuk mendapatkan kompensasi yang tinggi, yang dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya yang kian lama kian tinggi pula. Sementara di
pihak pengusaha, mereka tidak hanya dihadapkan pada masalah biaya pekerja
saja tetapi juga tantangan usaha dan teknologi. Seperti kita sadari bahwa
globalisasi membawa efek yang sangat besar, terutama isu terkait efisiensi
sumber daya manusia.
Sehingga dengan munculnya kepentingan‐kepentingan tadi membawa
persoalan yang tidak sederhana untuk diselesaikan. Bagaimana membuat
pekerja merasa diperhatikan kebutuhannya dan di lain pihak pengusaha tidak
merasa dirugikan hingga akhirnya usahanya dapat terancam. Sehingga upah
buruh yang berkaitan dengan kepentingan usaha merupakan persoalan‐
persoalan yang berujung pada masalah keadilan.
Keadilan dan ekonomi
Berbicara mengenai kasus perburuhan diatas adalah berbicara mengenai
ekonomi dan keadilan. Keadilan merupakan topik yang penting dalam etika
bisnis. Menurut Bertens, antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang
sangat erat karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Sumber tersebut
adalah masalah kelangkaan yang ditimbulkan karena keterbatasan sumber
1
daya.1 Barang yang tersedia selalu langka dan oleh karena itu harus dicarikan
cara bagaimana untuk membaginya dengan baik. Jika barang tersebut melimpah
ruah maka tidak muncul masalah ekonomi karena tidak akan diperjualbelikan.
Karena tidak dijualbelikan maka tidak akan ada harga. Seperti air laut, atau
udara yang kita hirup, tidak ada orang yang memperjualbelikannya karena orang
bebas mengambil tanpa membayar. Disitulah letak persoalan ekonomi dan
keadilan terutama keadilan distribusi atau keadilan dalam membagi.
Didalam kasus perburuhan tadi persoalan keadilan menjadi persoalan
yang terkait dengan ekonomi. Bagaimana distribusi pendapatan diantara kedua
belah pihak yaitu pekerja dan pengusaha, dapat dilakukan secara adil. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadilan dan ekonomi terkait kepada
sumber yang sama, yaitu kelangkaan sumberdaya. Dalam kasus ini kelangkaan
sumberdaya terjadi karena masing‐masing pihak, baik pekerja maupun
pengusaha dihadapkan pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhannya masing‐
masing, dimana kebutuhan hidup itu tidak ada batasnya.
2
Sedangkan
sumberdaya untuk memenuhinya selalu terbatas.
Pendekatan Mengenai Keadilan
Keadilan juga menyangkut antara kedua belah pihak artinya kita tidak
dapat mengatakan bahwa kita telah berbuat adil terhadap diri kita, atau
sebaliknya kita telah berbuat tidak adil terhadap diri kita. Ketika orang berbicara
mengenai kalimat tersebut, ia hanya menggunakan kata itu dalam arti kiasan,
bukan arti sesungguhnya. Masalah keadilan dan ketidakadilan sekurang‐
kurangnya dibutuhkan dua orang manusia, atau dua pihak. Jadi jika pada suatu
1 Lebih lanjut Bertens menjelaskan jika kita mendengar ungkapan yang sudah menjadi baku
“masyarakat adil dan makmur”. Keduanya tidak dapat dilepaskan. Keadilan menjadi kata yang
hampa belaka, bila tidak tersedia barang yang cukup (kemakmuran) untuk memnuhi kebutuhan
warga masyarakat. Demikian halnya kemakmuran saja juga tidak menjamin adanya keadilan jika
kekayaan tidak dibagi secara seimbang, jadi kemakmuran dan keadilan saling melengkapi satu
sama lain. K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000.
2 Beberapa pendapat mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan adalah terbatas sedangkan keinginan adalah tidak terbatas. Dalam konteks ini,
khususnya buruh atau pekerja, pengertian kebutuhan adalah tidak terbatas, menjadi kenyataan
karena kebutuhan hidup selalu meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Asalkan masih
dalam koridor kebutuhan hidup wajar bukan kebutuhan prestige (kemewahan).
2
saat hanya tinggal satu manusia dimuka bumi maka masalah keadilan atau
ketidak adilan sudah tidak berperan lagi.3
Sebelum menguraikan mengenai beberapa paham tradisional mengenai
keadilan, setidaknya ada lima teori pendekatan secara sederhana yang
mengategorikan tentang keadilan tersebut. Pertama, pendekatan positivistic
tentang keadilan, dimana keadilan ditetapkan oleh hukum legal atau lebih
sederhana dikatakan bahwa orang mendapatkan suatu keadilan diperoleh
melalui hukum positif.
Kedua, pendekatan idealistik yang bertolak pada masalah distribusi atau
dengan kata lain orang mendapatkan haknya berdasarkan seberapa besar
kontribusi yang dihasilkan. Pendekatan ini yang digunakan oleh Plato dan
Aristoteles dalam mendeskripsikan keadilan. Dikatakan tidak adil jika
memperlakukan orang secara tidak sama.
Ketiga, pendekatan utilitarianisme, yaitu pendekatan tentang keadilan
sebagai sarana mencapai tujuan artinya maksimalisasi kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin masyarakat merupakan sebuah keadilan. Akan tetapi
pendekatan ini terdapat banyak kelemahan, misalnya pemerintah ingin
membuat proyek jalan tol dengan mengorbankan tanah masyarakat yang dilalui
oleh proyek tersebut. Dengan tanpa mempertimbangkan hak‐hak masyarakat
yang tergusur, maka hal ini dianggap adil karena dapat menciptakaan manfaat
bagi banyak orang.
Keempat, pendekatan keadilan sosial oleh John Rawls, pendekatan ini
mencoba menutupi kelemahan pendekatan utulitarianisme dengan memberikan
ruang bagi negara untuk memperlakukan berbeda terhadap individu atau
kelompok‐kelompok yang secara lemah tidak mempunyai kesempatan dan
peluang yang sama dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Terakhir atau kelima,
yaitu pendekatan Islam dalam memandang keadilan, pendekatan ini akan
dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikut.
Paham Tradisional mengenai Keadilan
Atas pengaruh Aristoteles secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga:
keadilan legal, komutatif dan keadilan distributif.
3 K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000. p 86
3
a. Keadilan Legal
Keadilan legal menyangkut keadilan dalam hubungan antara
individu dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok
masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan hukum
yang berlaku semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang
sama sesuai hukum yang berlaku.4
Dasar moralnya adalah pertama, semua orang adalah manusia
yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, oleh karena itu maka
harus diperlakukan sama. Sehingga perlakuan diskriminatif berarti juga
merendahkan harkat dan martabat manusia. Kedua, semua orang adalah
warga negara yang sama status dan kedudukannya didalam sebuah
negara, karena itu semua orang harus diperlakukan sama tidak ada yang
istimewa. Perlakuan yang tidak sama hanya mungkin dibenarkan jika
didasarkan
atas
alasan‐alasan
yang
masuk
akal
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka dimuka umum dan melalui
prosedur legal yang berlaku.
b. Keadilan Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil atau fair antara satu
orang dengan orang yang lain, atau warga negara satu dengan yang lain.
Dengan kata lain hubungan ini menyangkut hubungan horizontal antara
warga negara satu dengan warga negara yang lain.5
Keadilan ini menuntut agar dalam interaksi sosial antar warga
tidak boleh ada satu pihakpun dirugikan hak dan kepentingannya. Ini
berarti prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang
memberikan, menghargai dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain.
Peran negara dituntut untuk menjaga interaksi antar warga satu dengan
yang lain serta dituntut untuk turun tangan menindak pihak yang
merugikan orang lain dan memulihkan kembali keseimbangan dan
kesetaraan kedua belah pihak yang tertanggu karena adanya pelanggaran
tadi.
4 Sony Keraf. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta 1998. p 138
5 ibid. p 140
4
c. Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif atau yang kini juga dikenal
sebagai keadilan ekonomi, adalah distribusi ekonomi yang merata atau
yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan
distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi dan hasil‐hasil
pembangunan.6
Persoalannya adalah apa yang menjadi dasar pembagian yang
dianggap adil ini? Dalam sistem pemerintahan aristokrasi, kaum ningrat
beranggapan bahwa pembagian yang adil kalau mereka mendapatkan
lebih banyak sedangkan para budaknya lebih sedikit. Pada sistem oligarki
yang dikuasai orang kaya, pembagian yang adil adalah kalau orang kaya
mendapatkan lebih banyak dari pada orang miskin.
Aristoteles sendiri tidak menerima dasar pembagian ini, karena itu
ia mengajukan dasar pembagian yang lain, yang lebih sesuai dengan
tujuan negara. Yaitu distribusi ekonomi didasarkan pada prestasi dan
peran masing‐masing orang dalam mengejar tujuan bersama seluruh
warga. Orang yang memberikan kontribusi yang besar maka layak untuk
mendapatkan imbalan yang besar pula. Dengan kata lain, keadilan
distributif tidak membenarkan prinsip sama rata dalam hal pembagian
ekonomi. Semakin besar prestasi seseorang maka semakin besar pula
imbalan yang akan didapatkan. Ini adil karena ada dasar yang dapat
diketahui dan diterima oleh semua orang, maka pada akhirnya imbalan
ekonomi yang didapat setiap orang tidak akan sama.
Tetapi persoalan selanjutnya, apakah semua orang telah diberikan
kesempatan dan peluang yang sama untuk berprestasi atau tidak? Adakah
perlakuan
diskriminasi
yang
didasarkan
pada
pertimbangan‐
pertimbangan tidak rasional dan tidak bertanggungjawab dalam
mendapatkan kesempatan dan peluang tersebut? Jika hal ini terjadi maka
perbedaan imbalan menjadi hal yang sangat tidak adil, kendati usaha
untuk mendapatkannya berbeda‐beda.
6 ibid. p 142
5
Ini berarti keadilan distributif juga terkait dengan prinsip
perlakuan yang sama, yang sesuai dengan aturan dan ketentuan yang
berlaku, baik dalam sebuah negara maupun dalam sebuah institusi bisnis.
Teori Keadilan Adam Smith
Adam smith hanya menerima satu konsep keadilan yaitu keadilan
komutatif. Alasannya, pertama, menurut Adam Smith, yang disebut keadilan
sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yang menyangkut
kesetaraan, keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara satu orang
dengan orang atau pihak lain. Ini berarti dalam interaksi sosial apapun, tidak
boleh terjadi ada pihak‐pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.7
Alasan kedua, keadilan legal sesungguhnya terkandung dalam keadilan
komutatif, karena sesungguhnya keadilan legal merupakan konsekuensi dari
pelaksanaan keadilan komutatif yaitu terjaganya kesetaraan, keseimbangan dan
keharmonisan antar orang.
Alasan ketiga, dengan pengertian diatas, Adam Smith menolak keadilan
distributif sebagai salah satu jenis keadilan karena yang disebut dengan keadilan
selalu menyangkut hak, artinya apapun kondisinya seseorang tidak boleh
dirugikan haknya. Orang miskin tidak punya hak untuk menuntut orang kaya
untuk membagi kekayaannya kepada mereka. Orang miskin hanya bisa meminta
tetapi tidak menuntutnya sebagai sebuah hak. Membantu orang miskin hanyalah
soal sikap baik (beneficence) dan karena itu tidak bisa dipaksakan.8
Teori Keadilan Distributif John Rawls
John Rawls dikenal sebagai salah seorang filusuf yang secara keras
mengkritik sistem ekonomi pasar bebas, khususnya teori keadilan pasar
sebagaimana dianut oleh Adam Smith. Akan tetapi pada prinsipnya John Rawls
mengakui adanya kebebasan sebagai prinsip pertama dari keadilannya. Ini
7 ibid, p. 146
8 ibid, p. 147
6
berarti menuntut agar semua orang diakui, dihargai dan dijamin haknya atas
kebebasan secara sama.
Kritik john Rawls terhadap sistem ekonomi pasar karena, ekonomi pasar
bebas justru akan menimbulkan bahkan memperbesar jurang ketimpangan
ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Pasar bebas menimbulkan
ketidakaadilan dikarenakan setiap yang masuk pasar mempunyai bakat dan
kemampuan alamiah yang berbeda‐beda, peluang sama yang diberikan pasar
tidak akan menguntungkan semua peserta. Dengan kata lain, sistem pasar yang
memberikan kebebasan yang sama itu justru membuka peluang bagi yang kuat
memakan yang lemah, yang kaya menjadi semakin kaya sementara yang miskin
menjadi semakin miskin. Keadaan ini menjadi semakin tidak adil lagi dalam
situasi sosial politik dimana selama kurun waktu tertentu, ada kelompok
ekonomi tertentu, yang karena alasan yang mungkin sangat rasional, telah
dilindungi dan dibesarkan oleh pemerintah sementara mereka yang lain masih
saja tetap kecil dan lemah.9
Sebagai jalan keluar, menurut Rawls, untuk memecahkan ketidakadilan
distribusi ekonomi oleh pasar adalah dengan mengatur sistem dan struktur
sosial agar menguntungkan kelompok yang tidak beruntung. John Rawls
mengajukan adanya prinsip perbedaan (difference principle) atas orang‐orang
atau pihak‐pihak yang tidak memiliki bakat atau kurang beruntung. Atas dasar
prinsip ini pemerintah diizinkan untuk mengatur kegiatan ekonomi sedemikian
rupa untuk menguntungkan pihak yang paing kurang beruntung. Pemerintah
diizinkan mengambil langkah dan kebijaksanaan termasuk melalui mekanisme
pajak, untuk membantu kelompok yang kurang beruntung. Sehingga semua
orang atau kelompok dapat menikmati kesejahteraan yang merata.10
Akan tetapi teori John Rawls ini bukan tidak menuai kritikan. Pertama,
dengan adanya prinsip perbedaan tadi maka pemerintah melalui sistem dan
pranata politik dan legal dibenarkan untuk melanggar dan merampas pihak
tertentu untuk diberikan kepada pihak lain. Ini berarti menimbulkan
ketidakadilan baru.
9 ibid, p. 154
10 ibid, p. 155
7
Kedua, yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok
tertentu yang diambil pemerintah tadi juga diberikan kepada kelompok yang
menjadi tidak beruntung atau miskin karena kesalahannya sendiri. Prinsip ini
secara praktis mebawa persoalan yang dihadapi oleh negara‐negara sosialis.
Banyak orang tidak terpacu untuk bekerja keras, karena hasil kerja kerasnya
akan dipotong demi orang lain, yang mungkin berbakat tetapi memilih untuk
tidak berusaha atau hanya bersenang‐senang. Kecenderungan dasar manusia
untuk dapat memperbaiki kondisi ekonominya, yang dalam pandangan Smith
menjadi pendorong utama manusia dalam bekerja akan hilang. Maka dengan
adanya prinsip perbedaan yang dikemukakan oleh John Rawls tadi membuat
orang tidak lagi termotivasi untum memeprbaiki kondisi ekonominya. Dengan
demikian motivasi menjadi kaya karena prestasi akan musnah.
Hakekat Keadilan dalam Islam
Setelah berbicara mengenai beberapa teori tentang keadilan diatas maka
sesungguhnya terdapat alternatif solusi dalam memandang sebuah keadilan.
Islam menawarkan konsep keadilan yang didalam Al‐Quran dijelaskan dalam
beberapa ayat.
Dalam surat An‐Najm ayat 39 yang artinya “Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
Surat Al‐Baqarah ayat 286 yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
Surat Al‐Jasiyah ayat 22 yang artinya: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi
dengan tujuan yang benar dan agar dibatasi tiap‐tiap diri terhadap apa yang
dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan”
Kemudian surat Al‐Mu’min ayat 40 yang artinya: “Pada hari ini tiap‐tiap jiwa
diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada
hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”
Didalam surat‐surat tersebut, Al quran mengakui adanya konsep keadilan
distribusi seperti yang telah dikemukakan diatas. Bahwa setiap orang akan
memperoleh apa yang telah diusahakannya. Bahkan terhadap perbuatan baik Al
quran menegaskan akan mendapat pahala dan perbuatan perbuatan jahat akan
8
berujung pada siksa. Siapapun orangnya jika berusaha maksimal maka akan
mendapatkan imbalan yang sebanding dengan usahanya.
Islam mengakui adanya prestasi pribadi sebagai imbalan dari hasil kerja
keras. Ini artinya Islam mengakui adanya kontribusi seseorang dalam berusaha
merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan apakah orang
tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan imbalan. Sehingga masing‐masing
orang akan termotivasi untuk selalu berusaha mengerjakan sesuatu yang
terbaik.
Demikian juga dalam kaitan bidang ekonomi, seseorang secara bebas
diperbolehkan untuk berusaha semaksimal mungkin dan oleh karenanya ia akan
mendapatkan hasil maksimal. Ini sejalan dengan prinsip keadilan pasar dimana
yang telah diungkapkan oleh Adam Smith bahwasannya pasar bebas merupakan
sesuatu yang adil. Kesempatan dan peluang yang sama harus diberikan kepada
semua orang. Pemerintah tidak diperkenankan melakukan intervensi apapun
untuk kepentingan siapapun kedalam pasar. Pemerintah hanya wajib menjaga
hak dan kepentingan setiap orang. Pelanggaran terhadap hak merupakan
pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia.
Akan tetapi disisi lain, Al quran juga menegaskan mengenai pentingnya
menjaga kesetaraan, keseimbangan dan keharmonisan masyarakat. Terutama
terkait dengan pemerataan distribusi ekonomi. Memang didalam pasar bebas
semua orang bebas melakukan kehendaknya tanpa batas, tetapi jika hal ini
dibiarkan dalam jangka panjang akan dapat merugikan pihak‐pihak yang kurang
beruntung. Tidak semua orang atau kelompok dapat memeperoleh kesempatan
dan peluang yang sama dalam berusaha. Tidak semua orang juga mempunyai
bakat yang sama untuk masuk kedalam pasar. Terkadang mereka dibatasi oleh
ketidakmampuan yang diluar kehendak mereka. Untuk itu al Quran mengajarkan
dalam surat Adz‐Dzariyaat ayat 19 yang artinya:
“Dan pada harta‐harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Pada surat tersebut prinsip utamanya adalah melindung pihak‐pihak
yang kurang beruntung dengan memberikan sebagian harta untuk mereka,
karena didalam harta kita terdapat hak mereka.
9
Inilah keutamaan Islam, disaat teori Adam Smith dan John Rawls tidak
dapat memecahkan permasalahan ketimpangan ekonomi dan pemerataan
pendapatan, Islam hadir untuk memberikan solusi. Tidak seperti padangan
Adam Smith yang mengatakan bahwa orang miskin tidak punya hak untuk
menuntut orang kaya untuk membagi kekayaannya kepada mereka. Justru orang
miskin memiliki hak atas sebagian harta orang kaya. Oleh karena itu menjadi
sebuah kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya kepada
orang miskin. Didalam islam kewajiban ini dituangkan kedalam pelaksanaan
zakat, yaitu menyisihkan sebagaian harta untuk diberikan kepada orang miskin.
Oleh karena itu membantu orang miskin bukan hanya persoalan sikap baik
(beneficence) tetapi persoalan hak dan kewajiban.
Jika pelaksanaan kebebasan pasar telah dilakukan demi terjaganya
motivasi seseorang untuk selalu berusaha mendapatkan imbalan terhadap apa
yang telah diusahakannya, dan perlindungan terhadap orang miskin dan lemah
adalah sebuah kewajiban bagi orang yang kaya atau mampu, maka Al quran
menegaskan kembali didalam surat Al Baqarah ayat 279 yang artinya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul‐Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Kata “la tadzlimuuna wa la tudzlamuun” mengandung makna bahwa
prinsip terakhir dalam memandang keadilan adalah tidak adanya pihak yang
berbuat aniaya dan tidak adanya pihak yang dianiaya. Keadilan dipandang
sebagai sebuah kondisi dimana masing‐masing pihak berada pada kondisi rela.
Tidak ada pihak yang tertekan dan tidak ada pihak yang menekan. Sehingga
prinsip terakhir inilah yang dapat melandasi umat manusia dalam melaksanakan
kegiatan ekonominya secara termotivasi dan dilandasi rasa tanggung jawab
untuk membantu sesamanya.
10
Kesimpulan
Hakekat keadilan dalam pandangan Islam sesungguhnya merupakan
kondisi ideal untuk dapat memberikan kesetaraan, keseimbangan dan
keharmonisan diantara sesama manusia dimuka bumi. Islam menghargai
kontribusi seseorang dengan imbalan yang sesuai. Disisi lain Islam juga
mengajarkan bahwa memberikan bantuan terhadap orang miskin bukan hanya
sebagai sikap baik saja tetapi sebagai sebuah kewajiban. Seperti yang tercermin
dalam pelaksanaan zakat. Selain itu kondisi adil juga menuntut adanya kerelaan
diantara kedua belah pihak dalam setiap kegiatan ekonomi, tanpa adanya
paksaan dan tidak saling merugikan, tidak ada pihak yang menganiaya dan tidak
pula teraniaya.
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi tentu akan dimintai
pertanggungjawbannya dihadapan Tuhan, sehingga persoalan ekonomi tidak
hanya persoalan bagaimana memenuhi kebutuhan diri sendiri tetapi juga peduli
terhadap kebutuhan orang lain. Peduli terhadap orang lain tanpa harus
menghilangkan motivasi seseorang untuk mendapatkan prestasi yang pantas
diterimanya, baik didunia maupun di akhirat.
Daftar Pustaka
Sony Keraf. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta 1998.
K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000
11
Oleh: Faza Hudaya, MM
Akhir‐akhir ini sering kita melihat unjuk rasa yang dilakukan oleh para
buruh. Mereka menuntut kenaikan upah minimum yang menjadi hak mereka
dalam melayani majikannya, sekaligus upah yang dapat mencukupi
kehidupannya secara layak. Persoalan upah buruh atau pekerja, menjadi
persoalan yang sangat pelik dari waktu ke waktu, karena hal ini menyangkut
kesetaraan, kelayakan dan yang paling penting adalah keadilan. Keadilan dalam
hal distribusi pendapatan antara pihak pekerja dan pengusaha.
Pekerja merasa bahwa mereka menjadi faktor terpenting dalam produksi
sehinga layak untuk mendapatkan kompensasi yang tinggi, yang dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya yang kian lama kian tinggi pula. Sementara di
pihak pengusaha, mereka tidak hanya dihadapkan pada masalah biaya pekerja
saja tetapi juga tantangan usaha dan teknologi. Seperti kita sadari bahwa
globalisasi membawa efek yang sangat besar, terutama isu terkait efisiensi
sumber daya manusia.
Sehingga dengan munculnya kepentingan‐kepentingan tadi membawa
persoalan yang tidak sederhana untuk diselesaikan. Bagaimana membuat
pekerja merasa diperhatikan kebutuhannya dan di lain pihak pengusaha tidak
merasa dirugikan hingga akhirnya usahanya dapat terancam. Sehingga upah
buruh yang berkaitan dengan kepentingan usaha merupakan persoalan‐
persoalan yang berujung pada masalah keadilan.
Keadilan dan ekonomi
Berbicara mengenai kasus perburuhan diatas adalah berbicara mengenai
ekonomi dan keadilan. Keadilan merupakan topik yang penting dalam etika
bisnis. Menurut Bertens, antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang
sangat erat karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Sumber tersebut
adalah masalah kelangkaan yang ditimbulkan karena keterbatasan sumber
1
daya.1 Barang yang tersedia selalu langka dan oleh karena itu harus dicarikan
cara bagaimana untuk membaginya dengan baik. Jika barang tersebut melimpah
ruah maka tidak muncul masalah ekonomi karena tidak akan diperjualbelikan.
Karena tidak dijualbelikan maka tidak akan ada harga. Seperti air laut, atau
udara yang kita hirup, tidak ada orang yang memperjualbelikannya karena orang
bebas mengambil tanpa membayar. Disitulah letak persoalan ekonomi dan
keadilan terutama keadilan distribusi atau keadilan dalam membagi.
Didalam kasus perburuhan tadi persoalan keadilan menjadi persoalan
yang terkait dengan ekonomi. Bagaimana distribusi pendapatan diantara kedua
belah pihak yaitu pekerja dan pengusaha, dapat dilakukan secara adil. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadilan dan ekonomi terkait kepada
sumber yang sama, yaitu kelangkaan sumberdaya. Dalam kasus ini kelangkaan
sumberdaya terjadi karena masing‐masing pihak, baik pekerja maupun
pengusaha dihadapkan pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhannya masing‐
masing, dimana kebutuhan hidup itu tidak ada batasnya.
2
Sedangkan
sumberdaya untuk memenuhinya selalu terbatas.
Pendekatan Mengenai Keadilan
Keadilan juga menyangkut antara kedua belah pihak artinya kita tidak
dapat mengatakan bahwa kita telah berbuat adil terhadap diri kita, atau
sebaliknya kita telah berbuat tidak adil terhadap diri kita. Ketika orang berbicara
mengenai kalimat tersebut, ia hanya menggunakan kata itu dalam arti kiasan,
bukan arti sesungguhnya. Masalah keadilan dan ketidakadilan sekurang‐
kurangnya dibutuhkan dua orang manusia, atau dua pihak. Jadi jika pada suatu
1 Lebih lanjut Bertens menjelaskan jika kita mendengar ungkapan yang sudah menjadi baku
“masyarakat adil dan makmur”. Keduanya tidak dapat dilepaskan. Keadilan menjadi kata yang
hampa belaka, bila tidak tersedia barang yang cukup (kemakmuran) untuk memnuhi kebutuhan
warga masyarakat. Demikian halnya kemakmuran saja juga tidak menjamin adanya keadilan jika
kekayaan tidak dibagi secara seimbang, jadi kemakmuran dan keadilan saling melengkapi satu
sama lain. K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000.
2 Beberapa pendapat mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan adalah terbatas sedangkan keinginan adalah tidak terbatas. Dalam konteks ini,
khususnya buruh atau pekerja, pengertian kebutuhan adalah tidak terbatas, menjadi kenyataan
karena kebutuhan hidup selalu meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Asalkan masih
dalam koridor kebutuhan hidup wajar bukan kebutuhan prestige (kemewahan).
2
saat hanya tinggal satu manusia dimuka bumi maka masalah keadilan atau
ketidak adilan sudah tidak berperan lagi.3
Sebelum menguraikan mengenai beberapa paham tradisional mengenai
keadilan, setidaknya ada lima teori pendekatan secara sederhana yang
mengategorikan tentang keadilan tersebut. Pertama, pendekatan positivistic
tentang keadilan, dimana keadilan ditetapkan oleh hukum legal atau lebih
sederhana dikatakan bahwa orang mendapatkan suatu keadilan diperoleh
melalui hukum positif.
Kedua, pendekatan idealistik yang bertolak pada masalah distribusi atau
dengan kata lain orang mendapatkan haknya berdasarkan seberapa besar
kontribusi yang dihasilkan. Pendekatan ini yang digunakan oleh Plato dan
Aristoteles dalam mendeskripsikan keadilan. Dikatakan tidak adil jika
memperlakukan orang secara tidak sama.
Ketiga, pendekatan utilitarianisme, yaitu pendekatan tentang keadilan
sebagai sarana mencapai tujuan artinya maksimalisasi kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin masyarakat merupakan sebuah keadilan. Akan tetapi
pendekatan ini terdapat banyak kelemahan, misalnya pemerintah ingin
membuat proyek jalan tol dengan mengorbankan tanah masyarakat yang dilalui
oleh proyek tersebut. Dengan tanpa mempertimbangkan hak‐hak masyarakat
yang tergusur, maka hal ini dianggap adil karena dapat menciptakaan manfaat
bagi banyak orang.
Keempat, pendekatan keadilan sosial oleh John Rawls, pendekatan ini
mencoba menutupi kelemahan pendekatan utulitarianisme dengan memberikan
ruang bagi negara untuk memperlakukan berbeda terhadap individu atau
kelompok‐kelompok yang secara lemah tidak mempunyai kesempatan dan
peluang yang sama dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Terakhir atau kelima,
yaitu pendekatan Islam dalam memandang keadilan, pendekatan ini akan
dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikut.
Paham Tradisional mengenai Keadilan
Atas pengaruh Aristoteles secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga:
keadilan legal, komutatif dan keadilan distributif.
3 K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000. p 86
3
a. Keadilan Legal
Keadilan legal menyangkut keadilan dalam hubungan antara
individu dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok
masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan hukum
yang berlaku semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang
sama sesuai hukum yang berlaku.4
Dasar moralnya adalah pertama, semua orang adalah manusia
yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, oleh karena itu maka
harus diperlakukan sama. Sehingga perlakuan diskriminatif berarti juga
merendahkan harkat dan martabat manusia. Kedua, semua orang adalah
warga negara yang sama status dan kedudukannya didalam sebuah
negara, karena itu semua orang harus diperlakukan sama tidak ada yang
istimewa. Perlakuan yang tidak sama hanya mungkin dibenarkan jika
didasarkan
atas
alasan‐alasan
yang
masuk
akal
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka dimuka umum dan melalui
prosedur legal yang berlaku.
b. Keadilan Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil atau fair antara satu
orang dengan orang yang lain, atau warga negara satu dengan yang lain.
Dengan kata lain hubungan ini menyangkut hubungan horizontal antara
warga negara satu dengan warga negara yang lain.5
Keadilan ini menuntut agar dalam interaksi sosial antar warga
tidak boleh ada satu pihakpun dirugikan hak dan kepentingannya. Ini
berarti prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang
memberikan, menghargai dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain.
Peran negara dituntut untuk menjaga interaksi antar warga satu dengan
yang lain serta dituntut untuk turun tangan menindak pihak yang
merugikan orang lain dan memulihkan kembali keseimbangan dan
kesetaraan kedua belah pihak yang tertanggu karena adanya pelanggaran
tadi.
4 Sony Keraf. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta 1998. p 138
5 ibid. p 140
4
c. Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif atau yang kini juga dikenal
sebagai keadilan ekonomi, adalah distribusi ekonomi yang merata atau
yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan
distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi dan hasil‐hasil
pembangunan.6
Persoalannya adalah apa yang menjadi dasar pembagian yang
dianggap adil ini? Dalam sistem pemerintahan aristokrasi, kaum ningrat
beranggapan bahwa pembagian yang adil kalau mereka mendapatkan
lebih banyak sedangkan para budaknya lebih sedikit. Pada sistem oligarki
yang dikuasai orang kaya, pembagian yang adil adalah kalau orang kaya
mendapatkan lebih banyak dari pada orang miskin.
Aristoteles sendiri tidak menerima dasar pembagian ini, karena itu
ia mengajukan dasar pembagian yang lain, yang lebih sesuai dengan
tujuan negara. Yaitu distribusi ekonomi didasarkan pada prestasi dan
peran masing‐masing orang dalam mengejar tujuan bersama seluruh
warga. Orang yang memberikan kontribusi yang besar maka layak untuk
mendapatkan imbalan yang besar pula. Dengan kata lain, keadilan
distributif tidak membenarkan prinsip sama rata dalam hal pembagian
ekonomi. Semakin besar prestasi seseorang maka semakin besar pula
imbalan yang akan didapatkan. Ini adil karena ada dasar yang dapat
diketahui dan diterima oleh semua orang, maka pada akhirnya imbalan
ekonomi yang didapat setiap orang tidak akan sama.
Tetapi persoalan selanjutnya, apakah semua orang telah diberikan
kesempatan dan peluang yang sama untuk berprestasi atau tidak? Adakah
perlakuan
diskriminasi
yang
didasarkan
pada
pertimbangan‐
pertimbangan tidak rasional dan tidak bertanggungjawab dalam
mendapatkan kesempatan dan peluang tersebut? Jika hal ini terjadi maka
perbedaan imbalan menjadi hal yang sangat tidak adil, kendati usaha
untuk mendapatkannya berbeda‐beda.
6 ibid. p 142
5
Ini berarti keadilan distributif juga terkait dengan prinsip
perlakuan yang sama, yang sesuai dengan aturan dan ketentuan yang
berlaku, baik dalam sebuah negara maupun dalam sebuah institusi bisnis.
Teori Keadilan Adam Smith
Adam smith hanya menerima satu konsep keadilan yaitu keadilan
komutatif. Alasannya, pertama, menurut Adam Smith, yang disebut keadilan
sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yang menyangkut
kesetaraan, keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara satu orang
dengan orang atau pihak lain. Ini berarti dalam interaksi sosial apapun, tidak
boleh terjadi ada pihak‐pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.7
Alasan kedua, keadilan legal sesungguhnya terkandung dalam keadilan
komutatif, karena sesungguhnya keadilan legal merupakan konsekuensi dari
pelaksanaan keadilan komutatif yaitu terjaganya kesetaraan, keseimbangan dan
keharmonisan antar orang.
Alasan ketiga, dengan pengertian diatas, Adam Smith menolak keadilan
distributif sebagai salah satu jenis keadilan karena yang disebut dengan keadilan
selalu menyangkut hak, artinya apapun kondisinya seseorang tidak boleh
dirugikan haknya. Orang miskin tidak punya hak untuk menuntut orang kaya
untuk membagi kekayaannya kepada mereka. Orang miskin hanya bisa meminta
tetapi tidak menuntutnya sebagai sebuah hak. Membantu orang miskin hanyalah
soal sikap baik (beneficence) dan karena itu tidak bisa dipaksakan.8
Teori Keadilan Distributif John Rawls
John Rawls dikenal sebagai salah seorang filusuf yang secara keras
mengkritik sistem ekonomi pasar bebas, khususnya teori keadilan pasar
sebagaimana dianut oleh Adam Smith. Akan tetapi pada prinsipnya John Rawls
mengakui adanya kebebasan sebagai prinsip pertama dari keadilannya. Ini
7 ibid, p. 146
8 ibid, p. 147
6
berarti menuntut agar semua orang diakui, dihargai dan dijamin haknya atas
kebebasan secara sama.
Kritik john Rawls terhadap sistem ekonomi pasar karena, ekonomi pasar
bebas justru akan menimbulkan bahkan memperbesar jurang ketimpangan
ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Pasar bebas menimbulkan
ketidakaadilan dikarenakan setiap yang masuk pasar mempunyai bakat dan
kemampuan alamiah yang berbeda‐beda, peluang sama yang diberikan pasar
tidak akan menguntungkan semua peserta. Dengan kata lain, sistem pasar yang
memberikan kebebasan yang sama itu justru membuka peluang bagi yang kuat
memakan yang lemah, yang kaya menjadi semakin kaya sementara yang miskin
menjadi semakin miskin. Keadaan ini menjadi semakin tidak adil lagi dalam
situasi sosial politik dimana selama kurun waktu tertentu, ada kelompok
ekonomi tertentu, yang karena alasan yang mungkin sangat rasional, telah
dilindungi dan dibesarkan oleh pemerintah sementara mereka yang lain masih
saja tetap kecil dan lemah.9
Sebagai jalan keluar, menurut Rawls, untuk memecahkan ketidakadilan
distribusi ekonomi oleh pasar adalah dengan mengatur sistem dan struktur
sosial agar menguntungkan kelompok yang tidak beruntung. John Rawls
mengajukan adanya prinsip perbedaan (difference principle) atas orang‐orang
atau pihak‐pihak yang tidak memiliki bakat atau kurang beruntung. Atas dasar
prinsip ini pemerintah diizinkan untuk mengatur kegiatan ekonomi sedemikian
rupa untuk menguntungkan pihak yang paing kurang beruntung. Pemerintah
diizinkan mengambil langkah dan kebijaksanaan termasuk melalui mekanisme
pajak, untuk membantu kelompok yang kurang beruntung. Sehingga semua
orang atau kelompok dapat menikmati kesejahteraan yang merata.10
Akan tetapi teori John Rawls ini bukan tidak menuai kritikan. Pertama,
dengan adanya prinsip perbedaan tadi maka pemerintah melalui sistem dan
pranata politik dan legal dibenarkan untuk melanggar dan merampas pihak
tertentu untuk diberikan kepada pihak lain. Ini berarti menimbulkan
ketidakadilan baru.
9 ibid, p. 154
10 ibid, p. 155
7
Kedua, yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok
tertentu yang diambil pemerintah tadi juga diberikan kepada kelompok yang
menjadi tidak beruntung atau miskin karena kesalahannya sendiri. Prinsip ini
secara praktis mebawa persoalan yang dihadapi oleh negara‐negara sosialis.
Banyak orang tidak terpacu untuk bekerja keras, karena hasil kerja kerasnya
akan dipotong demi orang lain, yang mungkin berbakat tetapi memilih untuk
tidak berusaha atau hanya bersenang‐senang. Kecenderungan dasar manusia
untuk dapat memperbaiki kondisi ekonominya, yang dalam pandangan Smith
menjadi pendorong utama manusia dalam bekerja akan hilang. Maka dengan
adanya prinsip perbedaan yang dikemukakan oleh John Rawls tadi membuat
orang tidak lagi termotivasi untum memeprbaiki kondisi ekonominya. Dengan
demikian motivasi menjadi kaya karena prestasi akan musnah.
Hakekat Keadilan dalam Islam
Setelah berbicara mengenai beberapa teori tentang keadilan diatas maka
sesungguhnya terdapat alternatif solusi dalam memandang sebuah keadilan.
Islam menawarkan konsep keadilan yang didalam Al‐Quran dijelaskan dalam
beberapa ayat.
Dalam surat An‐Najm ayat 39 yang artinya “Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
Surat Al‐Baqarah ayat 286 yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
Surat Al‐Jasiyah ayat 22 yang artinya: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi
dengan tujuan yang benar dan agar dibatasi tiap‐tiap diri terhadap apa yang
dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan”
Kemudian surat Al‐Mu’min ayat 40 yang artinya: “Pada hari ini tiap‐tiap jiwa
diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada
hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”
Didalam surat‐surat tersebut, Al quran mengakui adanya konsep keadilan
distribusi seperti yang telah dikemukakan diatas. Bahwa setiap orang akan
memperoleh apa yang telah diusahakannya. Bahkan terhadap perbuatan baik Al
quran menegaskan akan mendapat pahala dan perbuatan perbuatan jahat akan
8
berujung pada siksa. Siapapun orangnya jika berusaha maksimal maka akan
mendapatkan imbalan yang sebanding dengan usahanya.
Islam mengakui adanya prestasi pribadi sebagai imbalan dari hasil kerja
keras. Ini artinya Islam mengakui adanya kontribusi seseorang dalam berusaha
merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan apakah orang
tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan imbalan. Sehingga masing‐masing
orang akan termotivasi untuk selalu berusaha mengerjakan sesuatu yang
terbaik.
Demikian juga dalam kaitan bidang ekonomi, seseorang secara bebas
diperbolehkan untuk berusaha semaksimal mungkin dan oleh karenanya ia akan
mendapatkan hasil maksimal. Ini sejalan dengan prinsip keadilan pasar dimana
yang telah diungkapkan oleh Adam Smith bahwasannya pasar bebas merupakan
sesuatu yang adil. Kesempatan dan peluang yang sama harus diberikan kepada
semua orang. Pemerintah tidak diperkenankan melakukan intervensi apapun
untuk kepentingan siapapun kedalam pasar. Pemerintah hanya wajib menjaga
hak dan kepentingan setiap orang. Pelanggaran terhadap hak merupakan
pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia.
Akan tetapi disisi lain, Al quran juga menegaskan mengenai pentingnya
menjaga kesetaraan, keseimbangan dan keharmonisan masyarakat. Terutama
terkait dengan pemerataan distribusi ekonomi. Memang didalam pasar bebas
semua orang bebas melakukan kehendaknya tanpa batas, tetapi jika hal ini
dibiarkan dalam jangka panjang akan dapat merugikan pihak‐pihak yang kurang
beruntung. Tidak semua orang atau kelompok dapat memeperoleh kesempatan
dan peluang yang sama dalam berusaha. Tidak semua orang juga mempunyai
bakat yang sama untuk masuk kedalam pasar. Terkadang mereka dibatasi oleh
ketidakmampuan yang diluar kehendak mereka. Untuk itu al Quran mengajarkan
dalam surat Adz‐Dzariyaat ayat 19 yang artinya:
“Dan pada harta‐harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Pada surat tersebut prinsip utamanya adalah melindung pihak‐pihak
yang kurang beruntung dengan memberikan sebagian harta untuk mereka,
karena didalam harta kita terdapat hak mereka.
9
Inilah keutamaan Islam, disaat teori Adam Smith dan John Rawls tidak
dapat memecahkan permasalahan ketimpangan ekonomi dan pemerataan
pendapatan, Islam hadir untuk memberikan solusi. Tidak seperti padangan
Adam Smith yang mengatakan bahwa orang miskin tidak punya hak untuk
menuntut orang kaya untuk membagi kekayaannya kepada mereka. Justru orang
miskin memiliki hak atas sebagian harta orang kaya. Oleh karena itu menjadi
sebuah kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya kepada
orang miskin. Didalam islam kewajiban ini dituangkan kedalam pelaksanaan
zakat, yaitu menyisihkan sebagaian harta untuk diberikan kepada orang miskin.
Oleh karena itu membantu orang miskin bukan hanya persoalan sikap baik
(beneficence) tetapi persoalan hak dan kewajiban.
Jika pelaksanaan kebebasan pasar telah dilakukan demi terjaganya
motivasi seseorang untuk selalu berusaha mendapatkan imbalan terhadap apa
yang telah diusahakannya, dan perlindungan terhadap orang miskin dan lemah
adalah sebuah kewajiban bagi orang yang kaya atau mampu, maka Al quran
menegaskan kembali didalam surat Al Baqarah ayat 279 yang artinya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul‐Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Kata “la tadzlimuuna wa la tudzlamuun” mengandung makna bahwa
prinsip terakhir dalam memandang keadilan adalah tidak adanya pihak yang
berbuat aniaya dan tidak adanya pihak yang dianiaya. Keadilan dipandang
sebagai sebuah kondisi dimana masing‐masing pihak berada pada kondisi rela.
Tidak ada pihak yang tertekan dan tidak ada pihak yang menekan. Sehingga
prinsip terakhir inilah yang dapat melandasi umat manusia dalam melaksanakan
kegiatan ekonominya secara termotivasi dan dilandasi rasa tanggung jawab
untuk membantu sesamanya.
10
Kesimpulan
Hakekat keadilan dalam pandangan Islam sesungguhnya merupakan
kondisi ideal untuk dapat memberikan kesetaraan, keseimbangan dan
keharmonisan diantara sesama manusia dimuka bumi. Islam menghargai
kontribusi seseorang dengan imbalan yang sesuai. Disisi lain Islam juga
mengajarkan bahwa memberikan bantuan terhadap orang miskin bukan hanya
sebagai sikap baik saja tetapi sebagai sebuah kewajiban. Seperti yang tercermin
dalam pelaksanaan zakat. Selain itu kondisi adil juga menuntut adanya kerelaan
diantara kedua belah pihak dalam setiap kegiatan ekonomi, tanpa adanya
paksaan dan tidak saling merugikan, tidak ada pihak yang menganiaya dan tidak
pula teraniaya.
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi tentu akan dimintai
pertanggungjawbannya dihadapan Tuhan, sehingga persoalan ekonomi tidak
hanya persoalan bagaimana memenuhi kebutuhan diri sendiri tetapi juga peduli
terhadap kebutuhan orang lain. Peduli terhadap orang lain tanpa harus
menghilangkan motivasi seseorang untuk mendapatkan prestasi yang pantas
diterimanya, baik didunia maupun di akhirat.
Daftar Pustaka
Sony Keraf. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta 1998.
K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2000
11