Sejarah Filsafat Ilmu dalam docx

Pengetahuan ilmiah tidak serupa dengan kebijaksanaan, seorang ilmuwan besar
belum tentu "seorang yang bijaksana" dan belum tentu seorang filosof. Ilmu pengetahuan
dan filsafat tidak sama. Jika demikian halnya apakah filsafat itu? Apakah ilmu
pengetahuan itu? Dan bagaimana hubungannya satu dengan yang lainnya?
A. Filsafat
a. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani Philoshopia yang secara etimologi
philos artinya (cinta) atau philia artinya (tertarik kepada) dan shopos berarti
(kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensi). 1
Secara terminologi menurut Harold H. Titus kata filsafat mengandung 5
definisi yaitu :
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti Formal)
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi. (arti Formal)
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya
filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil-hasil bermacam-macam sains
dan pengalaman sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.
(arti spekulatif)
4. Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti
kata dan konsep.

5. Filsafat adalah sekumpulan problem-problem yang langsung yang mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. 2
b. Cabang-cabang tradisional dari filsafat
Asas-asas filsafat merupakan kajian yang mengetengahkan prinsip-prinsip
pokok bidang filsafat. dalam hal ini dikaji beberapa bidang utama filsafat seperti :
Metafisika, epistemologi dan aksiologi.3 Ketiga bidang ini dapat dipandang
1

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 2000)., hlm. 242.
Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Ricard T Nolan, Persoalan – Persoalan Filsafat,
terjemahan Prof. Dr. HM. Rasjidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984)., hlm. 14
3
Drs. Rizal Mustansyir, M. Hum dan Drs. Misnal Munir, M. Hum, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta :
Pustaka pelajar, 2007)., hlm. 9
2

sebagai pilar utama suatu bangunan filsafat manakala kita ingin memahami visi
filsafati seseorang atau suatu aliran.
1. Metafisika
Metafisika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani meta to physica

(sesudah fisika) dari meta (setelah, melebihi) dan physica (menyangkut alam)
atau pyshis (alam). 4
Istilah metafisika biasanya dihubungkan dengan nama Aristoteles,
walaupun sebenarnya Aristoteles tidak pernah memakai istilah metafisika.
Istilah sesudah fisika ini datang dari pandangan suatu buku yang tak berjudul
karya Aristoteles dalam pengklasifikasian karya-karyanya yang dibuat oleh
Adronikos dari Rhodes. 5
Semula metafisika diartikan sebagai cabang filsafat yang meliputi bidang
tersendiri, jadi memiliki objek material tersendiri yaitu yang ada di belakang
yang fisik. Pada abad pertengahan metafisika dianggap sebagai ilmu tentang
yang ada karena muncul “sesudah” dan melebihi yang fisika.
Dalam filsafat modern pemakaian istilah metafisika pada umumnya
menunjuk kepada bidang filsafat yang menggarap masalah jenis-jenis dan
modus-modus yang ada. Pada perkembangan selanjutnya metafisika dianggap
sebagai ilmu yang menyelidiki tentang “prinsip pertama”
Dalam bidang yang sama dikenal juga istilah ontologi. Istilah ontologi
diperkenalkan pertama kali oleh Cristian Wolff pada abad ke 17. Wolff
membagi metafisika ke dalam dua cabang besar : Pertama Metafisika Umum
yang kemudian disebut sebagai ontologi. Kedua metafisika khusus, terdiri atas
Kosmologi metafisik, antropologi metafisik dan teologi metafisik. 6

Menurut Frederick Sontag, Metafisika merupakan filsafat dasar yang
mengajarkan kepada kita bentuk pertanyaan radikal, yang mencari prinsipprinsip pertama atau asumsi tersembunyi (Hidden assumption).7
4

Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 624.
Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan,
( Yogyakarta : Kanisius, 1992)., hlm. 15
6
Drs. Joko Siswanto, M. Hum, Sistem – sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998)., hlm. 176.
7
Frederick Sontag, Pengantar Metafisika, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002)., hlm. 1.
5

2. Epistemologi
Kata epistemologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani episteme
(pengetahuan/ ilmu pengetahuan) dan logos (pengetahuan atau informasi).
Dapat dikatakan sebagai pengetahuan tentang pengetahuan adakalanya disebut
teori pengetahuan.8
Secara terminologi epistemologi menurut Louis O Kattsoff ialah cabang

filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya
pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang dikajinya ialah apakah mengetahui
itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara
kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Apakah yang merupakan
bentuk pengetahuan itu? Bagaimanakah corak pengetahuan? Bagaimanakah
cara kita memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesalahan? 9
3. Aksiologi
Aksiologi secara etimologi berasal dari kata Yunani axios (layak/ pantas),
dan logos (ilmu, studi mengenai). 10
Secara terminologi aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan, cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah nilai seperti etika dan
estetika. Etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan)
dan Estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. 11
c. Karakteristik Berfikir Ke-filsafatan
Para ahli pikir (filosof) sepanjang sejarah filsafat selalu menggunakan seluruh
daya dan kemampuannya untuk coba menerangkan berbagai fenomena, mereka
heran akan gejala alam. Mereka bertanya mengenai asal-usul segala sesuatu,
mereka juga menggugat apa yang oleh umum dianggap sebagai hakikat, mereka
merenungkan segala peristiwa lalu mencari tali-temali serta menyimpulkan.

Perenungan mendalam tadi/ berfikir kefilsafatan memiliki karakteristik
tersendiri yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lain.
8

Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 212.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, ( Yogyakarta :
Tiara Wacana, 2004)., hlm. 74.
10
Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 33.
11
Louis O. Kattsoff, Op. Cit., hlm. 319.
9

Beberapa ciri berfikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Radikal artinya berfikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada
hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2. Universal artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum
manusia. Kekhususan berfikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada
keumumannya.
3. Konseptual artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi

pengalaman manusia. Misalnya apakah kebebasan itu?
4. Koheren & Konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah
berfikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi
5. Sistematik artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus
saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau
tujuan tertentu.
6. Komprehensif artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara
kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara
keseluruhan.
7. Bebas artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh
dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari
prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relegius.
8. Bertanggung Jawab artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang
berfikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling
tidak terhadap hati nuraninya.12
Kedelapan ciri berfikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung berbeda
dengan ciri-ciri berfikir ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukan filsafat
sebagai bidang keilmuan yang netral terutama ciri ketujuh
d. Metode – metode Filsafat
1. Metode Kritis : Sokrates, Plato

Bersifat analisa istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika13, yang
menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan

12

Drs. Rizal Mustansyir, M. Hum dan Drs. Misnal Munir, M. Hum, Op. Cit., hlm. 5
Hermeunetika, dari bahasa Yunani hermeunetikos (penafsiran). Hermeunetika berarti Ilmu dan
teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik obyektif (arti
gramatikal kata-kata dan variasi historisnya), maupun subyektif. Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 283.
13

bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan
menolak, akhirnya ditemukan hakikat.
2. Metode Intuitif : Plotinos, Bergson
Dengan introspeksi intuitif14, dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan
pembersihan intelektual (bersama dengan persucian moral), sehingga tercapai
suatu penerangan pikiran. Bergson : dengan jalan pembauran antara kesadaran
dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
3. Metode Skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas
Bersifat sintetis-deduktif15. Dengan bertitik tolak dari definisi-definisi atau

prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan.
4. Metode Matematis : Descartes
Melalui analisa mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakekat
sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain); dari hakekat itu
dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya.
5. Metode Empiris : Hobbes, Locke, Berkeley, Hume

Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian yang benar, maka semua
pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandikan dengan cerapan-cerapan
(impressi) dan kemudian disusun bersama secara geometris.
6. Metode Transendental : Kant

Bertitik tolak dari pengertian tertentu dengan jalan analisa diselidiki syaratsyarat apriori16 bagi pengertian sedemikian.
7. Metode Dialektis : Hegel, Marx

14
Metode intuitif disebut pula sebagai metode mistis dengan melakukan kontemplasi akan hal-hal
relegius. Dalam hal ini filsafat bukan hanya doktrin tapi juga way of life. Anton Bakker, Metode-metode
Filsafat, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984)., hlm.41Intuisi dari bahasa latin intueri – intuitus (memandang);
dari in (pada) dan tueri (melihat, menonton). Mengandung pengertian sebagai pemahaman atau pengenalan

terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi(penyimpulan). Penglihatan langsung atau
penangkapan (aprehensi) kebenaran. Kontras dengan empirisme dan rasionalisme sebagai sumber
pengetahuan. Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 364.
15
Metode Sintetis-deduktif merupakan metode yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip sederhana
yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan khusus. Deduksi dapat
berlangsung dari yang general ke general, atau particular ke particular. Penalaran dari suatu kebenaran
umum ke khusus dari kebenaran itu dapat dicontohkan dengan : “semua Manusia mati, Endang adalah
manusia, maka endang mati”. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 149
16
Apriori dari bahasa latin a (dari) dan prior (yang mendahului). Apriori mengacu kepada kesimpulankesimpulan yang diasalkan bukan dari pengalaman. Oleh karena itu apriori mengacu kepada apa yang dapat
kita asalkan dari definisi-definisi dan apa yang tersirat dalam makna ide-ide yang sudah diterima. Lawan
dari apriori adalah aposteriori. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 68 - 69.

Dengan jalan mengikuti dinamik pemikiran atau alam sendiri, menurut triade
tesis, antithesis, sintesis17 dicapai hakekat kenyataan
8. Metode Fenomenologis : Husserl, Eksistensialisme

Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction)18, refleksi atas
fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakekat murni.

9. Metode Neo-positivistis

Kenyataan dipahami menurut hakekatnya dengan jalan mempergunakan
aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif19 (eksakta).
10. Metode Analitika Bahasa : Wittgeinstein

Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau
tidaknya ucapan-ucapan filosofis.20

B. ILMU
Manusia adalah homo sapiens, makhluk tuhan yang berfikir setiap saat dari hidupnya,
sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berfikir, hampir tidak
ada masalah yang menyangkut peri kehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya,
dari soal paling asasi, dari pertanyaan yang menyangkut sarapan pagi sampai persoalan
surga dan neraka di akhir nanti, berfikir itulah yang mencirikan hakekat manusia dan
arena berfikirlah dia menjadi manusia.
17

Triade diturunkan dari bahasa Yunani treis (tiga). Triade merupakan tri tunggal dan setiap
perkembangan berjalan melalui tiga tahap yaitu : tesis, antithesis dan sintesis. Setiap tahap berikutnya

melawan tahap yang sebelumnya. Sedangkan sintesis bukan hanya meniadakan antithesis, tetapi ia juga
memadukan dengan cara baru segi-segi tertentu dari dua tahap perkembangan sebelumnya. Lorens Bagus,
Ibid., hlm. 1123
18
Reduksi merupakan perangkat metodologi dengan cara membawa data dan persoalan pada
bentuk yang cocok buat analisis data atau pemecahan permasalahan melalui penyederhanaan hal yang rumit
atau kompleks. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 940
19
Positif sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek factual
pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik. Lorens Bagus, Ibid.,
hlm. 858.
20
Anton Bakker, Op. Cit., hlm. 22.

Berfikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan.
Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran
tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak
pemikiran ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi
dari objek yang sedang kita pikirkan. Bahasa adalah satu dari lambang tersebut di mana
objek-objek kehidupan yang konkrit dinyatakan dengan kata-kata. Lalu apakah
sebenarnya ilmu itu? Apakah ciri-ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu?
a. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama – ya’lamu – ‘ilman21. Arti dasar dari
kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa
Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata
science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan
dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang
menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan.
Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui.22 Terlepas
dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata
science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan.
Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, kata dasarnya adalah “tahu”.
Secara umum pengertian dari kata “tahu” ini menandakan adanya suatu
pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang
dimiliki oleh seseorang.
S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge obtained
by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan
pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta.23
Kamus bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamus ini juga
menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian
tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.24
Stewart Ricards mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang realitas
yang nyata yang dipastikan oleh pengamatan, pengujian kritis dan
pengklasifikasian sistematis dibawah prinsip-prinsip umum. Pengetahuan juga
mampu menjelaskan penemuan-penemuan nilai-nilai masa lalu dan mampu
membuat prediksi untuk masa depan melalui pemahaman kausalita. Ilmu
pengetahuan juga harus bersifat universal tidak terikat oleh ruang dan waktu,
21
22
23
24

dapat dinyatakan dengan tegas, dapat dipahami, memmpunyai keterkaitan empiris
yang bisa diuji persesuaian antara teori dan implikasi praktisnya.25
Menurut Bahm definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam
macam komponen, yaitu masalah (Problem), sikap (attitude), metode (method),
aktivitas (activity), kesimpulan (conclution) dan pengaruh (effects).
1. Masalah (Problem)
Tiga karakteristik yang menunjukkan masalah bersifat scientific,
yaitu: Communicabilility (sesuatu yang patut dikomunikasikan), The
Scientific attitude meliputi karakteristik curiosity, spekulativeness,
willingness to be objective, willingness to suspend judgement dan
tentativty. The scientific method (masalah dapat diuji/ testable)
2. Sikap (attitude)
Karakteristik yang harus dipenuhi antara lain : curiosity (rasa ingin
tahu), spekulativeness (mempunyai hasrat memecahkan masalah melalui
hipotesis-hipotesis), willingness to be objective (hasrat bertindak objektif),
willingness to suspend judgement dan tentativty (Sabar dlm observasi dan
bersikap bijak dlm menentukan kebijakan berdasar bukti-bukti yang
dikumpulkan karena apa yang ditemukan masih bersifat tentatif.
3. Metode (method)
Essensi dari Sains adalah metode-nya, akan tetapi para scientist tidak
memiliki metode ide yang pasti yang dapat ditunjukkan sebagai sesuatu
yang absolute/ mutlak.
4. Aktivitas (activity)
Sains adalah lahan yang dikerjakan para scientist melalui apa yang
disebut scientific research.
5. Kesimpulan (conclution)
Sains lebih sering dipahami sebagai batang tubuh pengetahuan dan
kesimpulan merupakan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan
masalah.
6. Pengaruh (effects)
Apa yang dihasilkan science pada akhirnya memberikan berbagai
pengaruh. Pertama pengaruh ilmu terhadap ekologi melalui apa yang
disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap apa
atau dalam masarakat serta membudayakannya menjadi berbagai macam
nilai.26
Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi
tentang;hipotesa, teori, dalil dan hukum. Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa
hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan
pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan
berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu
keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling
berkaitan secara logis.
25

Stewart Ricards, An Introduction to : Philosophy of sociology of Science, (Oxford, TJ Press,
1983)., hlm. 28
26
Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, ( Jakarta : Bumi Aksara,
2008)., hlm. 58.

Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan
kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan
memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum
dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan
logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi.
Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminologi
ilmiah.
b. Ciri-ciri ilmu

Pengetahuan yang bagaimanakah yang membedakan antara pengetahuan
ilmiah dengan pengetahuan lainnya? Menurut Van Melsen, suatu pengetahuan
dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan,
sebagai berikut :
1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang
logis koheren. Itu berarti adanya system dalam penelitian (metode) maupun
harus (susunan logis)
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan
tanggung jawab ilmuwan
3. Universalitas ilmu pengetahuan
4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objekdan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif.
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah, karena
ilmu pengetahuan harus dikomunikasikan.
6. Progresifitas artinya jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh
bila mengandung pertanyaan baru dan menimbulkan problem baru lagi.
7. Kritis artinya tidak ada teori yang definitive, setiap teori terbuka bagi suatu
peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan
antara teori dengan praktis.27
c. Metode-metode Pengetahuan
Dalam Buku elements of Philosophy Louis O Kattsoff menunjukkan ada lima
aliran metodis untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu : Empirisme, Rasionalisme,
Fenomenalisme, Intusionisme, dan Metode Ilmiah.
1. Empirisme berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui pengalaman.
Sifat menonjol dari metode ini adalah apabila kita perhatikan pertanyaan
seperti “ bagaimanakah orang mengetahui es itu membeku?” jawabannya pasti
akan berbunyi “karena saya melihatnya sedemikian itu”. John Locke, bapak
empiris mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya
merupakansejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dan seluruh
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi sederhana tersebut.
2. Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Rasionalisme tidak menyangkal adanya pengalaman akan tetapi pengalaman
27

Drs. Surajiyo,Ibid., hlm. 60

hanya dilihat sebagai perangsang bagi pikiran.rasionalisme meyakini bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide kita dan bukannya di dalam
barang sesuatu. Kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya
dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3. Fenomenalisme Kant : Sebuah metode pengetahuan yang mensintesakan
antara pengetahuan apriori dan aposteriori. Bagi Kant barang sesuatu
sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri (das ding an sich) merangsang
alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk pengalaman,
dihubungkan sesuai dengan kategori-kategori pengalaman, dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai
pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan
hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya
pengetahuan tentang gejala (phenomenon).
4. Intusionisme : dalam hal ini ada sebuah ungkapan komparasi tentang
pengetahuan yaitu “pengetahuan mengenai (knowledge about)” dan
“pengetahuan tentang (knowledge of)”. Pengetahuan mengenai dinamakan
pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis dan pengetahuan ini ada
perantaranya. Pengetahuan tentang disebut pengetahuan yang langsung atau
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung
dari pengetahuan intuitif.
5. Metode Ilmiah : metode ini mengikuti prosedur-prosedur tertentu yang sudah
pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Unsur pertama dalam
metode ini, sejumlah pengamatan (artinya, pengalaman-pengalaman) yang
dipakai dasar untuk merumuskan masalah. Bila ada suatu masalah dan sudah
diajukan satu penyelesaian yang dimungkinkan, maka penyelesaian yang
diusulkan itu dinamakan “hipotesa”.
Jadi hipotesa ialah usulan penyelesaian yang berupa saran dan sebagai
konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan memerlukan
verifikasi. Di dalam proses menemukan hipotesa dikatakan bahwa akal
bergerak keluar dari pengalaman, mencari satu bentuk, katakanlah untuk di
dalamnya disusun fakta-fakta yang telah diketahui dalam suatu kerangka
tertentu. Diharapkan jika fakta-fakta yang telah diketahui itu cocok dengan
hipotesa yang disarankan tersebut, maka segenap yang serupa pasti juga akan
cocok dengan hipotesa tadi. Metode penalaran yang bergerak dari suatu
perangkat pengamatan yang khusus kearah suatu pernyataan mengenai semua
pengamatan yang sama jenisnya dikenal sebagai induksi.
Jika suatu hipotesa telah diusulkan maka perlu diverifikasi atau perlu
bahan-bahan bukti. Bahan bukti yang memperkuat hipotesa berasal dari dua
jurusan :
a) Bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan hipotesa
tersebut

b) Hipotesa itu harus meramalkan bahan-bahan keterangan yang dapat
diamati, yang memang demikian keadaannya. Proses yang terjadi yang
menunjukkan bahwa bahan-bahan keterangan yang diketahui itu cocok
dengan hipotesa dapat dinamakan kalkulasi.
Proses peramalan dilakukan dengan deduksi-matematis. Jika suatu
hipotesa benar, berarti ada hal-hal tertentu yang diramalkan. Dari sini kita
melihat bahwa teknik deduksi yang pada hakekatnya bersifat rasionalistis
merupakan suatu factor penting di dalam metode ilmiah.28

C. FILSAFAT ILMU
a. Pengertian Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian
filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun
oleh Ismaun (2001)
 Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current
scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of
science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”.
(Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapatpendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang
dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas
bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
28

Louis O. Kattsoff, Op. Cit., hlm. 131 - 145



Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of
scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific
enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode
pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah
sebagai suatu keseluruhan)



A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of
the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions,
and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang
pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu,
khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan,
serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)



Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan
tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara
percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)



May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral
analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara
etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.



Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do
for science what philosophy in general does for the whole of human experience.
Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about
man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the
other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief
or action, including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini
membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya
sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat
memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan
bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan
pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan



Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to
elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational
procedures, patens of argument, methods of representation and calculation,
metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their
validity from the points of view of formal logic, practical methodology and
metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama
menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode
penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan
seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari
sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).

b. Objek Filsafat Ilmu
Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu
ilmu, atau objek yang yang di pelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu
adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah di susun secara
sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung
jawabkan kebenarannya secara umum.
Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek
materialnya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan
artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu
pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh
kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang di
bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
c. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu,
fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara
keseluruhan, yakni :



Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap
pandangan filsafat lainnya.



Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan
dunia.



Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan



Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai
aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)

Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk
memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori
sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu:
sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif
antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya
menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
d. Substansi Filsafat Ilmu

Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya
dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau
kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari
sudut pandang filosofis yang melandasinya.



Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada
korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian
kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya
korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah
koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.



Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara
empirik dengan skema rasional, dan



Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada
koherensi antara empiri dengan obyektif.



Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta
obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian
realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia.
Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam
kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif
dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis.
Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak
terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan
fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran.
Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi,
korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara,
Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran
koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran
pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir
menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun;
2001)
a. Kebenaran koherensi

Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara
sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari
sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi
ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu
itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya
kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang
diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual
dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik,
maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual.
Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan
memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks,
yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu
kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika
Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal
suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak
dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan
perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis
regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai
pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya
keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu
memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
g. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang
akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat

ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan
konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang
sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan
postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan
untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif,
deduktif, ataupun reflektif.
h. Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX
adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik
menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel
menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada
Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema
moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa
kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara
rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan
Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral.
Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik
rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik
dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden.
(Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan
tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara
garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan
logika deduksi
e. Problem dalam Filsafat Ilmu
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen?
komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het
zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme,
Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita
masing?masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana
manifestasi kebenaran yang kita cari.
2. Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan
landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam

menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft)
pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model?
model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau
rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya.
Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model
epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori
koherensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
3. Akslologi llmumeliputi nilal?nilal (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita
jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasansimbolik atau pun fisik?material. Lebih dari itu nilai?
nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non
yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian
maupun di dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya
pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik.
Bahkan sampal pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.