BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minat Kunjungan Ulang Pasien 2.1.1 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan - Pengaruh Mutu Pelayanan Terhadap Minat Kunjungan Ulang Pasien Rawat Inap Non Obstetri Dan Ginekologi Di Rumah Sakit Umum Muhammadiyah Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minat Kunjungan Ulang Pasien

2.1.1 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

  Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas. Perilaku merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Menurut Skiner dalam Notoadmodjo (2003), perilaku manusia akan kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.

  Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit sudah barang tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Menurut Notoadmodjo (2003) respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut: 1.

  Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action). Alasannya adalah keadaan tersebut tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apa pun gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya.

  2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan bahwa orang tersebut percaya kepada diri sendiri dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman- pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah mendatangkan kesembuhan.

  3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional

  remedy) . Pada masyarakat yang masih sederhana, masalah sehat-sakit adalah

  lebih bersifat budaya daripada gangguan-gangguan fisik. Sehingga pengobatan yang dilakukan lebih berorientasi kepada sosial-budaya masyarakat daripada hal- hal yang dianggapnya masih asing. Pengobatan tradisional menduduki tempat teratas dibandingkan pengobatan lainnya.

  4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obatan ke warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.

  5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas dan rumah sakit.

  6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine).

  Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit berbeda-beda. Persepsi masyarakat berhubungan erat dengan perilaku pencarian pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan memengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang didukung dengan peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan, maka hasil tersebut telah dapat meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan medis.

2.1.2 Konsumen dan Pelanggan Pelayanan Kesehatan

  Pelanggan (costumer) berbeda dengan konsumen (consumer). Seseorang dikatakan konsumen pada saat datang ke suatu tempat untuk memiliki suatu barang atau mendapatkan suatu jasa, dan membayar barang atau jasa tersebut. Sedangkan seseorang dapat dikatakan pelanggan jika telah membiasakan diri untuk melakukan pembelian secara berulang dalam waktu tertentu yang telah ditawarkan oleh perusahaan. Konsumen akan menjadi pelanggan jika dia merasa mendapatkan nilai lebih dari barang atau jasa yang dibelinya.

  Kita secara otomatis akan mengatakan bahwa pasien merupakan konsumen layanan kesehatan, tetapi pasien dalam hal ini hanya merupakan salah satu jenis konsumen layanan kesehatan. Konsumen layanan kesehatan merupakan semua orang yang sehari-harinya melakukan kontak dengan layanan kesehatan.

  Berdasarkan pengertian ini, dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen internal dan konsumen eksternal. Konsumen internal adalah semua orang yang bekerja dalam organisasi layanan kesehatan dan pelanggan internal ini sangat penting karena harus dapat bekerja sama dan menghasilkan layanan kesehatan yang bermutu.

  Jika sebagian organisasi tidak bekerja dengan baik, dampaknya akan mengenai seluruh mata rantai layanan kesehatan dan akhirnya pasien sebagai konsumen eksternal akan mendapat layanan kesehatan yang tidak bermutu. Konsumen eksternal adalah orang yang berada di luar organisasi layanan kesehatan yang memperoleh layanan kesehatan yang dihasilkan oleh organisasi layanan kesehatan. Konsumen ekternal ini meliputi pasien, keluarganya, dokter praktik swasta, dokter tamu, pemasok dan kontraktor, serta pekerja sukarela. Kita berharap konsumen layanan kesehatan yang dimaksudkan di atas bukan hanya sekedar menjadi konsumen, tetapi menjadi pelanggan bagi layanan yang kita berikan.

2.1.3 Definisi Minat Kunjungan Ulang

  Menurut Umar (2003), minat kunjungan ulang merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap objek yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang.

  Proses keputusan pembelian ulang terbentuk sesudah tahapan purna beli. Dalam siklus pembelian menunjukkan ada dua hal yang memengaruhi seseorang pelanggan melakukan pembelian ulang, yaitu evaluasi pasca pembelian dan keputusan melakukan pembelian ulang. Pelanggan secara sadar dan tidak sadar dalam tahap purna beli, akan mengevaluasi transaksi yang telah dilakukan. Tingkat kepuasan atau ketidakpuasan konsumen yang akan memengaruhi perilakunya.

  Jika konsumen merasa puas karena mutu pelayanan yang baik, ia akan memperlihatkan peluang yang besar untuk melakukan pembelian ulang. Serta pelanggan yang merasa puas juga akan cenderung menyatakan hal-hal baik tentang organisasi pemberi layanan kesehatan tersebut kepada orang lain (Bayus dalam Kotler, et al., 1997). Hal ini ditegaskan oleh Tjiptono (2002) bahwa terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya hubungan antara organisasi pemberi layanan dan pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas pelanggan, dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang menguntungkan bagi perusahaan. Singkatnya, mutu pelayanan yang baik dapat dilihat dari minat pembelian ulang yang muncul pada diri pelanggan. Sementara konsumen yang merasa tidak puas akan bereaksi dengan tindakan-tindakan negatif seperti mendiamkan saja, melakukan komplain, bahkan merekomendasikan negatif kepada orang lain. Rumah sakit akan kehilangan banyak pasien dan dijauhi oleh calon pasien.

  Pasien akan beralih ke rumah sakit lainnya yang memenuhi harapan pasien.

Gambar 2.1 Siklus Pembelian

  Sumber: Setiawan (2011)

  Handriani dan Yunita (2010) dalam suatu penelitiannya yang dilakukan di suatu rumah sakit swasta di Bogor, variabel-variabel yang mempengaruhi pembelian ulang pasien di antaranya adalah sikap pasien dan hambatan pindah.

  Dikatakan hambatan pindah (switching barrier) apabila ada faktor yang menghambat seorang pasien yang tidak puas untuk beralih ke rumah sakit lain.

  Hambatan pindah mengacu pada tingkat kesulitan pelanggan untuk berpindah ke penyedia jasa lain, yang umumnya berupa kendala finansial, sosial, dan psikologis.

  Semakin tinggi hambatan pindah yang dimiliki seorang pasien, maka semakin sulit pasien tersebut beralih ke rumah sakit lain. Akibatnya, menciptakan hambatan pindah yang tinggi dapat menjadi salah satu strategi bagi suatu rumah sakit untuk mempertahankan pelanggan. Strategi ini biasa disebut sebagai retensi pelanggan, yang merupakan salah satu upaya untuk menekan perpindahan pelanggan. Secara otomatis jumlah pelanggan akan meningkat dan pada akhirnya akan berdampak sangat baik terhadap performance bisnis rumah sakit.

2.1.4 Konsep Loyalitas Pelanggan

  Griffin (1995) berpendapat bahwa seseorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberikan kepuasan pelanggan dilakukan untuk memengaruhi sikap pelanggan, sedangkan konsep loyalitas pelanggan lebih berkaitan dengan perilaku pelanggan daripada sikap pelanggan.

  Tahapan perilaku konsumen pelayanan kesehatan hingga menjadi pelanggan yang loyal adalah sebagai berikut:

  1. Suspect, yaitu orang yang mungkin akan menjadi pembeli jasa perusahaan. Pada tahap ini perusahaan harus meyakinkan mereka mengenai berbagai manfaat dan keunggulan dari jasa yang ditawarkan.

  2. Prospek, yaitu yang membutuhkan jasa kita dan memiliki kemampuan untuk membeli. Meskipun prospek belum membeli, biasanya mereka telah mengetahui jasa kita. Mereka mengenal kita bisa dari promosi yang kita lakukan atau ada orang lain yang merekomendasikan.

3. Pembeli berulang, yaitu orang-orang yang membeli jasa kita dua kali atau lebih.

  Mereka membeli kembali jasa kita karena faktor harga, kepuasan atas layanan, atau karena kebutuhan mendesak sedangkan pesaing tidak siap dengan ketersediaan jasanya.

  4. Pelanggan loyal (klien), yaitu orang yang membeli secara teratur. Perusahaan memiliki hubungan yang kuat dengan mereka sehingga mereka kebal terhadap tarikan pesaing. Mulai tahap ini, mereka akan banyak memberikan kontribusi jangka panjang bagi performance perusahaan.

  5. Penganjur (advocate). Selain pembeli secara teratur jasa kita, mereka juga mendorong orang lain untuk membeli jasa kita. Mereka adalah salesman dan media promosi perusahaan yang sangat efektif dan perusahaan tidak perlu membayar.

  Pemahaman loyalitas pelanggan sebenarnya tidak hanya dilihat dari transaksinya saja atau pembelian berulang. Ada beberapa ciri seorang pelanggan bisa dianggap loyal. Antara lain: 1) pelanggan melakukan pembelian berulang secara teratur, 2) pelanggan membeli antarlini produk dan jasa, 3) pelanggan merefrensikan kepada orang lain produk atau jasa yang telah dikonsumsinya, dan 4) pelanggan menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing-pesaing lain.

2.2 Mutu Pelayanan

2.2.1 Pengertian Mutu Pembahasan mengenai mutu telah ada sejak setengah abad yang lalu.

  Berbagai pembahasan tentang mutu dikemukakan oleh para ahli. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa mutu atau kualitas menurut kamus Bahasa Indonesia ialah ukuran, derajat, atau taraf tentang baik buruknya suatu produk barang atau jasa. Ukuran yang terpenting dalam mutu bukanlah harga atau biaya, akan tetapi kesamaan terhadap standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, suatu barang atau jasa dikatakan bermutu jika barang atau jasa tersebut mempunyai derajat kesempurnaan yang sesuai dengan standar yang ada.

  Menurut Garvin dalam Tjiptono (2008), mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Pelanggan yang menentukan dan menilai sampai seberapa jauh sifat dan karakteristik itu memenuhi kebutuhannya (Lupiyoadi, 2001). Harapan konsumen pada produk selalu berubah sehingga kualitas produk juga harus disesuaikan dengan perkembangan minat pelanggan. Dengan perubahan kualitas produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan organisasi agar dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen.

  Secara sederhana, mutu bisa diartikan sebagai “ukuran seberapa bagus tingkat layanan/produk yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan” (Lewis dan Booms dalam Tjiptono, 2008). Berdasarkan definisi ini, kualitas layanan ditentukan oleh kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Dengan kata lain, faktor utama yang memengaruhi mutu layanan (perceived service) (Parasuraman, et al. dalam Tjiptono, 2008).

  Deming dalam Bustami (2011) mengemukakan bahwa mutu dapat dilihat dari aspek konteks, persepsi pelanggan, serta kebutuhan dan keinginan peserta. Dari aspek

  

konteks , mutu adalah suatu karakteristik atau atribut dari suatu produk atau jasa. Dari

aspek persepsi pelanggan , mutu adalah penilaian subjektif pelanggan. Persepsi

  pelanggan dapat berubah karena pengaruh berbagai hal seperti iklan, reputasi produk atau jasa yang dihasilkan, pengalaman dan sebagainya. Dari aspek kebutuhan dan

  

keinginan pelanggan , mutu adalah apa yang dikehendaki dan dibutuhkan oleh

pelanggan.

  Mutu memerlukan suatu proses perbaikan terus menerus (continous

  

improvement process) dengan individual yang dapat diukur dan pencapaian performa

  yang diinginkan. Apabila dikelola dengan tepat, kualitas dapat berkontribusi positif terhadap terwujudnya kepuasan dan pembelian ulang pelanggan. Kualitas memberikan nilai plus berupa motivasi khusus bagi para pelanggan untuk menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Ikatan emosional semacam ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan dan kebutuhan spesifik pelanggan. Pada gilirannya, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, di mana perusahaan memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimunkan atau meniadakan pengalaman pelangan yang kurang menyenangkan. Selanjutnya kepuasan pelanggan berdampak pada terciptanya rintangan beralih (switching barriers), biaya beralih (switching costs), dan pembelian ulang pelanggan.

2.2.2 Pengertian Pelayanan

  Layanan merupakan salah satu dari produk. Secara garis besar, tawaran produk bisa dikelompokkan menurut berbagai kriteria. Salah satunya adalah daya tahan (durability) atau berwujud tidaknya (tangibility) produk bersangkutan. Berdasarkan kriteria ini, produk bisa dibedakan menjadi tiga macam, yakni: 1.

  Barang tidak tahan lama (non-durable goods) Barang tidak tahan lama adalah barang berwujud yang biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali pemakaian. Umur ekonomisnya maksimun satu tahun. Contohnya pasta gigi, sabun mandi, permen, garam, gula, kapur tulis, rokok, buku tulis, dan sebagainya.

2. Barang tahan lama (durable goods)

  Barang tahan lama adalah barang berwujud yang biasanya bisa bertahan lama atau berumur ekonomis lebih dari satu tahun. Contohnya antara lain lemari es, televisi, mobil, sepeda motor, computer, mesin cuci, dan lain-lain.

3. Jasa/pelayanan (services)

  Jasa/pelayanan merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual. Contohnya bengkel reparasi kendaraan bermotor, salon kecantikan, kursus keterampilan, pusat kebugaran, restoran, hotel, rumah sakit, universitas, dan lain-lain.

  Sesungguhnya pembedaan secara tegas antara barang dan jasa/pelayanan tidaklah gampang dilakukan. Hal ini dikarenakan pembelian barang fisik sering kali dibarengi pula dengan unsur jasa/layanan tertentu (seperti pembelian atau fasilitas kredit, instalasi, penyampaian garansi, pelatihan dan bimbingan operasional, perawatan dan reparasi) dan sebaliknya pembelian sebuah jasa kerap kali melibatkan pula barang-barang pelengkap (contohnya, buku tabungan dan kartu ATM untuk jasa tabungan di bank, pesawat telepon dalam jasa telekomunikasi, bis dan kereta api dalam jasa angkutan umum).

  Secara sederhana, istilah pelayanan mungkin bisa diartikan sebagai “melakukan sesuatu bagi orang lain”. Akan tetapi, tidaklah mudah mencari padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang pas untuk istilah tersebut. Istilah pelayanan menyiratkan segala sesuatu yang dilakukan pihak tertentu (individu maupun kelompok) kepada pihak lain (individu atau kelompok). Salah satu contohnya adalah layanan pelanggan (customer service) yang disediakan pada bank.

  Keanekaragaman makna istilah service juga dijumpai dalam kosakata bahasa Inggris. Kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000), misalnya, mendaftar 16 definisi berbeda untuk istilah pelayanan. Beberapa diantaranya adalah: 1) sistem yang menyediakan sesuatu yang dibutuhkan publik, diorganisasikan oleh pemerintah atau perusahaan swasta (contohnya jasa ambulans, bis dan telepon); 2) organisasi menyediakan sesuatu kepada publik atau melakukan sesuatu bagi pemerintah; 3) bisnis yang pekerjaannya berupa melakukan sesuatu bagi pelanggan tetapi tidak menghasilkan barang; 4) keterampilan atau bantuan tertentu yang bisa ditawarkan seseorang.

  Definisi yang sangat simpel diberikan oleh Ivancevich, Lorenzi, Skinner dan Crosby (1997), pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan. Ini adalah definisi yang paling simpel.

  Sedangkan Gronroos dalam Ratminto dan Winarsi (2005) dalam teorinya mengenai pelayanan mendefinisikan pelayanan sebagai suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal- hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.

  Dari dua definisi tersebut di atas dapat diketahui bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata (tidak dapat diraba) dan melibatkan upaya manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara pelayanan. Hal ini juga ditegaskan oleh Kotler (1997), yang menyatakan bahwa pelayanan jasa adalah aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun.

  Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan sebagai segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.2.3 Karasteristik dan Klasifikasi Pelayanan Jasa

  Pelayanan jasa menurut Berry dalam Tjiptono (2002) memiliki empat karakteristik utama yaitu tidak berwujud (intangibility), tidak terpisah

  (inseparability), bervariasi (variability), dan tidak tahan lama (perishability), yaitu: 1.

  Tidak berwujud (intangibility) Sifat jasa tidak berwujud (service intangibility) artinya jasa dapt dilihat, dikecap, dirasakan, didengar atau dicium sebelum dibeli. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli mencari “tanda” dari mutu jasa. Organisasi yang memberikan pelayanan berupa jasa biasanya memiliki “sertifikasi” mutu yang ditetapkan oleh badan/institusi yang terkait.

2. Tidak terpisah (inseparability)

  Barang fisik diproduksi, kemudian disimpan, selanjutnya dijual dan baru nantinya dikonsumsi. Sebaliknya, jasa dijual dulu, kemudian diproduksi dan dikomsumsi bersamaan. Jasa tidak terpisahkan (service inseparability), berarti bahwa jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, baik penyedianya manusia atau mesin.

  3. Bervariasi (variability) Keanekaragaman jasa (service variability) berarti bahwa mutu jasa tergantung pada siapa yang menyediakan jasa, di samping waktu, tempat dan bagaimana disediakan. Misalnya ada dua rumah sakit yang letaknya berdekatan. Satu rumah sakit memiliki komitmen untuk melayani pasien gawat darurat secara cepat dan sigap. Mereka melayani pasien masuk dengan kurang dari 20 menit. Sedangkan rumah sakit lainnya melayani pasien masuk dengan waktu lama, pasien terbangkalai menunggu selama berjam-jam. Dalam hal ini terlihat bahwa mutu pelayanan jasa dari kedua rumah sakit bervariasi menurut pelayanannya.

  4. Tidak tahan lama (perishability) Jasa tidak tahan lama (service perishability) berarti bahwa jasa tidak dapat disimpan untuk dijual atau dipakai kemudian. Sebagai contoh, rumah sakit menyediakan 50 tempat tidur untuk pasien rawat inap. Namun pada saat permintaan pelayanan rawat inap meningkat, maka jumlah tersebut tidak dapat dipertahankan, sehingga rumah sakit harus meningkatkan luas tempat pelayanan dan jumlah tempat tidur agar permintaan dapat dipenuhi.

  Berbeda dengan pembagian karakteristik di atas, Griffin dalam Bustami (2011) menyebutkan karakteristik pelayanan jasa digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Intangibility (tidak berwujud). Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Niat penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan atau rasa aman.

  2. Unstorability. Jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang telah dihasilkannya. Karakteristik ini disebut juga tidak dapat dipisahkan, mengingat pada umumnya jasa yang dihasilkan dan dikonumsi secara bersamaan.

3. Customization. Jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan sebagaimana pada jasa asuransi dan kesehatan.

  Walaupun penggolongan karakteristik jasa berbeda-beda, namun beberapa diantaranya memiliki kesamaan prinsip. Industri jasa sangatlah bervariasi. Pekerjaan di bidang jasa mencakup industri hotel, perusahaan penerbangan, bank, komunikasi, dan lain-lain, juga industri produk, seperti pengacara perusahaan, staf kesehatan dan pelatih penjualan.

  Industri jasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, Berdasarkan tingkat kontak dengan konsumen, jasa dapat dibedakan ke dalam kelompok high-

  

contact system dan low-contact system. Pada kelompok high-contact system, untuk

  menerima jasa, konsumen harus menjadi bagian dari sistem. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada jasa sejenis pendidikan, rumah sakit dan transportasi. Sedangkan pada kelompok low-contact system, konsumen tidak perlu menjadi bagian dari sistem untuk mendapatkan pelayanan. Misalnya pada jasa reparasi mobil, konsumen tidak harus dalam kontak pada saat mobilnya yang rusak diperbaiki.

  Cara lain untuk mengklasifikasikan jasa adalah dengan menggunakan kesamaan dengan operasi manufaktur. Cara ini membagi tiga kelompok, yaitu pure

  

service , quasimanufacturing service, dan mixed service. Pure service merupakan jasa

  yang tergolong high contact dengan tanpa persediaan, dengan kata lain benar-benar sangat berbeda dengan manufaktur. Jasa tukang cukur dan ahli bedah misalnya, memberikan perlakuan khusus (unik) dan memberikan jasanya pada saat konsumen ada. Sebaliknya quasimanufacturingservice dalam banyak hal mirip dengan manufaktur, karena jasa ini termasuk sangat low-contact dan konsumen tidak harus menjadi bagian dari proses produksi jasa. Termasuk dalam jasa tersebut adalah jasa perbankan, asuransi, kantor pos dan jasa pengantaran. Sedangkan mixed service, merupakan kelompok jasa dengan tingkat kontak menengah. Termasuk dalam kelompok ini adalah jasa bengkel, toko dry cleaning, jasa ambulans, dan pemadam kebakaran.

2.2.4 Dimensi Mutu Pelayanan

  Mutu merupakan konsep yang komprehensif dan multidimensional. Lori DiPrete Brown et al. dalam QA Methodology Refirement Series (1992) mengemukakan bahwa kegiatan penjaminan mutu menyangkut satu atau beberapa dimensi mutu, yaitu: 1.

  Kompetensi teknis (technical competence), yaitu berupa keterampilan, kemampuan dan penampilan petugas, manajer dan staf pendukung, serta bagaimana cara petugas mengikuti standar pelayanan yang telah ditetapkan dalam hal kepatuhan, ketepatan, kebenaran dan konsistensi. Dimensi ini relevan untuk pelayanan klinis dan non-klinis. Kurangnya kompetensi teknis dapat bervariasi dari penyimpangan kecil terhadap prosedur standar sampai kesalahan yang besar dan terkait dengan efektivitas pelayanan. Misalnya pada pelayanan kesehatan, para pemberi pelayanan kesehatan harus mengikuti Standar Pelayanan Kesehatan yang disepakati. Tidak terpenuhinya kompetensi teknis dapat mengakibatkan tidak berjalannya standar yang ada sehingga dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan dan membahayakan jiwa pasien.

  2. Akses terhadap pelayanan (access to sevice), maksudnya adalah pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial dan budaya, ekonomi, organisasi atau hambatan bahasa. Akses geografis dapat diukur dengan jenis alat transportasi, jarak, waktu perjalanan, dan hambatan fisik lain yang dapat menghalangi pelanggan memperoleh pelayanan. Akses sosial dan budaya terkait dengan dapat diterimanya pelayanan oleh pelanggan berkaitan dengan nilai budaya, kepercayaan dan perilaku masyarakat. Akses ekonomi berkaitan dengan kemampuan pembiayaan yang terjangkau oleh pelanggan. Akses organisasi berkaitan dengan sejumlah mana organisasi pelayanan dapat menjamin dan diatur untuk kenyamanan dan ketertiban pelanggan. Akses bahasa dalam konteks pelayanan berarti pelanggan dapat memahami dan mengerti dengan jelas apa yang disampaikan oleh petugas kepada pelanggan.

  3. Efektivitas (effectiveness), merupakan dimensi ketepatan yang berhubungan dengan ketepatan pelaksanaan program dengan pencapaian hasil yang diinginkan oleh organisasi pelayanan. Efektivitas pelayanan kesehatan ini tergantung dari bagaimana Standar Pelayanan Kesehatan itu digunakan dengan tepat, konsisten dan sesuai dengan situasi setempat.

  4. Hubungan antar manusia (human relation), berkaitan dengan interaksi antara petugas dengan petugas dan antara petugas dengan pasien/masyarakat. Bentuk dari hubungan antar manusia ini antara lain berupa menghargai, menjaga rahasia, menghormati, mendengarkan keluhan, responsif dan memberikan perhatian.

  Hubungan antar manusia yang baik akan memberikan andil yang besar dalam konseling yang efektif. Apabila hubungan antar manusia tidak berjalan dengan baik, maka efektivitas dan kompetensi teknik pelayanan kesehatan akan berkurang, dan tentu akan berdampak pada mutu pelayanan yang akan diberikan.

  5. Efisiensi (efficiency), merupakan dimensi yang penting dari mutu karena efisiensi akan memengaruhi hasil pelayanan. Efisiensi merujuk pada penggunaan tenaga, waktu, sarana/alat dan dana. Dalam istilah ekonomi dikatakan bahwa dengan tenaga atau dana yang terbatas, hasil akan maksimal. Pelayanan kesehatan yang tidak memenuhi Standar Pelayanan Kesehatan umumnya biayanya mahal, kurang mahal bagi pasien, memerlukan waktu yang lama dan menimbulkan resiko lebih besar kepada pasien. Dengan melakukan analisis efisiensi dan efektivitas kita akan dapat memilih intervensi yang paling efisien.

  6. Kelangsungan pelayanan (continuity of service), berarti pelanggan akan menerima pelayanan yang lengkap tanpa mengulangi prosedur yang tidak perlu. Misalnya pasien rujukan yang telah terdiagnosa, maka pasien tersebut tidak perlu mengulangi prosedur diagnosis yang sudah dilakukan. Pasien harus selalu mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Karea riwayat penyakitnya terdokumentasi dengan lengkap, akurat dan terkini, maka pelayanan kesehatan rujukan yang diperlukan akan dapat terlaksana tepat waktu dan tepat tempat.

  7. Keamanan (safety), berarti dimensi pelayanan harus aman baik pelanggan maupun penyedia pelayanan serta masyarakat sekitarnya. Pelayanan kesehatan yang bermutu harus aman dari resiko cedera, infeksi, efek samping atau bahaya lain yang ditimbulkan oleh pelayanan kesehatan itu sendiri. Misalnya pada pasien yang mendapatkan transfuse darah, maka dimensi keamanan merupakan dimensi mutu yang utama setelah munculnya HIV/AIDS.

  8. Kenyamanan (amenity), merupakan dimensi mutu yang tidak berkaitan langsung dengan efektivitas klinis, tetapi dapat memengaruhi kepuasan pelanggan untuk mau datang memperoleh pelayanan berikutnya. Dimensi kenyamanan berkaitan dengan penampilan fisik tempat pelayanan, peralatan medis dan non-medis, kebersihan, sarana yang tersedia dan sebagainya.

  Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Parasuraman dkk dalam Tjiptono (2008), menggabungkan beberapa dimensi menjadi satu sehingga dikemukakan lima dimensi utama dari mutu pelayanan, yaitu:

  1. Keandalan (reliability), adalah kemampuan memberikan pelayanan dengan segera, tepat (akurat) dan memuaskan. Secara umum dimensi reliabilitas mencerminkan konsistensi dan kehandalan (hal yang dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan) dari penyedia pelayanan. Dengan kata lain, reliabilitas berarti sejauh mana jasa mampu memberikan apa yang telah dijanjikan kepada pelanggannya dengan memuaskan. Hal ini berkaitan erat dengan ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan, tanpa kesalahan, sikap yang simpati dan dengan akurasi yang tinggi. Pada bidang kesehatan, reliabilitas dinilai dengan janji ditepati sesuai dengan jadwal dan diagnosis terbukti akurat. Dalam penelitian Suparmi (1990) menyatakan bahwa dari aspek ini selain membuat pasien merasa puas, maka dampak psikologis yang akan terjadi adalah perilaku ketaatan pada pasien yang bisa mendukung kesembuhannya. Hal lain dalam

  

Theory of Reasoned Acton (Leventhal, dkk, 1984) menyatakan bahwa sikap dan

  norma subjektif terhadap perilaku ketaatan akan meramalkan perilaku selanjutnya.

  2. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para karyawan/staf membantu semua pelanggan serta keinginan dan melaksanakan pemberian pelayanan yang tanggap. Dimensi ini menekankan pada sikap dari penyedia jasa yang penuh perhatian, cepat dan tepat dalam menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan dan masalah dari pelanggan. Dimensi ketanggapan ini mencerminkan komitmen perusahaan atau instansi untuk memberikan pelayanan yang tepat pada waktunya dan persiapan perusahaan/instansi sebelum memberikan pelayanan. Pada bidang kesehatan dari hasil penelitian Zeithmal dan Binner (1996), daya tanggap dinilai dengan mudahnya diakses pelayanan kesehatan, pasien tidak menunggu lama dan seluruh elemen karyawan/staf bersedia mendengar keluh kesah.

3. Jaminan (assurance), artinya karyawan/staf memiliki kompetensi, kesopanan dan dapat dipercaya, bebas dari bahaya serta bebas dari resiko dan keragu-raguan.

  Dimensi ini meliputi beberapa komponen, antara lain komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi dan sopan santun. Kompetensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan jasa. Pada bidang kesehatan dimensi jaminan ini dinilai dengan pengetahuan karyawan/staf, keterampilan pendukung, kepercayaan pasien dan reputasi yang baik dan terjaga. Dari hasil penelitian Zeithmal dan Binner (1996) untuk pasar konsumen kesehatan, aspek ini berbicara masalah reputasi institusi kesehatan yang dituju pasien, reputasi dilihat dari pengetahuan, keterampilan, kepercayaan pasien akan tim pendukung institusi kesehatan. Apabila ternyata reputasi yang dihasilkan pasien baik, maka pasien tidak hanya puas, pasien akan loyal karena merasa harapannya terpenuhi saat membutuhkan keberadaan institusi kesehatan.

  4. Empati (emphaty), dalam hal ini karyawan/staf mampu menempatkan dirinya pada pelanggan, dapat berupa kemudahan dalam menjalin hubungan dan komunikasi termasuk perhatiannya terhadap para pelanggannya, serta dapat memahami kebutuhan dari pelanggan. Dimensi ini menunjukkan derajat perhatian yang memberikan kepada setiap pelanggan dan mencerminkan kemampuan karyawan/staf untuk menyelami perasaan pelanggan. Pada bidang kesehatan, dimensi ini dinilai dengan mengenal pasien dengan baik, mengingat masalah (penyakit, keluhan, dan lain-lain) sebelumnya, karyawan/staf menjadi pendengar yang baik dan sabar. Dari penelitian Bart Smet (1991) menyatakakan bahwa sentuhan psikologis yang bisa disampaikan karyawan/staf kepada pasien akan mengurangi stres yang dialaminya pada masa sakit, dan ternyata kelelahan psikis berkontribusi terhadap penyakit yang diderita pasien semakin parah.

  5. Bukti fisik (tangible), dapat berupa ketersedian sarana dan prasarana termasuk alat yang siap pakai serta penampilan karyawan/staf yang menyenangkan. Hal ini meliputi fasilitas fisik seperti gedung, perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta tampilan pegawainya. Pada bidang kesehatan misalnya di rumah sakit, dimensi ini dinilai dengan tersedianya ruang tunggu, ruang operasi, peralatan dan bahan-bahan tertulis. Dari hasil penelitian Zeithmal dan Binner (1996) bahwa bukti fisik yang baik adalah penampilan yang menarik dari karyawan/staf dan fasilitas yang dimiliki di Rumah Sakit dengan kesan yang rapi, bersih merupakan cermin penerimaan yang baik, untuk pasiennya agar sesuai harapan yang diinginkan pasien.

  Dari berbagai dimensi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat dikemukakan bahwa meskipun rumusan dimensi pelayanan tersebut tidak sama, namun pengertian pokok yang terkandung di dalamnya tidaklah terlalu berbeda. Semakin banyak cara pandang atau sisi-sisi yang kita perhatikan dalam memberikan pelayanan, tentu semakin bermutu pelayanan yang diberikan dan semakin puas pelanggan yang menerima pelayanan.

2.3 Pelayanan Rumah Sakit

2.3.1 Pengertian Rumah Sakit

  Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semua terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang menggabungkan bersama-sama semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostik dan terapi, alat dan pembekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem terkoordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

  Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit adalah pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Sebagai suatu institusi, rumah sakit mempunyai hak dan kewajiban. Haknya antara lain mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindakan konsumen atau pasien yang beritikad tidak baik. Sedangkan kewajibannya adalah melayani konsumen atau pasien secara benar, jujur dan tidak diskriminatif. Definisi lain tentang rumah sakit dikemukakan oleh American Hospital

  

Association (1974) bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang terorganisir serta

  sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.

  Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yang meliputi setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

  Di Indonesia, rumah sakit merupakan rujukan pelayanan kesehatan untuk puskesmas terutama dalam upaya pemulihan dan penyembuhan sebab rumah sakit mempunyai fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat pemulihan dan pemeliharaan bagi penderita, yang berarti pelayanan rumah sakit untuk penderita rawat jalan dan rawat inap hanya bersifat spesialistik.

  Suatu sistem klasifikasi rumah sakit dilakukan untuk menetapkan keseragaman bagi rumah sakit. Hal ini dilakukan untuk member kemudahan mengetahui identitas, organisasi, jenis pelayanan yang diberikan, pemilik, dan kapasitas tempat tidur. Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria sebagai berikut: 1.

  Berdasarkan kepemilikan Klasifikasi berdasarkan kepenilihan terdiri atas rumah sakit pemerintah dan rumah sakit sukarela. Rumah sakit pemerintah terdiri atas rumah sakit vertikal yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan, rumah sakit pemerintah daerah, rumah sakit militer, dan rumah sakit BUMN. Rumah sakit selain milik pemerintah disebut dengan rumah sakit sukarela, dimana rumah sakit ini dikelola oleh masyarakat. Rumah sakit sukarela ini terdiri dari rumah sakit hak milik dan rumah sakit nirlaba. Rumah sakit hal milik adalah rumah sakit bisnis yang tujuan utamanya adalah mencari laba (profit). Rumah sakit yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan pada umumnya beroperasi bukan maksud membuat laba, tetapi adalah nirlaba. Rumah sakit nirlaba mencari laba sewajarnya saja, dan laba yang diperoleh rumah sakit ini digunakan sebagai modal peningkatan sarana fisik, perluasan dan penyempurnaan mutu pelayanan untuk kepentingan penderita.

  2. Berdasarkan jenis pelayanan Berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri dari rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum memberi pelayanan kepada berbagai penderita dengan berbagai kondisi medik, seperti penyakit dalam, bedah, pediatrik, psikiatri, ibu hamil dan sebagainya. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang member pelayanan diagnosis dan pengobatan untuk penderita dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non-bedah, seperti kanker, bersalin, psikiatri, pediatrik, mata, lepra, tuberkulosis, ketergantungan obat, rumah sakit rehabilitasi dan penyakit kronis.

  3. Berdasarkan lama tinggal di rumah sakit Berdasarkan lama tinggal, rumah sakit terdiri dari rumah sakit perawatan jangka pendek dan jangka panjang. Rumah sakit perawatan jangka pendek adalah rumah sakit yang merawat penderita selama rata-rata kurang dari 30 hari, misalnya penderita dengan kondisi penyakit akut. Rumah sakit perawatan jangka panjang adalah rumah sakit yang merawat penderita dalam waktu rata-rata 30 hari atau lebih. Penderita demikian mempunyai kesakitan jangka panjang, seperti kondisi psikiatri.

  4. Berdasarkan kapasitas tempat tidur Rumah sakit pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan kapasitas tempat tidur sesuai pola berikut: a)

  Di bawah 50 tempat tidur

  b) 50-99 tempat tidur

  c) 100-199 tempat tidur

  d) 200-299 tempat tidur

  e) 300-399 tempat tidur

  f) 400-499 tempat tidur

  g) 500 tempat tidur dan/atau lebih

  5. Berdasarkan afiliasi pendidikan Rumah sakit berdasarkan afiliasi pendidikan terdiri atas dua jenis, yaitu rumah sakit pendidikan dan rumah sakit non-pendidikan. Rumah sakit pendidikan adalah rumah sakit yang melaksanakan program pendidikan dan pelatihan residensi dalam medik. Dalam rumah sakit demikian, residen melakukan pelayanan/perawatan penderita di bawah pengawasan staf medik rumah sakit. Rumah sakit yang tidak memiliki program pendidikan dan pelatihan residensi dan tidak ada afiliasi rumah sakit dengan universitas disebut rumah sakit non- pendidikan.

6. Berdasarkan status akreditasi

  Rumah sakit berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah sakit yang telah diakreditasi dan rumah sakit yang belum diakreditasi. Rumah sakit telah diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa bahwa suatu rumah sakit telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu.

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum kelas A, B, C dan kelas D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan.

  1. Rumah Sakit Umum kelas A adalah harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat.

  2. Rumah Sakit Umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar.

  Direncanakan rumah sakit kelas B didirikan di setiap ibukota Provinsi (provincial hospital ) yang menampung pelayanan rujukan dari Rumah Sakit Kabupaten.

  3. Rumah Sakit Umum kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Pada saat ini ada empat macam pelayanan spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah sakit kelas C ini akan didirikan di setiap ibukota Kabupaten (regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.

  4. Rumah Sakit Umum kelas D Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. Rumah sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada satu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C.

  Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan non-medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi umum dan keuangan.

2.3.2 Pelayanan Rumah Sakit yang Bermutu

  Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, saling tergantung, dan saling memengaruhi antara satu dengan lainnya. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh manusia yang berasal dari berbagai jenis profesi kesehatan dimana memiliki kecenderungan emosi yang dinamis, hal ini berdampak mutu pelayanan yang diberikan tanpa disadari dapat berubah menjadi kurang bermutu. Padahal dengan pelayanan kesehatan yang kurang atau tidak bermutu dapat mengeluarkan biaya operasional yang lebih mahal yaitu dengan peningkatan 30-40%. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan yang paling efisien, sebaliknya, pelayanan kesehatan yang kurang atau tidak bermutu akan membuat organisasi pelayanan kesehatan menjadi sangat boros atau menimbulkan biaya mahal.

  Pelayanan kesehatan yang bermutu ialah suatu pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi pelayanan kesehatan dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pohan, 2003).

  Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang selalu berupaya memenuhi harapan pasien, oleh sebab itu pasien akan merasa berhutang budi serta sangat berterima kasih. Akibatnya pasien akan bercerita kepada setiap orang untuk menyebarluaskan segala hal yang baik tersebut, sehingga pasien atau masyarakat akan berperan menjadi Petugas Hubungan Masyarakat organisasi pelayanan kesehatan. Semua hal itu akan meningkatkan reputasi organisasi pelayanan kesehatan yang bersangkutan, sehingga organisasi pelayanan kesehatan itu akan selalu menjadi pilihan bagi siapa saja yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

  Organisasi pelayanan kesehatan yang bermutu bukan saja akan menarik bagi pasien, akan tetapi juga akan menjadi daya tarik bagi profesi pelayanan kesehatan, sehingga akan menjadi tempat bekerja profesi pelayanan kesehatan yang mempunyai kompetensi dan perilaku yang terbaik.

  Institue of Medicine (IOM) menetapkan 6 tujuan yang ingin dicapai pada

  abad 21 dalam hal mutu pelayanan kesehatan, yaitu keselamatan pasien (safety), efisiensi (efficient), efektif (effective), tepat waktu (timeliness), berorientasi kepada pasien (patient centeredness), dan keadilan (equity) (Flynn, E., 2004). Safety. Keselamatan pasien adalah bagian dari mutu. Di antara enam sasaran mutu, keselamatan merupakan sasaran yang paling dapat dirasakan oleh pasien. Pelayanan yang bemutu sudah pasti tidak akan mencederai pasien. Layanan yang bermutu sudah pasti aman. Pendekatan keselamatan pasien bertumpu pada tiga hal yaitu mengurangi dampak cedera (mitigasi), memunculkan kesalahan atau kejadian luar biasa (agar ada pembelajaran), dan mencegah kesalahan. Agar petugas tidak melakukan kesalahan, sistem harus dibuat sedemikian rupa sehingga petugas mudah berbuat benar dan sulit melakukan kesalahan. Effective. Oleh Peter F. Drucker, efektif diartikan mengerjakan pekerjaan yang benar (doing the right things). Pelayanan kesehatan dikatakan efektif apabila telah mengikuti standar yang telah ada. Pada umumnya pelayanan yang efektif akan memberikan hasil yang lebih baik. Efficient. Peter F. Drucker memberikan arti kata efisien yaitu mengerjakan pekerjaan dengan benar (doing things

  right ). Pelayanan kesehatan yang efisien berarti menghindari segala pemborosan

  dalam penyediaan alat, mengurangi masa rawat inap, serta mengurangi pemeriksaan diagnostik dan terapi yang tidak perlu. Timeliness. Semua tentu sepakat bahwa salah satu ukuran kepuasan pelanggan adalah pelayanan yang tepat waktu. Waktu dalam pelayanan kesehatan memiliki peranan yang sangat penting. Pelayanan kesehatan yang sangat lama, bertele-tele, antrian yang panjang bukan hanya memberikan efek ketidakpuasan bagi para pasien, melainkan juga memberikan efek buruk bagi keselamatan pasien. Patient centeredness. Kecenderungan pelayanan kesehatan yang diberikan saat ini berorientasi pada teknologi (technology centered), berpusat pada dokter (doctor centered), berpusat pada rumah sakit (hospital centered) dan berpusat pada penyakit (disease centered). Nilai-nilai pasien seperti harapan, perasaan, keinginan dan kecemasan yang muncul selama interaksi pasien dengan dokter sering diabaikan. Pelayanan yang berfokus pada pasien bertujuan untuk menciptakan hubungan dokter-pasien lebih setara. Dokter berkewajiban mengenali pasien dan penyakitnya. Dengan demikian maka dokter dapat memberikan pengobatan secara lebih tepat. Proses tersebut dapat berlangsung dengan baik hanya melalui komunikasi . yang efektif. Equity John Rawls (1971) menekankan pentingnya keadilan distributif, yakni diperlakukan sama bagi kasus-kasus yang sama. Memperlakukan satu kelas pasien secara berbeda-beda dengan alasan perbedaan umur, letak tempat tinggal, pendapatan, agama dan sebagainya tidak bisa diterima. Alasan tersebut tidak relevan dan melanggar prinsip keadilan.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi tentang Mutu Pelayanan Kesehatan terhadap Minat Kunjung Ulang Pasien Rawat Inap di RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai

8 56 147

Pengaruh Persepsi Tentang Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien Dan Minat Pemanfaatan Ulang Di Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Pendidikan FKG USU Tahun 2012

4 42 106

Pengaruh Mutu Pelayanan Terhadap Minat Kunjungan Ulang Pasien Rawat Inap Non Obstetri Dan Ginekologi Di Rumah Sakit Umum Muhammadiyah Sumatera Utara

3 61 137

Pengaruh Mutu Pelayanan terhadap Minat Kunjungan Ulang Pasien Rawat Inap Non Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Muhammadiyah Sumatera Utara

5 52 137

Pengaruh Kepuasan Layanan terhadap Minat Beli Ulang Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Tanjung Pura Tahun 2012

1 45 138

Pengaruh Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Rawat Inap Terhadap Minat Memanfaatkan Kembali Di Badan Rumah Sakit Umum Deli Serdang Tahun 2003

1 29 88

Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Keputusan Kunjungan Ulang Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Sigli

13 126 142

Hubungan Persepsi Pasien tentang Kualitas Pelayanan dengan Minat Kunjungan Ulang di Klinik Umum Rumah Sakit Bhineka Bakti Husada Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

6 37 133

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minat Kunjung Ulang 2.1.1. Definisi Minat Kunjung Ulang - Pengaruh Persepsi tentang Mutu Pelayanan Kesehatan terhadap Minat Kunjung Ulang Pasien Rawat Inap di RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai

1 2 20

Pengaruh Persepsi tentang Mutu Pelayanan Kesehatan terhadap Minat Kunjung Ulang Pasien Rawat Inap di RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai

0 0 17