BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minat Kunjung Ulang 2.1.1. Definisi Minat Kunjung Ulang - Pengaruh Persepsi tentang Mutu Pelayanan Kesehatan terhadap Minat Kunjung Ulang Pasien Rawat Inap di RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minat Kunjung Ulang

2.1.1. Definisi Minat Kunjung Ulang

  Kunjungan ulang merupakan prilaku yang muncul sebagai respon terhadap objek yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang.

  Niat kunjungan ulang dapat juga diartikan sebagai bagian dari tahapan loyalitas konsumen seperti diungkapkan oleh Oliver dalam Setiawati (2006) bahwa loyalitas merupakan komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk jasa terpilih secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan prilaku.

  Seseorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberikan kepuasan pelanggan dilakukan untuk mempengaruhi sikap pelanggan, sedangkan konsep loyalitas pelanggan lebih berkaitan dengan perilaku pelanggan daripada sikap dari pelanggan (Griffin, 1995).

  Kunjungan ulang seseorang pasien yang datang kembali ke rumah sakit yang sama, sekalipun dengan permasalahan kesehatan yang lain adalah semacam tindakan tanda kesetiaan (loyalitas) pasien terhadap suatu organisasi pemberi jasa, lebih banyak disebabkan oleh kualitas pelayanan yang dialami sebelumnya dinalar (dipersepsi) memuaskan. Secara ringkas menurut Tjiptono (2005) bahwa manfaat dari kualitas yang superior dipersepsi oleh pelanggan, dapat menumbuhkan loyalitas pelanggan yang lebih besar terhadap suatu produk dengan merek yang sama. Loyalitas yang lebih besar (termasuk minat kunjung ulang) tentu menguntungkan organisasi pelayanan, dan oleh karena itu masalah kualitas pelayanan jasa yang dipersepsi oleh pasien, perlu menjadi perhatian dan dikendalikan oleh organisasi pemberi jasa, supaya menjadi lebih unggul. Tujuan sebuah organisasi pelayanan kesehatan mempertanyakan bagaimana pengaruh persepsi pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan yang berpengaruh pada minat kunjung ulang, adalah untuk meneliti bagaimana cara bertindak, cara memperbaiki citra rumah sakit dimata pelanggannya demi keunggulan bersaing.

2.1.2. Tahapan Loyalitas

  Menurut Dharmmesta (2008), loyalitas berkembang mengikuti tiga tahap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Biasanya pelanggan menjadi setia lebih dulu pada aspek afektif, dan akhirnya pada aspek konatif. Ketiga aspek tersebut biasanya sejalan, meskipun tidak semua kasus mengalami hal yang sama.

  a. Tahap Pertama: Loyalitas Kognitif Pelanggan yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan informasi keunggulan suatu produk atas produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik fungsional, terutama biaya, manfaat dan kualitas. Jika ketiga faktor tersebut tidak baik, pelanggan akan mudah pindah ke produk lain.

  Pelanggan yang hanya mengaktifkan tahap kognitifnya dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang paling rentan terhadap perpindahan karena adanya rangsangan pemasaran

  b. Tahap Kedua: Loyalitas Afektif Sikap merupakan fungsi dari kognitif pada periode awal pembelian (masa sebelum konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah dengan kepuasan diperiode berikutnya masa setelah konsumsi). Munculnya loyalitas afektif ini didorong oleh faktor kepuasan yang menimbulkan kesukaan dan menjadikan objek sebagai preferensi. Kepuasan pelangan berkorelasi tinggi dengan niat pembelian ulang di waktu mendatang. Pada loyalitas afektif, kerentanan pelanggan lebih banyak terfokus pada tiga faktor, yaitu ketidakpuasan dengan merek yang ada, persuasi dari pemasar maupun pelanggan merek lain c. .Tahap Ketiga: Loyalitas Konatif

  Konasi menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu. Niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya (pada masa sebelum konsumsi) dan sikap pada masa setelah konsumsi. Maka loyalitas konatif merupakan suatu loyalitas yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Keinginan untuk membeli ulang atau menjadi loyal itu hanya merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana.

2.1.3. Faktor-faktor Memengaruhi Minat Kunjung Ulang

  Ada beberapa faktor yang memengaruhi loyalitas pasien yaitu kepuasan pelanggan, kualitas jasa, citra, dan rintangan untuk berpindah. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor tersebut secara lebih detail.

  1. Kepuasan Pelanggan Engel dalam Destiana (2006) menyatakan bahwa kepuasan pasien merupakan evaluasi setelah pembelian dimana produk yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melebihi harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil

  

(outcome) tidak memenuhi harapan. Ketidakpuasan pekerja dapat berpengaruh

  negatif terhadap mutu palayanan dan menimbulkan efek berlawanan pada loyalitas pasien.

  2. Kualitas Jasa Salah satu faktor penting yang dapat membuat pelanggan puas adalah kualitas jasa. Kualitas jasa mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan (Anderson dalam Guntur & Setiaji, 2005). Keterlibatan karyawan sangat penting dalam membentuk layanan pelanggan yang berkualitas, dalam hal ini organisasi karyawan dapat ditingkatkan melalui peningkatan orientasi pasar yang juga akan berpengaruh terhadap kinerja melalui tingkat kepuasan pelanggan (Nguyen & Leblanc, 2002).

  3. Citra Kotler (2007) mendefinisikan citra sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek. Selanjutnya sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dikondisikan oleh citra objek tersebut. Hal ini memberi arti bahwa kepercayaan, ide serta impresi seseorang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku serta respon yang mungkin akan dilakukan. Citra yang positif akan memberikan arti yang baik terhadap produk perusahaan tersebut dan seterusnya dapat meningkatkan jumlah konsumen. Sebaliknya penjualan produk suatu perusahaan akan jatuh atau mengalami kerugian jika citranya dipandang negatif oleh masyarakat (Yusoff dalam Guntur dan Setiaji, 2001).

  4. Rintangan untuk Berpindah Faktor lain yang memengaruhi loyalitas yaitu besar kecilnya rintangan berpindah (switching barrier) (Fornell dalam Guntur dan Setiaji, 2001). Rintangan untuk berpindah terdiri dari: biaya keuangan (financial cost), biaya urus niaga

  

(transaction cost), diskon bagi pelanggan loyal (loyal customer discount), biaya

  sosial (social cost), dan biaya emosional (emotional cost). Semakin besar rintangan untuk berpindah maka akan membuat pelanggan menjadi loyal, tetapi loyalitas mereka mengandung unsur keterpaksaan

  Pelayanan berkaitan erat dengan loyalitas pelanggan dan secara umum dapat diwujudkan dengan tiga cara pokok, yaitu:

  1. Memperlakukan pelanggan yang tidak puas sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan loyalitas mereka.

  2. Perusahaan memberikan jaminan yang luas dan tidak terbatas pada ganti rugi yang dijanjikan saja.

  3. Perusahaan memenuhi atau melebihi harapan pelanggan yang mengeluh dengan cara menangani keluhan mereka secara profesional (Tjiptono, 1996).

2.2. Persepsi

  2.2.1. Pengertian Persepsi

  Menurut Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa persepsi masyarakat tentang sehat/sakit adalah respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional, ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat- obatan.

  Persepsi merupakan perlakuan yang melibatkan penafsiran melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, dengar, alami atau dibaca, sehingga persepsi sering mempengaruhi tingkah laku, percakapan serta perasan seseorang. Persepsi yang positif akan memenuhi rasa puas seseorang dalam bentuk sikap dan prilakunya terhadap pelayanan kesehatan, begitu juga sebaliknya persepsi negatif akan ditunjukkan melalui kinerjanya (Tjiptono, 2002). Rakhmat (2005) menambahkan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

  2.2.2. Proses Pembentukan Persepsi

  Menurut Feigl yang dikutip Kusumarini (2002), menekankan bahwa ada tiga mekanisme pembentukan persepsi yaitu: 1) Selectivity (penyeleksian), 2) Closure (kesimpulan), dan 3) Interpretation (penafsiran). Proses Selectivity terjadi apabila seseorang menerima pesan maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan yang dianggap penting dan tidak penting, hal tersebut merupakan peristiwa yang saling berhubungan yang diperoleh dengan cara menyimpulkan dan menafsirkan pesan. Proses Closure akan menyeleksi hasil kesimpulan, kemudian disusun suatu kesatuan kumpulan pesan atau stimuli. Interpretation terjadi apabila pesan tersebut diinterprestasikan atau penafsiran pola stimulus secara menyeluruh ke dalam lingkungan.

  Menurut Kalangie (2004), reaksi dari persepsi terhadap suatu stimulus/ rangsangan dapat terjadi dalam bentuk antara lain:

  1. Receiving attending yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dalam bentuk masalah, situasi, gejala. Tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala/rangsangan.

  2. Responding jawaban yaitu reaksi yang diberikan terhadap seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar, hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar dirinya.

  3. Valuing/penilaian yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang diterima, termasuk kesediaan menerima pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan nilai tersebut.

  4. Organisasi yaitu perkembangan dari nilai ke dalam suatu system organisasi termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemanfaatan, prioritas nilai yang dimiliki termasuk konsep tentang nilai dan organisasi sistem nilai.

  5. Karakteristik nilai/internalisasi nilai yaitu keterpaduan semua sistem nilai yang dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.

  Persepsi yang positif terhadap mutu pelayanan kesehatan mengembangkan suatu kesadaran mutu sebagai elemen penting yang selalu meningkat dalam daya saing, pemahaman keperluan keunggulan mutu dan pembagian strategi mutu yang berhasil dari strategi tersebut akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

  Tahapan persepsi merupakan suatu rangkaian proses yang dapat dilihat pada

Gambar 2.1 bahwa pada tahap pemaparan stimulus, konsumen menerima informasi melalui panca inderanya dan pada tahap perhatian konsumen akan mengalokasikan

  kapasitas pemrosesan menjadi rangsangan. Akhirnya, konsumen akan menyusun dan menerjemahkan informasi untuk memberikan arti terhadap informasi tersebut yang disebut sebagai tahap pemahaman yang melibatkan panca indera.

  Pemaparan Perhatian Pemahaman Persepsi

Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Persepsi (Mowen dan Minor, 2002)

  Pengolahan informasi memiliki lima tahap yang terdiri atas tahap pemaparan stimulus, perhatian, pemahaman, penerimaan dan retesi. Menurut Mowen dan Minor (1998), ketiga tahap awal pengolahan informasi yaitu pemaparan stimulus, perhatian dan pemahaman disebut sebagai persepsi yang kemudian akan berinteraksi dengan ingatan yang dimiliki konsumen sehingga akan memengaruhi pengolahan informasi (Sumarwan, 2003). Persepsi tidak akan terjadi jika tidak didahului dengan perhatian konsumen terhadap produk. Tanpa adanya perhatian terhadap barang atau situasi maka tidak akan ada kesadaran dan oleh karena itu tidak akan ada persepsi. Perhatian terhadap suatu objek berfungsi sebagai sarana seleksi dan pemilihan berbagai stimulus menjadi suatu informasi yang dapat diterima yang kemudian dapat dirasakan oleh konsumen.

2.2.3. Faktor–faktor yang Memengaruhi Persepsi

  Persepsi masyarakat tentang sehat/sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya. Sebaliknya, petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif berdasarkan symptom yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang (Sarwono, 2004).

  Faktor pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan.Variabel lain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu (Umar, 2000).

  Faktor–faktor yang memengaruhi persepsi adalah:

  1. Dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver) Seseorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sarat dipengaruhi oleh karakteristik–karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individual itu

  2. Dalam objeknya atau target yang dipersepsikan Karakteristik–karakteristik dalam target yang akan diamati dapat memengaruhi apa yang dipersepsikan, misalnya orang yang keras suaranya lebih mungkin untuk diperhatikan dalam suatu kelompok daripada mereka yang pendiam

  3. Dalam konteks dari situasi dalam mana persepsi itu dilakukan Selain kedua hal tersebut situasi berpengaruh pula terhadap persepsi individu. Situasi ini mencakup waktu, keadaan/tempat kerja dan keadaan sosial (Umar, 2000).

  Kotler (2007) mengemukakan bahwa persepsi dihasilkan atau dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal (stimulus) dan faktor internal (individu). Faktor eksternal merupakan karakteristik fisik dari produk seperti ukuran, tekstur dan atribut yang terdapat dalam produk. Setiadi (2003), informasi yang didominasi pemasar secara umum melaksanakan memberitahu sedangkan sumber pribadi melaksanakan fungsi legitimasi dan atau evaluasi. Keluarga yang merupakan sumber pribadi merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh dalam keputusan pembelian.

2.3. Mutu Pelayanan Kesehatan

2.3.1. Definisi Mutu Pelayanan Kesehatan

  Batasan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai kode etik dan standar yang telah ditetapkan. Kualitas pelayanan kesehatan merupakan suatu fenomena unik, sebab dimensi dan indikatornya dapat berbeda diantara orang-orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi perbedaan dipakai suatu pedoman yaitu hakikat dasar dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yaitu memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan (Azwar, 1996) Mutu pelayanan merupakan suatu pelayanan yang diharapkan untuk memaksimalkan suatu ukuran yang inklusif dari kesejahteraan pasien, sesudah itu dihitung keseimbangan antara keuntungan yang diraih dan kerugian, yang semuanya itu merupakan penyelesaian proses atau hasil dari pelayanan di seluruh bagian-bagian (Donabedian, 2000).

  Mutu pelayanan dapat diketahui apabila sebelumnya telah melakukan penilaian dan hal ini tidaklah mudah mengingat mutu pelayanan bersifat multidimensional, sehingga setiap orang dapat melakukan penilaian dari dimensi yang berbeda-beda tergantung latar belakang kepemimpinan masing-masing. Rumah sakit memiliki kewajibandan tanggung jawab moral dan hukum untuk memberikan mutupelayanan sesuai standar yang ada untuk kebutuhan pasien yang dirawatnya.

  Pelayanan kesehatan yang bermutu berarti memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan individu dan masyarakat (Aditama, 2004).

  Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dapat diupayakan dari berbagai aspek pelayanan seperti peningkatan kualitas fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas profesionalisme sumber daya manusia dan peningkatan kualitas manajemen rumah sakit. Pelayanan yang berkualitas harus dijaga dengan melakukan pengukuran sejauh mana kualitas pelayanan kesehatan yang telah diberikan secara terus menerus dan berkala, agar diketahui kelemahan dan kekurangan dari jasa pelayanan yang diberikan dan dibuat tindak lanjut sesuai prioritas permasalahan yang ada di lapangan. (Supranto, 2006).

  Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) yang dikutip Tjiptono (2005) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu:

  1. Kehandalan (Reliability) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akuerat dan terpercaya. Kinerja yang diinginkan pelanggan seperti ketepatan waktu, tidak membedakan pelayanan pelanggan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi. Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan juga ditentukan oleh dimensi reliability yaitu dimensi yang mengukur kehandalan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggannya.

  2. Daya Tanggap (Responsiveness), yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan. Penyampaian informasi yang jelas, tidak membiarkan konsumen menunggu tanpa alasan yang jelas menyebabkab persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. Kepuasan terhadap dimensi responsifness adalah berdasarkan persepsi dan bukan aktualnya. Karena persepsi mengandung aspek psikologis, faktor komunikasi dan situasi fisik di sekeliling pelanggan yang menerima pelayanan merupakan hal yang penting dalam memengaruhi penilaiaan pelanggan.

  3. Jaminan (Assurance), berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, kesopansantunan, keterampilan pegawai dalam menangani setiap pelayanan yang diberikan sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman pada pelanggan. Assurance adalah dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan perilaku front-line staf dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para pelanggannya. Pelanggan sulit percaya bahwa kualitas pelayanan akan dapat tercipta dari front-line staf yang tidak kompeten atau terlihat kurang mampu. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk terus memberikan training kepada pegawai gugus depan mengenai produk dan hal-hal yang sering menjadi pertanyaan pelanggan.

  4. Empati (Emphathy), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan. Perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

  5. Bukti Fisik (Tangible), berkenaan dengan bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata bagi pelanggan atas pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya. Pentingnya aspek tangible dalam mengukur pelayanan karena pelayanan harus dilihat secara nyata apa yang terjadi di lapangan.

  Metode SERVQUAL menggambarkan bahwa pada awalnya pasien (individu) memiliki nilai pengharapan tentang kepatutan atau harapan yang pantas ia harapkan atas pelayanan kesehtan di rumah sakit. Ketika ia mengalami pengalaman dilayani selama periode tertentu, individu mengalami suatu pengalaman realistis. Dalam perhitungan nilai kepuasan dapat diperhitungkan nilai apa yang dialami dengan nilai apa yang diharapkan dikali 100%. Jadi gap (kesenjangan) yang dipertanyakan terkait pada masing-masing lima aspek/ faktor penentu mutu pelayanan jasa di atas dapat diperhitungkan menurut hasil perhitungan rasio dari masing-masing aspek-aspek penentu mutu tersebut (Tjiptono, 2004).

  Salah satu cara untuk mengukur sikap pelanggan ialah dengan menggunakan kuesioner. Organisasi/perusahaan harus mendesain kuesioner yang secara akurat dapat memperkirakan persepsi pelanggan tentang mutu atau jasa. Pengukuran tingkat kepuasan erat hubungannya dengan mutu produk (barang/jasa). Pengukuran aspek mutu bermanfaat bagi pimpinan bisnis antara lain mengetahuai dengan baik bagaimana jalannya atau bekerjanya proses bisnis dan melakukan perubahan dan perbaikan terus-menerus untuk memuaskan pelanggan (Supranto, 2006).

  Untuk dapat menjaga kualitas pelayanan kesehatan banyak upaya yang dapat dilakukan diantaranya dengan Administrasi Kesehatan yang terarah dan terencana dan ini dapat disebut dengan Program Menjaga Mutu (Quality Assurance Program). Batasan tentang program menjaga mutu adalah suatu upaya yang berkesinambungan, sistematis dan objektif dalam memantau dan menilai pelayanan yang diselenggarakan dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, serta menyelesaikan masalah yang ditemukan untuk memperbaiki mutu pelayanan (Muninjaya, 2004).

  Program pengukuran kualitas pelayanan bermanfaat untuk menyediakan umpan balik yang segera, berarti dan objektif. Dengan hasil pengukuran tersebut, seorang/pimpinan dapat mengetahui atau melihat bagaimana pekerjaannya, membandingkan dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan di masa mendatang (Gerson, 2004).

2.3.2. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

  Promosi tentang fasilitas rumah sakit yang ada dan telah dijanjikan perlu dilakukan dengan konsep marketing yang ada, hal ini dapat terlaksana jika rumah sakit memiliki manajemen yang baik dengan kemitraan yang baik dengan pihak terkait dan berkompeten. Rumah sakit harus mampu memahami pasar akan kebutuhan pelayanan kesehatan pada masyarakat sekarang ini dan juga kebutuhan yang akan datang karena kebutuhan pelayanan kesehatan terus berkembang mengarah kepada untuk mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang terbaik. Kebutuhan kesehatan oleh masyarakat sangat penting dan berdampak pada kesejahteraannya dan kemakmuran negara.

  Konsep dasar pemasaran oleh Irawan (2001) dalam memanfaatkan rumah sakit perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya:

1. Kebutuhan

  Kebutuhan manusia adalah sesuatu yang dirasakan kurang. Kebutuhan ini tidak dapat diciptakan oleh masyarakat atau oleh pemasar, oleh karena itu kebutuhan tidak dapat dipaksakan oleh para pemasar agar orang menjadi membutuhkannya.

  2. Keinginan Keinginan adalah sesuatu yang dirasakan kurang karena lingkungan. Keinginan manusia sangat beraneka ragam bahkan tidak terbatas, tetapi alat pemuasnya terbatas sehingga muncul masalah tersebut sehingga menjadikan tugas untuk dapat memecahkan masalah konsumen agar keinginan menjadi kenyataan, dengan kata lain mampu menciptakan keinginan pasien.

  3. Permintaaan Permintaaan adalah keinginan disertai daya beli atau keinginan akan berubah menjadi permintaan bilamana didukung daya beli, jadi permintaan ini harus diukur bukan saja berapa banyak orang yang menginginkan pelayanan tersebut tetapi yang lebih penting lagi berapa banyak yang secara nyata pasien bersedia dan mampu membeli.

  4. Produk (layanan) Layanan adalah sesuatu yang dapat ditawarkan guna memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia (pasien). Menurut Kotler inti produk adalah merupakan pelayanan dan manfaat yang dihasilkan sejauh mana layanan dapat memuaskan kebutuhan dari keinginan yang diharapkan oleh pasien.

  5. Nilai Nilai adalah kemampuan layanan untuk memberikan kepuasan. Konsumen hanya mau membeli layanan yang bernilai dan berkualitas karena mereka memandang bahwa layanan tersebut mempunyai nilai dan bermanfaat bagi kebutuhan mereka. Nilai yang dihasilkan dan dirasakan bagi setiap orang berbeda antara satu dengan lainnya sehingga kemampuan layanan yang harus disediakan oleh pihak rumah sakit harus lebih diperhatikan.

  6. Pertukaran Pertukaran adalah tindakan seseorang untuk memperoleh layanan yang diinginkan dengan menawarkan sesuatu sebagai ganti (membayar). Pertukaran yang terjadi pada rumah sakit adalah pertukaran antara jasa dan biaya (uang).

  7. Transaksi Transaksi adalah tolak ukur inti pemasaran dimana kedua belah pihak dikatakan terlibat dalam pertukaran sehinga mereka melakukan negosiasi dan menghasilkan suatu kesepakatan dengan kata lain bahwa kesepakatan yang diperoleh menyebabkan terjadinya transaksi. Perlu difahami transaksi yang baik adalah dengan terpuaskannya kedua belah pihak akan pertukaran yang mereka lakukan misalkan pada rumah sakit, pasien akan membayar pelayanan jasa kesehatan yang mereka terima sesuai dengan fasilitas telah dijanjikan dan diberikan oleh pihak rumah sakit.

8. Pasar

  Pasar dalam hal ini rumah sakit adalah tempat bertemunya pelayan jasa dan pembeli potensial (pasien) untuk mengadakan transaksi sejauh mana layanan yang bernilai dan dapat memuaskan kebutuhan serta keinginan pasien.

2.4. Penelitian Terdahulu

  2.4.1. Penelitian Indra di RSUD dr. Kumpulan Pane Tahun 2009

  Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis persepsi tentang mutu pelayanan kesehatan terhadap kepuasan pasien partikuler dan menganalisis hubungan kepuasan dengan loyalitas di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing. Penelitian dianggap penting untuk mengetahui batasan-batasan dari ukuran persepsi pasien tentang kualitas pelayanan kesehatan yang ditawarkan, dan mengerti lebih dalam apa yang mengendalikan persepsi-persepsi mereka. Persepsi pasien tentang pelayanan memegang peranan yang sangat penting. Kualitas pelayanan akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa dan pemberi jasa kepada pasien sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh pasien. Hasil penelitian multivariat menjelaskan variabel reliabilitas, daya tanggap, jaminan dan empati memengaruhi tingkat kepuasan pasien, namun variabel bukti fisik tidak berpengaruh. Sedangkan analisis bivariat terdapat hubungan kepuasan pasien dengan loyalitas pasien partikulir.

  2.4.2. Through the Patient’s Eyes – (Melalui Sudut pandang Pasien)

  Tujuan penelitian, Sofaer dan Firminger (2005) adalah mencari solusi untuk menambah jumlah pasien mengutilisasi unit pelayanan rumah sakit. Penelitian dianggap penting untuk mengetahui batasan-batasan dari ukuran persepsi pasien tentang kualitas pelayanan kesehatan yang ditawarkan, dan mengerti lebih dalam apa yang mengendalikan persepsi-persepsi mereka.

  Hasil penelitian menunjukkan kepuasan merupakan jalan satu-satunya bagi organisasi pelayanan rumah sakit mengungkapkan karakterisitik persepsi pasien tentang kualitas, sekalipun demikian, hal tersebut bukanlah cara yang istimewa untuk dipakai tanpa pengembangan. Kedua penulis tersebut percaya diperlukan suatu rentang penambahan variabel alternatif, untuk mengindentifikasi lebih banyak lagi karakteristik dari variabel-variabel lain, yang terkait dengan faktor-faktor persepsi pasien.

2.4.3. Penelitian Benny Purwanto di RSU Kota Semarang Tahun 1997

  Penelitian Benny (1997), berjudul Analisis faktor–faktor yang berhubungan dengan keputusan memilih rawat inap di RSU Kota Semarang. Penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif secara cross sectional yang meneliti perilaku konsumen dalam proses keputusan memilih rawat inap di Rumah Sakit Umum Kodya Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor–faktor dalam perilaku konsumen yang mempengaruhi penggunaan rawat inap adalah 1) frekuensi rawat inap, 2) lokasi, 3) keragaman pelayanan, 4) harga, 5) informasi, 6) personel, 7) atribut fisik rumah sakit, 8) pelayanan yang diberikan dan 9) kesamaan karakteristik pasien.

2.5. Landasan Teori

  Banyak cara orang membentuk/memproses persepsi diri sendiri tentang segala sesuatu yang memaparinya dengan stimulus/pesan yang menerpa. Pada umumnya bila mempersepsi hal-hal yang terkait dengan kualitas pelayanan jasa, Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) yang dikutip Tjiptono (2004), konsisten menjelaskan dalam hal itu mengenai 5 aspek utama yaitu: 1) reliability, 2) responsiveness, 3)

  assurance, 4) empathy dan 5) tangibility.

  Penilaian dibuat berdasarkan tolok ukur pada perbandingan antara apa yang diharapkan pasien dengan apa yang kemudian pasien rasakan. Pada kedua nilai mungkin saja terjadi kesenjangan, akan tetapi apabila kesenjangan dapat ditoleransikan sekalipun nilai yang dirasakan/dialami kurang sesuai dengan harapan pasien. Lebih banjut, bila tidak terjadi kesenjangan, maka dapat diartikan bahwa apa yang diharapkan pasien yaitu kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit. Dengan tercapainya kepuasan yang dirasakan pasien, maka kemungkinan, pasien memiliki persepsi terhadap minat kunjungan ulang kembali berdasarkan pengalamannya. Namun demikian pada kondisi pelayanan yang dirasakan pasien/keluarga ternyata masin jauh dari harapan yang diinginkannya, maka pasien tersebut akan kecewa dan kurang bertoleransi tentang mutu pelayanan rumah sakit yang dinilai berdasarkan aspek kualitas pelayanan memungkinkan pasien kurang berminat untuk memanfaatkan kembali pelayanan kesehatan.

2.6. Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

   Variabel Bebas (Independen) Variabel Terikat (Dependen) Persepsi tentang Mutu Pelayanan Kesehatan:

  Minat Kunjung Ulang

  1. Kehandalan (Reliability) pada diri pasien:

  2.Daya Tanggap (Responsivenees) Berminat

  • 3. Jaminan (Assurance)
  • 4. Empati (Empathy)

  Tidak berminat

  5. Bukti Fisik (Tangibles)