BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koping 2.1.1 Definisi Koping - Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Mekanisme Koping Pasien Diabetes Melitus di RSUD Deli Serdang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koping

2.1.1 Definisi Koping

  Koping didefinisikan sebagai perubahan kognitif dan perilaku secara konstan berupaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Koping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis karena koping membutuhkan suatu usaha, yang apabila usaha tersebut berhasil dilakukan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Koping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun, koping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi yang menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, koping yang efektif untuk dilakukan adalah koping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).

  Koping adalah apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan atau ancaman. Koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan (Siswanto, 2007). Menurut Nasir & Muhith (2011), koping diartikan sebagai proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan

  

(demand) dan pendapatan (resource) yang dinilai dalam suatu keadaan yang

  penuh tekanan. Walaupun usaha koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau mengatasi masalah, hal ini juga dapat membantu seseorang untuk mengubah persepsinya atas ketidaksesuaian, menolerir atau menerima bahaya, juga melepaskan diri atau menghindari stres.  

2.1.2 Strategi Koping

  Menurut Lazarus dan Folkman (1984), dalam melakukan koping ada dua strategi yang bisa dilakukan, yaitu: 1)

  Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)

   Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

  mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan sumber daya dalam menghadapi stres. Seseorang cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya masih dapat diubah. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi, individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Adapun strategi yang dipakai antara lain sebagai berikut: a)

  Confrontative coping: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko. b) Seeking social support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

  c) Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, analitis.

  2) Koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping)

  Yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping ditujukan untuk mengontrol respons emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur respons emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Adapun strategi yang digunakan antara lain, yaitu:

  a) Self control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

  b) Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif.

  c) Positif reappraisal : usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

  d) Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlihat bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. e) Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

  Individu cenderung menggunakan problem focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat dikontrolnya.

  Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan namun tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu.

2.1.3 Mekanisme Koping

  Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri terhadap perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Berdasarkan penggolongannya, menurut (Stuart dan Sundeen, 1995) mekanisme koping dibagi menjadi dua yaitu : 1.

  Mekanisme koping adaptif mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Adapun kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

2. Mekanisme koping mal adaptif

  Merupakan mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Adapun kategorinya yaitu makan berlebihan atau tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.

2.1.4 Jenis-jenis Koping

  Lazarus (1984) membagi koping menjadi dua jenis, yaitu: 1. Tindakan langsung (direct action)

  Koping jenis ini adalah setiap usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan direct action bila dia melakukan perubahan posisi terhadap masalah yang dialami. Ada 4 macam jenis tindakan langsung, antara lain:

  a) Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka

  Dalam hal ini individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (beraksi) untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri secara langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai dengan bahaya tersebut. b) Agresi

  Adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu menilai dirinya lebih kuat terhadap agen yang mengancam tersebut.

  c) Penghindaran

  Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan berbahaya sehingga individu memilih cara menghindari atau melarikan diri dari situasi yang mengancam.

  d) Apati

  Jenis koping merupakan pola orang yang berputus asa. Apati dilakukan dengan cara individu yang bersangkutan tidak bergerak dan menerima begitu saja agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan.

2. Peredaan atau peringanan (palliation)

  Jenis koping ini lebih mengacu pada mengurangi atau menghindari ataupun menolerir tekanan-tekanan fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Ataupun bisa diartikan bahwa bila individu menggunakan jenis koping ini, posisinya dengan masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu yakni dengan cara merubah persepsi atau reaksi emosinya. Ada 2 macam jenis peredaan atau palliation, yaitu: a.

  Diarahkan pada gejala (symptom directed modes) Koping ini digunakan bila gejala-gejala gangguan muncul dari diri individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi gangguan yang berhubungan dengan emosi yang disebabkan oleh tekanan atau ancaman tersebut. Melakukan relaksasi, meditasi ataupun berdoa untuk mengatasi ketegangan juga tergolong ke dalam symptom directed modes yang bersifat positif.

  b.

  Cara intrapsikis (intrapsychis modes) Koping jenis peredaan ini dilakukan dengan cara intrapsikis yaitu cara- cara yang menggunakan perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal dengan istilah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism).

  Adapun macam-macam mekanisme pertahanan diri, yaitu : 1. Identifikasi

  Yaitu menginternalisasi ciri-ciri yang dimiliki oleh orang lain yang berkuasa dan dianggap mengancam.

  2. Pengalihan (displacement) Yaitu memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang lank arena objek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara langsung.

  3. Represi Menghalangi impuls-impuls yang ada atau tidak bisa diterima sehingga tidak dapat diekspresikan secara sadar dalam tingkah laku.

  4. Denial Yaitu melakukan bloking atau menolak terhadap kenyataan yang ada karena mengancam integritas individu yang bersangkutan.

  5. Reaksi Formasi Dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik.

  6. Proyeksi Yaitu menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain karena dorongan tersebut mengancam integritas.

  7. Rasionalisasi Dua gagasan yang berbeda dijaga supaya tetap terpisahkan karena bila bersama-sama akan mengancam.

  8. Sublimasi Yaitu dorongan yang ditransformasikan menjadi bentuk yang diterima secara sosial sehingga dorongan tersebut menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari dorongan aslinya.

2.1.5 Jenis-jenis Koping yang Konstruktif

  Adapun jenis-jenis koping yang dianggap konstruktif menurut Harber & Runyon (1984), antara lain: 1.

  Penalaran (reasoning) Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi bebagai macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih salah satu alternatif yang dianggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan berbagai informasi yang relevan berkaitan dengan persoalan yang dihadapi, kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, dan memilih alternatif yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil dan keuntungan yang diperoleh paling besar.

  2. Objektifitas Merupakan kemampuan untuk membedakan antara komponen-komponen emosional dan logis dalam pemikiran, penalaran maupun tingkah laku.

  Kemampuan ini juga meliputi kemampuan untuk membedakan antara pikiran- pikiran yang berhubungan dengan persoalan dengan yang tidak berkaitan.

  Kemampuan untuk melakukan koping jenis objektifitas mensyaratkan individu yang bersangkutan memilki kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilih dan membuat keputusan yang tidak semata didasari oleh pengaruh emosi.

  3. Konsentrasi Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Pada kenyataannya, justru banyak individu yang tidak mampu berkonsentrasi ketika menghadapi tekanan.

  4. Humor Merupakan kemampuan untuk melihat segi yang lucu dari persoalan yang dihadapi, sehingga perspektif persoalan tersebut menjadi lebih luas, terang dan tidak dirasa sebagai hal yang menekan lagi ketika dihadapi dengan humor. Humor memungkinkan individu yang bersangkutan untuk memandang persoalan dari sudut pandang manusiawinya, sehingga persoalan diartikan secara baru, yaitu sebagai persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.

  5. Supresi Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping supresi juga mengandaikan individu memiliki kemampuan untuk mengelola emosi sehingga pada saat tekanan muncul, pikiran sadarnya tetap bisa melakukan kontrol secara baik.

  6. Toleransi terhadap ambiguitas Merupakan kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi ketidakjelasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan individu sudah memiliki perspektif yang matang, luas dan memiliki rasa aman yang cukup.

  7. Empati Empati merupakan kemampuan untuk melihat sesuatu dari pandangan orang lain. Empati juga mencakup kemampuan untuk menghayati dan merasakan apa yang dihayati dan dirasakan oleh orang lain. Kemampuan ini memungkinkan individu mampu memperluas dirinya dan menghayati perspektif pengalaman orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi semakin kaya dalam kehidupan batinnya.

2.2 Keluarga

2.2.1 Definisi Keluarga

  Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Effendy (1997), mendefinisikan keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat.

  Sedangkan menurut Friedman (2010), keluarga adalah dua orang atau lebih, yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga diartikan sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga.

2.2.2 Struktur Keluarga

  Struktur dan fungsi merupakan hal yang berhubungan erat dan terus- menerus berinteraksi satu sama lain. Struktur didasarkan pada organisasi, yaitu perilaku anggota keluarga dan pola hubungan dalam keluarga. Hubungan yang ada dapat bersifat kompleks, pola hubungan itu akan membentuk kekuatan dan struktur peran dalam keluarga. Struktur keluarga dapat diperluas dan dipersempit tergantung dari kemampuan keluarga tersebut untuk merespon stres yang ada dalam keluarga.

   

  Menurut Friedman (2002) struktur keluarga terdiri atas empat, yaitu: 1. Pola dan proses komunikasi

  Pola interaksi keluarga yang berfungsi: bersifat jujur dan terbuka, selalu menyelesaikan konflik keluarga, berpikir positif, dan tidak mengulang-ulang isu dan pendapat sendiri. Komunikasi dalam keluarga ada yang berfungsi dan ada yang tidak, hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang ada dalam komponen komunikasi tersebut.

  2. Struktur peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat, misalnya status sebagai istri, suami atau anak.

  3. Struktur kekuatan Kekuatan merupakan kemampuan potensial atau aktual dari individu untuk mengendalikan atau mempengaruhi untuk merubah orang lain ke arah yang positif.

  4. Nilai-nilai keluarga Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, empersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman perilaku dan pedoman bagi perkembangan norma peraturan.

   

2.2.3 Fungsi Keluarga Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan.

  Menurut Friedman (2002) terdapat 5 fungsi dasar keluarga, yaitu: 1.

  Fungsi Afektif dan koping Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang positif. Hal tersebut dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat mengembangkan konsep diri yang positif.

  Adapun komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif, antara lain: a)

  Saling mengasuh. Cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung antar anggota. Setiap anggota yang mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari anggota yang lain maka kemampuannya untuk memberikan kasih sayang akan meningkat, yang pada akhirnya tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung.

  b) Saling menghargai. Apabila anggota keluarga saling menghargai dan mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu mempertahankan suasana yang positif maka fungsi afektif akan tercapai. c) Ikatan dan identifikasi. Adanya ikatan antara anggota keluarga dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga.

  2. Fungsi sosialisasi Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu, yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosial. Sosialisasi dimulai sejak lahir, keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi. Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi.

  3. Fungsi reproduksi Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia. Dengan adanya program keluarga berenacana maka fungsi ini sedikit terkontrol.

  4. Fungsi ekonomi Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, seperti kebutuhan akan makanan, pakaian dan tempat berlindung.

  5. Fungsi perawatan kesehatan Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga.

2.2.4 Dukungan Keluarga

  Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Dimana dukungan keluarga merupakan proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial yang berbeda-beda dalam berbagai tahap kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sebagai akibatnya hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga.

  Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).

  Dukungan sosial keluarga berupa keluarga internal seperti suami atau isteri atau saudara kandung dan dukungan sosial keluarga eksternal.

  Dukungan sosial keluarga adalah proses yang terjadi selama masa hidup, dengan sifat dan tipe dukungan soaial bervariasi pada masing-masing tahap siklus kehidupan keluarga. Walaupun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga memungkinkan keluarga berfungsi secara penuh dan dapat meningkatkan adaptasi dalam kesehatan keluarga (Friedman, 2010).

   

2.2.5 Dimensi Dukungan Keluarga

  Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga dibagi menjadi empat, yaitu: 1)

  Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit 2)

  Dukungan informasional, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar informasi) 3)

  Dukungan penilaian (appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga. 4)

  Dukungan emosional, keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.

  Menurut House (Smet, 1994: 136) setiap bentuk dukungan sosial keluarga mempunyai ciri – ciri antara lain:

  1. Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan – persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, idea atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama.

  2. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengarkan segala keluhannya, bersimpati, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.

  3. Bantuan instrumental, merupakan bantuan yang bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan – persoalan yang dihadapinya atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapinya.

4. Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita.

  Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang.

2.3 Diabetes Melitus

2.3.1 Pengertian Diabetes Melitus

  Menurut American Diabetes Association (ADA), 2005 Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.

  Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemi bersama dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh defek sekresi insulin dan aksi insulin (Alberti, 2010). Berdasarkan Guyton & Hall (2011), DM merupakan sindrom kegagalan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap terhadap insulin.

  Menurut Boron & Boulpaep (2009), DM ditandai dengan tingginya konsentrasi glukosa darah, namun abnormalitas ini hanya salah satu dari banyaknya gangguan biokimia dan fisiologi yang terjadi pada penyakit ini. DM tidak hanya satu gangguan, akan tetapi merupakan kumpulan dari berbagai macam gangguan yang diakibatkan defek regulasi dari sintesis, sekresi dan aksi dari insulin. Gangguan tersebut dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dan gangguan fungsi organ-organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

  Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, ada empat klasifikasi dari DM, yaitu: 1)

  DM tipe I, yang juga disebut sebagai insulin dependent diabetes mellitus yang disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin (Guyton & Hall,

  (IDDM), 2011).

  2) DM tipe II, yang juga disebut sebagai non insulin dependent diabetes mellitus

  

(NIDDM), yang disebabkan oleh menurunnya sensitivitas dari jaringan target

  terhadap efek metabolisme dari insulin. Berkurangnya sensitivitas insulin biasanya disebut sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2011).

  3) DM tipe lain, disebabkan oleh berbagai kelainan genetik spesifik (kerusakan genetik sel beta pankreas dan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat – obatan atau zat kimia, infeksi rubella congenital dan

  CMV atau Cito Megalo Virus, sebab imunologi yang jarang atau sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.

  4)

DM Gestasional, hanya muncul pada kehamilan yang disebabkan karena

  hormone hasil eksresi plasenta yang mengganggu kerja insulin (Price & Wilson, 2006).

2.3.3 Faktor Resiko

  Adapun faktor resiko yang memungkinkan seseorang terkena apabila ditemukan kondisi-kondisi berikut ini:

  1. Riwayat keluarga dengan DM Orang tua atau saudara kandung mengidap DM. Sekitar 40% diabetes terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap DM, dan lebih kurang 60-90% kembar identik merupakan penyandang DM.

  2. Obesitas Berat badan berlebih: BMI >25. Kelebihan berat badan 20% meningkatkan resiko dua kali. Prevalensi obesitas dan diabetes berkorelasi positif, terutama obesitas sentral.

  3. Usia Risiko bertambah sejalan dengan usia. Insiden DM tipe 2 bertambah sejalan dengan pertambahan usia (jumlah sel beta yang produktif berkurang seiring pertambahan usia). Upayakan memeriksa gula darah puasa jika usia telah diatas 45 tahun, atau segera jika ada faktor risiko lain.

  4. Tekanan darah tinggi Lebih dari 140/90 mmHg (atau riwayat hipertensi)

  5. Kolesterol HDL <40 mg/dL untuk laki-laki dan <50 mg/dL untuk wanita 6. DM kehamilan Riwayat DM kehamilan atau pernah melahirkan anak dengan BB>4 kg. kehamilan, trauma fisik, dan stres psikologi menurunkan seksresi serta kepekaan insulin.

  7. Riwayat ketidaknormalan glukosa Riwayat toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu.

  8. Gaya hidup Olahraga kurang dari 3 kali seminggu ( atau bahkan sedentary). Olahraga bagi penderita diabetes merupakan potent protective factor yang meningkatkan kepekaan insulin hingga 6%.

  9. Kelainan lain Riwayat penyakit pembuluh darah dan sindrom ovarium polisiklik.

2.3.4 Manifestasi Klinis

  Menurut (Widyanto & Triwibowo, 2013) Diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa darah dan gangguan metabolism karbohidrat. Adapun hal yang menyebabkan munculnya gejala-gejala awal yang khas, yaitu: 1)

  Glikosuria Yaitu kehilangan glukosa dalam urin karena ambang ginjal untuk mereabsorbsi glukosa semakin tinggi.

   

  2) Poliuria

  Keadaan yang menyebabkan kehilangan natrium dan air dalam jumlah besar pada urin karena tekanan osmotik yang dibentuk oleh glukosa berlebih dalam tubulus ginjal yang dapat mengurangi reabsorpsi air. 3)

  Polidipsia Yaitu keadaan rasa haus dan konsumsi air berlebihan yang terjadi karena penurunan volume darah yang mengaktivasi pusat haus di hipotalamus.

  4) Polifagia

  Kondisi nafsu makan besar dan lahap yang terjadi karena kekurangan karbohidrat dalam sel-sel tubuh.

  5) Ketonemia dan ketonuria

  Yaitu adanya penumpukan asam lemak dan keton dalam darah dan urin yang terjadi akibat adanya proses katabolisme abnormal lemak sebagai sumber energi.

2.3.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

  Penatalaksanaan DM bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala, mempertahankan berat badan ideal dengan mengatur pola makan dan mencegah terjadinya komplikasi. Secara garis besar penatalaksanaannya dilakukan dengan: 1.

  Diet Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan

  DM. Konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) menetapkan bahwa asupan nutrisi yang dianjurkan pada klien dengan DM yaitu karbohidrat (60-70%), protein (10-15%), dan lemak (20-25%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Adapun penatalaksanaan nutrisi pada penderita DM diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini : A.

  Memberikan semua unsur makanan esensial seperti vitamin dan mineral B. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang ideal.

  C.

  Memenuhi kebutuhan energy.

  D.

  Mencegah terjadinya fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.

  E.

  Menurunkan makan pada penderita DM.

2. Olahraga atau latihan

  Sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler.

  Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, sirkulasi darah dan tonus otot. Latihan ini sangat bermanfaat pada penderita DM karena dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stres dan mempertahankan kebugaran tubuh. Dapat mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar

  High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigeliserida.

  Adapun latihan yang dianjurkan adalah 3-4 kali seminggu selama 30 menit. Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan sekresi glukogen, Growth Hormone (GH) dan katekolamin. Peningkatan hormone ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.

  3. Obat-obatan a.

  Golongan sulfonilurea Adapun cara kerja golongan obat ini merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin, jadi hanya bekerja bila sel-sel beta utuh. Obat ini juga mampu menghalangi peningkatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukogen.

  b.

  Golongan Biguanid Golongan obat ini tidak sama dengan sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin. Biguanid menurunkan kadar glukosa darah menjadi normal dan istimewanya tidak menyebabkan hipoglikemia.

  c.

  Insulin Adapun indikasi untuk pemberian insulin pada penderita DM yaitu: 1. Semua penderita DM dari setiap umur, baik (IDDM/NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis

  2. Diabetes yang masuk dalam klasifikasi IDDM, yaitu juvenile diabetes.

  3. Penderita yang kurus.

  4. Bila dengan obat oral tidak berhasil 5.

  Kehamilan 6. Bila terjadi komplikasi mikroangiopati.