BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH - Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki masa dewasa madya layaknya berada dipertengahan jalan
kehidupan. Tanggung jawab menjadi bertambah berat jika dibandingkan ketika masih muda, namun belum dapat menikmati waktu santai di masa tua .
Perubahan yang dialami masa dewasa madya bukanlah sebuah tahapan tersendiri, melainkan penyesuaian diri terhadap situasi-situasi dalam kehidupan seperti melihat anak-anak bertumbuh, mencapai puncak karir dan mempersiapkan diri untuk pensiun (McCrae & Costa dalam Berk, 2007).
Sebagai individu dewasa madya , terdapat tugas perkembangan sebagai lanjutan dari tugas yang dijalani di dewasa dini, termasuk didalamnya mengurus keluarga dan bekerja (Papalia, Olds & Feldman, 2007).
Bekerja menjadi faktor terpenting dalam kehidupan. Di Indonesia sendiri, jumlah pekerja yang berusia 15 tahun ke atas mencapai 176 juta jiwa dari keseluruhan 250 juta jiwa penduduk Indonesia ((bps.go.id, 2013). Pemilihan pekerjaan menjadi tugas perkembangan utama yang bisa mempengaruhi seluruh struktur kehidupan baik dari segi kemampuan finansial dan kepemilikan tempat tinggal (Lemme, 1999) . Sepertiga waktu seseorang dihabiskan untuk bekerja (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Bekerja dapat memberikan fungsi sosial, status sosial dan relasi sosial disamping gaji, kekayaan dan hal – hal yang berbau materiil lainnya
1
(Kartono, 1989). Hal ini diungkapkan melalui komunikasi personal berikut ini.
"Bekerja itu adalah mengaplikasikan ilmu yang kita miliki. Juga untuk mengaktualisasikan diri dan pendapatan juga" (Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Dengan bekerja, seseorang bisa mendapatkan kesenangan dan memiliki makna khusus terhadap kehidupan. Beberapa orang menganggap bekerja sebagai sebuah identitas (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu mulai memasuki dunia pekerjaan normalnya ketika memasuki usia dewasa dini, berlangsung sepanjang masa dewasa dan berakhir di masa dewasa akhir yaitu ketika memasuki masa pensiun (Lemme, 1999). Individu dewasa madya berada dalam tahap performa yang mengagumkan karena sudah memiliki pengalaman saat dewasa dini dan masih memiliki cukup waktu untuk berkarya sebelum memasuki masa pensiun. Usia-usia dewasa madya yang berada di rentang 40 - 60 tahun merupakan masa-masa berprestasi. (Hurlock, 1998). Di usia ini seseorang mencapai peningkatan karir (Santrock, 2002). Sejalan dengan peningkatan karir, kepuasan kerja seorang dewasa madya pun meningkat. Hal ini terjadi karena mereka sudah dapat terbiasa dengan pekerjaan yang mereka kerjaan. (W.A. Hochwarter et al., 2001 dalam Berk, 2007). Ini pula yang dialami oleh salah satu mantan karyawan bank yang puas dengan pekerjaannya karena sudah terbiasa dengan pekerjaa yang ia lakukan selama 1 tahun, seperti yang diungkapkan dalam komunikasi personal berikut,
"Enaklah. Puas kerja disitu. Pendapatannya tinggi, trus kerjaan sesuai dengan disiplin ilmu kita. Selain itu bisa ketemu dengan orang-orang dan bisa jalan-jalan ke tiap-tiap cabang di seluruh Sumatera Utara." (Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank) "Makin lama kan kita makin terbiasa sama pekerjaan kita. Jadi lebih terasa ringan saat mengerjakan. Gak terasa beratlah pokoknya" (Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Menurut Papalia (2007), individu yang lebih tua akan bekerja lebih produktif dibandingkan yang muda. Walaupun melambat, tetapi hasilnya lebih akurat. Bahkan menurut penelitian 84 % pekerja yang sudah memasuki dewasa madya memiliki keinginan untuk tetap bekerja walaupun mereka sudah memiliki jaminan finansial untuk kehidupannya di masa tua (Montenegro et al, dalam Schaie & Willis, 2011). Sepeti yang terjadi pada komunikasi personal berikut ini
"Banyak sekali yang bisa saya dapatkan dari situ. Makanya pengennya sih bisa kerja terus. Bisa untuk tabungan pendidikan anak-anak. Keperluan rumah tangga juga. Apalagi saya kan kepala keluarga" (Komunikasi Personal, 20 Juni 2013, P, 51 tahun, mantan karyawan Bank)
Namun segala pencapaian tersebut tidak akan berhasil jika individu diberhentikan dari pekerjaannya. Pemberhentian dari pekerjaan atau pemutusan hubungan kerja bukanlah sesuatu yang dapat diduga - duga kehadirannya. Pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK) adalah situasi berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan dengan yang menerima serta menjalankan pekerjaan tersebut (Manulang, 2001). PHK menjadi momok menakutkan bagi para pekerja. Menurut penelitian yang dilakukan kepada para pekerja yang memiliki gelar sarjana dan berusia 45 - 65 tahun, PHK merupakan sumber ketakutan utama bagi pekerja disamping minimnya tabungan pensiun(Cohen & Janicki-Deverts, 2012).
PHK merupakan situasi yang tidak mengenal usia atau lamanya seseorang mengabdi dalam sebuah perusahaan ataupun dengan pekerjaannya.
PHK bisa terjadi pada siapa saja, seperti yang dialami Michael Gates Gill, seorang direktur di perusahaan iklan terkemuka di Amerika. Ketika menginjak umur 50 tahun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia dipecat dari perusahaannya dengan alasan efisiensi dan restrukturisasi dan digantikan oleh pekerja yang lebih muda. Awalnya ia menangis setelah mendapatkan kabar pemecatan tersebut. Ia merasa terkejut bahwa semua yang telah ia bangun harus berakhir begitu saja. (Oggunnaikke, 2009).
Kasus pemecatan seperti di atas merupakan segelintir dari kasus-kasus lain. Kasus pemecatan pada pekerja yang berada di usia madya layaknya fenomena gunung es. Kasus-kasus yang muncul di permukaan hanyalah . segelintir dari keseluruhan kasus yang ada (Gullette, 2011) Di Medan sendiri, jumlah penduduk yang tidak lagi bekerja sudah mencapai 9% dari total 936 ribu lebih penduduk pada tahun 2012 (bps.go.id, 2013). Dari 9% persen tersebut beberapa diantaranya adalah individu yang seharusnya memasuki masa produktif dan persiapan menuju pensiun, namun harus berhenti dari pekerjaannya karena mengalami pemecatan
PHK merupakan salah satu kejadian dalam kehidupan seseorang yang paling membahayakan jika tidak dihadapi dengan baik (Sucher, 2013). PHK berbahaya bagi psikologis individu, terutama bagi individu dewasa madya. PHK termasuk ke dalam krisis paruh baya. Hal ini terjadi karena ekspektasi individu untuk terus bekerja hingga memasuki masa pensiun tidak sesuai dengan kenyataan bahwa individu tersebut harus berhenti dari pekerjaannya (Papalia, 2007). Efek dari kehilangan pekerjaan bertahan lebih lama pada dewasa madya Pemutusan hubungan kerja sama dengan kehilangan pekerjaan. Walaupun individu tersebut kembali memiliki pekerjaan, ia tetap memiliki perasaan tidak dapat mengontrol lingkungan pekerjaannya (Sucher,2013). Individu juga merasa tidak dapat mengembalikan kepercayaan dirinya seperti ketika ia bekerja dahulu, seperti yang diungkapkan dalam komunikasi personal berikut ini
"Gak mungkin bisa setinggi kemarin (kepercayaan diri) ya. Sudah sulit mencapai setinggi itu. Sekarang sih Cuma bisa berusaha biar mencapai standarnya aja dulu." (Komunikasi Personal, 15 Januari 2014, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Diberhentikan dari pekerjaan memiliki beban yang sama dengan kehilangan seseorang yang dicintai (Davis, 2009) Beban tersebut lebih mempengaruhi fisik dan mental dewasa madya dibandingkan dewasa dini (Berk, 2007). Beban yang dimaksud terdiri dari perubahan-perubahan yang harus dialami seperti perubahan dari segi finansial, gaya hidup dan trauma emosional yang menyebabkan stress. Hal ini diungkapkan dalam komunikasi personal berikut.
"Fisik paling jadi cepat capek, trus perut sering bermasalah. Tapi dari segi pemikiran ya yang paling itu. Pikiran menjadi lebih komplekslah ya. Karena berhubungan dengan pendapatan. CV yang dibangun juga gak berhasil." (Komunikasi Personal, 19 Agustus 2013, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Beberapa orang mengekspresikan stressnya dengan cara yang berbeda-beda, seperti tidak mampu mengingat kenangan bersama rekan kerja, tidak mampu mengurus keluarga, mencari kambing hitam, dan khawatir dengan status PHK yang disandang. Beban terberat yang paling dirasakan adalah hilangnya kelangsungan finansial (Davis, 2009). Hal ini diungkapkan dalam komunikasi personal berikut ini.
"Stress, bingung. Kehidupan jalan terus, sedangkan uang yang didapat terpakai sedikit demi sedikit. Mesti nutupin utang, hidupin anak istri sedangkan pendapatan istri gak bisa nutupin semuanya. Beratlah pokoknya” (Komunikasi Personal, 20 Juni 2013, P, 51 tahun, mantan karyawan Bank) "Anak-anak butuh uang sekolah. Suami kerjaannya juga butuh modal tinggi. Pas tahu udah gak ada pemasukan lagi, stresslah udah. Terpaksa gali lobang tutup lobang. (Komunikasi Personal, 15 Januari 2014, A, 50 tahun, mantan karyawan bank)
Problem finansial menjadi masalah yang sulit dihindari terkait pendapatan yang harus terhenti sedangkan pengeluaran dalam keluarga tetap terjadi. Mulai dari biaya operasional rumah tangga, sampai dengan kebutuhan anak-anak seperti uang sekolah dan uang saku. Tekanan finansial dan kehilangan identitas diri mampu meningkatkan stress dan berujung pada terpengaruhnya kesejahteraan hidup (psychological well-being) seseorang.
Terpengaruhnya kesejahteraan hidup seeseorang terjadi karena perubahan sosial seperti perubahan tingkat pendidikan, urbanisasi, tekanan politik dan perubahan pola pekerjaan mampu mempengaruhi kepuasan hidup (life satisfaction) seseorang dan berimbas ke psychological well-being yang individu tersebut miliki (Bradburn dalam Ryff, 1989).
Psychological well-being sendiri menurut Ryff (1989) adalah dimana
individu memiliki pandangan dan sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain serta mampu mengambil keputusan sendiri, mampu mengatur tingkah laku sendiri dan dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna dengan cara mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Psychological well-being tidak hanya sekedar menjadi bahagia namun juga mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu (Ryff dalam Strauser, Lustig, & Ciftci, 2008). Psychological well-being berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk tetap berfungsi efektif dalam kehidupan sehari-hari bahkan ketika harus menghadapi pengalaman dan emosi yang negatif. Berfungsi efektif berarti mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, memiliki kontrol terhadap diri sendiri, memiliki tujuan hidup dan memiliki hubungan positif dengan yang lain (Huppert, 2009)
Psychological well-being dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
usia, jenis kelamin, status ekonomi dan banyak lainnya. Jika ditinjau dari segi usia, di beberapa area dimensi, individu dewasa madya memiliki
psychological well-being yang lebih baik dibandingkan individu yang lebih
muda ataupun yang lebih tua. Hal ini dikarenakan ketika memasuki periode dewasa madya, seseorang memiliki kesehatan mental yang positif . Dewasa madya lebih memiliki otonomi namun tidak fokus dengan perkembangan diri sendiri. Kontrol terhadap lingkungan juga meningkat dan penerimaa diri cenderung stabil. (Papalia, 2007) Hubungan dengan orang lain juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Ryff, 1989).
Psychological Well-being juga dipengaruhi oleh life event change
(perubahan dalam kehidupan). Secara teori, PHK merupakan salah satu perubahan dalam kehidupan yang bisa mempengaruhi kepuasan hidup dan menyebabkan absennya kesejahteraan psikologis seseorang (Huppert, 2009). Kehilangan pekerjaan akibat PHK dapat menyebabkan kehilangan status, kehilangan tujuan hidup dan kemampuan untuk mengatur waktu (Creed & Macintyre dalam Papalia, 2007). Mereka juga kehilangan salah satu bagian dari diri mereka, harga diri dan merasa tidak mampu untuk mengontrol hidupnya lagi. (Chope dalam Dance, 2011). Jika PHK terjadi pada masa dewasa madya, maka terjadi perbedaan perkembangan kesejahteraan hidup pada dewasa madya tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah gambaran psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. (PHK).
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran psychological well-being individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological
well-being individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) dilihat dari dimensi
- – dimensi psychological well-beingnya D.
MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memberi masukan bagi disiplin ilmu psikologi terutama psikologi perkembangan berkaitan dengan psychological well-being dewasa madya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai psychological pada individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan
well-being
Hubungan Kerja
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi kepada individu dewasa madya yang mengalami PHK bahwa psychological well-being penting untuk meningkatkan potensi yang dimiliki oleh individu Memberikan informasi kepada pekerja yang mengalami PHK bahwa
PHK bukanlah akhir dari segalanya tapi awal dari merealisasikan potensi yang ada di dalam diri individu
Menjadi informasi untuk masyarakat untuk dapat memberikan dukungan kepada pekerja yang mengalami PHK untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individu E.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan Bab ini akan menyajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah penelitian rumusan permasalahan atau pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis, serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori Pada bab ini akan diuraikan tinjauan teoritis mengenai studi ini. Adapun teori yang digunakan adalah teori psychological well-being yang mencakup definisi dan dimensi psychological well-being, faktor
- – faktor yang mempengaruhi psychological well-being. serta definisi dan penyebab seseorang terkena PHK dan teori mengenai individu dewasa madya.
Bab III : Metode Penelitian Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian. Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.