BAB II LANDASAN TEORI - Gambaran Psychological Well-Being Pada Dewasa Madya yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja

BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING A.1. Definisi Psychological Well-being Pencapaian terbaik seorang manusia adalah memperoleh

  kebahagiaan. Kebahagiaan dilihat dari adanya keseimbangan antara efek negatif dengan efek positif dalam hidup manusia (Bradburn dalam Ryff, 1989). Bradburn melakukan penelitian yang mempelajari bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada level makro baik dari segi level pendidikan, urbanisasi, masalah politik dan pola pekerjaan. Perubahan sosial yang dialami mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang yang mengarah pada psychological well-being. Bradburn merujuk pada Aristoteles mengenai kebahagiaan atau eudaimonia sebagai pencapaian tertinggi pada kehidupan manusia. Eudaimonia diartikan sebagai realisasi potensi yang dimiliki manusia daripada hanya kebahagiaan saja (Brandburn dalam Ryff, 1989)

  Aristoteles (dalam Ryff, 1989) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan kebutuhan terpenting individu untuk seseorang. Kebahagiaan jika dikombinasikan dengan well-being (kesejahteraan) maka akan menghasilkan suatu kualitas hidup yang sangat baik. Ryff memulai penelitiannya mengenai hidup yang berkualitas dengan menggunakan beberapa indikator utama yang menjadi dimensi

  • – dimensi yang berguna untuk menunjukkan psychological well-being seseorang. Dimensi – dimensi

  12 tersebut antara lain adalah penerimaan diri (self-acceptance), pertumbuhan pribadi (personal growth), otonomi (autonomy), tujuan dalam hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery) dan hubungan positif dengan orang lain.

  Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah evaluasi diri individu dalam mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan cara dapat menerima diri, bertumbuh secara pribadi, mampu menjalankan pilihan sendiri, memiliki tujuan dalam hidup, mampu menguasai lingkungan sekitar dan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain

  A.2.

   Dimensi – dimensi Psychological Well-being

  Untuk menjelaskan psychological well-being, Ryff (1989) membaginya ke dalam enam dimensi, yaitu : a.

  Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Penerimaan diri merupakan evaluasi positif yang individu lakukan terhadap masa lalunya dan kehidupannya sekarang. Dimensi self

  acceptance berhubungan dengan pemikiran positif mengenai diri sendiri

  baik mengenai hal yang postif ataupun negatif yang ada pada dirinya Dimensi ini mengkarateristikkan individu sebagai seseorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya, berfungsi secara optimal dan dewasa. Dimensi penerimaan diri ini merupakan karateristik utama dari keberfungsian seseorang sebagai individu yang positif (Ryff, 1989). b.

  Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation with Other) Dimensi ini berkaitan dengan adanya hubungan yang terjalin baik dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini termasuk didalamnya menjalin hubungan yang hangat dan membuat orang lain menjadi nyaman serta dicintai. Cinta dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan mental seseorang. Hubungan yang hangat menggambarkan kedewasaan yang merupakan karateristik dari dimensi penerimaan diri. Dengan memiliki empati dan afeksi yang ditandai dengan hubungan percintaan, persahabatan dan hubungan lain yang erat dengan orang lain , maka individu akan semakin mampu mengaktualisasikan dirinya dan kesejahteraannya pun akan turut meningkat.

  c.

  Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang untuk menyadari potensi dan bakat yang dimiliki dan mengembangkan potensi tersebut agar psikologis individu tersebut dapat berfungsi secara optimal dan mampu mengembangkan sumber daya baru (Awaningrum, 2007). Dalam dimensi ini dibutuhkan suatu aktualisasi diri yang bisa digambarkan dengan terbuka dengan pengalaman

  • – pengalaman yang baru. Individu yang mampu menjalani dimensi ini dengan baik, ia akan menunjukkan karateristik seperti terbuka dengan pengalaman baru, mampu melihat kesalahan diri dan memperbaikinya, melakukan perubahan dan meningkatkan pengetahuan diri dan efektivitas mereka. Sedangkan individu yang tidak mampu mencapai dimensi ini akan mengalami
stagnasi, merasa kosong, cepat bosan dan kurang memiliki minat untuk menjalani hidup.

  d.

  Otonomi (Autonomy) Dimensi ini menyangkut kemandirian yang dimiliki seorang individu dalam menjalani dan menentukan kehidupannya tanpa harus berpaku pada orang lain. Dimensi ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengejar keyakinan pribadi dan kepercayaannya. Hidup yang berkualitas adalah hidup yang independen, mandiri, menentukan nasibnya sendiri dan bahkan mampu melawan ajaran atau kepercayaan yang biasa yang ada namun tidak sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan pribadinya. Individu yang menjalankan dimensi ini memiliki internal locus of control karena ia tidak terlalu memikirkan anggapan orang lain, menentukan segala sesuatunya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain, menahan tekanan sosial dan mampu mengatur perilakunya berdasarkan penilaianya sendiri serta mengevaluasi diriniya sendiri dengan standar pribadinya e.

  Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi ini menyangkut kemampuan individu menguasai kehidupannya dengan baik dan efisien dengan cara memilih ataupun menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya. Kemampuan individu untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan sekitarnya merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam rentang waktu perkembangan manusia untuk meningkatkan kesehatan mental seseorang.

  Individu diharapkan mampu bertindak kreatif melalui kegiatan fisik dan mental sehingga individu mampu meningkatkan psychological well-

  being -nya dan nantinya juga akan berimbas ke suksesnya seseorang

  dalam menghadapi masa

  • – masa selanjutnya. Jadi bisa dikatakan bahwa partisipasi aktif seseorang dalam menguasai lingkungannya menjadi bagian penting dari suatu skema mengenai fungsi psikologis yang positif.

  f.

  Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life) Dimensi ini menyatakan bahwa seseorang yang memiliki psychological

  well-being yang baik adalah individu yang memiliki tujuan hidup dan

  memaknai hidupnya. Tercapainya tujuan hidup dan membawa individu untuk mencapai kebahagiaan. Dan kebahagiaan tidak sama dengan makna hidup. Kebahagiaan merupakan hasil dari menjalankan kegiatan yang bermakna, sedangkan makan hidup merupakan hal yang dianggap sangat penting dan berharga bagi seseorang sehingga mampu mmeberikan nilai khusus yang layak diajdikan tujuan hidup seseorang.

  (Bastaman, 2007) sehingga makna hidup di setiap orang berbeda

  • – beda sesuai dengan apa yang individu tersbeut anggap penting.

  A.3.

  Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being Ada beberapa hal yang mampu mempengaruhi tinkatan Psychological

  Well-being seseorang (Ryff, 1989), yaitu: a.

  Usia.

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff pada tahun 1989 ditemukan bahwa ada perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari beberapa kelompok usia (Ryff, 1989b;Ryff & Keyes,1995). Ryff menggunakan 3 kategori umur yaitu young adult, middle adult dan

  

older adult (Ryff, 1989) dan ditemukan bahwa dimensi environmental

mastery semakin meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Individu

  dewasa akhir memiliki tingkat yang lebih rendah dibanding kategori kelompok lainnya dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri dan memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri, sedangkan dewasa madya memiliki tingkat yang tinggi pada penguasaan lingkungannya. Dan individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah di sisi dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan personal growth yang cukup tinggi (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001) b. Jenis Kelamin

  Pria dan wanita memiliki tingkatan psychological well-being yang berbeda. Wanita memiliki dimensi hubungan dengan orang lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini terkait dengan sensitifitas wanita terhadap perasaan orang lain, sehingga wanita terbiasa membina hubungan dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Personal

  

growth pada wanita juga tampak lebih menonjol dibandingkan pria. 4 dimensi lainnya pria dan wanita tidak terjadi perbedaan yang signifikan. (Ryff, 1995) c. Status sosial ekonomi

  Status sosial ekonomi memiliki hubungan dengan dimensi tujuan hidup, penguasaan lingkungan, penerimaan diri dan pertumbuhan dirinya dimana individu dengan status ekonomi yang tinggi akan memiliki

  

psychological well-being yang lebih tinggi dan kesehatan mental yang

  baik. Individu yang memiliki status ekonomi rendah cenderung mudah stress dan mempengaruhi kesehatan mental seseorang. (Ryff, 1989) d.

  Budaya Budaya individualisme dan kolektivisme memberikan dampak yang berbeda pada psychological well-being seseorang. Hasil penelitian Ryff (1995) menyebutkan bahwa budaya individualis memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

  e.

  Dukungan Sosial Dukungan sosial yang diberikan orang lain kepada individu dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan seseorang (Devis dalam Oktintia, 2012).

  psychological well-being

  Dukungan sosial disini merupakan perhatian, pertolongan dan rasa nyaman yang diberikan oleh orang lain untuk individu. Sumber dukungan ini bisa berasal dari mana saja, bisa saja pasangan, keluarga, teman ataupun organisasi sosial.

  f.

  Locus of Control (LOC)

  Locus of Control merupakan suatu kepecayaan yang dimiliki seseorang

  mengenai kontrol terhadap peristiwa yang dialami (Rotter dalam (Schultz & Schultz, 1994). Robinson et.al (dalam Oktintia, 2012) mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan gambaran terhadap well-being seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal.

B. BEKERJA

  Bekerja menjadi fokus utama dalam perkembangan masa dewasa (Lemme, 1999). Setiap manusia harus memiliki dan menjalankan sebuah pekerjaan untuk memenuhi tugas perkembangannya. Memilih sebuah pekerjaan menjadi bagian dari tugas perkembangan utama seseorang yang nantinya bisa mempengaruhi seluruh struktur kehidupan.

  Bekerja mampu memenuhi beberapa kebutuhan manusia. Selain untuk kepentingan finansial, terdapat aspek lain yang dapat terpenuhi ketika seseorang memiliki pekerjaan. Menurut Lemme (1999), aspek-aspek tersebut terkait dengan harga diri, penerimaan sosial, status sosial, sebagai jalan masuk bagi masa dewasa, menjadi struktur kehidupan, menghindari kebosanan, menjadi sumber pemenuhan diri (terdiri dari kepuasan, tantangan, otonomi, dan makna bekerja) serta generativitas. Bekerja juga mampu memberikan identitas dan integrasi sosial kepada seseorang. (Newman & Newman, 2011). Lemme (1999) juga menyebutkan bahwa bekerja sering digunakan sebagai simbol kemandirian, keamanan finansial dan well-being.

  Bekerja memiliki makna yang berbeda-beda untuk setiap individu tergantung dari karateristik individu dan pekerjaan yang dilakukannya. Makna dari pekerjaan itu sendiri berubah seiring usia. Orang yang lebih tua akan lebih menempatkan nilai dari pekerjaan tersebut dibandingkan finansialnya (Birren, dalam Lemme 1999).

  B.1. Masa Bekerja

  Terdapat perbedaan masa bekerja bagi seseorang sampai diputuskan untuk berhenti bekerja dan menjalani masa pensiun. Seseorang dapat bekerja setelah memasuki usia 18 tahun, terkecuali pekerjaan ringan yang dapat dimulai ketika berusia 16 tahun (Undang - Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 1999). Di Indonesia sendiri terdapat berbagai jenis pekerjaan dan beragam batas usia pensiun sesuai dengan pekerjaannya. Untuk Pegawai Negeri Sipil, batas usia pensiun bagi PNS pada umumnya berdasarkan Undang - Undang Aparatur Sipil Negara adalah 58 tahun (ANTARA News, 2014). Sedangkan untuk yang bekerja di sektor swasta dapat berlangsung lebih cepat lagi. Normalnya seseorang yang bekerja di sektor swasta akan mengalami pensiun di usia 55 tahun, walaupun ada beberapa perusahaan yang menetapkan batas usia pensiunnya hingga 60 tahun(Bonasir, 2010)

C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) C.1. Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

  Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja dikarenakan suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. (UU No.13 tahun 2003

  pasal 1 butir 25). Manulang (2001) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan dengan yang menerima dan menjalankan pekerjaan (pekerja) dan pekerja tersebut mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya.

  Dari penjelasan di atas disimpulkan pemutusan hubungan kerja adalah berakhirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dan pekerja mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya

  C.2. Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

  Rosyid (dalam Harahap, 2010) membagi Pemutusan Hubungan Kerja ke dalam 2 bagian, yaitu :

1. PHK dalam Kondisi Normal

  PHK dalam kondisi normal mempunyai makna pemutusan hubungan kerja yang memang sudah memasuki waktunya dikarenakan pekerja sudah memasuki masa purna bakti. Dalam kondisi normal, PHK jenis ini akan menimbulkan perasaan yang membahagiakan dikarenakan setelah bertahun

  • – tahun bekerja sesuai dengan peran yang berada di perusahaan maka tiba saatnya untuk memperoleh penghargaan atas semua jerih payahnya. Selain itu pengunduran diri atau pensiun diri juga merupakan
bagian dari pemutusan hubungan kerja secara normal,, dikarenakan pekerja dengan sadar mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan memulai karirnya dari awal

2. PHK dalam Kondisi Tidak Normal

  Berkembangnya suatu perusahaan tergantung oleh lingkungan tempat perubahaan tersebut beroperasi dan tergantung perolehan dukungan agar perusahaan tersebut tetap bertahan (Robbins dalam Harahap, 2010). Tuntutan yang berasal dari dalam dan luar (inside & outside stakeholder) dapat membuat sebuah perusahaan melakukan perubahan termasuk di dalamnya penggunaan tenaga kerja (Harahap, 2010). Dan dampak dari pengurangan tenaga kerja ini adalah pemutusan hubungan kerja.

  Flippo (1981, dalam Edwin, 2003) membagi pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu : a.

  Layoff : Keputusan yang diberikan kepada pekerja yang walaupun memiliki kualifikasi yang membanggakan, namun tetap harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan jasanya.

  b.

  Outplacement : Keputusan yang diambil dikarenakan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja baik profesional, manajerial ataupun pelaksana biasa. Hal

  • – hal yang menyebabkan sebuah perusahaan mengambil keputusan ini adalah untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, mengurangi orang
  • – orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja dan orang-orang yang kemampuannya tidak dapat dikembangkan
c.

  Discharge : Keputusan ini diambil berdasarkan bukti lapangan bahwa pekerja kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.

  C.3. Dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

  Stress muncul ketika seseorang menganggap sebuah kejadian sebagai kejadian yang menakutkan, tidak dapat dihadapi dan merasa putus asa dalam menghadapinya (Lemme, 1999). Situasi yang paling menimbulkan stress adalah situasi yang berhubungan dengan kehilangan ataupun ekspektasi yang terlalu tinggi yang sudah ditetapkan oleh individu (Hobfoll dalam Lemme, 1999). Pemutusan Hubungan kerja menimbulkan konsekuensi psikologis yang sangat besar bagi individu (Paul & Moser, 2009). Pemutusan hubungan kerja menyebabkan seseorang mengalami kehilangan baik dari segi kehilangan pekerjaan, rutinitas, finansial dan kehilangan identitas di masyarakat (Creed & Macintyre dalam Papalia, 2007). Segala bentuk kehilangan yang diakibatkan pemutusan hubungan kerja mempengaruhi fisik dan psikologis individu (Journal Of Occupation Health Psychology Vol 7 No 4 dalam Dance 2011). Gangguan fisik yang biasa pada seseoran yang berhenti bekerja adalah hipertensi (Papalia, 1998). Penelitian lain menunujukkan bahwa seseorang yang tidak bekerja cenderung mengalami masalah dengan jantung dan melemahnya sistem imun (Cohen, Kemeny, & Zegans, 2007). Selain fisik, mental seseorang pun dapat terganggu akibat pemutusan hubungan kerja. Seseorang yang diberhentikan dari pekerjaannya cenderung cemas, stress bahkan sampai kepada depresi (Blustein dalam Dance, 2011). Segala tekanan mental yang terjadi dapat mempengaruhi psychological well-

  being seseorang (Bradburn dalam Ryff, 1989)

D. DEWASA MADYA D.1. Definisi Dewasa Madya

  Hurlock (1998) menyebutkan bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40 - 60 tahun. Sedangkan jika dilihat dari sudut konteks keluarga, dewasa madya merupakan masa dimana individu memiliki anak yang sedang tumbuh dan memiliki orangtua yang sudah lanjut usia (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).

  Pada masa ini individu mulai memiliki berbagai tanggung jawab dan peran seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus usaha, membesarkan anak, merawat orangtua dan memulai karir baru (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu di masa ini memiliki keadaan fisik, kognitif dan emosi yang baik dan nyaman dengan kualitas hidupnya. Masa dewasa madya sering disebut masa krisis dikarenakan di masa ini seseorang kembali meninjau target dan aspirasinya dan menentukan apa – apa saja yang akan dilakukan untuk menjalani sisa hidup (Lachman & James dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007).

  Boyd & Bee (2009) menyebutkan bahwa kecenderungan individu untuk bekerja di masa dewasa madya masih tinggi. Mereka mengkarateristikkannya kedalam dua perspektif dimana Boyd & Bee melihat bahwa performa kerja individu dewasa madya meningkat walaupun terjadi penurunan secara kognitif dan fisik. Selain itu kepuasan dalam bekerja juga meningkat di masa ini. Hal itu dikarenakan individu memperoleh upah yang besar sesuai pertambahan usianya dan karena individu tersebut telah berada di posisi yang lebih aman dari sebelumnya. (Santrock, 2002)

  Di usia dewasa madya, individu akan lebih berfokus pada otonomi dalam bekerja, kesempatan untuk individu untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, pencapaian personal, kebebasan untuk lebih kreatif dan kebutuhan untuk melihat suatu pekerjaan mampu memberikan kontirbusi yang nyata dalam kehidupan (Clausen dalam Hoyer, Rybash, & Roodin, 1999)

  Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah dewasa madya merupakan masa yang dimulai dari usia 40 - 60 tahun dan memiliki tanggungan keluarga serta merupakan masa dengan berbagai tanggung jawab dan peran baik dalam keluarga dan pekerjaan.

  D.2. Karateristik Dewasa Madya

  Masa dewasa madya adalah masa yang sangat ditakuti dari berbagai rentang kehidupan. Karena di masa ini seseorang sudah harus mengevaluasi apa yang ia rancang di masa dewasa dini dan apa yang harus ia lakukan di masa dewasa lanjut. Menurut Hurlock (1998), Masa dewasa madya diasosiasikan dengan beberapa karaterstik, yaitu : a.

  Masa yang ditakuti Stereotipe-stereotipe yang muncul di tengah masyarakat mengakibatkan individu menjadi takut untuk menghadapi masa dewasa madya. Anggapan penurunan fungsi mental dan fisik serta berhentinya reproduksi menjadi hal utama dari ketakutan individu dewasa madya b.

  Masa transisi Masa dewasa madya merupakan masa transisi dimana individu harus melepaskan ciri-ciri jasmani dan perilakunya di masa dewasa dini dan menyesuaikan diri dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Biasanya ini berhubungan dengan masa transisi keperkasaan seorang pria dan kesuburan seorang wanita c.

  Masa stress Perubahan yang terlalu drastis terkadang berimbas kepada psikologis individu di masa ini. Marmor (dalam Hurlock, 1998) membagi kategori stress yang dihadapi dewasa madya menjadi empat bagian termasuk didalamnya stress somatik, stress budaya, stress ekonomi dan stress psikologis d. Usia yang berbahaya

  Di masa ini dikatakan usia yang berbahaya karena di masa inilah terjadi rasa cemas yang berlebihan, penurunan fungsi fisik dan kurang memperhatikan diri sendiri. Di beberapa kasus terdapat kemungkinan bunuh diri ketika tidakmampu mencapai targetnya.

  e.

  Usia canggung Masa ini merupakan masa canggung karena dewasa madya berada ditengah-tengah dua generasi muda yang pemberontak dan senior. Tidak ada kepastian apakah individu ini masih pantas disebut muda namun apakah sudah pantas ia disebut tua.

  f.

  Masa berprestasi Di masa ini performa seseorang untuk menghasilkan sesuatu itu meningkat. Hal itu dilakukan untuk mencapai generativitas dan tidak hanya berdiam diri dan mengalami stagnasi. Masa ini merupakan masa berprestasi dikarenakan di masa ini individu udah berada di puncak karirnya. Mereka akan puas terhadap hasil yang sudah diperoleh sepanjang dewasa dini dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka sampai memasuki usia pensiun. Di masa ini juga masa di mana pendapatan meningkat secara signifikan.

  g.

  Masa evaluasi Masa ini menjadi masa evaluasi terhadap apa yang sudah dicapainya sepanjang dewasa madya. Keinginan-keinginan dan tujuan apa yang sudah tercapai dan belum tercapai. Jika berhubungan dengan puncak karir, maka individu dewasa madya akan mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi yang sudah ditentukan sejak awal.

  h.

  Masa dengan standar ganda Individu dievaluasi melalui dua aspek utama, yaitu jasmani dan sikap.

  Aspek perubahan jasmani termasuk didalamnya ketika rambut sudah memutih, timbulnya kerutan dan keriput di wajah dan beberapa otot yang mengendur. Dari segi sikap terdiri dari merasa diri tetap muda dan aktif , dan secara perlahan menua dengan anggun dan lambat serta hati-hati. i.

  Masa sepi Masa sepi disini maksudnya adalah ketika anak sudah mulai meninggalkan rumah dan memulai kehidupannya sendiri (emptynest). Namun selain itu masa sepi disini termasuk didalamnya masa sepi dalam kehidupan perkawinannya. j.

  Masa jenuh Individu di masa ini sudah mulai jenuh dengan kegiatan yang dilakukannya sehari-hari. Misalnya pada wanita yang sudah mulai jenuh untuk mengurus rumah dan anak-anak , dan pria yang mulai mempertanyakan kegiatan sehari - harinya

  D.3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya

  Ada 4 kategori yang menjadi tugas utama dalam perkembangan masa dewasa madya (Havighurst dalam Hurlock, 1998), yaitu : a.

  Berkaitan dengan perubahan fisik Menyadari perubahan fisik yang tidak seberfungsi dulu dan mulai menyesuaikan diri dengna perubahan fisik yang terjadi seperti perubahan dalam penampilan, kemampuan indra yang menurun, perubahan pada kemampuan seksual (menopause pada wanita dan klimakterik pada pria) dan kesehatan yang mulai menurun b.

  Tugas yang berkaitan dengan perubahan kejuruan Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan dengan cara bekerja c.

  Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

  Tugas ini berkaitan dengan menyesuaikan diri denga orang tua yang lanjut usia serta membantu mengarahkan anak

  • – anak yang sudah beranjak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.

  D.4. Perkembangan Psikososial Dewasa Madya

  Masa dewasa madya merupakan periode yang cukup stabil walaupun dipenuhi dengan berbagai tanggung jawab. Bahkan Abraham Maslow dan Carl Rogers menyebutkan bahwa masa dewasa madya memiliki kesempatan untuk berubah ke arah yang lebih positif (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).

  Di masa ini pula individu dewasa madya mengalami berbagai jenis krisis yang mempengaruhi psikologis individu. Krisis paruh baya atau yang sering disebut dengan mid-life crisis adalah kenyataan yang dihadapi tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi yang dimiliki seseorang di usia dewasa madya (Lachman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) Menurut Erikson, dewasa madya berada dalam tahap generativitas. Generativitas merupakan kepedulian pada orang dewasa dalam membangun dan mengarahkan generasi berikutnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Kepedulian ini kemudian menciptakan kesejahteraan bagi individu dan mempengaruhi lingkungan menjadi lebih baik. Namun jika individu tidak mampu mencapai generativitasnya , maka individu itu akan berhenti di tempat dan mengalami stagnasi yang membuat hidupnya mengalami kekosongan (Papalia, Olds, & Feldman, 2007)

E. Psychological Well-being Dewasa madya Yang Mengalami PHK

  Dewasa madya merupakan masa dimana seorang individu memiliki tugas perkembangan, dimana salah satu tugas tersebut adalah bekerja. Bekerja menjadi tanda kemandirian, keamanan finansial, diterima secara sosial serta dan kesejahteraan pribadi (McConnel & Beitler dalam Lemme 1999). Dengan bekerja pula seseorang bisa menunjukkan dan mengembangkan aspek dan kebutuhan pribadinya (Lemme, 1999). Gambaran diri seseorang pun dapat terbentuk melalui sebuah pekerjaan (Kinderman dalam Dance, 2011). Dalam masa dewasa madya, individu menikmati hasil-hasil pekerjaan mereka yang sudah dibangun sejak masih dewasa dini. Individu di masa ini akan berfokus pada berapa lama waktu yang ia miliki sebelum pensiun dan berpacu dengan waktu tersebut untuk mencapai tujuan

  • – tujuannya. Namun hal itu bisa terhambat jika individu tidak memiliki pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja / pemecatan.

  Pemutusan hubungan kerja adalah berhentinya hubungan kerja antara pemilik perusahaan dengan pekerja. Pemutusan hubungan kerja membuat individu menjadi tidak bekerja dan mengalami masa pensiun sebelum waktunya. Hal ini termasuk kedalam salah satu krisis yang dialami oleh individu yang memasuki dewasa madya, dimana ekspektasinya dapat bekerja hingga memasuki usia pensiun harus kandas dikarenakan pemutusan hubungan kerja tersebut (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Pemutusan hubungan kerja mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaan. Kehilangan pekerjaan menjadikan sebuah pekerjaan yang awalnya dianggap tantangan yang harus dihadapi malah menjadi bumerang yang melemahkan psikologis dewasa madya (Blustein, dalam Dance, 2011). Kehilangan pekerjaan akibat PHK mengakibatkan seseorang kehilangan identitas diri, menjadi sulit menyesuaikan diri dan merasa tidak mampu mengontrol hidupnya lagi.

  Seseorang yang mengalami pemecatan juga mengalami penurunan harga diri dan kepuasan hidup. Menurut penelitian, lebih dari 24.000 individu mengalami penurunan kepuasan hidup ketika tidak bekerja dan tidak dapat kembali ke tingkat semula walaupun sudah mendapatkan pekerjaan kembali (Santrock, 2002). Penelitian lain menyebutkan bahwa diberhentikan dari pekerjaan berdampak buruk bagi individu, khususnya dewasa madya karena menimbulkan rasa terbuang dan merasa tidak memiliki kontrol dalam kehidupan (Barling dalam Australian Psychological Society Ltd., 2000).

  Kehilangan pekerjaan juga mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kesuksesan di situasi lainnya. Kehilangan pekerjaan membuat seseorang merasa tidak memiliki harapan sukses lagi walaupun ia sudah mendapat pekerjaan baru. Ia merasa kehilangan harga diri dan tak mampu mengontrol kehidupannya. Ketidakmampuan menguasai kehidupan berujung pada terpengaruhnya (kesejahteraan psikologis)

  Psychological Well-being

  seseorang. Psychological well-being merupakan konstruk yang dirumuskan oleh Carol D. Ryff (1995), terdiri dari 6 dimensi yang dapat mengungkap fungsi psikologis positif dari tiap individu. Fungsi psikologis positif dari tiap individu dapat dilihat dari dari kemampuan individu menguasai lingkungan sekitarnya, mejalankan apa yang menjadi pilihannya, memiliki tujuan hidup, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, terus berkembang dan dapat menerima dirinya (Ryff, 1989)

  Seseorang yang mengalami pemecatan akan mengalami perubahan kesejahteraan hidup (Kalleberg, 2009). Individu yang mengalami PHK ketika memasuki dewasa madya menjadi tidak mampu menerima dirinya. Seseorang yang tidak mampu menerima dirinya tidak dapat menyadari potensi yang dia miliki untuk bisa bangkit dari situasi PHK yang dialami. Ia tidak sadar dapat membangun karir baru. Ia juga mengalami gangguan dalam menilai kembali tujuan hidup dan prestasi apa yang harus dicapainya (Broomhall & Winefield dalam Berk, 2007). Hal ini nantinya akan mempengaruhi generativitas dari dewasa madya tersebut. Ia juga memiliki hubungan yang tidak terlalu positif dengan lingkungan karena merasa lingkungan sudah tidak lagi bersahabat dengannya. Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat mempengaruhi mental secara signifikan. Seseorang yang kehilangan pekerjaan 4 kali lebih rentan mengalami gangguan mental dibandingkan para pekerja (Mental Health

  Survey , 2009 dalam Dance, 2011)

F. Paradigma Teoritis

  Keterangan : =mengalami = terdiri dari = menyebabkan = mempengaruhi = yang ingin diteliti

  Layoff Outplacement Discharge

  Kehilangan Sumber pendapatan, interaksi sosial, identitas dan kegiatan sehari - hari

  (Creed dalam Papalia, 2007) Stress

  Dimensi Psychological Well-being : 1.

  Personal Growth 2. Self Cceptance 3. Autonomy 4. Relation with other 5. Purpose in Life 6. Enviromental Mastery

  Psychological Well- being Dewasa Madya yang diPHK Terbengkalainya Tugas perkembangan yang berhubungan dengan penyesuaian pekerjaan dan tanggung jawab terhadap keluarga (Hurlock, 1998) Tidak Normal

  tujuan hidup rendah, tidak mampu menguasai lingkungan, tidak dapat menerima dirinya, merasa tidak memiliki potensi (Broomhall & Winefield dalam Berk, 2007; Chope dalam Dance, 2011)

  Bagaimana Psychological Well-being dewasa madya yang mengalami PHK?