BAB II LANDASAN TEORI A. PEMILIHAN PASANGAN 1. Pengertian Pemilihan Pasangan - Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal

BAB II LANDASAN TEORI A. PEMILIHAN PASANGAN

  1. Pengertian Pemilihan Pasangan

  Salah satu keputusan yang penting dalam hidup ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan suatu proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah variabel (Aron et al., 1989; Feingold, 1992; Hartin,1990 dalam Lemme 1995). Developmental Process Theories adalah salah satu teori mengenai pemilihan pasangan. Developmental Process

  Theories (DeGenova, 2008), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan

  merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat.

  2. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan

  Menurut DeGenova (2008), terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan, yaitu : a.

  Latar Belakang Keluarga Latar belakang keluarga mempengaruhi semua hal yang ada pada individu, baik keinginannya ataupun perlakuannya. Tidak ada bagian dari individu yang tidak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, termasuk dalam hal memilih pasangan. Dengan mengetahui latar belakang keluarga calon pasangan dapat membantu individu untuk mengetahui mengenai calon pasangannya yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga tersebut (DeGenova, 2008). Anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak menunjukkan kasih sayang biasanya akan sulit untuk mengekspresikan kasih sayang ketika dewasa. Individu terkadang merasa tidak nyaman dan sulit untuk mengetahui bagaimana memberikan atau menerima kasih sayang, khususnya pria. Hal ini dikarenakan pada umumnya pria kurang menerima kasih sayang dibandingkan wanita. Pria terkadang merasa “seperti wanita” atau “tidak jantan” jika mengekspresikan kelembutan (Carter dan Sokol, dalam DeGenova, 2008).

  Menurut DeGenova (2008), dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan ada beberapa hal yang diperhatikan, yaitu : 1)

  Kelas Sosioekonomi Kesempatan untuk mendapatkan kepuasan pernikahan akan lebih besar jika individu menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang setara dengan dirinya. Jika kelas sosioekonomi merupakan faktor utama bagi individu dalam proses pemilihan pasangan, maka individu yang menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang lebih rendah akan lebih mengalami stres dibandingkan dengan individu yang menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang lebih tinggi.

  2) Pendidikan dan inteligensi

  Terdapat kecenderungan pada individu untuk memilih pasangan yang peduli dengan pendidikan. Secara keseluruhan, wanita yang lulus dalam waktu 4 tahun di perguruan tinggi cenderung akan menikah dengan pria yang juga lulus dalam waktu 4 tahun di perguruan tinggi atau pria yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi darinya. Pada umumnya, pernikahan dari pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama lebih harmonis dibandingkan dengan pernikahan dari pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Pada kenyataannya, resiko ketidakstabilan pernikahan juga lebih tinggi pada pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda (Tzeng, dalam DeGenova, 2008).

  3) Pernikahan Antar Ras atau Suku

  Salah satu permasalahan yang akan muncul dalam pernikahan antar ras atau suku adalah permasalahan sosial. Permasalahan tersebut bukan berasal dari pasangan itu sendiri melainkan dari reaksi keluarga, teman, dan lingkungan sosial yang ada di sekitar pasangan tersebut (Olofsson, dalam DeGenova, 2008). Tanpa dukungan dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial, suatu hubungan akan lebih rentan mengalami masalah.

  4) Pernikahan Antar Agama

  Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan ialah faktor agama. Tingkat religiusitas yang dimiliki oleh individu dan dukungan dari keluarga menjadi dorongan bagi individu untuk menikah dengan pasangan yang memeluk agama yang sama dengan individu tersebut. Diasumsikan bahwa pernikahan satu agama akan lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan beda agama.

  Dengan latar belakang agama yang sama, anak akan tumbuh dengan prinsip agama yang kuat dan memiliki standar moral yang baik.

  b.

  Karakteristik Personal Salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih pasangan yang akan dijadikan pendamping hidup ialah kecocokan. Beberapa karakteristik personal yang berkontribusi pada kecocokan tersebut, yaitu :

  1) Sikap dan Perilaku Individu

  Penelitian pada sifat individu berfokus pada fisik, kepribadian, dan kesehatan mental. Sakit fisik menjadi penyebab munculnya stress dalam hubungan, dan membuat hubungan menjadi kurang memuaskan dan kurang stabil. Perilaku neurotic dan sakit mental menyebabkan berkurangnya kestabilan dan kualitas pernikahan. Depresi juga memiliki efek negatif terhadap kualitas pernikahan. Self-esteem yang tinggi dan konsep diri yang baik secara positif berkaitan dengan kepuasan pernikahan. Sociable

  

(extraversion) secara positif berkaitan dengan stabilitas dan kualitas

  pernikahan (J. H. Larson dan Holman, 1994 dalam DeGenova, 2008) 2)

  Perbedaan Usia Salah satu hal yang diperhatikan dalam memilih pasangan ialah perbedaan usia di antara pasangan tersebut. Secara keseluruhan, rata-rata perbedaan usia di antara pasangan adalah dua tahun. Menikah dengan pasangan yang berusia lebih tua atau lebih muda akan mempengaruhi kualitas pernikahan. Sebagai contoh, ketika seorang wanita muda menikah dengan pria yang berusia lebih tua, maka biasanya wanita tersebut akan menjadi janda di usia muda. Tetapi, ketika pria dan wanita menikah di usia yang setara maka mereka cenderung akan hidup bersama lebih lama jika telah menikah sejak usia muda (Davidson, 1989; Foster, Klinger-Vartabedian, dan Wispe, 1984 dalam DeGenova, 2008).

  3) Memiliki Kesamaan Sikap dan Nilai

  Kecocokan pernikahan akan meningkat jika pasangan memiliki kesamaan sikap dan nilai mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi mereka. Seseorang yang saling berbagi sikap dan nilai biasanya akan merasa lebih nyaman satu sama lain. Dari sudut pandang ini, kecocokan dinilai sebagai bagian dari kesetujuan dan ketidaksetujuan mengenai hal-hal, seperti pekerjaan, tempat tinggal, uang, hubungan dengan orang tua, kehidupan sosial, agama, sex, kebiasaan dan peran gender (DeGenova, 2008).

  4) Peran Gender dan Kebiasaan Personal

  Kecocokan tidak hanya didasarkan pada kesamaan nilai dan sikap, tetapi juga melibatkan perilaku. Pasangan akan merasa lebih puas jika pasangan mereka berbagi harapan yang sama mengenai peran gender dan jika mereka dapat saling bertoleransi tentang kebiasaan personal satu sama lain.

  Salah satu pengukuran kecocokan dalam pernikahan adalah persamaan harapan antara pria dan wanita. Setiap pria memiliki konsep peran sendiri mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebagai seorang suami dan memiliki harapan mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya.

  Begitu juga dengan wanita, wanita memiliki konsep peran sendiri sebagai seorang istri dan memiliki harapan mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya. Harapan di antara keduanya bisa saja berbeda dengan yang terjadi (DeGenova, 2008).

3. Proses Pemilihan Pasangan

  Developmental Process Theories (DeGenova, 2008), menjelaskan

  bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat.

  Teori ini menjelaskan beberapa tahap yang dilalui oleh individu dalam proses penyeleksian pasangan, yaitu : a.

  Field of Eligibles Tahap pertama yang dilalui oleh individu dalam memilih pasangan ialah menentukan kriteria pasangan yang dianggap paling sesuai dengan diri individu tersebut. Pernikahan yang baik cenderung meningkat ketika menikah dengan pria dengan status yang tinggi dibandingkan menikah dengan pria dengan status yang rendah (diukur dari pendidikan dan pekerjaan) (Litcher, Anderson, dan Hayward, dalam DeGenova, 2008).

  b.

  Propinquity

  Propinquity adalah kedekatakan geografis yang merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pemilihan pasangan (DeGenova, 2008).

  

Propinquity menjadi salah satu alasan kenapa individu cenderung memilih

  pasangan dari kelas sosial yang sama, hal ini dikarenakan tempat tinggal, sekolah, dan lingkungan kerja berhubungan dengan status sosialekonomi. Hal ini juga yang menyebabkan individu cenderung tertarik dan akrab dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang sama (Feingold, 1988 dalam Lemme, 1995).

  c.

  Attractiveness Ketertarikan meliputi ketertarikan fisik dan ketertarikan pada sifat kepribadian tertentu (DeGenova, 2008). Wanita lebih tinggi memprioritaskan lebih tinggi pada aspek SES, ambisi, karakter, dan intelegensi, dibandingkan dengan pria yang lebih berfokus pada ketertarikan secara fisik (Lemme, 1995). Wanita juga cenderung menyukai pasangan yang berusia lebih tua atau seusia namun pria lebih menyukai pasangan yang berusia lebih muda (Baron & Byrne, dalam Lemme, 1995).

  d.

  Homogamy dan Heterogamy Dua konsep penting yang juga harus dipahami dalam memilih pasangan yaitu homogamy dan heterogamy. Homogamy mengarah pada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang sama seperti dirinya dan heterogamy mengarah pada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang berbeda dari dirinya (DeGenova, 2008). Individu cenderung menikahi seseorang yang sama dengan dirinya dalam hal usia, ketertarikan fisik, kepribadian, sikap, kemampuan kognitif, pendidikan, dan latar belakang kelas sosialekonominya (Epstein & Guttman et al, dalam Lemme, 1995).

  Pernikahan yang homogamous cenderung lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan yang heterogamous, meskipun tidak secara keseluruhan. Alasan utama individu untuk melakukan pernikahan yang homogamous ialah individu lebih menyukai orang-orang yang sama seperti dirinya dan merasa tidak nyaman jika berada di dekat orang-orang yang berbeda dari dirinya (DeGenova, 2008).

  e.

  Compatibility Kecocokan mengarah kepada kemampuan individu untuk tinggal bersama dengan pasangannya dalam keadaan harmonis. Kecocokan dapat dievaluasi dari aspek tempramen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran, dan kebiasaan pribadi. Dalam memilih pasangan individu akan berusaha untuk mendapatkan pasangan yang sesuai atau cocok dengan dirinya (DeGenova, 2008).

  f.

  The Filtering Process Dalam proses penyaringan pemilihan pasangan ini, individu akan melalui serangkaian proses penyaringan dan mengeliminasi calon pasangan yang dianggap tidak sesuai hingga akhirnya membuat suatu keputusan. Proses ini diawali dengan menentukan kriteria pasangan, lalu calon pasangan akan diseleksi berdasarkan kedekatan (propinquity) dan kemudian ketertarikan fisik akan memainkan peranan yang penting diikuti oleh ketertarikan pada sikap kepribadian. Secara bertahap, individu mulai memilah calon pasangan berdasarkan faktor sosiokultural : usia, etnis, pendidikan, kelas sosioekonomi, dan agama. Semakin berkembangnya hubungan tersebut, individu akan merasakan kecocokan satu sama lain. Sebelum membuat keputusan akhir, individu biasanya melewati suatu periode percobaan yang biasanya disebut dengan tunangan. Jika individu dapat melewati proses penyaringan ini, keputusan akhir yang dibuat oleh individu ialah keputusan untuk menikah. Berikut adalah bagan dari proses pemilihan pasangan :

  Tabel 1. Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan Field of Eligible Propinquity Filter Attraction Filter

  Ketertarikan Secara Fisik dan Ketertarikan Personal

  Homogamy filter

  Usia, Etnis, Pendidikan, Kelas Sosioekonomi, Agama

  Compatibility Filter

  Tempramen, Sikap dan Nilai, Kebutuhan, Peran dan Kebiasaan

  Trial Filter

  Kohabitasi dan Tunangan

  Decision Filter

  Menikah Sumber : Intimate Relationship, Marriage & Families, Mary Kay DeGenova, 2008

B. TUNANETRA

1. Pengertian Tunanetra

  Kata tunanetra berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak dan kata “netra” yang artinya mata, jadi kata tunanetra berarti rusak mata atau penglihatan. Tunanetra merupakan salah satu kelainan fisik pada indra penglihatan. Secara legal, seseorang dikatakan tunanetra jika ketajaman visualnya sama dengan atau kurang dari 20/200 baik setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya. Maksud dari

  20/200 ialah bila dibandingkan dengan individu normal yang mampu melihat hingga jarak 200 kaki, maka tunanetra hanya mampu melihat sampai 20 kaki (Heward, 1992).

  Peyandang tunanetra adalah seseorang yang karena suatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seseorang dikatakan tunanetra apabila Ia menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar atau kegiatan lainnya (Manurung, 2012). Seseorang juga dikatakan tunanetra jika individu tersebut memiliki visus sentralis sama dengan atau lebih kecil dari 6/60, atau setelah dilakukan upaya pemulihan secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi untuk mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal (Efendi, 2006).

2. Klasifikasi Tunanetra

  Menurut WHO (dalam Manurung, 2012) istilah tunanetra terbagi kedalam dua bagian, yaitu blind atau yang disebut dengan buta dan low

  vision atau penglihatannya yang kurang. Blind menggambarkan kondisi

  penglihatan yang tidak dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu, sehingga tergantung dengan fungsi indra yang lain. Low vision menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas yang menuntut fungsi penglihatan, namun masih dapat dibantu dengan alat khusus.

  Klasifikasi tunanetra berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan terbagi atas (Lumbangaol, 2010) : a.

  Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan b.

  Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, mereka memiliki kesan- kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan c.

  Tunanetra pada usia sekolah atau pada usia remaja, mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan memberikan pengaruh terhadap proses perkembangan kepribadian.

  d.

  Tunanetra pada usia dewasa e. Tunanetra pada lanjut usia

C. DEWASA AWAL

1. Pengertian Dewasa Awal

  Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Transisi dari remaja ke dewasa awal ini disebut sebagai tumbuh dewasa (emerging adulthood) (Arnett, dalam King, 2010). Masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang berawal pada akhir usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun (Hurlock, 1980).

  Menurut Erikson (dalam King, 2010), pada masa dewasa awal individu memasuki tahap keenam dari perkembangan psikososial yaitu,

  intimacy vs isolation. Pada masa ini, individu dewasa akan dihadapkan

  dengan tugas perkembangan yakni menjalin hubungan dengan orang lain atau terisolasi secara sosial. Bila pada masa ini individu mengembangkan hubungan persahabatan yang sehat dan hubungan yang intim dengan pasangan, maka intimacy akan tercapai.

  Berdasarkan definisi-definisi di atas, dewasa awal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang berusia 18 sampai 40 tahun.

  2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

  Menurut Hurlock tugas perkembangan pada masa dewasa awal, antara lain : a.

  Mulai bekerja b.

  Memilih pasangan c. Belajar hidup dengan tunangan d.

  Mulai membina keluarga e. Mengasuh anak f. Mengelola rumah tangga g.

  Mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

  3. Ciri- ciri Masa Dewasa Awal a.

  Perkembangan Fisik Pada masa dewasa awal biasanya individu berada di puncak kesehatan, kekuatan, energi, dan daya tahan. Pada masa ini juga individu berada di puncak sensoris dan motoris dengan sempurna. Ketajaman visual juga mencapai puncaknya dari usia 20 sampai 40 tahun. Rasa, bau, serta sensitivitas terhadap rasa sakit dan temperature akan mulai menurun pada usia 45 tahun (Papalia, et al, 2008).

  b.

  Perkembangan Kognitif Pada masa dewasa awal pemikiran cenderung tampak fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistis. Hal tersebut ditandai dengan kemampuan individu berhadapan dengan ketidakpastian, ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi. Tahap kognitif pada masa dewasa awal ini sering kali disebut dengan pemikiran postformal (Papalia, et al, 2008).

  c.

  Perkembangan Psikososial Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson yaitu,

  

intimacy vs isolation merupakan isu utama masa dewasa awal. Jika

  seorang dewasa awal tidak mampu membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain maka mereka akan terisolasi dan

  

self-absorb (terpaku pada kegiatan dan pikirannya sendiri). Akan

  tetapi, individu dewasa awal juga membutuhkan kesendirian sebagai upaya merefleksikan kehidupan mereka. Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan yang berlawanan dari intimasi, kompetisi, dan jarak, mereka mengembangkan pemahaman etis yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan (Papalia et al, 2008).

4. Pengertian Tunanetra Dewasa Awal

  Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang berawal pada akhir usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun (Hurlock, 1980). Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan dengan hilangnya fungsi penglihatan. Penyandang tunanetra adalah seseorang yang karena suatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

  Berdasarkan uraian di atas, maka tunanetra dewasa awal merupakan individu yang berusia 18 sampai 40 tahun di mana fungsi penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

  D. GAMBARAN PROSES PEMILIHAN PASANGAN PADATUNANETRA

  Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan di mana individu kehilangan salah satu fungsi panca indra yaitu, mata. Mata merupakan salah satu organ penting yang berfungsi sebagai penyalur informasi yang utama. Hilangnya fungsi penglihatan mengakibatkan hilangnya salah satu saluran untuk mendapatkan informasi mengenai lingkungan sekitar (Efendi, 2006).

  Hilangnya fungsi penglihatan ini juga akan menghambat seorang tunanetra dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ketunanetraan yang ada pada seseorang menyebabkan dirinya mengalami keterpisahan dengan lingkungan fisiknya yang dapat menyebabkan kepasifan pada tunanetra.

  Keterbatasan lain yang merupakan akibat langsung dari ketunanetraan tersebut ialah keterbatasan dalam berpindah tempat. Keterbatasan dalam berpindah tempat dapat membuat seorang tunanetra menarik diri dari kegiatan sosial atau pergaulan masyarakat. Meskipun kehilangan fungsi penglihatan, biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi sarana alternatif bagi tunanetra dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya (Efendi, 2006).

  Seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan seorang tunanetra akan dipengaruhi oleh ketidakmampuan dan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya termasuk hubungan interpersonal dengan orang-orang di sekitarnya. Bersosialisasi dan membangun hubungan dengan teman sebaya atau dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan pada masa dewasa awal baik dewasa awal yang normal ataupun tunanetra

  Tugas perkembangan lainnya pada masa dewasa awal ini ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan penting yang dibuat oleh individu sepanjang hidupnya (DeGenova, 2008). Memilih pasangan merupakan suatu proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak variabel. Proses pemilihan pasangan merupakan salah satu langkah awal yang dilalui individu sebelum memasuki ke jenjang pernikahan.

  

Developmental Process Theories menjelaskan bahwa pemilihan pasangan

  merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat (DeGenova, 2008).

  Proses penyeleksian pasangan ini diawali dengan menentukan kriteria yang sesuai dengan diri individu, kemudian mempertimbangkan calon pasangan yang dianggap hampir memenuhi kriteria dan mengeleminasi yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya (Feingold, dalam Lemme, 1995). Banyak orang yang terkadang tidak menyadari kriteria pasangan yang mereka harapkan. Misalnya, pria cenderung menikahi wanita yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya. Meskipun pria tidak secara terang-terangan mengemukakan hal tersebut sebagai salah satu kriteria pasangan, namun mereka tidak tertarik dengan pasangan yang usianya lebih tua (Buunk et al., 2001, dalam Newman & Newman, 2006).

  Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyak tunanetra yang menikah dengan pasangan yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Epstein & Guttman (dalam Lemme, 1995), mengemukakan bahwa individu cenderung akan menikahi seseorang yang sama dengan dirinya dalam hal usia, ketertarikan fisik, sifat kepribadian, sikap, kemampuan kognitif, pendidikan, dan latar belakang sosial ekonomi. Alasan utama mengapa kita cenderung memilih pasangan yang sama dengan kita ialah kita akan cenderung menyukai seseorang yang sama dengan kita dan merasa tidak nyaman jika berada di sekitar orang- orang yang berbeda dengan kita (DeGenova, 2008). Meskipun demikian tidak semua tunanetra menikah dengan pasangan yang juga tunanetra. Beberapa dari mereka memiliki keinginan untuk menikah dengan pasangan yang normal.

  Proses pemilihan pasangan yang dilalui tunanetra juga tentu berbeda dengan individu yang normal. Salah satu perbedaan yang paling khas ialah ketertarikan fisik. Pada umumnya, kita cenderung menilai seseorang dari fisiknya. Satu studi menemukan bahwa daya tarik fisik (physical attraction) merupakan salah satu variabel yang penting dalam membentuk ‘chemistry’ dengan orang lain (Peretti, abplanalp, dan Peretti dan DeGenova, 2008).

  Namun, pada tunanetra ketertarikan tidak berasal dari fisik melainkan dari suara. Hal ini tentu merupakan akibat langsung dari hilangnya fungsi penglihatan yang mengakibatkan tunanetra harus mengandalkan indra lain dalam memperoleh informasi (Efendi, 2006).

  Satu studi yang dilakukan untuk membandingkan mate preference pada individu normal dengan individu dengan hambatan penglihatan menunjukkan hasil bahwa secara keseluruhan individu normal dengan individu dengan hambatan penglihatan memiliki pilihan trait yang sama dalam memilih pasangan. Perbedaan yang terlihat jelas hanya pada aspek

  ‘good looks’, di mana aspek tersebut merupakan aspek yang lebih penting bagi

  individu yang normal daripada individu dengan hambatan penglihatan (Trelfa, 2006). Beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan mengenai hal tersebut ialah yang pertama individu dengan hambatan penglihatan dapat berpedoman pada isyarat lain dalam memberikan penilaian baik pada penampilan fisik atau kualitas dari penampian fisik tersebut.

  Miller (dalam Trelfa, 2006) mengemukakan sebuah model yang menyatakan bahwa pemilihan pasangan meliputi serangkaian keputusan.

  Setiap keputusan dianggap sebagai rintangan yang harus diselesaikan sebelum mengambil keputusan yang berikutnya. Urutan dari setiap keputusan tergantung pada diri individu dalam membuat keputusan dan situasi diri individu tersebut. Individu dengan (hubungan jangka pendek) akan menilai penampilan fisik terlebih dahulu daripada traits lainnya. Individu dengan (hubungan jangka panjang akan menilai terlebih dahulu pada trait seperti keadaan ekonomi daripada penampilan fisik calon pasangan. Satu studi dilakukan untuk melihat perbedaan kriteria pasangan (hubungan jangka panjang) pada individu normal dan individu dengan hambatan penglihatan.

  Hasilnya menunjukkan bahwa individu dengan hambatan penglihatan tidak mengutamakan ketertarikan wajah dibandingkan dengan individu normal.

  Individu dengan hambatan penglihatan terlebih dahulu mengumpulkan informasi mengenai calon pasangannya sebelum memberikan penilaian pada penampilan fisik pasangannya (Trelfa, 2006)

  Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Karremans, Frankenhuis, dan Arons menunjukkan bahwa pria dengan hambatan penglihatan lebih menyukai wanita dengan tingkat WHP (waist-to-hip-ratio) yang rendah. Studi tersebut menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut ialah pria dengan hambatan penglihatan dapat saja memperoleh informasi mengenai hal-hal yang dianggap menarik oleh individu yang dapat melihat secara verbal, meliputi teman sebaya, orang tua, dan saudara mereka (cf. Yu, Proulx, & Shepard dalam Karremans, 2009).

  Trelfa (2006) juga mengemukakan bahwa salah satu cara yang dapat digunakan oleh individu dengan hambatan penglihatan untuk mengetahui mengenai calon pasangan tersebut berkualitas atau tidak ialah dengan menggunakan informasi-informasi tentang calon pasangan secara psikologis dan behavioural. Informasi ini dapat diperoleh tanpa harus melihat secara langsung apa yang mereka lakukan. Dengan berbicara kita dapat mengetahui bagaimana nilai-nilai yang dimiliki orang tersebut, kemampuan bersosialisasinya, inteligensinya, dan kepribadian lainnya. Sebagai penambahan informasi ini juga dapat diperoleh dari orang lain. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan bagi tunanetra (Trelfa, 2006)

  Hilangnya fungsi penglihatan pada tunanetra mengharuskan tunanetra menggunakan indra lain yang masih berfungsi dalam mengumpulkan informasi mengenai calon pasangannya. Pengumpulan informasi mengenai pasangan melalui suara dan informasi dari orang lain tentu akan berbeda dengan informasi yang diperoleh dari penglihatan. Hal inilah yang pada dasarnya memunculkan perbedaan-perbedaan dalam proses pemilihan pasangan yang dilalui oleh tunanetra.

E. PARADIGMA BERPIKIR

  Tunanetra Tugas Perkembangan Masa

  Dewasa Awal Mendapatkan

  • Lebih berkonsentrasi pada suara dan berusaha memanfaatkan panca indera yang lain
  • Memiliki keterbatasan dalam keanekaragaman pengalaman
  • Memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan
  • Memiliki keterbatasan dalam mobilitas

  Pekerjaan Membentuk

  Suatu Keluarga Memilih

  Pasangan

  Karakteristik tunanetra :

  Proses Pemilihan Pasangan DeGenova (2008) :

  Field of eligible Propinquity filter Decision filter

  Homogamy filter Compatibility filter Trial filter Attraction filter

  Kesamaan sikap dan nilai Sikap dan perilaku

  Peran gender dan kebiasaan personal

  Usia Etnis

  Pendidikan Sosioekonomi

  Agama