ANALISIS BAHASA TUTURAN DALAM MANGUPA PADA PERKAWINAN BATAK MANDAILING.

(1)

ANALISIS BAHASA TUTURAN DALAM UPACARA

MANGUPA PADA PERKAWINAN BATAK MANDAILING

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh

Liza Padillah Parinduri

NIM 208212021

-

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2013


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ANALISIS BAHASA TUTURAN DALAM UPACARA

MANGUPA PADA PERKAWINAN BATAK MANDAILING

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh

Liza Padillah Parinduri

NIM 208212021

-

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2013


(6)

ii ABSTRAK

Liza Padillah Parinduri, Nim 208212021, Analisis Bahasa Tuturan dalam Mangupa pada Perkawinan Batak Mandailing. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Studi /S1. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Medan.Sastra Indonesia.

Acara Mangupa adalah suatu acara dimana kedua pengantin diberikan upah-upah atau nasehat yang di dalamnya terdapat tuturan-tuturan. Pada masa sekarang ini penggunaan bahasa pada acara Mangupa kurang kental bahasa batak Mandailingnya. Oleh sebab itu, bahasa tuturan pada acara mangupa perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan jenis, fungsi,dan konteks tuturan pada acara mangupa dalam perkawinan Batak Mandailing. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian diadakan di Desa Pasar Huristak, Kecamatan Huristak, Kabupaten Padang Lawas selama kurang lebih satu bulan yaitu pertengahan bulan Juli sampai pertengahan bulan Agustus 2013. Sumber data adalah tuturan yang disampaikan pada acara mangupa. Data dikumpulkan dengan teknik rekam.

Hasil penelitian yang ditemukan adalah sebagai berikut: 1) berdasarkan jenisnya, terdapat 16 tuturan imperative, 14 tuturan optative, 16 tuturan asertive, dan 2 tuturan exclamatory serta tidak terdapat jenis tuturan interogatif dalam tuturan ini. Hal ini sesuai dengan jenis acara yang mewadahi terjadinya tuturan tersebut, yaitu acara pernikahan; 2) berdasarkan fungsinya, semua tuturan yang disampaikan pada acara mangupa adalah tuturan regulatory; 3) dari segi konteksnya, semua tuturan pada acara mangupa terjadi pada pagi hari di rumah pengantin pria dengan situasi yang serius. Ada pun penuturnya adalah petuah adat, kahanggi, anak boru dan mora. Sedangkan kedua pengantin hanya berperan sebagai pendengar. Dampak yang diharapkan dari pertuturan tersebut secara umum adalah agar pengantin menjadi pribadi yang baik dalam membina rumah tangga. Tuturan-tuturan tersebut merupakan percakapan satu arah. Tuturan disampaikan secara halus, lugas, dan dengan bahasa yang serius dan semi formal. Hal ini dikarenakan acara mangupa merupakan acara adat yang serius, namun bersifat kekeluargaan. Penutur menyampaikan tuturan melalui bahasa lisan.


(7)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi penelitian yang berjudul ”Analisis Bahasa Tuturan dalam Upacara Mangupa pada Perkawinan Batak Mandailing”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar sarjana pada jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan. Semua ini bisa terwujud berkat bantuan, bimbingan dan dorongan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Si., selaku Rektor Universitas Negeri Medan.

2. Dr. Isda Pramuniati, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.

3. Dr. Rosmawaty, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Drs. Sanggup Barus, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra

Indonesia.

5. Drs. M. Surif, S.Pd, M.Si., selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia 6. Drs. Syahnan Daulay, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis dari awal bimbingan hingga akhir bimbingan.

7. Dr. Mutsyuhito Solin, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang turut serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Seluruh Dosen Pengajar di Jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia. 9. Pegawai Tata Usaha di Fakultas Bahasa dan Seni.


(8)

iii

10.Kepala Desa Pasar Huristak, Kecamatan Huristak, Kabupaten Padang Lawas. 11.Ayahanda Fathi Parinduri dan Ibunda Indriati, yang telah memberikan banyak

dukungan kepada penulis, serta seluruh keluarga besar dan teman-teman. Penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian, seperti kata pepatah ’tiada gading yang tidak retak’, sebagai manusia biasa penulis juga tidak luput dari kekhilafan. Maka karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan dalam khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Sastra Indonesia.

Medan, September 2013

Penulis,

Liza Padillah Parinduri NIM 208212021


(9)

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL DAN PERTANYAAN PENELITIAN... 10

A. Landasan Teori ... 10

1. Analisis ... 10

2. Pragmatik ... 11

3. Bahasa Tuturan... 13

a) Jenis Tuturan ... 13

b) Fungsi Tuturan... 15

c) Konteks Tuturan ... 17


(10)

v

5. Mangupa ... 20

a. Asal Usul ... 21

b. Pemimpin dan Peserta ... 21

c. Peralatan dan Bahan ... 22

d. Pelaksanaan ... 24

e. Penutup……… 36

B. Kerangka Konseptual………... 37

C. Pertanyaan Penelitian………... 37

BAB III METODE PENELITIAN……… 39

A. Metode Penelitian………. 39

B. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 39

1. Lokasi Penelitian……….. 39

2. Waktu Penelitian……….. 40

C. Sumber Data………. 40

D. Alat dan Tekhnik Pengumpulan Data………... 41

E.Tekhnik Analisis Data……… 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN... 43

A.Hasil Penelitian... 43

B.Pembahasan... 78

BAB V. PENUTUP ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA………. 109


(11)

ii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.... Latar Belakang Masalah ... 1

B. ... Identi fikasi Masalah ... 6

C. ... Pemb atasan Masalah ... 7

D... Rum usan Masalah ... 7

E. ... Tujua n Penelitian ... 8

F. ... Manf aat penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL DAN PERTANYAAN PENELITIAN... 10

A. ... Land asan Teori ... 10

1. ... Anali sis ... 10

2. ... Prag matik ... 11

3. ... Baha sa Tuturan ... 13


(12)

iii

a) ... Jenis

Tuturan ... 13 b)... Fung

si Tuturan ... 15 c) ... Kont

eks Tuturan ... 17 4. ... Perni

kahan Batak Mandailing ... 19 5. ... Mang

upa ... 20 a. ... Asal

Usul ... 21 b.... Pemi

mpin dan Peserta ... 21 c. ... Peral

atan dan Bahan ... 22 d... Pelak

sanaan ... 24 e. ... Penut

up……… ... 36

B. ... Kera

ngka Konseptual………... ... 37

C. ... Perta

nyaan Penelitian………... ... 37

BAB III METODE PENELITIAN……… 39

A. ... Meto

de Penelitian………. ... 39

B. ... Loka

si dan Waktu Penelitian……… ... 39

1. ... Loka


(13)

iv

2. ... Wakt

u Penelitian……….. ... 40

C. ... Sumb er Data………. ... 40

D. ... Alat dan Tekhnik Pengumpulan Data………... ... 41

E.Tekhnik Analisis Data……… 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN... 43

A.Hasil Penelitian... 43

B.Pembahasan... 78

BAB V. PENUTUP ... 106

A. ... Kesi mpulan ... 106

B. ... Saran 107 DAFTAR PUSTAKA………. 109


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman suku. Pada setiap suku memmpunyai hasil kebudayaan masing-masing. Kebudayaan hadir dari sebuah pemikiran manusia di mana definisi kebudayaan merupakan segala yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia (budi-daya manusia). Kata” kebudayaan” berasal dari kata sanksekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarrti “budi” dan “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan „hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.

Bahasa menujukkan identitas atau jati diri seseorang. Salah satu peranan bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Komunikasi yang teradapat dalam suku batak Mandailing adalah tuturan yang dipakai pada bahasa Mandailing. Tuturan bahasa Mandailing memiliki ciri khas yang berbeda dari tuturan bahasa lain. Hal ini terlihat dari tuturan bahasa Mandailing yang mencirikan 3 pemakaian, yakni :

1. Tuturan bahasa kepada Kahanggi 2. Tuturan bahasa kepada Anak Boru 3. Tuturan bahasa kepada Mora


(15)

Dalam masyarakat Mandailing, terdapat suatu upacara adat (ritual) yang dinamakan Mangupa. Seperti kebudayaan lainnya, Mangupa merupakan salah satu adat yang penting bagi suku Batak Mandailing. Melalui adat Mangupa, suku Mandailing menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat. Selain itu, melaui upacara Mangupa, suku Mandailing juga memperkenalkan dirinya ke suku lain di luar suku mereka. Dengan adanya adat tersebut, masyarakat di luar suku bahkan masyarakat didalam suku itu sendiri dapat mengetahui falsafah hidup yang dianut oleh suku tersebut.

Upacara Mangupa merupakan bagian dari rangkaian upacara adat perkawinan yang hingga sekarang masih selalu diselenggarakan dan amat penting bagi masyarakat Mandailing. Selain sebagai salah satu bagian upacara dalam perkawinan, Upacara Mangupa juga mempunyai beberapa fungsi penting lainnya. Salah satunya, upacara Mangupa merupakan ritual yang digunakan para kerabat untuk menetapkan kebijaksanaan tradisional (tradisional wisdom) yang diperlukan oleh sepasang pengantin untuk membina rumah tangga bahagia menurut konsep masyarakat Mandailing. Selain itu, Mangupa juga merupakan saran utama bagi para kerabat untuk menyampaikan doa dan harapan mereka agar pengantin baru yang memasuki gerbang perkawinan dapat memperoleh kebahagian dan kesentosaan dalam hidup berumah tangga. Selain doa dan harapan, tuturan dalam upacara Mangupa biasanya dirangkai dalam wacana yang puitis dan menarik. Maka, dapatlah dikatakan bahwa tuturan tersebut mengandung nilai estetika, kebenaran, kebaikan, harapan, doa, dan nasehat. Selain fungsi secara khusus tersebut, tuturan dalam upacara Mangupa juga mempunyai fungsi umum yang sama dengan fungsi tuturan pada umumnya. Pada hakikatnya, semua tuturan mempunyai fungsi umum. Hal ini senada dengan pendapat Daulay dalam penelitiannnyayang berjudul “Jenis dan Fungsi Tuturan dalam Cerita Bergambar Bahasa Inggris untuk Anak-anak”. Dalam penelitiannya tersebut, ia menyatakan bahwa setiap tuturan mempunyai fungsi umum yang sama pada setiap tuturan (Sumber: repository.usu.ac.id).


(16)

Selain mengandung estetika, kebenaran, harapan, doa, dan nasehat, tuturan dalam upacara Mangupa juga mengandung nilai budaya merupakan hukum atau ajaran yang penting dalam menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Nilai budaya juga menjadi suatu batasan yang menjaga pola hidup masyarakatnya. Oleh sebab itu, nilai budaya ini layaklah untuk dipertahankan dan dilestarikan. Hal ini senada dengan pendapat Lubis dalam penelitiannya yang berjudul “Penerjemahan Teks Mangupa ke dalam Bahasa Inggris”. Dalam artikelnya tersebut, Lubis mengatakan bahwa wacana yang terdapat dalam Upacara Mangupa mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi yang perlu dilestarikan. (Sumber; repository.usu.ac.id).

Pengucapan tuturan dalam upacara Mangupa pada Suku Batak Mandailing tidaklah dilakukan dengan sembarangan. Pemilihan kata dan cara bertutur dalam upacara ini haruslah memperhatikan konteks sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Cara bertutur orang yang kelas sosialnya dianggap lebih rendah berbeda dengan cara bertutur orang yang kelasa sosialnya lebih tinggi. Senada dengan pendapat ini, Ola dalam penelitiannya yang berjudul “Struktur Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lamaholot” mengatakan bahwa berbicara atau bertutur dalam acara adat sudah barang tentu terikat dengan konteks sosila dan budaya. (Sumber: repository.usu.ac.id).

Ada tiga kondisi di mana upacara Mangupa dapat dilaksanakan, yaitu, : (1) hasosorang ni daganak atau kelahiran anak., (2) haroan baru atau sering dikenal juga sebagai patobang anak atau perkawinan anak laki-laki, dan (3) marmasuk bagas na imbaru atau memasuki rumah baru (Marakup Marpaung, 1969). Upacara Mangupa Haroan Boru, biasanya dipimpin langsung oleh Raja Panusunan Bulung, yaitu seseorang yang diangkat sebagai pemipin adat di lingkungan yang sedang mengadakan horja. Raja Panusunan Bulung memegang tampuk adat dalam upacara adat (Marakub,1969) dan merupakan raja adat yang dianggap ahli tentang adat-adat istiadat (L.S. Diapari,1990).


(17)

Raja Panusunan Bulung atau Hatabangon bertindak sebagai pemimpin yang merangkum semua hata pangupa dan membacakan surat Tambuga Holing. Surat Tambuga Holing adalah ayat-ayat atau kalimat-kalimat yang berisi ajaran tentang kebenaran, kebaikan, atau estetika. Raja Panusunan Bulung menerjemahkan semua perangkat pangupa dan esensi dari nasehat, harapan, dan doa dari berbagai pihak yang sudah memberikan hata pangupa berdasarkan nilai-nilai dalam surat Tumbaga Holing. Peserta utama upacara Mangupa adalah pengantin laki-laki dan perempuan. Selain mempelai, di dalam upacara Mangupa terdapat struktur adat dalam Tapanuli Selatan, yakni Dalihan na Tolu (Tungku yang Tiga), ketiga unsur Dalihan na Tolu adalah kahanggi, anak boru, dan mora. Djapari (1990) dalam buku adat istiadat perkawinan dalam masyrakat Tapanuli Selatan memberikan batasan terhadap ketiga unsur adat tersebut sebagai berikut :

1. Kahanggi, yaitu pihak atau kelompok keluarga yang semarga. Di Toba pihak

ini disebut Dongan Tubu atau Dongan Sabutuha.

2. Anak Boru, yaitu pihak atau sekelompok yang mengambil istri dari pihak yang

pertama. Pihak ini di Toba disebut sebagai boru.

3. Mora, yaitu pihak yang memberika pihak pertama. Pihak ini di Toba disebut

sebagai Hula-hula.

Adapun contoh sepenggal kalimat makna dan doa dalam upacara Mangupa :

“laing mangindo hita tu Tuhanta Naulibasa i, sai dipasu-pasu ia ma hamu :

Tubuan laklak ma na so tubuan lak-lak, tubuan singkoru, lak lak ma idi ginjang ni pintu singkoru digolom-golom, sai maranak ma sapilu pitu jana marboru sapolu onom, anggo dung mardakka abaramuyu, margosta-gosta margiringgiring, maroppa-oppa margiringgiring, lobi dope sian on nangkan baenon tanda godang ni roha ni ama dohot in di pahopu nangkan na ro.


(18)

Antong, bariba tor ma i bariba rura, aek mardomu tu muara, totor iba di adatniba, i do tanda ni anak ni mamora,. Malo-malo hamu marhula dongan songon i marhula marga, inda arti ni sinadongan, ango na so malo iba marututur poda. On sude hata ni adat, padan ni oppunta jolo pangupa i, kata pembaca pangupa dan beberapa orang mengangkat pangupa itu ke atas setinggi kepala kedua mempelai seraya membaca pangupa berkata “manaek ma hamamora, hattorkis jana hadidingindi hamu na niupa on

Artinya : “kita selalu mendoakan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih”, agar kamu diberkati-Nya mendapat keturunan anak laki-laki dan anak perempuan. Kalau diizinkan beranak laki-laki tujuh belas dan anak perempuan enam belas orang. Sekiranya anak kamu berdua sudah banyak kami akan membuat acara yang lebih meriah kepada kamu dan cucu kami kelak.

Dengarkanlah, amalkanlah adat istiadat, itulah tanda anak yang dihormati. Pandai bermasyarakat, tidak ada gunanya harta kalau tidak bergaul. Ini semua kata-kata adat pesan leluhur kita, kami titipkan kepada kalian berdua.

B. Identifikasi Masalah

Cukup banyak masalah yang diteliti dari upacara Mangupa pada perkawinan batak Mandailing tersebut, antara lain :

1. Tuturan dalam upacara Mangupa mengandung nilai budaya yang penting.

2. Tuturan dalam upacara Mangupa mempunyai fungsi dan tujuan tertentu dalam masyarakat Batak Mandailing.

3. Tuturan dalam upacara Mangupa terikat oleh konteks sosial dan budaya Batak Mandailing.


(19)

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari kesalahpahaman maka, perlu dilakukan pembatasan masalah dalam menyelesaikan penelitian. Sehubungan dengan hal itu, mengingat luasnya permasalahan di atas maka, penulis membatasi penelitian ini mengenai “Jenis, Fungsi, dan Konteks Tuturan dalam Mangupa pada Perkawinan Adat Batak Mandailing”.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah jenis-jenis tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing?

2. Jenis tuturan-tuturan mana yang paling dominan digunakan dalam Mangupa?

3. Apakah fungsi dan konteks tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing?

E. Tujuan Penelitian

Setelah kita merumuskan masalah, maka kita dapat membuat tujuan dari penelitian ini, Antara lain :

1. Menggambarkan jenis-jenis tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing.

2. Menggambarkan jenis-jenis tuturan mana yang paling dominan digunakan dalam Mangupa.

3. Menggambarkan fungsi dan konteks tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing.


(20)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat digunakan untuk :

1. Melestarikan salah satu karya sastra daerah yang merupakan warisan nenek moyang kita.

2. Menambah khazanah infomasi tentang nilai budaya batak pada Mangupa dalam perkawinan batak Mandailing.

3. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan tentang nilai-nilai budaya batak pada Mangupa dalam perkawinan batak Mandailing. Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini yakni :

1. Sebagai bahan inventarisasi dalam usaha melestarikan kebudayaan khususnya batak Mandailing.

2. Sebagai referensi-referensi di perpustakaan daerah.

3. Menjadikan bagian dari sumber wawasan pengetahuan kebudayaan batak Mandailing.


(21)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh gambaran umum sebagai berikut: 1. Berdasarkan jenisnya, tuturan yang disampaikan pada acara mengupa kebanyakan

adalah tuturan imperative. Tuturan-tuturan tersebut terdiri dari beberapa kalimat. Hal ini menyebabkan adanya tuturan yang dapat dikategorikan ke dalam lebih dari satu jenis tuturan. Dari 20 tuturan yang dianalisis, terdapat 16 tuturan imperative, 16 tuturan asertive 14 tuturan optative, dan 2 tuturan exclamatory. Tidak terdapat jenis tuturan interogatif dalam tuturan ini. Hal ini sesuai dengan jenis acara yang mewadahi terjadinya tuturan tersebut, yaitu acara pernikahan yang merupakan acara adat yang serius dan ditujukan sebagai wadah untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan dalam rumah tangga.

2. Berdasarkan fungsinya, tuturan yang disampaikan pada acara mangupa adalah tuturan regulatory. Dari 20 tuturan yang dianalisis, semua mengandung fungsi regulatory. Fungsi regulatory merupakan fungsi untuk mengubah tingkah laku orang lain. Dalam acara mangupa ini, tuturan-tuturan yang disampaikan berfungsi untuk mengubah tingkah laku pengantin menjadi lebih baik. Sedangkan fungsi intrumental hanya ditemukan 1 tuturan, yaitu pada data nomor satu.

3. Dari segi konteksnya, semua tuturan pada acara mangupa terjadi pada pagi hari di rumah pengantin pria dengan situasi yang serius. Ada pun penuturnya adalah petuah adat, kahanggi, anak boru dan mora. Sedangkan kedua pengantin hanya berperan sebagai pendengar. Pengantin berperan sebagai penutur hanya pada akhir acara. Sesuai dengan konteksnya, dampak yang diharapkan dari pertuturan tersebut secara umum adalah agar pengantin menjadi pribadi yang baik dalam membina rumah tangga. Tuturan-tuturan tersebut merupakan percakapan satu arah, dimana penutur


(22)

menyampaikan tuturannya sedangkan mitra tuturnya hanya berperan sebagai pendengar. Tuturan disampaikan secara halus, lugas, dan dengan bahasa yang serius dan semi formal. Hal ini dikarenakan acara

mangupa merupakan acara adat yang serius, namun bersifat kekeluargaan. Penutur menyampaikan tuturan melalui bahasa lisan. Dan berhubung acara tersebut merupakan acara adat yang serius dan bersifat kekeluargaan, maka tuturan tersebut disampaikan secara serius, sopan, namun dengan nada lembut.

B. Saran

1. Kepada para ahli budayawan seiring masih jarangnya penelitian tentang tuturan pada acara mangupa, maka penelitian sejenis ini perlu mendapatkan perhatian lebih karena acara seperti ini juga merupakan salah satu cara menjaga kelestarian bahasa tersebut.

2. Perlu kiranya ada campur tangan pemerintah dalam melestarikan acara-acara adat seperti mangupa.

3. Penelitian tentang bahasa pada acara adat masih belum banyak dilakukan. Jadi, harapan peneliti agar kiranya ada peneliti-peneliti lainnya untuk melakukan kegiatan penelitian kebahasaan di bidang acara adat.


(1)

Raja Panusunan Bulung atau Hatabangon bertindak sebagai pemimpin yang merangkum semua hata pangupa dan membacakan surat Tambuga Holing. Surat Tambuga Holing adalah ayat-ayat atau kalimat-kalimat yang berisi ajaran tentang kebenaran, kebaikan, atau estetika. Raja Panusunan Bulung menerjemahkan semua perangkat pangupa dan esensi dari nasehat, harapan, dan doa dari berbagai pihak yang sudah memberikan hata pangupa berdasarkan nilai-nilai dalam surat Tumbaga Holing. Peserta utama upacara Mangupa adalah pengantin laki-laki dan perempuan. Selain mempelai, di dalam upacara Mangupa terdapat struktur adat dalam Tapanuli Selatan, yakni Dalihan na Tolu (Tungku yang Tiga), ketiga unsur Dalihan na Tolu adalah kahanggi, anak boru, dan mora. Djapari (1990) dalam buku adat istiadat perkawinan dalam masyrakat Tapanuli Selatan memberikan batasan terhadap ketiga unsur adat tersebut sebagai berikut :

1. Kahanggi, yaitu pihak atau kelompok keluarga yang semarga. Di Toba pihak ini disebut Dongan Tubu atau Dongan Sabutuha.

2. Anak Boru, yaitu pihak atau sekelompok yang mengambil istri dari pihak yang pertama. Pihak ini di Toba disebut sebagai boru.

3. Mora, yaitu pihak yang memberika pihak pertama. Pihak ini di Toba disebut sebagai Hula-hula.

Adapun contoh sepenggal kalimat makna dan doa dalam upacara Mangupa : “laing mangindo hita tu Tuhanta Naulibasa i, sai dipasu-pasu ia ma hamu : Tubuan laklak ma na so tubuan lak-lak, tubuan singkoru, lak lak ma idi ginjang ni pintu singkoru digolom-golom, sai maranak ma sapilu pitu jana marboru sapolu onom, anggo dung mardakka abaramuyu, margosta-gosta margiringgiring, maroppa-oppa margiringgiring, lobi dope sian on nangkan baenon tanda godang ni roha ni ama dohot in di pahopu nangkan na ro.


(2)

Antong, bariba tor ma i bariba rura, aek mardomu tu muara, totor iba di adatniba, i do tanda ni anak ni mamora,. Malo-malo hamu marhula dongan songon i marhula marga, inda arti ni sinadongan, ango na so malo iba marututur poda. On sude hata ni adat, padan ni oppunta jolo pangupa i, kata pembaca pangupa dan beberapa orang mengangkat pangupa itu ke atas setinggi kepala kedua mempelai seraya membaca pangupa berkata “manaek ma hamamora, hattorkis jana hadidingindi hamu na niupa on

Artinya : “kita selalu mendoakan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih”, agar kamu diberkati-Nya mendapat keturunan anak laki-laki dan anak perempuan. Kalau diizinkan beranak laki-laki tujuh belas dan anak perempuan enam belas orang. Sekiranya anak kamu berdua sudah banyak kami akan membuat acara yang lebih meriah kepada kamu dan cucu kami kelak.

Dengarkanlah, amalkanlah adat istiadat, itulah tanda anak yang dihormati. Pandai bermasyarakat, tidak ada gunanya harta kalau tidak bergaul. Ini semua kata-kata adat pesan leluhur kita, kami titipkan kepada kalian berdua.

B. Identifikasi Masalah

Cukup banyak masalah yang diteliti dari upacara Mangupa pada perkawinan batak Mandailing tersebut, antara lain :

1. Tuturan dalam upacara Mangupa mengandung nilai budaya yang penting.

2. Tuturan dalam upacara Mangupa mempunyai fungsi dan tujuan tertentu dalam masyarakat Batak Mandailing.

3. Tuturan dalam upacara Mangupa terikat oleh konteks sosial dan budaya Batak Mandailing.


(3)

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari kesalahpahaman maka, perlu dilakukan pembatasan masalah dalam menyelesaikan penelitian. Sehubungan dengan hal itu, mengingat luasnya permasalahan di atas maka, penulis membatasi penelitian ini mengenai “Jenis, Fungsi, dan Konteks Tuturan dalam Mangupa pada Perkawinan Adat Batak Mandailing”.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah jenis-jenis tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing?

2. Jenis tuturan-tuturan mana yang paling dominan digunakan dalam Mangupa?

3. Apakah fungsi dan konteks tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing?

E. Tujuan Penelitian

Setelah kita merumuskan masalah, maka kita dapat membuat tujuan dari penelitian ini, Antara lain :

1. Menggambarkan jenis-jenis tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing.

2. Menggambarkan jenis-jenis tuturan mana yang paling dominan digunakan dalam Mangupa.

3. Menggambarkan fungsi dan konteks tuturan dalam upacara Mangupa pada perkawinan Batak Mandailing.


(4)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat digunakan untuk :

1. Melestarikan salah satu karya sastra daerah yang merupakan warisan nenek moyang kita.

2. Menambah khazanah infomasi tentang nilai budaya batak pada Mangupa dalam perkawinan batak Mandailing.

3. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan tentang nilai-nilai budaya batak pada Mangupa dalam perkawinan batak Mandailing. Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini yakni :

1. Sebagai bahan inventarisasi dalam usaha melestarikan kebudayaan khususnya batak Mandailing.

2. Sebagai referensi-referensi di perpustakaan daerah.

3. Menjadikan bagian dari sumber wawasan pengetahuan kebudayaan batak Mandailing.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh gambaran umum sebagai berikut: 1. Berdasarkan jenisnya, tuturan yang disampaikan pada acara mengupa kebanyakan

adalah tuturan imperative. Tuturan-tuturan tersebut terdiri dari beberapa kalimat. Hal ini menyebabkan adanya tuturan yang dapat dikategorikan ke dalam lebih dari satu jenis tuturan. Dari 20 tuturan yang dianalisis, terdapat 16 tuturan imperative, 16 tuturan asertive 14 tuturan optative, dan 2 tuturan exclamatory. Tidak terdapat jenis tuturan interogatif dalam tuturan ini. Hal ini sesuai dengan jenis acara yang mewadahi terjadinya tuturan tersebut, yaitu acara pernikahan yang merupakan acara adat yang serius dan ditujukan sebagai wadah untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan dalam rumah tangga.

2. Berdasarkan fungsinya, tuturan yang disampaikan pada acara mangupa adalah tuturan regulatory. Dari 20 tuturan yang dianalisis, semua mengandung fungsi regulatory. Fungsi regulatory merupakan fungsi untuk mengubah tingkah laku orang lain. Dalam acara mangupa ini, tuturan-tuturan yang disampaikan berfungsi untuk mengubah tingkah laku pengantin menjadi lebih baik. Sedangkan fungsi intrumental hanya ditemukan 1 tuturan, yaitu pada data nomor satu.

3. Dari segi konteksnya, semua tuturan pada acara mangupa terjadi pada pagi hari di rumah pengantin pria dengan situasi yang serius. Ada pun penuturnya adalah petuah adat, kahanggi, anak boru dan mora. Sedangkan kedua pengantin hanya berperan sebagai pendengar. Pengantin berperan sebagai penutur hanya pada akhir acara. Sesuai dengan konteksnya, dampak yang diharapkan dari pertuturan tersebut secara umum adalah agar pengantin menjadi pribadi yang baik dalam membina rumah tangga. Tuturan-tuturan tersebut merupakan percakapan satu arah, dimana penutur


(6)

menyampaikan tuturannya sedangkan mitra tuturnya hanya berperan sebagai pendengar. Tuturan disampaikan secara halus, lugas, dan dengan bahasa yang serius dan semi formal. Hal ini dikarenakan acara

mangupa merupakan acara adat yang serius, namun bersifat kekeluargaan. Penutur menyampaikan tuturan melalui bahasa lisan. Dan berhubung acara tersebut merupakan acara adat yang serius dan bersifat kekeluargaan, maka tuturan tersebut disampaikan secara serius, sopan, namun dengan nada lembut.

B. Saran

1. Kepada para ahli budayawan seiring masih jarangnya penelitian tentang tuturan pada acara mangupa, maka penelitian sejenis ini perlu mendapatkan perhatian lebih karena acara seperti ini juga merupakan salah satu cara menjaga kelestarian bahasa tersebut.

2. Perlu kiranya ada campur tangan pemerintah dalam melestarikan acara-acara adat seperti mangupa.

3. Penelitian tentang bahasa pada acara adat masih belum banyak dilakukan. Jadi, harapan peneliti agar kiranya ada peneliti-peneliti lainnya untuk melakukan kegiatan penelitian kebahasaan di bidang acara adat.