Upacara Perkawinan Masyarakat Daerah Istimewa Aceh

(1)

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT

DAERAH ISTIMEWA ACEH

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O l e h

DESTRINA HARYATI HARRIS NIM 062203001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA


(2)

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT

DAERAH ISTIMEWA ACEH

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

l e h

DESTRINA HARYATI HARRIS NIM 062203001

Pembimbing,

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. NIP 131662152

Pembaca,

Muhibah

Kertas Karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI D3 BAHASA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Bahasa Jepang Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. NIP 131662152


(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada :

Tanggal :

Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. NIP 132098531

Panitia :

No. Nama Tanda Tangan 1. Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. ( ) 2. Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. ( ) 3. Muhibah ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan, pangalaman, kesabaran, kekuatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini tepat pada waktunya.

Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Diploma 3 Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses pembuatan Tugas Akhir ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, berupa material, spiritual, doa dan informasi yang dibutuhkan penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Terutama penulis ucapkan kepada orang tua dan saudara-saudara yang telah memberikan doa serta dukungannya terima kasih atas segala perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan penulis.


(6)

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan Selaku Dosen Pembimbing.

3. Ibu Muhibah, selaku Dosen Pembaca.

4. Bapak Drs.Nandi S selaku Dosen Wali.

5. Seluruh Staf pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

6. Teristimewa Kepada keluarga tercinta : Ayahanda Harris Bay, Ibunda

Susnetty, Abangda Hydro Harris S.H dan Oslan Harris S.E, Adik ku tersayang Riska Fitria Harris.

7. Kak Sondang dan Teman-temanku tersayang, Iin, Popy R.Muda, Wulan,

Afni, Evalina, Lilis, Agnes, Lili, Wisda, Novira, Seluruh anak-anak Bahasa Jepang 06 kelas A dan B serta sahabat-sahabat ku di Aceh n anak-anak Hiperz.

8. Spesial ku untuk Alm.Amy dan Hasri, Tyo, Momol, Mona yang selalu ada


(7)

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Akhir kata, kembali penulis ucapkan terima kasih. Semoga kertas karya ini dapat berguna kita semua dikemudian hari.

Medan, 2009 Penulis,

Destrina Haryati Harris 062203001


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Batasan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Metode Penulisan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH ISTIMEWA ACEH ... 3

2.1 Letak dan Keadaan ... 3

2.2 Penduduk ... 4

2.3 Mata Pencaharian... 5

2.4 Kepercayaan ... 5

BAB III UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT DAERAH ISTIMEWA ACEH (NAD) ... 7

3.1 Upacara Meminang (Sebelum Pekawinan) ... 7

3.2 Upacara Peresmian Perkawinan ... 9


(9)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14

4.1 Kesimpulan... 14

4.2 Saran ... 14


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Banda Aceh dikenal sebagai sebuah propinsi yang diberi perdikat Istimewa. Daerah ini istimewa dalam bidang agama, adat, dan pendidikan. Oleh pemerintah pusat, daerah ini diberi hak untuk memakai nama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, berdasarkan keputusan Menteri R.I. Namun sekarang namanya berubah menjadi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Terbukanya daerah Banda Aceh kepada dunia luar telah menyebabkan unsur-unsur kebudayaan luar masuk, melalui jaringan komunikasi yang semakin lancar sampai daerah pesisir. Kebudayaan Barat masuk di daerah perkotaan. Dapat dikatakan kebudayaan NAD telah mengalami percampuran dengan kebudayaan luar sejak berabad yang lalu sampai sekarang. Mereka banyak menerima pengaruh luar, selama tidak bertentangan dengan agama Islam yang mereka anut.

Demikian pula dengan adat istiadat seperti Adat Perkawinan. Adat Perkawinan Daerah Istimewa Aceh ini sangat unik karna itu penulis merasa tertarik untuk menulis dalam Kertas Karya ini dan memberi judul Adat Perkawinan Daerah Istimewa Aceh.


(11)

1.2Batasan Masalah

Dalam penulisan Kertas Karya ini, penulis hanya membahas tentang upacara perkawinan masyarakat Daerah Istimewa Aceh. Yaitu upacara meminang, upacara peresmian pernikahan dan upacara intat dara baro.

1.3Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Kertas Karya ini adalah :

1. Sebagai syarat untuk lulus dari Jurusan D-3 Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui upacara perkawinan masyarakat Daerah Istimewa

Aceh.

3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang upacara perkawinan

masyarakat Daerah Istimewa Aceh. 1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan Kertas Karya ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Metode pengumpulan data, informasi buku, situs internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis bahas dalam Kertas Karya ini. Data-data tersebut kemudian dirangkum dan dimasukkan ke dalam bab-bab yang ada dalam Kertas Karya.


(12)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1 Letak dan Keadaan

NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) merupakan salah sebuah propinsi di Indonesia. Dan letaknya di kawasan paling penghujung bagian utara Pulau Sumatera.

Batas Indonesia sebelah barat adalah pulau We. Sebuah pulau yang termasuk dalam propinsi Daerah Istimewa Aceh (NAD), yang letaknya tepat pada 6 derajat lintang utara. Banda Aceh merupakan ibu kota dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh (NAD).

NAD mempunyai delapan kabupaten yang juga berstatus daerah tingkat II yaitu : Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Selatan. Dengan luas daerah 55.390 km2. Di sebelah barat daerah Banda Aceh terdapat sekelompok pulau, yang terdiri dari Pulau Simeulu, Pulau Tuangku, Pulau Batu, dan lain-lain.

Daerah Istimewa Aceh yang luasnya 55.390 km2 itu, dilingkari sebagian besar oleh selat dan lautan. Di bagian Barat dilingkari oleh lautan Indonesia, sedangkan bagian Utara dan Timur dilingkari oleh Selat Sumatera (Selat Malaka) dan bagian Selatan berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara. Letak Daerah Istimewa Aceh membujur dari utara selatan, dan dibelah oleh bukit barisan ke dalam dua bagian. Sebelah Barat dari


(13)

Bukit Barisan ini dijumpai daerah yang sempit dengan hutan yang lebat. Disana-sini terdapat bukit yang sukar dilalui dan merupakan daerah yang curam ke tepi laut.

Keadaan suhu udara di daerah Banda Aceh umumnya panas, yaitu dengan perkiraan bahwa suhu udara pada waktu panas terik, mencapai lebih kurang 32oC dan suhu pada bulan Agustus adalah 19oC atau 20oC. Keadaan di atas sebenarnya sangat membantu para petani untuk menanam padi dua kali dalam setahun. Batas alam lainya ialah Sungai Simpang Kiri di sebelah Timur dan Sungai Tamiang di sebelah Barat. 2.2 Penduduk

Jumlah penduduk Daerah Istimewa Aceh dalam tahun 1976 adalah 2.008.747 jiwa. Jumlah kenaikan setiap tahun, terutama setelah tahun tujuh puluhan diperkirakan 2,3 persen. Angka ini telah menurun, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk sekitar tahun enam puluhan, yaitu mencapai 2,4 persen.

Menurut pengamatan sejarah bahwa sebelum abad ke-XV penduduk Daerah Istimewa Aceh adalah orang Aceh. Penduduk asli di Daerah Istimewa Aceh ialah orang Aceh dan mereka dari daerah adat yang lain, seperti orang Tamiang, Aneuk Jame, Gayo, Alas, Klut dan simeulu. Mereka menyebut dirinya juga orang Aceh. Di Daerah Istimewa Aceh ada suku pendatang dari berbagai daerah, seperti orang Batak,, orang Minangkabau, orang Jawa dan sebagainya. Mereka diperkirakan berjumlah 20 persen dari jumlah penduduk Aceh, termasuk di dalamnya orang Cina.


(14)

2.3 Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian umum masyarakat Daerah Istimewa Aceh yaitu bertani (sawah, lading dan kebun) dan menangkap ikan.

Berburu dan meramu (meracik obat) hampir menghilang pada masyarakat Daerah Istimewa Aceh. Namun berburu bukan merupakan mata pencaharian pokok. Mata pencaharian lain adalah beternak dan kerajinan tangan. Selain Mata pencaharian pokok, masyarakat Daerah Istimewa Aceh memiliki mata pencaharian yang lain yaitu,

meulancang (memasak garam), droup kreung dan syue (menangkap lokan dan siput), muge (penjaja ikan), penggalas uroe gantoe (hari pekan) dan ek-u (panjat kelapa).

Mata-mata pencaharian ini masih berkembang sama dengan mata pencaharian lain. Pada masa akhir-akhir ini berkembang pula suatu bentuk pekerjaan baru terutama dalam masyarakat perkotaan, sebagai akibat pertambahan dan perluasan perusahaan-perusahaan, biro-biro jasa, kantor-kantor pemerintah.

2.4 Kepercayaan

1. Kepercayaan Kepada Dewa-dewa

Masyarakat Daerah Istimewa Aceh tidak mengenal dewa-dewa (polytheisme) karena memeluk agama Islam. Agama-agama lain separti agama Kristen dan Budha yang terdapat di daerah ini, hanya berkembang terbatas di kalangan kelompok pendatang dari luar Daerah Istimewa Aceh, yaitu pada suku-suku bangsa yang berasal dari Ambon, Batak, Minahasa dan Cina.


(15)

2. Kepercayaan kepada Makhluk Halus dan Kekuatan Ghaib

Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan satu-satunya kepercayaan masyarakat. Agama Islam adalah yang dianut, namun masyarakat Daerah Istimewa Aceh tersebut mempercayai juga bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan makhluk-makhluk halus yang mendiami alam barzach atau alam ghaib.

Masyarakat mempercayai bahwa jin-jin jahat mendiami tempat-tempat yang angker seperti di hutan-hutan, di laut, di lubuk yang dalam, di kuala, di rawa-rawa atau di pohon-pohon beringin.

Masyarakat Daerah Istimewa Aceh membayangkan tipe-tipe daripada jin tersebut dalam berbagai bentuk, misal jen aphui (jin api) yang dikenal oleh masyarakat Daerah Istimewa Aceh dengan bentuk seperti cahaya api di waktu malam hari.

Burong (di daerah jamee disebut burung) yaitu penjelmaan dari roh orang yang


(16)

BAB III

UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT

DAERAH ISTIMEWA ACEH

3.1 Upacara Meminang (Sebelum Perkawinan)

Pola pikir masyarakat Daerah Istimewa Aceh tentang perkawinan lebih banyak tertuju kepada pihak laki-laki. Seseorang laki-laki yang sudah cukup umur, dewasa tingkah laku, sudah dapat berusaha sendiri, dan mempunyai pengetahuan dalam pergaulan dengan lingkungannya. Apabila syarat-syarat ini telah dimiliki, maka orang tuanya berkewajiban untuk mencari jodoh anaknya.

Seseorang yang akan mencari jodoh anaknya, terlebih dahulu ia akan mengundang kawom untuk deupakat (musyawarah). Apabila deuk pakat (musyawarah) sudah ada kesamaan pendapat untuk meminang seseorang gadis maka ditugaskanlah seorang teulangkee (utusan) untuk menyampaikan maksud pihak kerbat laki-laki. Bila lamaran itu diterima, biasanya orang tua gadis meminta waktu sekitar tiga hari untuk deuk pakat (musyawarah) dengan kerabatnya.

Kalau lamaran ini diterima, pihak keluarga gadis mengirimkan kabar kepada pihak laki-laki untuk datang kembali meminang. Kemudian rombongan utusan dari pihak laki-laki yang terdiri dari keucik (kepala kampung), beberapa orang penting datang ke rumah keluarga si gadis untuk meminang. Begitu pula pihak keluarga si gadis telah


(17)

menanti atas kedatangan peminang tersebut. Rombongan yang menanti itu terdiri dari

keucik (kepala kampung), dan beberapa orang yang dikenal. Setelah disampaikan maksud

kedatangan rombongan oleh keucik (kepala kampung) yang disertai dengan bate sirih (pertunangan), dulang yang berisi pakaian dan alat-alat rias wanita, serta sebentuk perhiasan emas diserahkan kepada keluarga gadis.

Pada hari peminang tersebut diadakan pula perikatan janji mengenai :

1. Jumlah jiname (mahar atau mas kawin)

2. Tahap-tahap proses yang harus dilalui seperti :

a. Tunangan

b. Nikah gantung

c. Nikah pulang terus

Jumlah jiname (mas kawin) dalam suatu perkawinan, biasanya ditentukan menurut jumlah jiname (mas kawin) dari kakak-kakaknya terdahulu. Apabila anak yang akan dikawinkan itu anak pertama, biasanya jiname (mas kawin) berkisar dari lima sampai sepuluh gram. Kadang-kadang penentuan jiname (mas kawin) ini dilihat juga menurut status sosial keluarga si gadis. Sekarang penentuan mas kawin ditentukan dengan harga emas atau dengan uang yang diukur dengan harga emas.


(18)

Nikah gantung adalah calon suami istri belum dibenarkan bergaul dahulu sebelum masa pengresmian dilakukan. Nikah gantung ini disebabkan umur calon istri masih sangat muda. Tetapi sekarang nikah gantung ini sudah jarang dilakukan.

Nikah pulang terus adalah perkawinan yang paling banyak dilakukan di Daerah Istimewa Aceh. Akad nikah dilakukan pada saat pengresmian perkawinan dilakukan. Dengan demikian suami istri dapat terus tinggal bersama, sistim perkawinan ini tidak melalui pertunangan, dan pesta selesai perkawinan dahulu, kemudian baru pulang. Dengan demikian biaya perkawinan tidak terlalu besar.

3.2 Upacara Peresmian Perkawinan

Suatu kebiasaan masyarakat Daerah Istimewa Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu selama tiga hari tiga malam diadakan upacara meugacai (berinai) bagi penganten laki-laki dan penganten perempuan di rumahnya masing-masing. Tampaknya kedua belah tangan dan kaki penganten dihiasi dengan inai. Selama upacara

meugacai pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana,

hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).

Setelah tiba saat hari pesta, kerbau atau lembu telah disembelih menjelang subuh, untuk disajikan buat tamu-tamu undangan dan sanak keluarga yang datang.


(19)

Setelah menerima tamu-tamu undangan di rumah masing-masing maka pada malamnya akan dilanjutkan dengan upacara intat linto (antar penganten laki-laki) ke rumah dara baro (penganten perempuan).

Rombongan linto baro sebelum tiba di rumah dara baro (penganten perempuan) seseorang diantaranya mengucapkan Allahumma Shalli ala Sayyidina

Muhammad, lalu pengikut rombongan menyambut serempak dengan Shallu alaih,

tiga kali berturut-turut. Salah seorang pihak keluarga penganten perempuan dengan didampingi oleh beberapa orang kawan datang menjemput rombongan linto baro (penganten laki-laki) dan pertunjukan silat antara suatu pihak dengan pihak yang lain.

Rombongan linto yang perempuan langsung masuk ke kamar penganten, dan yang laki-laki diterima dalam sebuah seung (tenda) di muka rumah. Tidak beberapa lama kepada rombongan dipersilahkan makan.

Setelah rombongan selesai makan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini

dilakukan oleh qadli (orang yang menikahkan) yang telah mendapat kuasa dari

ayah dara baro (penganten perempuan). Qadli didampingi oleh dua orang saksi

di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jiname (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan hadirin. Selanjutnya qadli membaca doa (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro (penganten laki-laki) dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, qadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.


(20)

Setelah selesai acara nikah, linto baro dibawa ke pelaminan persandingan, dimana dara baro (penganten perempuan) telah terlebih dahulu menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto.

Selanjutnya kedua mempelai tadi di peusunteng (disunting) oleh sanak kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para tamu. Tiap-tiap orang yang menyunting selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning ditelinga penganten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumenteuk. Acara peusunteng umumnya oleh ibu linto baro (penganten laki-laki), kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian. 3.3 Upacara Intat Dara Baro (Setelah Perkawinan)

Proses upacara intat dara baro (antar penganten perempuan) ke rumah linto baro, mempunyai pola yang sama pada seluruh masyarakat Aceh. Hanya ada perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang akan dipersembahkan kepada pihak laki-laki atau penganten perempuan.

Proses upacara intat dara baro masyarakat Daerah Istimewa Aceh umumnya, dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada setelah tujuh hari selesai malam penganten. Keluarga linto baro (penganten laki-laki) kembali mengutuskan teulangke ke pihak

dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan dara baro. Setelah ada kata

mufakat kedua belah dari kedua belah pihak, maka saat itu kedua belah pihak sibuk sekali dengan persiapan-persiapan untuk keperluan upacara tersebut.


(21)

Mengatar penganten perempuan ke rumah penganten laki-laki pada masyarakat Daerah Istimewa Aceh, juga mempunyai proses yang sama dengan masyarakat Aceh lainnya. Mengantar penganten perempuan ke rumah penganten laki-laki disebut

meulanjang. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan menuju rumah

pihak penganten laki-laki. Kedua mempelai berpakaian adat seperti pakaian pada hari upacara peresmian dahulu. Kedatangan ini sudah ditunggu di pekarangan rumah oleh beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih (daun sirih yang berisi buah pinang) sebagai tanda penerimaan tamu. Kemudian tamu tersebut dipersilahkan naik ke rumah pada ruang penganten.

Kedua mempelai selanjutnya dipersunting dengan menepung tawari, ketan kuning dan memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk oleh masyarakat. Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta orang-orang setempat yang datang. Ketika dara baro melakukan

seumah jaro tuan (sembah mertua), ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh

mertuanya. Dan kadang juga diberikan barang-barang pecah belah seperti dua buah piring, satu buah mangkuk (tempat nasi), dua buah sendok, satu buah tempat cuci tangan, dan satu buah cawan (tempat sayur). Barang-barang ini disebut peunulang.


(22)

Setelah selesai upacara, semua rombongan dara baro kembali pulang, dan dara baro tetap menetap di rumah suaminya beberapa hari lamanya. Kemudian ia bersama-sama suaminya akan pulang lagi ke rumah ibunya.


(23)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

• Konsepsi dasar cara pikir masyarakat Aceh tentang perkawinan lebih banyak

tertuju kepada pihak laki-laki.

• Secara umum upacara perkawinan Daerah Istimewa Aceh hampir sama dengan

upacara perkawinan daerah Gayo, Aceh Besar, Aceh Utara dan Aceh Timur,

bedanya pada ucapan istilah-istilah penyebutan nama upacara perkawinan di setiap daerah.

• Proses upacara perkawinan pada masyarakat Daerah Istimewa Aceh

memiliki tiga proses yaitu upacara meminang, upacara peresmian perkawinan, dan upacara setelah perkawinan.

4.2 Saran

Upacara perkawinan masyarakat Aceh merupakan salah satu kebudayaan dari bangsa Indonesia. Kebudayaan sebagai hasil perrkembangan suatu bangsa harus dilestarikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena hal tersebut adalah aset Negara yang paling berharga.


(24)

DAFTAR PUSTAKA

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh ke II, Banda Aceh, Calendar of Events of Aceh

Cultural Festival, 1972

Sekretariat Wilayah Daerah, Proyek Pembinaan Kepariwisataan, Banda Aceh, Pemda Aceh, 1976.


(1)

Setelah menerima tamu-tamu undangan di rumah masing-masing maka pada malamnya akan dilanjutkan dengan upacara intat linto (antar penganten laki-laki) ke rumah dara baro (penganten perempuan).

Rombongan linto baro sebelum tiba di rumah dara baro (penganten perempuan) seseorang diantaranya mengucapkan Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad, lalu pengikut rombongan menyambut serempak dengan Shallu alaih, tiga kali berturut-turut. Salah seorang pihak keluarga penganten perempuan dengan didampingi oleh beberapa orang kawan datang menjemput rombongan linto baro (penganten laki-laki) dan pertunjukan silat antara suatu pihak dengan pihak yang lain.

Rombongan linto yang perempuan langsung masuk ke kamar penganten, dan yang laki-laki diterima dalam sebuah seung (tenda) di muka rumah. Tidak beberapa lama kepada rombongan dipersilahkan makan.

Setelah rombongan selesai makan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini

dilakukan oleh qadli (orang yang menikahkan) yang telah mendapat kuasa dari ayah dara baro (penganten perempuan). Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jiname

(mahar) diperlihatkan kepada majelis dan hadirin. Selanjutnya qadli membaca doa (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro (penganten laki-laki) dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, qadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.


(2)

Setelah selesai acara nikah, linto baro dibawa ke pelaminan persandingan, dimana dara baro (penganten perempuan) telah terlebih dahulu menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto.

Selanjutnya kedua mempelai tadi di peusunteng (disunting) oleh sanak kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para tamu. Tiap-tiap orang yang menyunting selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning ditelinga penganten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumenteuk. Acara peusunteng umumnya oleh ibu linto baro (penganten laki-laki), kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian. 3.3 Upacara Intat Dara Baro (Setelah Perkawinan)

Proses upacara intat dara baro (antar penganten perempuan) ke rumah linto baro, mempunyai pola yang sama pada seluruh masyarakat Aceh. Hanya ada perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang akan dipersembahkan kepada pihak laki-laki atau penganten perempuan.

Proses upacara intat dara baro masyarakat Daerah Istimewa Aceh umumnya, dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada setelah tujuh hari selesai malam penganten. Keluarga linto baro (penganten laki-laki) kembali mengutuskan teulangke ke pihak dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan dara baro. Setelah ada kata mufakat kedua belah dari kedua belah pihak, maka saat itu kedua belah pihak sibuk


(3)

Mengatar penganten perempuan ke rumah penganten laki-laki pada masyarakat Daerah Istimewa Aceh, juga mempunyai proses yang sama dengan masyarakat Aceh lainnya. Mengantar penganten perempuan ke rumah penganten laki-laki disebut meulanjang. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan menuju rumah pihak penganten laki-laki. Kedua mempelai berpakaian adat seperti pakaian pada hari upacara peresmian dahulu. Kedatangan ini sudah ditunggu di pekarangan rumah oleh beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih (daun sirih yang berisi buah pinang) sebagai tanda penerimaan tamu. Kemudian tamu tersebut dipersilahkan naik ke rumah pada ruang penganten.

Kedua mempelai selanjutnya dipersunting dengan menepung tawari, ketan kuning dan memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk oleh masyarakat. Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta orang-orang setempat yang datang. Ketika dara baro melakukan seumah jaro tuan (sembah mertua), ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh mertuanya. Dan kadang juga diberikan barang-barang pecah belah seperti dua buah piring, satu buah mangkuk (tempat nasi), dua buah sendok, satu buah tempat cuci tangan, dan satu buah cawan (tempat sayur). Barang-barang ini disebut peunulang.


(4)

Setelah selesai upacara, semua rombongan dara baro kembali pulang, dan dara baro tetap menetap di rumah suaminya beberapa hari lamanya. Kemudian ia bersama-sama suaminya akan pulang lagi ke rumah ibunya.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

• Konsepsi dasar cara pikir masyarakat Aceh tentang perkawinan lebih banyak tertuju kepada pihak laki-laki.

• Secara umum upacara perkawinan Daerah Istimewa Aceh hampir sama dengan upacara perkawinan daerah Gayo, Aceh Besar, Aceh Utara dan Aceh Timur,

bedanya pada ucapan istilah-istilah penyebutan nama upacara perkawinan di setiap daerah.

• Proses upacara perkawinan pada masyarakat Daerah Istimewa Aceh memiliki tiga proses yaitu upacara meminang, upacara peresmian perkawinan, dan upacara setelah perkawinan.

4.2 Saran

Upacara perkawinan masyarakat Aceh merupakan salah satu kebudayaan dari bangsa Indonesia. Kebudayaan sebagai hasil perrkembangan suatu bangsa harus dilestarikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena hal tersebut adalah aset Negara yang paling berharga.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh ke II, Banda Aceh, Calendar of Events of Aceh Cultural Festival, 1972

Sekretariat Wilayah Daerah, Proyek Pembinaan Kepariwisataan, Banda Aceh, Pemda Aceh, 1976.