Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

(1)

MARHATA DALAM UPACARA ADAT

PERKAWINAN BATAK TOBA

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Linguistik Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A((K)

Dipertahankan pada tanggal 21 Oktober 2013 Pada pukul 09.30 di Medan Sumatera Utara

SELVIANA NAPITUPULU

NIM 088107007/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

Judul Disertasi : Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Nama Mahasiwa : Selviana Napitupulu

NIM :

088107007

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof.Dr. Robert Sibarani,M.S Promotor

Prof.Dr. Amrin Saragih,M.A.,Ph.D Dr. Syahron Lubis, M.A

Ko-Promotor Ko-Promotor

Ketua Program Studi Linguistik Dekan Fakultas Ilmu Budaya


(3)

HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH

DISETUJUI UNTUK

SIDANG TERBUKA TANGGAL 21 OKTOBER 2013

Oleh

Promotor

Prof.Dr. Robert Sibarani,M.S

Ko-promotor

Prof.Amrin Saragih, M.A.Ph.D

Dr. Syahron Lubis, M.A

Mengetahui

Ketua Program Studi Linguistik

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Prof.T.Silvana Sinar, M.A., Ph.D

NIP 1308099976


(4)

Telah Diuji pada Ujian Tertutup

Tanggal 31 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua

: Prof. Dr.Robert Sibarani,M.S.

Anggota

: 1. Prof.Amrin Saragih, M.A.Ph.D

2.

Dr. Syahron Lubis, M.A

3.

Prof. T.Silvana Sinar, M.A., Ph.D

4.

Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd

5.

Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D

6.

Dr.Eddy Setia, M.Ed. TESP

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor : 1236/UN5.1.R/SK/SSA/2013

Tanggal : 22 Agustus 2013


(5)

Diuji pada Ujian Disertasi

Tanggal 21 Oktober 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua

: Prof. Dr.Robert Sibarani,M.S.

Anggota

: 1. Prof.Amrin Saragih, M.A.Ph.D

2.

Dr. Syahron Lubis, M.A

3.

Prof. T.Silvana Sinar, M.A., Ph.D

4.

Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd

5.

Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D

6.

Dr.Eddy Setia, M.Ed. TESP

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor : 1428/UN5.1.R/SK/SSA/2013

Tanggal : 27 September 2013


(6)

TIM PROMOTOR

Prof. Dr.Robert Sibarani,M.S.

Prof.Amrin Saragih, M.A.Ph.D


(7)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

\

Prof. T.Silvana Sinar, M.A., Ph.D

Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd

Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D


(8)

PERNYATAAN

MARHATA DALAM UPACARA ADAT

PERKAWINAN BATAK TOBA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri .

Adapun pengutipan-pengutipan yang saya lakukan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Disertasi ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengn norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Disertasi ini bukan karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan , Oktober 2013 Selviana Napitupulu


(9)

ABSTRAK

Kajian penelitian ini adalah acara marhata dalam upacara adat perkawinan Batak Toba. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan realisasi bentuk pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata 2) merumuskan pola gilir bicara,

dan 3) merumuskan pola pasangan berdekatan. Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi marhusip, marpudunsaut, dan

marunjuk pada upacara adat perkawinan Batak Toba.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menerapkan kerangka pikir pragmatik. Lokasi penelitian ini adalah di Medan dan Pematangsiantar dengan data dari dua sumber yaitu data lapangan sebagai data primer dan data dokumentasi sebagai data sekunder. Data lapangan diperoleh dengan merekam secara audio dan video, pengamatan peneliti langsung dari beberapa acara marhata adat perkawinan Batak Toba. Disamping itu menginterview juru bicara dan raja adat tentang isi marhata. Data dokumentasi diambil dari beberapa sumber sebagai pembanding dari etnisitas masyarakat Batak Toba lainnya. Data yang dianalisis adalah ujaran-ujaran yang mengandung topik, gilir bicara dan pasangan berdekatan yang sudah diverifikasi dan ditriangulasi.

Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola yang muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan realisasi bentuk kalimat perintah, pertanyaan, dan pernyataan. Kalimat perintah lebih dominan direalisasikan pada situasi tutur marhusip (62,5%) dan kalimat pernyataan dominan pada situasi tutur marpudunsaut (64%)dan marunjuk (89%). 2) Ketiga kaidah gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap situasi tutur; marhusip (75%), marpudunsaut (72%), dan

marunjuk (67%). 3) Kategori rangkaian marhata acara adat Perkawinan Batak Toba bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak lengkap terdiri dari inisiasi/pemicu dan respon. Respon terhadap inisiasi yang diberikan terdiri dari 16 (enambelas) pola pasangan berdekatan yaitu 8 (delapan) pola pasangan disukai dan 8 (delapan) pola pasangan tidak disukai. Ketiga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan sosial antara masyarakat Batak Toba nyata direfleksikan dan diatur dalam suatu sistim yang disebut DNT. Pihak perempuan memiliki status yang lebih tinggi sehingga ketika mengenalkan topik-topik baru, JBPP merealisasikannya dalam kalimat perintah permintaan. Kemudian ketika JBPL hendak memberi gilir bicara kepada JBPP, sistem kekerabatan rajanami atau raja i/hula-hula nami digunakan sebagai rujukan ke penutur pihak perempuan. Kemudian, dalam konteks meminang (marhusip), respon bentuk pasangan tidak disukai banyak digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa juru bicara marhata dalam upacara adat haruslah orang yang pintar sehingga dia disebut raja parhata.

---


(10)

ABSTRACT

The study of this research is marhata in the Toba Batak wedding traditional ceremony. The objectives of this research are to 1) describe the realization form of topical introduction of marhata, 2) formulate the patterns of turn taking of marhata, and 3) formulate the patterns of adjacency pairs of marhata. Each of the objective is carried out in 3 (three) speech situations, namely marhusip, marpudunsaut, and marunjuk.

. This research applies descriptive qualitative method using pragmatic theoretical frame. It is carried out in Medan and Pematangsiantar. The data of this research are taken from two sources, namely field data as a primary data obtained by recording marhata audially and visually in three speech situations and taking documentation (books and reserach) as a secondary one. Direct observation by follwing marhata in wedding ceremony is also carried out by the researcher herself. Furthermore, the researcher interviewed the speakers who are expert in marhata on the content of marhata. Documentation data are taken from some sources as a comparison of other Toba Batak society etnics. The data analized are speeches containing topic introduction, turn taking and adjacency pair which have been verified and triangulated.

The data are analized based on content and by sequence to find the recurring patterns using conversation analysis approach. The research findings shows that 1) the new topics are introduced by the realization of imperative, interrogative, and statement. Imperative is more dominantly realized in speech situation of marhusip (62,5%) whereas declarative is in marpudunsaut (64%)

and marunjuk (89%). 2) The three rules of turn taking are applicable. Yet, the first rule is more dominant in every speech situation, marhusip (75%),

marpudunsaut (72%), and marunjuk (67%). It refers to the reference of kinship and use of pronoun. 3) The category of marhata structure of Toba Batak Wedding Traditional Ceremony is varied; complete and incomplete. The complete structure consists of pre-sequence, initiation, insertion, and respond, whereas incomplete one include initiation and respond. The respond of initiations comprise of 16 patterns consisting of 8 (eight) preferred structure and 8 (eight) dispreferred one. The three findings indicate that social relationship among Toba Batak ethnics is feasible and arranged in the indigenous fundamental culture of Toba Batak society called Dalihan Na Tolu (DNT). The woman‟s side has higher social

status, thus, when introducing new topics, the speaker realizes them in

command-request. Then, when the speaker from the man‟s side gives turn taking to the speaker of the woman‟s side, addresses system, rajanami or raja i/hula-hula nami

„our king‟ or „our majesty‟, is used as a reference to the speaker of the woman‟s side. Then, in the context of engaging (marhusip), dispreferred adjacency pairs are dominantly used. It represents that the speakers of marhata of both sides in the Toba Batak wedding traditional ceremony must be professionally

communicative, so called „king of speaker‟ ---


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karuniaNya sehingga karya tulis berupa disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat dalam pemerolehan gelar doktor dalam bidang linguistik. Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Robert Sibarani,M.S selaku promotor, Prof. Amrin Saragih, M.A.,Ph.D dan Dr. Syahron Lubis, M.A selaku ko-promotor yang telah banyak membantu memberikan bimbingan, saran, dan arahan yang konstruktif sehingga diperoleh disertasi yang lebih baik.

Terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Jim Bame dan Dr. Karin de Jonge-Kannan sebagai academic advisor penulis selama mengikuti Program Sandwich di USU (Utah State University), Logan, America, yang telah banyak membantu dalam membuka akses ke sumber-sumber informasi untuk memperoleh literatur yang relevan dengan judul disertasi.

Ucapan terimakasih yang tidak terhingga dan tulus penulis sampaikan kepada Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Ketua Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan motivasi dalam penyelesaian disertasi ini, Dr. Syahron Lubis, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, dan kepada Rektor USU, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSc (CTM) Sp.A, atas fasilitas yang diberikan selama studi di USU.

Ucapan terimakasih juga kepada guru penulis yang amat terpelajar di PSL SPs USU; Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D, Prof Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D,


(12)

Dr. Sugiono, Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, Prof. Dr. Robert Sibarani,M.S., Prof. Amrin Saragih, M.A.,Ph.D, Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd., dan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP. yang telah mengajar dan menambah ilmu pengetahuan penulis yang sangat bermanfaat.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga ditujukan kepada suami tercinta Horas Ferdinand Panjaitan yang senantiasa memberikan perhatian dalam semua situasi yang penulis jalani dan kepada putri yang tersayang Inggrid Lidya Panjaitan yang sangat mengerti dan tidak banyak menggangu dalam penyelesaian disertasi ini.

Medan, Oktober 2013 Penulis,


(13)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 4.1 Realisasi Pengenalan Topik Marhata Upacara Adat Perkawinan

Batak Toba ………...102

2. Tabel 4.2 Struktur Generik Marhata Situasi Tutur Marhusip…..………..…104

3.Tabel 4.3 Rekapitulasi Pengenalan Topik Marhata Situasu Tutur Marhusip..112

4. Tabel 4.4 Struktur Generik Marhata Situasi Tutur Marpudunsaut ………....114

5. Tabel 4.5 Rekapitulasi Pengenalan Topik Marhata Situasi Tutur Marpudunsaut ……….…………... 124

6. Tabel 4.6 Struktur Generik Marhata Situasi Tutur Marunjuk ………. ..126

7. Tabel 4.7 Rekpitulasi Pengenalan Topik Marhata Situasi Tutur Marunjuk....133

8. Tabel 4.8 Rekapitulasi Pola Gilir Bicara Marhata Upacara Perkawinan Batak Toba ……….141

9. Tabel 4.9 Deskripsi Gilir Bicara Situasi Tutur Marhusip……..……….142

10. Tabel 4.10 Alokasi Gilir Bicara Tutur Marpudunsaut………. 160

11. Tabel 4.11 Alokasi Gilir Bicara Tutur Marunjuk……… 179

12. Tabel 4.12 Rekapitulasi Pola Pasangan Berdekatan Upacara Adat Perkawinan Batak Toba ………... 201

13. Tabel 4.13 Frekuensi Pasangan Berdekatan Marhata Situasi Tutur Marhusip ……… 218

14. Tabel 4.14 Pasangan Berdekatan Situasi Tutur Marpudunsaut……… 220

15. Tabel 4.15 Frekuensi Pasangan Berdekatan Marhata Situasi Tutur Marpudunsaut……….……. 232


(14)

16. Tabel 4.16 Pasangan Berdekatan Situasi Tutur Marunjuk………..235

17. Tabel 4.17 Pasangan Berdekatan Marhata Situasi Tutur


(15)

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 2.1 Respon Disenangi dan Tidak Disenangi ……… 60 2. Bagan 2.2 Strategi Pernyataan Ketidaksenangan ……….. 65 3. Bagan 2.3 Posisi Duduk Acara Marhata Situasi Tutur Marhusip …….. 80 4. Bagan 2.4 Posisi Duduk Marhata Situasi Tutur Marpudunsaut ………. 82 5. Bagan 2.5 Posisi Duduk Marhata Situasi Marunjuk ……….. 82 6. Bagan 2.6 Konstruksi Analisis ………. 90 7. Bagan 3.1 Sumber Data Marhata Upacara Adat Perkawinan Batak Toba . 94 8. Bagan 3.2 Proses Pemerolehan Data ……….. 96 9. Bagan 3.3 Prosedur Analisis Data ... 98 10. Bagan 4.1 Struktur Generik Pengenalan Topik Marhata Upacara

Perkawinan Batak Toba ... 135 11. Bagan 4.2 Pola Gilir Bicara Marhata Upacara Perkawinan Batak Toba... 197 12. Bagan 4.3 Pola Pasangan Berdekatan Marhata Upcara Perkawinan

Batak Toba ... 246 13. Bagan 4.4 Struktur Acara Marhata Upacara Adat Perkawinan


(16)

DAFTAR SINGKATAN

DNT : Dalihan Na Tolu

JBPP : Juru Bicara Pihak Perempuan JBPL : Juru Bicara Pihak Laki-laki

PK : Penatua Kampung

BH : Bona Hasuhutan

PT : Pengenalan Topik

P1 : Perintah

P2 : Pertanyaan

P3 : Pernyataan

TB : Topik Berjalan TAB : Topik Akan Berjalan

D : Disukai

TD : Tidak Disukai GB : Gilir Bicara

K1 : Kaidah Satu

K2 : Kaidah Dua

K3 : Kaidah Tiga

PSMPB : Penutur Sebelumya Merujuk Penutur Berikutnya PBMPS : Penutur Berikutnya Merujuk Penutur Sebelumnya PBMPB : Penutur Berikutnya Merujuk Penutur Berikutnya PBM : Penutur Berikutnya Melanjutkan


(17)

PSM : Penutur Sebelumnya Melanjutkan PPTB : Pola Pasangan Tidak Berdekatan PPB : Pola Pasangan Berdekatan

UA : Urutan Awal

I : Inisiasi

S : Sela


(18)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………..……….. i

ABSTRACT ……….. iii

KATA PENGANTAR ………...……… v

DAFTAR TABEL ……….……… vii

DAFTAR BAGAN …….………... vii

DAFTAR SINGATAN ………viii

DAFTAR ISI ……… x

BAB I PENDAHULUAN ………..……. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Batasan Masalah ……….……… 16

1.3 Rumusan Masalah Penelitian ………. 16

1.4 Tujuan Penelitian ……… 17

1.5 Manfaat Penelitian ……….. 17

1.6 Klarifikasi Istilah ……… 18

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .. ……… 21

2.1 Tinjauan Pustaka ……… 21

2.1.1 Analisis Percakapan ……… 21

2.1.2 Etnography of Speaking ... 23

2.1.3 Sosiolinguistik Interaksional ……… 24

2.1.4 Pragmatik ………..……….. 25

2.1.5 Teori Tindak Tutur ………. 28

2.1.6 Linguistik Fungsional Sistemik ………. 33

2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan ……… 35


(19)

2.3.1 Percakapan ………. 42

2.3.2 Topik ……… 45

2.3.2.1 Jenis-jenis Topik ………. 46

2.3.2.2 Peralihan Topik (Topical Moves) ………. 48

2.3.2.3 Pengenalan Topik ………. 49

2.3.3 Gilir Bicara (Turn Taking) ………. 53

2.4 Upacara Perkawinan Batak Toba ……….. 66

2.4.1 Bentuk Upacara Adat Perkawinan Batak Toba ………….. 70

2.4.2 Marhata ………. 75

BAB III. METODE PENELITIAN ……… 91

3.1 Jenis Penelitian ……….……….. 91

3.2 Subjek dan Lokasi Penelitian ... 92

3.3 Data dan Sumber Data ……….. 92

3.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ………. 95

3.5 Teknik Analisis Data ………. 96

3.6 Validitas Data ……… 100

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 102

4.1 Deskripsi Pengenalan Topik Marhata………. 102

4.1.1 Deskripsi Pengenalan Topik Situasi Tutur Marhusip ……. 104

4.1.1.1 Analisis Pengenalan Topik Situasu Tutur Marhusip 105 4.1.1.2 Temuan Pengenalan Topik Situasi Tutur Marhusip 112 4.1.2 Deskripsi Pengenalan Topik Situasi Tutur Marpudunsaut…114 4.1.2.1 Analisis Pengenalan Topik Situasi Tutur Marpudunsaut ……….. 116 4.1.2.2 Temuan Peralihan Topik Situasi Tutur


(20)

Marpudunsaut ………. 124 4.1.3 Deskripsi Pengenalan Topik Situasi Tutur Marunjuk …… 126 4.1.3.1 Analisis Pengenalan Topik Situasi

Tutur Marunjuk ……… 127 4.1.3.2 Temuan Peralihan Topik Situasi Tutur

Marunjuk ……….. 133 4.1.4 Pembahasan Peralihan Topik ……….. 136 4.2. Deksripsi Gilir Bicara ……… 141 4.2.1 Deskripsi Gilir Bicara Situasi Tutur Marhusip …………. 142 4.2.1.1 Analisis Gilir Bicara Situasi Tutur Marhusip……. 143 4.2.2.1 Temuan Gilir Bicara Tutur Marhusip ……… 158 4.2.2 Deskrispi Gilir Bicara Situasu Tutur Marpudunsaut ……. 159 4.2.2.1 Analisis Gilir Bicara Situasi Tutur Marpudunsaut .. 161 4.2.2.2 Temuan Analisis Bilir Bicara Situasi Tutur

Marpudunsaut ……… 177 4.2.3 Deskripsi Gilir Bicara Situasi Marunjuk ……… 178 4.2.3.1 Analisis Gilir Bicara Situasi Tutur Marunjuk …… 180 4.2.3.2 Temuan Analisis Gilir Bicara Situasi Tutur

Marunjuk ………. 194 4.2.4 Pembahasan Gilir Bicara ………. 198 4.3. Deskripsi Pasangan Berdekatan ……… 200 4.3.1 Deskripsi Pasangan Berdekatan Situasi Marhusip ………. 202 4.3.1.1 Analisis Pasangan Berdekatan Situasi

Tutur Marhusip ……… 204 4.3.1.2 Temuan Pasangan Berdekatan Situasi Marhusip… 217


(21)

4.3.2 Deskripsi Pasangan Berdekatan Situasi Tutur

Marpudunsaut ……….. 220

4.3.2.1 Analisis Pasangan Berdekatan Situasi Tutur Marpudunsaut ……… 223

4.3.2.2 Temuan Pasangan Berdekatan Situasi Marpudunsaut ……….. 231

4.3.3 Deskrispsi Pasangan Berdekatan Situasi Tutur Marunjuk ……… 234

4.3.3.1 Analisis Pasangan Berdekatan Situasi Tutur Marunjuk ……….. 238

4.3.3.2 Temuan Pasangan Berdekatan Situasi Tutur Marunjuk ………. 243

4.3.4 Pembahasan Pasangan Berdekatan ……… 247

4.4. Pembahasan Hasil Penelitian ………. 258

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……… 263

5.2 Saran ……….. 267

5.3 Rekomendasi ……… 268

DAFTAR PUSTAKA ……….. 270 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(22)

ABSTRAK

Kajian penelitian ini adalah acara marhata dalam upacara adat perkawinan Batak Toba. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan realisasi bentuk pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata 2) merumuskan pola gilir bicara,

dan 3) merumuskan pola pasangan berdekatan. Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi marhusip, marpudunsaut, dan

marunjuk pada upacara adat perkawinan Batak Toba.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menerapkan kerangka pikir pragmatik. Lokasi penelitian ini adalah di Medan dan Pematangsiantar dengan data dari dua sumber yaitu data lapangan sebagai data primer dan data dokumentasi sebagai data sekunder. Data lapangan diperoleh dengan merekam secara audio dan video, pengamatan peneliti langsung dari beberapa acara marhata adat perkawinan Batak Toba. Disamping itu menginterview juru bicara dan raja adat tentang isi marhata. Data dokumentasi diambil dari beberapa sumber sebagai pembanding dari etnisitas masyarakat Batak Toba lainnya. Data yang dianalisis adalah ujaran-ujaran yang mengandung topik, gilir bicara dan pasangan berdekatan yang sudah diverifikasi dan ditriangulasi.

Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola yang muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan realisasi bentuk kalimat perintah, pertanyaan, dan pernyataan. Kalimat perintah lebih dominan direalisasikan pada situasi tutur marhusip (62,5%) dan kalimat pernyataan dominan pada situasi tutur marpudunsaut (64%)dan marunjuk (89%). 2) Ketiga kaidah gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap situasi tutur; marhusip (75%), marpudunsaut (72%), dan

marunjuk (67%). 3) Kategori rangkaian marhata acara adat Perkawinan Batak Toba bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak lengkap terdiri dari inisiasi/pemicu dan respon. Respon terhadap inisiasi yang diberikan terdiri dari 16 (enambelas) pola pasangan berdekatan yaitu 8 (delapan) pola pasangan disukai dan 8 (delapan) pola pasangan tidak disukai. Ketiga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan sosial antara masyarakat Batak Toba nyata direfleksikan dan diatur dalam suatu sistim yang disebut DNT. Pihak perempuan memiliki status yang lebih tinggi sehingga ketika mengenalkan topik-topik baru, JBPP merealisasikannya dalam kalimat perintah permintaan. Kemudian ketika JBPL hendak memberi gilir bicara kepada JBPP, sistem kekerabatan rajanami atau raja i/hula-hula nami digunakan sebagai rujukan ke penutur pihak perempuan. Kemudian, dalam konteks meminang (marhusip), respon bentuk pasangan tidak disukai banyak digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa juru bicara marhata dalam upacara adat haruslah orang yang pintar sehingga dia disebut raja parhata.

---


(23)

ABSTRACT

The study of this research is marhata in the Toba Batak wedding traditional ceremony. The objectives of this research are to 1) describe the realization form of topical introduction of marhata, 2) formulate the patterns of turn taking of marhata, and 3) formulate the patterns of adjacency pairs of marhata. Each of the objective is carried out in 3 (three) speech situations, namely marhusip, marpudunsaut, and marunjuk.

. This research applies descriptive qualitative method using pragmatic theoretical frame. It is carried out in Medan and Pematangsiantar. The data of this research are taken from two sources, namely field data as a primary data obtained by recording marhata audially and visually in three speech situations and taking documentation (books and reserach) as a secondary one. Direct observation by follwing marhata in wedding ceremony is also carried out by the researcher herself. Furthermore, the researcher interviewed the speakers who are expert in marhata on the content of marhata. Documentation data are taken from some sources as a comparison of other Toba Batak society etnics. The data analized are speeches containing topic introduction, turn taking and adjacency pair which have been verified and triangulated.

The data are analized based on content and by sequence to find the recurring patterns using conversation analysis approach. The research findings shows that 1) the new topics are introduced by the realization of imperative, interrogative, and statement. Imperative is more dominantly realized in speech situation of marhusip (62,5%) whereas declarative is in marpudunsaut (64%)

and marunjuk (89%). 2) The three rules of turn taking are applicable. Yet, the first rule is more dominant in every speech situation, marhusip (75%),

marpudunsaut (72%), and marunjuk (67%). It refers to the reference of kinship and use of pronoun. 3) The category of marhata structure of Toba Batak Wedding Traditional Ceremony is varied; complete and incomplete. The complete structure consists of pre-sequence, initiation, insertion, and respond, whereas incomplete one include initiation and respond. The respond of initiations comprise of 16 patterns consisting of 8 (eight) preferred structure and 8 (eight) dispreferred one. The three findings indicate that social relationship among Toba Batak ethnics is feasible and arranged in the indigenous fundamental culture of Toba Batak society called Dalihan Na Tolu (DNT). The woman‟s side has higher social

status, thus, when introducing new topics, the speaker realizes them in

command-request. Then, when the speaker from the man‟s side gives turn taking to the speaker of the woman‟s side, addresses system, rajanami or raja i/hula-hula nami

„our king‟ or „our majesty‟, is used as a reference to the speaker of the woman‟s side. Then, in the context of engaging (marhusip), dispreferred adjacency pairs are dominantly used. It represents that the speakers of marhata of both sides in the Toba Batak wedding traditional ceremony must be professionally

communicative, so called „king of speaker‟ ---


(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memiliki berbagai fungsi dalam penggunaannya. Salah satu di antaranya adalah sebagai alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Budaya kita mencakup kumpulan konsep yang kaya untuk menggolong-golongkan bagian-bagian interaksi sosial, yang menggambarkan pentingnya interaksi sosial dalam masyarakat.

Percakapan tidak dapat terlepas dari unit-unit aktivitas sosial. Dalam aktivitas sosial tersebut, keterlibatan penutur dan mitra petutur dalam sebuah percakapan akan dipengaruhi oleh nilai dan norma yang berlaku. Nilai dan norma itu diperoleh melalui proses pelembagaan yang dilakukan oleh lingkungan tempat penutur dan petutur melakukan aktivitas percakapan. Nilai dan norma itu membawa konsekuensi bagi penutur dan petutur untuk melakukan proses-proses produksi linguistik yang diwujudkan dalam performansi bahasa tertentu.

Dalam berinteraksi seseorang biasanya mengungkapkan nilai budayanya melalui bahasa dan atau tindak verbal. Ketika interaksi terjadi dalam konteks sosial dengan menggunakan bahasa lisan, orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu memiliki ketrampilan linguistik untuk berbicara atau memiliki keterampilan lisan. Masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari kehidupan upacara adatnya dan salah satu hal yang paling penting dalam upacara adat adalah acara marhata yang


(25)

sungguh-sungguh dihargai dan dituakan apabila dapat berkomunikasi lisan dengan baik, khususnya dalam marhata „berbicara adat‟ dalam acara-acara adat yang biasanya dikendalikan oleh raja parhata „juru bicara‟. Keberhasilan suatu acara

marhata dalam upacara adat Batak Toba dominan ditentukan oleh seorang juru bicara.

Menjadi seorang juru bicara yang berhasil dan dihargai dalam upacara adat khususnya dalam acara marhata memiliki beberapa kriteria. Pertama, seorang juru bicara harus memiliki kompetensi atau pandai berbicara. Itulah sebabnya, raja parhata itu dilukiskan sebagai „panjaha di bibir, parpustaha di tolonan‟. Secara harafiah raja parhata artinya adalah „pembaca di bibir‟, „pemilik perpustakaan di

kerongkongan‟. Jadi, seorang juru bicara adat itu harus profesional (berpengetahuan luas), bahkan harus pandai pula menangkis serta menerangkan apa saja yang ditanyakan kepadanya.

Kedua, seorang juru bicara adat harus memahami nilai-nilai marhata dengan berbagai nilai-nilai sosial budaya di dalamnya. Raja parhata dalam acara adat memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan acara adat. Seorang

raja parhata harus memahami hukum adat serta penerapannya. Seorang raja parhata harus memahami segala seluk-beluk adat Batak pada umumnya dan adat yang berlaku bagi rumpun semarganya pada khususnya. Ini tentu menyangkut sejarah suku bangsa Batak itu sendiri, termasuk pemahaman tentang budayanya yang mencakup sistem kekerabatan Dalihan Natolu (DNT), adat-istiadat, silsilah marga, bahasa tutur, penggunaan ulos, pembagian jambar baik jambar hata dan


(26)

maka seseorang harus membedakan bahasa tuturnya ketika bertutur dengan lawan tuturnya. Seseorang dapat menjadi pihak hula-hula dan di sisi lain dia dapat menjadi boru, atau dongan sabutuha. Dalam suatu ulaon (acara adat) sangat penting mengetahui posisi kita ketika marhata apakah sebagai dongan tubu, hula-hula, boru, raja naginokhon, raja panungkun (panise), dan raja pangalusi. Dengan demikian kedudukan seseorang yang dapat berubah dari hula-hula

menjadi boru atau sebaliknya membuat seseorang harus mampu marhata dalam acara adat perkawinan Batak Toba. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, bahasa tutur yang digunakan seseorang dalam bertutur dengan orang lain merupakan filsafat kehidupan dan juga menunjukkan bagaimana hubungan kekeluargaannya dan bersikap dengan orang lain. Bahasa tutur marhata yang dipakai pada upacara adat Batak Toba mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu adanya penggunaan umpama dan umpasa yang disampaikan oleh orang tertentu dan dengan acara adat tertentu. Yang layak menyampaikan umpasa berkat adalah pihak hula-hula (juru bicara pihak perempuan), orang tua kepada anaknya, dan kakak kepada adik. Pihak boru tidak dapat menyampaikan umpasa berkat kepada hula-hula, Sihombing (1997:12). Keputusan untuk bersedia menjadi raja parhata dengan posisi yang berbeda ke acara adat tertentu sangat berat karena aplikasi langsung ke acara adat yang berbeda dengan yang berlaku umum. Dalam praktiknya, selaku juru bicara adat yang mewakili kelompok marganya, ia harus menguasai hukum adat-istiadat. Lebih dari itu ia harus mampu mencari solusi jika terjadi perselisihan mengenai penerapan adat dari suku Batak Toba dan Batak Toba lainnya, misalnya adat antara Batak Toba dari Samosir dan adat Batak Toba dari Humbang. Ketika


(27)

terjadi perbedaan penerapan adat antara adat Batak Toba Samosir dan adat Batak Toba Humbang, juru bicara harus mampu mengkomunikasikan adat mana yang akan dipakai.

Ketiga, seorang juru bicara adat harus memiliki kesediaan apabila ditunjuk oleh pihak keluarga dari keturunan marga sendiri, dari kelompok marganya maupun dari kelompok marga yang lain . Keputusan untuk bersedia menjadi raja parhata kepada kelompok marga sendiri adalah hal yang biasa, sedangkan keputusan menjadi raja parhata kepada kelompok marga yang lain membutuhkan persiapan yang matang.

Keempat adalah faktor keinginan atau motivasi. Tidak banyak orang Batak Toba yang memiliki keinginan atau motivasi berinteraksi sosial dalam bahasa Batak. Di kalangan generasi muda, hata Batak atau bahasa Batak, sama halnya dengan bahasa daerah lainnya tidak begitu populer. Bahasa pengantar di rumah keluarga masing-masing sudah didominasi bahasa Indonesia, bahkan ada yang telah menerapkan bahasa asing, misalnya bahasa Inggeris yang digunakan dalam acara adat ketika orang tuanya memberikan kata-kata nasehat kepada kedua mempelai ketika orang tuanya hendak memberi ulos. Alasannya supaya sejak kecil anak-anaknya memiliki keunggulan dibanding teman-temannya sebaya atau teman sekolah dan karena anaknya sudah lama tinggal di luar negeri sehingga bukan hanya tidak bisa berbahasa Batak bahkan mengerti pasifpun tidak. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Hudson (1996:113) yang mengatakan bahwa usaha yang dilakukan orang dalam berbicara tergantung pada motivasi, yang pada gilirannya tergantung sebagiannya pada hubungan dengan orang lain


(28)

yang terkait. Tidak sedikit juga orangtua, generasi tua Batak menasihatkan agar putra-putrinya sedikit demi sedikit berbahasa Batak, namun nasehat anjuran orangtua dalam hal ini kurang mendapat perhatian kalangan orang muda. Mungkin dianggap kuno, bahasa daerah tidak ada gunanya untuk kelulusan di sekolah. Namun begitu, karena tetap banyak orang Batak menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa pengantar atau bahasa komunikasi sehari-hari di rumah, khususnya antara suami-istri, maka pada umumnya anak-anak orang Batak bisa mengerti tetapi tidak bisa mengucapkan.

Faktor yang kelima adalah juru bicara dari keturunan marga yang dekat. Dalam semua acara adat Batak Toba yang besar seperti marhata sinamot, marunjuk, mangadati, mangopoi jabu, mamestahon tambak ni ompu, dan sebagainya, selalu ada pande hata/raja parhata „juru bicara/protokol‟ dari yang punya acara (hasuhutan). Raja parhata biasanyadipilih oleh barisan semarganya. Sebelum suatu acaradimulai selalu ada pertemuan atau rapat singkat dengan

sabutuhanya „semarga‟ yang dilakukan oleh kedua belah pihak mempelai, baik

pihak mempelai laki-laki maupun pihak mempelai perempuan untuk menetapkan siapa di antara mereka yang memimpin acara (raja parhata), baik raja parhata

dari pengantin pihak mempelai laki-laki maupun raja parhata dari pihak wanita. Dalam upacara adat perkawinan, yang mempunyai acara (hasuhutan) baik dari pihak mempelai laki-laki maupun perempuan, tidak dapat banyak berbicara. Segala sesuatu yang berhubungan dengan acara adat itu sudah diserahkan kepada juru bicara yang dipilih pada saat rapat keluarga. Biasanya juru bicara ini adalah orang yang lebih tinggi atau lebih rendah urutan marganya. Misalnya, yang masuk


(29)

ke dalam rumpun marga Napitupulu urutan tingkatannya adalah Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede. Rumpun ini dikatakan dengan sonak malela.

Apabila salah satu dari marga ini melangsungkan upacara adat pernikahan, misalnya marga Napitupulu, maka yang menjadi parsinabung (juru bicara) dalam acara marhata adalah marga Pardede/Simangunsong/Marpaung atau bahkan marga Napitupulu itu sendiri. Namun, kadang-kadang sering terjadi bahwa dalam rumpun marga itu sendiri tidak ada yang mampu untuk menjadi juru bicara atau tidak bersedia menjadi juru bicara, maka pihak yang berpesta meminjam juru bicara atau meminta tolong kepada orang lain yang bukan masuk dalam satu turunan atau bukan masuk dalam rumpun marga dekat untuk bertindak sebagai juru bicara dalam acara adat. Juru bicara pada acara marhata pada marga tertentu, misalnya A marga Panjaitan, adalah orang yang sama bila ada pesta marga Panjaitan yang masih turunan marganya (keluarga dekat) dan pesta marga Panjaitan yang merupakan keluarga jauh lainnya.

Disamping kelima faktor di atas, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor yang keenam yaitu ketersediaan waktu yang penuh. Seorang juru bicara adat harus memiliki waktu yang cukup banyak karena juru bicara adat adalah orang yang memulai dan menyelesaikan acara adat sampai selesai hingga tujuan tercapai dengan berhasil yang biasanya menghabiskan waktu hingga seharian penuh. Seorang juru bicara tidak dapat meninggalkan tempat ketika acara upacara adat sedang berlangsung

Sudah banyak orang Batak kehilangan keterampilan marhata. Sumber daya manusia yang berperan sebagai juru bicara dalam acara marhata dapat


(30)

dikatakan sangat sedikit dibandingkan dengan banyaknya masyarakat tutur yang ada dalam satu turunan atau marga yang masuk dalam rumpun suatu marga atau kelompok marga (semarga) tersebut. Bahkan penutur Batak Toba yang begitu banyak tidak seimbang dengan penutur Batak Toba yang mampu sebagai juru bicara pada acara marhata dalam upacara adat Batak Toba. Masih banyak generasi tua Batak yang tidak mampu marhata dalam Bahasa Batak Toba (BBT) bahkan sebagai juru bicarapun masih banyak yang belum professional menguasi

marhata dalam acara adat. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah jika generasi muda sebagai penerus tidak lagi sanggup bertutur dalam bahasa Batak, dan generasi tua tidak banyak yang mampu marhata pada acara-acara adat, apakah kultur atau budaya marhata dalam upacara adat itu akan punah dengan sendirinya? Enam kriteria menjadi juru bicara adat di atas sangat potensial menjadi sumber masalah. Masalah-masalah tersebut sangat perlu diatasi secara ilmiah melalui penelitian sebab bukan hanya profesi sebagai juru bicara yang wajib mengetahui marhata dalam acara adat tetapi juga seluruh masyarakat Batak Toba wajib mengetahuinya kalau mau mempertahankan budaya marhata dalam upacara adat perkawinan BatakToba itu sendiri. Hal ini sangat perlu diperhatikan dan perlu diatasi agar budaya marhata dalam upacara adat Batak Toba tetap dilestarikan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis acara marhata

khususnya pada marhata pada upacara adat Perkawinan Batak Toba sebagai suatu upacara adat yang terbesar dalam masyarakat Batak Toba. Walaupun satu upacara adat perkawinan Batak Toba namun ada beberapa rangkaian peristiwa di dalamnya. Prosesi (rentetan peristiwa) adat tersebut dimulai dari mangaririt


(31)

(manjalo tanda), marhori-hori dinding, marhusip, martumpol, marpudunsaut, tonggo raja, dan marunjuk. Dalam setiap peristiwa tersebut ada acara marhata, namun marhata dalam penelitian ini adalah marhata yang telah dipimpin oleh juru bicara yaitu pada peristiwa marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk.

Dalam acara marhata ada beberapa aspek yang terjadi, misalnya aspek peralihan topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan atas respon yang diberikan. Aspek pertama ini adalah tentang isi percakapan, yaitu aspek yang memperlihatkan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan, topik apa yang mengarah pada topik lain; apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam itu terjadi, dan bagaimana topik-topik tersebut disampaikan. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup; biasanya dalam bentuk tindak ujar tak langsung.

Berbagai macam topik percakapan menjadi bahan percakapan. Bahkan dalam satu peristiwa percakapan bisa muncul dua atau lebih topik percakapan seperti yang terjadi dalam acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Dalam acara marhata pada setiap situasi tutur, baik situasi tutur marhusip, marpudunsaut, maupun marunjuk terdapat beberapa topik yang dibicarakan.

Peralihan topik percakapan antara satu topik ke topik lainnya ditandai dengan beberapa indikator seperti indikator pengulangan, penilaian, kesimpulan, dan sebagainya.

Pemilihan topik yang dikembangkan dalam percakapan dapat dipengaruhi oleh norma/budaya yang berlaku dalam masyarakat. Selain ditentukan oleh


(32)

norma/budaya, topik percakapan yang dipilih juga ditentukan oleh faktor situasional. Situasi yang terjadi di sekitar terjadinya percakapan itu mempunyai peranan penting dalam pemilihan topik. Misalnya, marhata dalam situasi

marhusip, biasanya pemilihan topik untuk manise dilakukan oleh dongan sahuta. Kebiasaan di adat Toba, manise (bertanya) itu dilakukan oleh dongan sahuta

(penatua kampung). Pihak perempuan menanyakan kesediaan dongan sahuta

untuk menanyakan kedatangan pihak laki-laki. Namun dalam topik manise ini sering terjadi ketidakteraturan mengenalkan topik tersebut. Kadangkala pada saat

dongan sahuta tidak menguasai materi/tidak pintar bicara untuk manise pihak laki-laki, pengenalan topik manise akhirnya diambil alih oleh juru bicara pihak perempuan dengan mengajukan bentuk pertanyaan, misalnya seperti berikut:

Amangboru, dia ma laklak na, diama unokna, dia ma hatana, dia ma na nidokna sibegeon dohot sipeopon ni roha. Sebenarnya pengenalan topik ini adalah tugas utama dongan sahuta untuk menanyakan kedatangan pihak laki-laki. Dongan sahuta ‟penatua kampung‟ bukanlah parsinabung (juru bicara) yang sudah biasa atau mapan untuk marhata di dalam upacara adat. Tidak seluruhnya dongan sahuta pandai bicara (marhata). Namun tugas ini harus dilakukan oleh dongan sahuta, sehingga ketika diminta untuk menanyakan kedatangan pihak laki-laki,

dongan sahuta menyerahkan topik manise ini ke juru bicara pihak perempuan. Kadangkala juru bicara yang sudah pernah marhata pun tidak profesional, pintar bicara tetapi tidak menguasai materi.

Belum ada konsep acara atau urutan topik marhata yang baku dalam acara


(33)

percakapan dari suatu situasi tutur (marhusip atau marpudunsaut)ke situasi tutur lainnya (marunjuk) dapat berganti sehingga sering terjadi penambahan waktu karena juru bicara yang baru tidak menguasai materi sebelumnya.

Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah bagaimana gilir bicara bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing „keberurutan‟ dapat dicapai (memberikan dan memperoleh

giliran atau mekanisme turn-taking, interupsi, overlap, dan sebagainya) dan . Tidak ada tuturan yang dilaksanakan secara terpisah. Begitu pula, tidak ada tuturan yang mengikuti satu sama lain dalam urutan yang arbitrer. Ketika seorang partisipan berbicara atau membuat kontribusi dalam percakapan dikatakan dia mengambil giliran (taking turn). Giliran tersebut bisa terdiri dari ujaran, dan juga bisa tumpang tindih (overlap).

Tuturan cukup penting bagi masyarakat sehingga perlu diberi perlakuan khusus dalam budayanya, sebagai suatu objek yang harus digolong-golongkan dan dibahas. Menurut Carbaugh (2005:1) setiap percakapan budaya memiliki fungsi. Tata cara bertutur itu berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain, bahkan yang paling mendasar sekalipun. Misalnya, di kalangan orang-orang kulit putih

Amerika dari kelas menengah terdapat kaidah “tanpa kesenjangan, tanpa tumpang

tindih” dalam giliran bertutur (turn-taking). Jika dua orang atau lebih terlibat dalam percakapan dan jika dua orang mulai berbicara dalam waktu yang sama (tanpa disengaja), dengan cepat yang satu memberi kesempatan kepada yang lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih (overlap). Sebaliknya, jika terjadi


(34)

enak”, kemudian seseorang akan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak

penting sekadar untuk mengisi “kesenjangan”.

Namun menurut penelitian Reisman (1974), penduduk desa Antiguan (Swedia) biasa melakukan pembicaraan dengan lebih dari satu orang dengan berbicara sekaligus. Dalam komunitas Lapp di Swedia utara, kesenjangan dianggap sebagai bagian dari kebiasaan dalam percakapan. Saville-Troike (1982) mengemukakan, beberapa kelompok Indian Amerika yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil giliran berbicara adalah hal yang biasa. Hal ini berbeda dengan tradisi di dalam lingkungan keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua mereka, tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa seizin si orang tua, tanpa diminta untuk berbicara. Kalau pun si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya memulai ujarannya, yang bernada minta izin dengan mengucapkan nuwun sewue,…. (minta beribu maaf).

Dalam budaya Batak Toba, khususnya pada acara marhata upacara adat perkawinan Batak Toba selalu ada dua pihak, yaitu pihat suhut dan pihak unsur DNT serta unsur lainnya. Disamping itu selalu ada raja panise (penanya) dan raja pangalusi (penjawab). Setelah hadirin memahami tujuan yang sesungguhnya, raja panise mempersilahkan tiap unsur berbicara secara bergiliran sesuai dengan urutan kebiasaan DNT. Gilir bicara antara raja panise dan raja pangalusi dalam

marhata pada acara adat sudah ditentukan sebelumnya (pre-allocated) sesuai dengan tradisi budaya adat Batak Toba. Artinya bahwa biasanya percakapan (marhata) dimulai oleh raja panise dan diikuti oleh raja pangalusi. Hal ini


(35)

berbeda dengan percakapan bahasa Batak Toba sehari-hari (casual conversation) dimana gilir bicara tidak ditentukan sebelumnya (not pre-allocated). Sacks, Schegloff dan Jefferson tertarik mengkaji sistem gilir bicara dalam percakapan sehari-hari karena anggapan bahwa percakapan sehari-hari merupakan bentuk dasar dari seluruh percakapan. Jika gilir bicara tidak ditentukan sebelumnya, bagaimanakah penutur menentukan penutur berikutnya. Akhirnya mereka menentukan komponen alokasi sistem gilir bicara yang menjadi aturan penentuan pembicara.

Struktur percakapan didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kebanyakan interaksi, orang berbicara secara bergantian/bergiliran. Dalam acara adat Batak Toba, khususnya marhata dalam acara perkawinan Batak Toba, juru bicara mempersilahkan tiap unsur DNT berbicara secara bergiliran. Percakapan biasanya bergiliran dari unsur-unsur DNT yaitu dongan sabutuha/ suhut (pihak keluarga dari keturunan bapak), boru (keluarga pengambil perempuan) dan hula-hula

(keluarga pihak perempuan), serta unsur-unsur lainnya. Masyarakat Batak Toba mempunyai sistem adat istiadat tertentu yang berazaskan DNT „tungku yang

berkaki tiga‟ disingkat „tungku nan tiga‟. DNT merupakan dasar hidup masyarakat Batak Toba. Setiap anggota masyarakat Batak Toba wajib bertutur dan bertindak menurut aturan adat istiadat yang berazaskan DNT. Tindak tutur pada acara adat Batak Toba dalam marhata sangat berbeda dengan tindak tutur marhata sehari-hari dalam masyarakat Batak Toba. Dalam upacara adat, kedudukan unsur DNT sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah DNT “manat mardongan


(36)

tubu, elek marboru, somba marhula-hula” harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam suatu percakapan, terdapat juga suatu kecenderungan adanya pembicaraan yang hanya didominansi oleh satu pihak pembicara pada saat tertentu. Dalam acara marhata pada acara adat perkawinan Batak Toba kecenderungan didominasi oleh satu pihak pembicara biasanya terdapat pada acara pembukaan yaitu marsirenggetan (menentukan juru bicara) dimana para penuturnya adalah penutur dari pihak yang sama yaitu pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Ketika terjadi pergantian topik-topik percakapan, terdapat struktur pertukaran percakapan yang harus diperhatikan. Dalam setiap pertukaran percakapan akan diawali oleh pemicu atau inisiasi yang berfungsi sebagai pembuka interaksi. Kemudian, inisiasi tersebut akan diikuti oleh sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut merupakan respons dari mitra tutur dalam percakapan. Tanggapan itu akan diikuti juga oleh sebuah balikan yang bersifat manasuka. Misalnya, ketika acara adat Batak hendak selesai juru bicara akan menuturkan umpasa: Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu bontean, sai leleng hita mangolu, sahat ma tu panggabean. Kemudian pemicu ini direspon dengan memberikan pasangan berdekatan yang relevan (pasangan yang disukai) dengan mengucapkan Emma tutu yang artinya „demikianlah hendaknya‟. Emma tutu

adalah ungkapan yang diucapkan secara serempak oleh hadirin sebagai sambutan terhadap setiap pembicaraan yang selesai menggunakan umpasa. Ada juga


(37)

penutur yang memberikan umpasa dan penutur lainnya merespon ujaran tersebut dengan memberikan umpasa juga.

Pasangan tuturan yang berdekatan mempertegas langkah-langkah pembuktian terhadap cara-cara partisipan memahami dan membuat pengertian tentang tuturan yang ada, misalnya bentuk pasangan berdekatan (adjacency pairs), salam–salam (greeting–greeting) yang sangat sederhana dan ringkas dalam suku Batak Toba dengan istilah Horas – Horas, yaitu salam khas orang Batak

yang berarti „selamat‟, „salam sejahtera‟, yang kerap diucapkan dalam kehidupan

sehari-hari bila dua orang atau lebih bertemu. Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak. Padanan kata horas adalah Mejuah-juah (Batak Karo, Batak Pakpak), Yahobu dari daerah Nias, sedangkan Ahoiii!

adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.

Dalam suatu percakapan (komunikasi) yang wajar, proses interaksi biasanya berlangsung secara wajar dan lancar. Antara pembicara dan pendengar melakukan interaksi sesuai dengan struktur gilir-bicara, yakni terciptanya proses percakapan yang dimulai dengan pertanyaan dan jawaban secara wajar dari pendengar. Dalam kenyataannya, tidak semua proses interaksi berjalan seperti yang dikehendaki itu. Kadang-kadang suatu pertanyaan (stimulus) tidak diikuti oleh jawaban (respons) yang wajar. Schegloff (2007) menyatakan bahwa struktur interaksi itu dapat diganggu oleh rangkaian sisipan. Dalam hal ini, suatu pertanyaan biasanya tidak diikuti oleh jawaban, yakni jawabannya ditangguhkan


(38)

(delay). Dalam kasus seperti ini, pendengar tidak langsung menjawab pertanyaan, tetapi memberikan pertanyaan yang berbeda, misalnya:

A : Mau penerbangan pertama ? B : Pukul berapa ?

A : Tujuh

B : Baik. Saya ambil itu.

Dalam bagian percakapan tersebut terjadi sela (insertion). Pertanyaan pertama yang diajukan si pembicara tidak langsung dijawab oleh si pendengar, namun si pendengar memberikan pertanyaan yang berbeda. Jawabannya ditangguhkan dengan memberikan pertanyaan yang lain.

Percakapan yang dilakukan sehari-hari baik formal atau informal mengikuti aturan atau pola percakapan yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mencapai tujuan. Marhata dalam upacara adat Batak Toba adalah membicarakan serta mewujudkan tujuan suatu upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan bahasa tutur parhataan yang mempunyai struktur percakapan yaitu adanya peralihan topik, pola gilir bicara dan adanya pasangan berdekatan yang bervariasi. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa dengan peralihan topik yang satu ke topik lainnya terjadi pergantian gilir bicara. Ketika terjadi peralihan topik-topik tersebut terdapat struktur atau pola percakapan.

Penggalian akan struktur atau penetapan pola marhata dalam upacara adat perkawinan Batak menjadi pemicu termotivasinya penulis untuk melakukan penelitian agar pemicu sedikitnya sumber daya manusia sebagai juru bicara dalam berbicara adat seperti dikemukakan di atas dapat diatasi.


(39)

1.2 Batasan Masalah

Pelaksanaan upacara adat perkawinan pada setiap kelompok etnis memiliki ciri khas tersendiri. Ada beberapa acara adat dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba yaitu acara menerima kedatangan suhut,

penyerahan tanda makanan adat, penyerahan ikan, makan bersama, membagi tanda makanan adat, menerima sumbangan tanda kasih, dan acara marhata.

Penelitian ini berfokus pada membicarakan bahasa tutur acara marhata

yang digunakan dalam acara adat perkawinan Batak Toba. Dalam kajian ini, ada dua fokus masalah yang dibahas, yaitu (1) pola struktur topik percakapan acara

marhata pada acara adat perkawinan Batak Toba dan (2) mekanisme gilir bicara yang mencakup pasangan berdekatan.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Masalah penelitian ini adalah acara marhata dalam upacara perkawinan Batak Toba dalam peralihan topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan. Tiga permasalahan ini dirumuskan dalam rumusan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah realisasi fungsi bentuk kalimat dalam pengenalan topik

marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk

upacara adat perkawinan Batak Toba?

2. Bagaimanakah pola gilir bicara acara marhata pada situasi tutur

marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba diaplikasikan?


(40)

3. Bagaimanakah pola pasangan berdekatan yang muncul dalam acara

marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk

upacara adat perkawinan Batak Toba?

1.4 Tujuan Penelitian

Sekaitan dengan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah 1. mendeskripsikan realisasi bentuk kalimat dari peralihan topik dalam

acara marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan

marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba upacara adat perkawinan Batak Toba,

2. merumuskan pola gilir bicara acara marhata pada situasi tutur

marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba, dan

3. merumuskan pola pasangan berdekatan acara marhata pada situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk upacara adat perkawinan Batak Toba.

1.5 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian diharapkan memberikan kontribusi keilmuan dan praktis.

1. Manfaat teoretis :

Temuan penelitian ini diharapkan untuk memberi sumbangan pada bidang pragmatik secara umum dan khususnya pada bidang analisis percakapan


(41)

yakni untuk memperkaya kajian bahasa daerah tentang bahasa tutur yang berkaitan dengan karakteristik percakapan dilihat dari aspek struktur ujaran berdasarkan topik dan gilir bicara (turn taking) yang menggambarkan keteraturan proses percakapan yang direpresentasikan dalam pasangan berdekatan (adjacency pairs).

2. Manfaat praktis:

Temuan penelitian ini diharapkan sebagai masukan/wawasan bagi masyarakat penutur BBT khususnya generasi muda untuk dapat menjadi raja parhata

dalam acara marhata upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan pola-pola bahasa dalam bertutur pada acara marhata.

1.6 Klarifikasi Istilah

Beberapa istilah yang dipakai dalam penelitian ini perlu dijelaskan, seperti Batak Toba, marhata, marhusip, marpudunsaut, marunjuk, peralihan topik, pasangan berdekatan, dan gilir bicara.

1. Batak Toba

Secara administratif wilayah tempat tinggal Batak Toba terdiri dari suku bangsa Batak Toba yang meliputi 4 kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang melakukan acara marhata

dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang menggunakan Bahasa Batak di daerah Medan dan Pematangsiantar yang juru bicaranya berasal dari Humbang Hasundutan (pihak perempuan) dan Tapanuli Utara (pihak laki-laki).


(42)

2. Gilir bicara

Gilir bicara adalah suatu proses berinteraksi untuk melakukan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang interaktif (Sacks, Schegloff, dan Jefferson: 1974).

3. Marhata

Marhata ialah dialog secara resmi diantara dua pihak yaitu pihak orangtua mempelai wanita dan pihak orangtua mempelai pria yang biasanya didahului dengan acara makan bersama. Marhata ialah membicarakan serta mewujudkan tujuan setiap upacara adat dengan menggunakan bahasa tutur parhataan,

(Pardede, T. Bertha, 1981:7). 4. Marhusip

Marhusip adalah situasi tutur yang membicarakan secara resmi oleh utusan kedua belah pihak menyangkut kelanjutan rencana pernikahan yang dilakukan sebelumnya secara tidak resmi (marhori-hori dinding) yang dilakukan setelah ada negosiasi awal dengan kedua belah pihak.

5. Marpudunsaut

Marpudunsaut yaitu situasi tutur yang membicarakan masalah uang (mahar) atau besarnya uang perkawinan sebagai pengesahan atau penguatan hasil perundingan pada saat acara marhusip yang dihadiri oleh pihak kerabat pria dalam jumlah yang terbatas datang kepada kerabat wanita secara resmi.

6. Marunjuk

Marunjuk adalah peristiwa puncak dari seluruh rentetan peristiwa (marhusip dan


(43)

7. Pasangan berdekatan

Pasangan berdekatan adalah sebuah urutan dari dua ujaran yang berdekatan, yang dihasilkan oleh penutur yang berbeda, berurutan dari bagian pertama dan kedua, sehingga bagian pertama membutuhkan bagian kedua atau serangkaian bagian kedua (Sacks dan Schegloff pada Schiffrin :1994:236).

8. Peralihan topik adalah penutupun ujaran topik lama atau adanya transisi yang jelas dari satu topik ke topik lainnya. Topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membentuk sebuah wacana. Howe (1991:5) mengatakan bahwa topik merupakan syarat terbentuknya wacana percakapan. Berbagai macam topik percakapan menjadi bahan percakapan dalam suatu wacana, bahkan topik dapat berganti-ganti sesuai dengan keinginan para penuturnya.


(44)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoretis

Penelitian ini menyajikan analisis percakapan sebagai wacana lisan untuk kepentingan interaksional yang berupa percakapan dalam bahasa Batak Toba dengan topik marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Istilah analisis percakapan digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang disampaikan dari perspektif disiplin ilmu yang sangat luas. Eggin and Slade (1997:23) menyatakan bahwa terdapat beberapa perspektif dalam menganalisis percakapan sebagai interaksi lisan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etnometodology, sociolinguistic, logico-philosophic, structural-functional, dan social semiotic.

Dari perspektif etnometodology, pendekatan analisis percakapan merupakan bagian kajian wacana. Kajian sosiolingusitik merujuk pada tiga pendekatan, yaitu ethnography of Speaking, Interactional Sociolinguistics, dan

Variation Theory. Logico-philosophic berhubungan dengan teori tindak tutur (Speech Acts) dan pragmatik (Pragmatics). Structural-functional menggambarkan dua pendekatan seperti Birmingham School dan Systemic Functional Linguistics,

dan Social-Semiotic mengacu pada Critical Discourse Analysis.

2.1.1 Analisis Percakapan

Analisis Percakapan merupakan bagian dari ilmu sosiologi, yang juga dinamakan ethnomethodology, yaitu studi terperinci bagaimana manusia mengatur


(45)

atau mengelola kehidupan mereka sehari-hari. Teori analisis percakapan memfokuskan perhatiannya pada interaksi dalam percakapan seperti berbagai gerakan oleh komunikator dan bagaimana mereka mengelola dan mengatur urutan pembicaraan sebagaimana yang terlihat jelas pada perilakunya. Eggins and Slade (1994:25), dalam Anderson dan Sharrock, 1987) mengatakan bahwa analisis percakapan berfokus pada percakapan karena percakapan merupakan sumber yang mudah diperoleh untuk kajian budaya.

Analisis percakapan merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam menganalisis percakapan. Pada umumnya analisis percakapan mengkaji kegiatan-kegiatan sosial, bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut dikoordinasikan atau disusun, bertujuan menjelaskan aturan, struktur, dan urutan bentuk interaksi. Fokus utama dalam aspek analisis percakapan adalah bagaimana percakapan bekerja, aturan-aturan apa yang dipatuhi, bagaimana struktur percakapannya, dan bagaimana urutan pola interaksi baik dalam percakapan institusi maupun dalam percakapan biasa.

Analisis percakapan adalah kajian rekaman tentang percakapan dalam interaksi (talk-in-interaction) yang terjadi secara alamiah. Pada prinsipnya, analisis percakapan bertujuan untuk menemukan cara-cara partisipan mengerti dan menanggapi penuturan antara partisipan yang satu dengan yang lain dalam suatu gilir bicara, dengan menitikberatkan pada urutan perilaku. Hal itu berarti analisis percakapan dapat menemukan langkah-langkah yang tidak dapat diduga sebelumnya dan kompetensi sosiolinguistik yang mendasari produksi dan


(46)

interpretasi percakapan yang urutan interaksinya teratur (Hutchby dan Wooffitt, 2008:12).

2.1.2 Etnography of Speaking

Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes (dalam Gladwin, T. dan Sturtevant, W.,1982; juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography of communication, karena istilah ini dianggap lebih tepat. Menurut Hymes para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan pola penggunaan tutur (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik. Linguistik yang lebih lengkap akan dikaitkan bagaimana penutur menggunakan struktur tersebut.

Tradisi etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes (1972) menggunakan pendekatan linguistik konteks budaya yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial (1987:.4), memusatkan perhatian kepada alat-alat penutur tutur (means of speaker) yang mencakup informasi mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam komunitas. Menurut Gumperz (1982), pakar etnografi komunikasi harus menyadari sepenuhnya, bahwa banyak penggunaan bahasa sebagaimana

halnya tatabahasa, adalah “rule governed” (mengandung kaidah). Di dalam


(47)

melainkan melihat peristiwa tutur sebagai satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial di mana norma dan nilai (value) merupakan variabel-variabel bebas yang terpisah dari bahasa.

Menurut Hymes (1974) kemampuan berkomunikasi mencakup bagaimana seseorang melibatkan diri dalam percakapan sehari-hari maupun dalam peristiwa tutur lainnya. Peristiwa tutur mengacu kepada aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Bentuk bahasa yang digunakan dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya, siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.

2.1.3 Sosiolinguistik Interaksional

Sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro adalah kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat (Appel 1976:22). Pendekatan sosiolinguistik merupakan bagian kajian dari antropologi, sosiologi, dan linguistik yang memfokuskan perhatian kepada tiga bidang yaitu budaya, masyarakat dan bahasa. Pendekatan ini dipelopori oleh Gumperz (1982) dan Goffman (1959).

Ilmu sosiolinguistk mengacu kepada penggunaan data linguistik dan analisis dalam disiplin ilmu yang lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial atau dengan kata lain ilmu sosiolinguistik merupakan kajian yang menggunakan data-data sosial dan menganalisisnya dalam ilmu linguistik. Para ahli sosiologi dan sosiolinguistik memberi perhatian pada penggunaan bahasa sehari-hari untuk membentuk dan memelihara hubungan sosial. Di dalam studi sosiolinguistik


(48)

interaksional bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain : status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya

Para pakar sosiolinguistik memfokuskan kajian pada variasi bahasa dan juga perubahan bahasa, misalnya mereka tertarik dalam bagaimana fungsi berbicara dalam menunjukkan kelas sosial, gender, etnik, dan identitas sosial. Disamping itu, beberapa pakar sosiolinguistik tertarik dalam mengkaji percakapan dan monolog; bagaimana penutur menentukan gilir bicara, menentukan topik bicara, tindak tutur seperti perintah dan permintaan, dan juga bagian struktur percakapan seperti permulaan, tengah, dan akhir percakapan.

2.1.4 Pragmatik

Analisis percakapan tidak dapat terlepas dari kajian pragmatik. Hal ini dipertegas oleh Levinson yang mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang sangat mendasar tentang fenomena pragmatik, seseorang dapat mengkaji percakapan karena percakapan merupakan inti atau jenis prototype penggunaan bahasa yang paling mendasar. Berbagai aspek pragmatik ditunjukkan dengan jelas di dalam percakapan (Levinson, 1983: 284-285). Dengan demikian kajian tentang organisasi percakapan harus mempertimbangakan aspek pragmatik.


(49)

Begitu pula halnya untuk menginterpretasikan pola-pola mekanisme turn-taking

atau bagaimana para partisipan dalam percakapan berbagi giliran berbicara ( turn-taking) dan pasangan berdekatan dibutuhkan perangkat pragmatik untuk menganalisisnya, terutama yang berhubungan dengan tindak ujar.

Pragmatik merupakan kajian arti atau makna yang timbul dalam pemakaian bahasa oleh pemakai bahasa. Untuk memahami makna pragmatik, penulis mendeskripsikan secara singkat tentang makna pragmatik yang dibuat oleh Yule (1996:3) sebagai berikut :

1. Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara (penulis) dan diinterpretasikan oleh pendengar atau pembaca (Pragmatics is the study of speaker meaning). 2. Pragmatik adalah upaya pengkajian makna atau upaya penafsiran atas

apa yang petutur maksudkan dalam konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkan (Pragmatics of the study of contextual meaning).

Dengan batasan ini, pragmatik mencakup makna yang dimaksud oleh pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, pragmatik mencakup kajian makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa. Arti atau makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa (pembicara atau pendengar) melebihi dari makna yang terucap dalam ujaran atau dalam tulisan. Ini berarti pragmatik mengkaji makna ucapan dan tulisan yang terdapat dalam unit linguistik yang dapat berupa bunyi, kata, frase, klausa, paragraph, atau kalimat.


(50)

Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa berdasarkan sifatnya sebagai alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act). Menurut Leech (1993: 8) makna pragmatik dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan pemakai bahasa atau penutur atau lebih luas lagi dengan situasi-situasi ujar.

Analisis pragmatik mempertimbangkan situasi tutur dan peristiwa tutur. Seperti diuraikan di atas bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Untuk ini Leech (1983:2) mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna berdasarkan situasi tutur. Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan ilmu linguistik, misalnya upacara adat, pertengkaran, percintaan, dan sebagainya. Situasi tutur dalam penelitian ini adalah situasi upacara adat perkawinan Batak Toba.

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur.

Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Misalnya gurauan yang terjadi dalam suatu percakapan (peristiwa tutur) dan terjadi di dalam suatu pesta (situasi tutur). Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah peristiwa tutur marhata dalam situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk.


(51)

Tuturan merupakan salah satu yang terpenting yang digunakan orang membuat kesan pribadi untuk dinilai orang lain, baik melalui apa yang dikatakannya dan cara dia mengatakannya. Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur dan tindak tutur.

Pragmatik dalam kajian marhata dapat didefinisikan dengan kajian makna atau interpretasi makna bahasa tutur yang diucapkan oleh penutur bahasa Batak Toba (juru bicara dan penutur-penutur lain baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan) dalam berinteraksi dengan beberapa situasi tutur upacara adat perkawinan Batak Toba untuk melihat cara-cara yang digunakan oleh penutur untuk mencapai tujuan.

2.1.5 Teori Tindak Tutur

Teori Tindak Tutur dikemukakan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) yang mengatakan bahwa bahasa tidak hanya digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu tetapi untuk melaksanakan serangkaian kegiatan yang ditunjukkan dengan ujaran-ujaran.

Tindak tutur merupakan salah satu fenomena kajian pragmatik. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur. Tindak tutur merupakan produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa.


(52)

Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur juga dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.

Searle (1969:23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur ,yaitu:

1) Tindak lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of saying something). Tindak tutur ini mengaitkan suatu pemberitahuan dengan satu keterangan. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberitahu petutur keadaan sebenarnya. Penutur semata-mata hanya untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.

2) Tindak ilokusi yaitu tindak tutur untuk melakukan sesuatu (the act of doing

something) dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak dimaksudkan untuk memberitahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan di balik tuturan tersebut. Tindak tutur ilokusi mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

3) Tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur (the act of affecting someone). Hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.


(53)

Menurut Ibrahim (1993:256), bagian universal teori tindak tutur berhubungan dengan beberapa topik, yaitu 1) struktur umum tindak tutur, 2) struktur umum urutan tindak tutur, 3) dampak institusional umum pada tindak tutur dan urutan tindak tutur, 4) klasifikasi umum tindak tutur, dan 5) kaidah umum untuk melaksanakan interaksi makna non-literal dari makna literal.

Salah satu diantara keuniversalan yang dibahas dalam penelitian ini adalah klasifikasi umum yang terdiri dari 5 jenis yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Pendekatan yang berbeda untuk membedakan tipe tindak tutur tersebut dapat dilakukan pada struktur dasarnya. Menurut Yule (1996:54) dalam bahasa Inggris, struktur dasar kalimat terdiri atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan dilihat dari fungsi komunikasi, kalimat terdiri atas kalimat pernyataan, pernyataan, dan perintah/permintaan. Contoh: 1) a. You wear a seat belt. (Declarative) b. Do you wear a seat belt? (Interrogative)

c. Wear a seat belt. (Imperative)

Menurut Yule (1996:55), apabila ada hubungan langsung antara struktur dan fungsi maka disebut dengan tindak tutur langsung, dan apabila ada hubungan tidak langsung antara bentuk dan fungsi maka disebut tindak tutur tidak langsung. Deklaratif untuk membuat statement disebut ujaran langsung namun deklaratif untuk membuat permintaan disebut ujaran tidak langsung.

2) a. It‟s cold outside.

b. I hereby tell you about the weather.


(54)

Ujaran 2a adalah bentuk deklaratif. Apabila deklaratif tersebut dibuat menjadi pernyataan (statement) seperti yang diparafrasekan dalam kalimat 2b, maka fungsinya adalah sebagai ujaran langsung. Dan apabila digunakan untuk perintah (command)/permintaan (request) seperti kalimat 2c, maka fungsinya berubah menjadi ujaran tidak langsung.

Tidak ada tindak tutur yang dilaksanakan secara terpisah dan tidak ada tindak tutur yang mengikuti satu sama lain dalam urutan yang arbitrer. Pada umumnya benar bahwa tindak tutur diorganisir dalam pola wacana dengan variabel tertentu, misalnya pertanyaan menghendaki jawaban, usulan menghendaki pertimbangan, dan permintaan maaf menghendaki pengakuan.

Menurut Ibrahim (1993:260), konsep yang paling penting untuk berhubungan dengan urutan tindak tutur adalah giliran (turn), gerakan (move), polatindak tutur, tipe unit dan wacana tutur yang kompleks.

Ketika seorang partisipan berbicara atau membuat kontribusi dalam percakapan, dia dikatakan mengambil giliran. Giliran bisa terdiri dari ujaran minim yang tidak menyusun tindak tutur penuh tetapi bisa juga mengandung serangkaian tindak tutur. Giliran juga bisa tumpang tindih (overlap), tetapi terdapat kecenderungan untuk mengurangi situasi tersebut.

Kemudian konsep gerakan (move) digunakan untuk mengkarakterisasi fungsi tindak tutur untuk meneruskan wacana. Dalam sebuah percakapan, kita dapat membedakan antara memulai percakapan (initiating), bereaksi (reacting), dan juga melanjutkan (continuing). Pertanyaan, khususnya memiliki kecenderungan berfungsi sebagai memulai gerakan atau memulai percakapan.


(1)

Sistemik, namun hal ini tidak dilakukan dalam penelitian ini. Sekaitan dengan keterbataan tersebut maka peneliti merekomendasikan peneliti-peneliti yang lain untuk melakukan penelitian lanjut.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Appel, Rene., Gerad Huber, dan Guus Maijer. 1976. Sosiolingustiek. Utrecht-Antwrpen: Het Spectrum

Berg, Bruce L. 1989. Qualitative Research Methods. Boston: Allyn and Bacon. Brown, G., dan Yule, G. 1983. Discourse analysis. Cambridge: Cambridge

University Press.

Brown, G., dan Yule, G. 1996. Analisis Wacana. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: Gramedia.

Brown, P dan Levinson, S. 1978/1987. Politeness. Some Universals in Language Usage. Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Carbaugh, Donald. 2005. Cultures in Conversation. London. Lawrence Erllllbalum Associates.

Chaika, Elaine. 1982. Language the Social Mirror. Rowley : Newbury House Publisher.

Chaer, A. dan Agustina L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Cook, G. 2003. Pragmatics and Discourse: A Resource Book for Students. New York: Routledge.

Cutting, Joan. 2003. Pragmatics and Discourse. London & New York: Routledge. Djadjasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode

Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.

Duranti, A. 2000. Linguistic Antrophology. Cambridge: University Press.

Eggins, Suzanne dan Slade, Diana. 1997. Analyzing Casual Conversation. London: Cassel.


(3)

Gan, Zhengdong, dkk. 2009. Topic Negotiation in Peer Group Oral Assessment Situations: A Conversation Analytic Approach. Oxford Journals Humanities Applied Linguistics. Volume 30, 315-334.

Ginting, Siti Aisah. 2010. Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo. Disertasi Doktor yang tidak Dipublikasikan. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Gumperz, John. J. 1982. Discourse Strategies. USA: Cambridge University Press.

Heritage, J. 1988. “Current Development in Conversation Analysis” dalam D.

Roger & P. Bull (Eds.), Conversation (21-47). Clevedon, England: Multilingual Matters.

Howe, Mary. 1991. Collaboration on Topic Change in Conversation. Kansas Working Papers in Linguistics, 16, 15.

Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press. Hutchby, I., Wooffitt, R., 1998, Conversation Analysis. London: Polity Press. Hymes, Dell. 1974. Explorations in Ethnography of Speaking. In Bauman, R. and

Sherzer, J.eds.

Hymes, Dell. 1976. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: Universityof Pennsylvania Press.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. Keenan E. O. dan Schieffelin, B. 1976. Topic as a Discourse Notion: A Study of

Topic in the Conversations of Children and Adults in Subject and Topic. New York: Academic Press.

Leech, G.N. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman.

Levinson, Stephen. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press. Miles, M. B. dan Huberman, A.M. 1988. Qualitative Data Analysis: London:

Sage Publication.

Napitupulu, Selviana. 2012. Adjacency Pairs of Marhusip in Batak Toba Pre-Wedding. Singapore International Journal of Language and Literature (SIJLL). Volume 2.58-70.


(4)

Pardede T, Bertha. 1981. Bahasa Tutur Parhataan dalam Upacara Adat Batak Toba. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pardede, Hilman. 2011. The Structure of the Toba Batak Conversations. Unpublished Doctoral Dissertation. Graduate School North Sumatra University.

Pardede, Hilman. 2012. Turn Taking in Conversation Analysis. Singapore International Journal of Language and Literature (SIJLL). Volume 2. 46-57.

Pardede. R.A. Lumongga. 2010. Masisean Di Ulaon Adat Batak Toba. Paltridge, Brian. 2000. Making Sense of Discourse Analysis. Gold Coast.

Pomerantz, Anita M. 1984. “Agreeing and Disagreeing with Assessment: Some Features of Preferred/Dispreferred Turn Shapes” dalam J.M. Atkinson &

J.Heritage (Eds), Structure of Social Action: Studies in Conversation Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Pridham, Fracesca. 2001. The Language of Conversation. New York: Routledge.

Psathas, George. 1994. Conversation Analysis: The Study of Talk-in- Interaction. Newbury Park : Sage Publications.

Rani, A., Arifin, B., dan Martutik. 2004. Analisis Wacana, Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.

Rees, Van. 1992. The Use of Language in Conversation: An Introduction to Research in Conversational Analysis. Amsterdam: SICSAT, Instituut Voor Neerlandistiek (UVA).

Reisman, K. 1974. 'Contrapuntal conversations in an Antiguan village' in Bauman, R. and Sherzer, J. (eds) Explorations in the Ethnography of Speaking Cambridge: Cambridge University Press.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Richards, J dan Schmidt, R. 1983. Language and Communication. Longman. Samsuri. 1986. Analisis Wacana, Diktat Kuliah Pascasarjana. Malang: IKIP


(5)

Sacks, dkk. 1974. A Simplest Systematics for the Organization of Turn-Taking for Conversation. Language, Volume. 50, No. 4, Part I, pp. 696-735: Linguistic Society of America.

Sacks. 1978. A Simplest Systematics for the Organization of Turn-Taking for Conversation. In : J.N Schenkein (ed), Studies in the Organization of Conversational Interaction. New York: Academic Press, pp. 7-55.

Saville, Troike. 1985. “The Place of Silence in an Integrated Theory of Communication”.3-18

Schegloff, E. A. 1977. “On Some Questions and Ambiguities in

Conversation” dalam W. Dressler (Ed), Current Trends in Textlinguistics (pp.81-102). Berlin: De Gruyter.

Schegloff, E. A.2007. Sequence Organization in Interaction : A Primer in Conversation Analyis, Volume 1 Cambridge: Cambridge University Press.

Schiffrin, Deborah. 1989. Conversation Analysis. " Linguistics: The Cambridge Survey: Language: The Socio-Cultural Context, Vol. IV. Ed. F. J. Newmeyer. Cambridge: Cambridge UP.

Schiffrin, Deborah 1991. Conversation Analysis. Annual Review of Applied Linguistics, 11,3-16.

Schiffrin, Deborah . 1994. Approaches of Discourse, Oxford: Blackwell.

Schmitt, Norbert. 2002. An Introduction to Applied Linguistics. London: Arnold Searle, J.R., 1969. Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language.

London: Cambridge University Press.

Sibarani, Robert. 1997. Sintaksis Bahasa Batak Toba. Medan: USU Press

Sibarani, Robert. 2000. Deskripsi Wacana Adat Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Toba. Medan: USU.

Sihombing, T.M. 199. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. C.V. Tulus Jaya Silitonga, dkk. 1975/1976. Bahasa Batak Toba. Laporan Penelitian Jakarta: Pusat


(6)

Syamsudin. 1992. Studi Wacana Teori Analisis Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedatangan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Soial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tannen, Deborah. 2005. Conversational Style: Analysis Talk Among Friends. New Jersey: Alex Publishing Corporation Norwood.

Tracy, Karen. 2002. Everyday Talk. New York: The Guilford Press.

Wardhaugh, Ronald. 1990. An Introduction to Sosiolinguistics. Oxford: Brasil Blackwell.

Yuliastanto, Tataria. 2007. “Analisis Percakapan pada Penggunaan Bahasa Pedagang Keturunan Cina di Toko-toko Sekitar Pasar Kadipolo

Surakarta”. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.