Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

A. Masyarakat Adat pada Umumnya serta Peraturan Hukum yang Mengaturnya

Hukum Adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberikan pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubunga antara yang satu dengan yang lain, baik di kota maupun dan lebih-lebih di desa.12

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka setiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepa

da bangsa yang bersangktan.13

Beberapa pengertian tentang hukum adat yang diberikan oleh para sarjana hukum adalah sebagai berikut :14

a. Prof. Dr. Supomo, S.H

12

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 2006, hal. 7 13 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung 1988, hal. 13

14


(2)

Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum

b. Mr. J.H.P. Bellefroid

Hukum Adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

c. Prof. M.M Djojodigoeno, S.H

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.

Terdapat dua unsur hukum adat, antara lain :

- Unsur Kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat.

- Unsur Psikologis; bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.15

Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang ada dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang, lembaga hukum tentang kepemilikan tanah dan lain-lain, harus mengetahui

15


(3)

struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan system (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu, Soepomo menulis :

“Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira 50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 ; bahwa untuk mengetahui hukum, maka perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari.16

Dari apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Soepomo di atas tadi, kelihatan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri-ciri khas hukum adat itu, adalah persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Ter Haar merumuskan bahwa hakikat dari masyarakat hukum (persekutuan hukum) antara lain :

1. Kesatuan manusia yang teratur 2. Menetap di suatu daerah tertentu 3. Mempunyai penguasa-penguasa

4. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud

Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan

16


(4)

untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.17

Agar pemahaman terhadap Hukum Adat lebih mendalam, maka penulis perlu menguraikan pengertian Hukum Adat menurut para pakar hukum lainnya.18

Menurut Iman Sudiyat, Hukum Adat adalah :

“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam

hubungannya satu sama lain, baik merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat Adat, karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa Adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat Adat itu) yaitu : Lurah,

Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat, dan Hakim.”19

Menurut Bushar Muhammad dijelaskan bahwa :

“Hukum Adat itu adalah terutama hukum yang mengatur tingkah

laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan pelanggaran dan yang ditetapkan dalam putusan-putusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri

dari lurah, wali tanah, kepala adat dan hakim.”20

.

Hukum adat memiliki satu kesatuan dengan hak ulayat dengan maksud thak ulayat dengan maksud tiang penting tempat hukuiang penting

17 Ibid, hal. 21-22

18 Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Bandung : Refika Aditama, 2015, hal. 72

19

Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1982, Hal. 18

20 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar , Jakarta : Pranadya Paramita, 1976, Hal. 27


(5)

tempat hukum adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adatm adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adat bertopang, dasar-dasar bertopang, dasar-dasar tempat hukum adat berpijak pada tiang-tiang hukum adat yang ditegakkan oleh Van Vollenhoven :

1. Persekutuan Hukum 2. Hak Ulayat

3. Daerah Hukum Adat

4. Perjanjian adalah perbuatan konkret

5. Hukum Adat tidak mengenal kontruksi juridis yang abstrak

6. Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan panca indera sebagai dasar bagi membuat kategori hukum dan sebagai ukuran membeda-bedakan

7. Sifat susunan keluarga

Van Vollenhoven, membagi wilayah berlakunya Hukum Adat atas 19 lingkungan hukum (rechtskring). Lingkungan hukum adalah suatu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam, tiap-tiap lingkungan Hukum Adat dapat dibagi-bagi lagi atas kukuban-kukuban hukum (rechtsgouwen).21

Van Vollenhoven membagi seluruh daerah di Indonesia menjadi beberapa lingkaran/lingkungan, yaitu :

1. Aceh

2. Tanah Gayo Alas, Batak, dan Nias

21 Soerjono Soekanto & Soleman B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 1983, Hal.. 20-21


(6)

3. Minangkabau dan Mentawai 4. Sumatera Selatan

5. Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau) 6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan 8. Minahasa 9. Gorontalo 10.Toraja

11.Sulawesi Selatan 12.Kepulauan Ternate 13.Maluku dan Ambon 14.Irian

15.Kepulauan Timor 16.Bali dan Lombok

17.Jawa Tengah dan Jawa Timur

18.Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) 19.Jawa Barat

Mahadi menulis : “bahwa masyarakat hukum adat itu in heren dengan

adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu”. Dalam hubungannya dengan pembangunan


(7)

kehutanan seperti disebutkan dalam hukum kehutanan, hutan dalam statusnya ada hutan Negara dan hutan hak.22

Hutan Negara dapat berupa hutan adat yang mana harus ditetapkan statusnya sebagai tanah adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih berada dikawasan hutan tersebut, sebagai dasar pengakuan tersebut. Sejalan dengan perkembangan hukum adat yang bersangkutan tidak berlaku lagi maka pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah yang mengelolanya (Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999)23.

Hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat termasuk hutan Negara, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan tersebut dalam satu ekosistem yang dalam sistem kehutanan harus tidak terpisah dari pengertian hutan itu sendiri. Di dalam isi hak ulayat tidak ulayat tidak membedakan hutan dan bukan hutan, sebab yang menjadi hak ulayat itu sendiri meliputi :

a. Tanah (daratan)

b. Air (perairan) seperti misalnya sungai, danau, pantai beserta perairannya

c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar d. Binatang yang hidup liar di hutan

Corak Hukum Adat atau sifat masyarakat adat pada sembilan belas (19) lingkungan hukum tersebut sama, yaitu :

22

Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung : Alumni, 1991, hal. 58

23 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria , Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 114


(8)

a. Magis religious, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat percaya dengan kehidupan/hal-hal yang bersifat gaib dan menilai kehidupan religi sebagai suatu yang hakiki dalam kehidupan manusia.

b. Komunal, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat lebih memprioritaskan kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat akan tetapi tidak mengabaikan kebutuhan individual.

c. Kongkrit, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu menggunakan simbol-simbol nyata sebagai wujud atau bukti dari tindakan atau perbuatan dan kehendak seseorang.

d. Kontan, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu merespon dengan segera terhadap setiap prestasi yang diterima dengan imbalan berupa kontra prestasi.

Hukum Adat menurut Iman Sudiyat mempunyai tiga sifat, yaitu : a. Sifat statis, artinya Hukum Adat selalu memelihara dan

mempertahankan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh leluhurnya. b. Sifat dinamis artinya Hukum Adat selalu mengikuti perubahan

dan perkembangan zaman.

c. Sifat elastic/plastis, artinya Hukum Adat dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan dalam masyarakat, termasuk dengan kasus-kasus khusus dan menyimpang.


(9)

Dasar Hukum berlakunya Hukum Adat dan Perkembangannya sejak 1945 sampai sekarang antara lain :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 segala peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda, untuk sementara waktu dipertahankan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.24

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :

“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

2. UUDS Tahun 1945

Di dalam Pasal 104 ayat 1, ditentukan :

“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan undang-undang dan

aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.”

Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional berlakunya hukum adat itu sampai sekarang belum diberi peraturan penyelenggara atau pelaksanaannya.25

3. I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama

24

Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Bandung : Penerbit Alumni, 1991, hal. 78

25 Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 2000, hal. 23


(10)

a. I.S. (Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undang-undang yang selengkapnya berbunyi : “Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie”.

b. R.R. (Regerings-Reglement) adalah singkatan dari

Undang-Undang yang selengkapnya berbunyi : “Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlands-Indie.”

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang berasal dari jaman colonial dan yang pada masa sekarang (sampai UU No. 19 Tahun 1964) masih tetap berlaku adalah : I.S. Pasal 131 ayat 2 sub b :

Menurut ketentuan tersebut maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi; yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi mereka :

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama dan apabila kepentingan umum memerlukannya


(11)

d. Hukum Baru, yaitu : Hukum yang merupakan synthese antara hukum adat dan hukum Eropa26

4. I.S. Pasal 134

Disamping Pasal 131, maka I.S. memuat lagi suatu ketentuan perundang-undangan mengenai berlakunya Hukum Adat, yaitu Pasal 134 ayat 2.

Menurut ketentuan itu maka : “Dalam hal timbul perkara hukum

perdata antara orang-orang Muslim, dan Hukum Adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan

oleh Hakim Agama, kecuali ordonansi telah menetapkan lain.”

5. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14 tahun 1970

Setelah Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19 Tahun 1964) diundangkan, maka ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraannya menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dimaksud diatas beserta penjelasannya, sehingga hukum yang dipakai adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yaitu hukum yang sifat-sifatnya berakar pada kepribadian Bangsa.

Dalam Pasal 3 tersebut diatas tidak disebut Hukum Adat. Menurut Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan juga sesuai

26


(12)

dengan penjelasan dari pasal 10-nya, dinyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.27

Undang-Undang No.14 Tahun 1970 adalah Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal yang penting yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, antara lain :

a. Pasal 23 (1) yang berbunyi :

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

b. Pasal 27 (1) yang berbunyi :

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.”

Selain pasal-pasal tersebut diatas, maka penjelasan umum terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 bagian 7 memberi petunjuk

kepada kita, bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Tak Tertulis”

dalam Undang-Undang ini adalah Hukum Adat.

Bagian 7 dari penjelasan umum Undang-Undang ini berbunyi sebagai berikut :

“Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud

untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Perdilan Adat yang dilakukan oleh bukan Peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan Negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri di dalam

27


(13)

masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan secara wajar.”

Hukum tidak tertulis yang diterapkan/diselenggarakan oleh Pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat adalah Hukum Adat. Dengan demikian maka dapat disimpulkan, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undangan berlakunya Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis adalah legkapnya : Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 UUD 1945 dan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970.28

Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pulalah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hukum Adat juga telah diatur pada beberapa Undang-Undang Republik Indonesia, antara lain :

1. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

- Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyarakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyarakat Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai Negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya. - Pasal 3 UUPA mengatur bahwa pelaksanaan hak ulayat

masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak

28


(14)

boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan yang lebih tinggi.

- Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, udara, dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, Negara, sosisalisme, dan undang-undang.29

2. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapat manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh Undang-Undang ini. 3. Undang No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

- Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

29


(15)

- Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali dan mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 4. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, mengangkat Lembaga Hukum Adat dengan cara dimasukkan ke dalam Undang-Undang tersebut, yaitu asas pemisahan h dengan cara dimasukkan ke dalam Undang-Undang tersebut, yaitu asas pemisahan horizontal.30

5. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1977

PP No. 4 Tahun 1977 merupakan penyempurnaan PP No. 10 Tahun1961. Peraturan Pemerintah ini mengangkat dan memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu Lembaga Rechtsverwerking (perolehan hak karena menduduki tanah dan menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu itikad baik selama 20 tahun berturut-turut tanpa ada gangguan/tuntutan dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat).31 Melihat status tanah dalam perspektif hukum adat sebenarnya mengkaji keberadaan hak ulayat diantaranya yang perlu diperhatikan disini ialah soal siapa pemegang hak ulayat. Pemegang persekutuan atas tanah adalah Raja yang bertindak sebagai pengurus, pengatur dan pengawas agar pemakaian tanah dalam wilayahnya tidak bertentangan, merugikan hak-hak

30 Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

31 http://makalahkomplit.blogspot.co.id/2012/08/dasar-berlakunya-hukum-adat.html diakses pada tanggal 19 Desember 2015, pukul 13.00 WIB


(16)

persekutuan, hak-hak perseorangan atas tanah, serta yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan hutan.32

Disamping itu harus diingat bahwa konsepsi umum hutan tanah ulayat yang dikenal di Negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang menjelaskan bahwa tanah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata karena kedermawanan sang Raja, sehingga pemanfaatan dan penggunaannya haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat, seperti :

1. Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan

2. Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik pribadi/perorangan

3. Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh memanfaatkan tanah hutan tersebut dengan beberapa ketentuan atau kewajiban-kewajibannya yang perlu ditaati, seperti memberikan sebagian hasilnya kepada Kepala Desa menjadi penghasilan desa.

B. Pandangan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif

Asal mula sengketa biasanya bermula pada suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya ini diawali oleh perasaan yang tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami perorangan maupun kelompok hubungan konfliktual ini berkelanjutan, perasaan tidak puas muncul ke permukaan.

32


(17)

Jika hal ini berkelanjutan pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka selesailah hubungan konfliktual tersebut. Sebaliknya jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa.

Proses sengketa mulai karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersangkutan. Secara potensial, dua pihak-pihak yang mempunyai pendirian/pendapat yang berbeda beranjak ke situasi sengketa. Secara umum orang tidak akan memilih untuk mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Ini disebabkan oleh kemungkinan konsekuensi yang tidak menyenangkan, yaitu dimana pribadi atau sebagai wakil kelompoknya harus menghadapi situasi yang rumit yang mengundang ketidaktentuan sehingga dapat mengubah kedudukan yang stabil atau aman.

Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal lama adalah melalui proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan


(18)

zaman, proses terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman, proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan pun ikut berkembang.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak terjamin (confidentiality), proses beracar lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan procedural dan administrative sebagaimana beracara di pengadilan umum dan win-win solution. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dinamakan Alternatif Penyelesaian Sengketa.33

Sejarah munculnya Alternatif Penyelesaian Sengketa dimulai pada tahun 1976 ketika Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Werren Burger mempelopori ide ini pada suatu konferensi di Saint Paul, Minnesota Amerika Serikat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademisi mulai merasakan adanya keprihatinan yang serius mengenai efek-efek negatif semakin meningkat dari litigasi di pengadilan. Akhirnya American Bar Assosiation (ABA) merealisasikan rencana itu dan selanjutnya menambahkan komite Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) pada sekolah hukum di Amerika Serikat dan juga pada sekolah ekonomi.34

33

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 9

34 Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa , Jakarta : Telaga Ilmu Indonesia, 2009, hal. 2-3.


(19)

Sebenarnya jiwa dari alternative penyelesaian sengketa itu sudah ada dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hal itu sebagaimana terlihat nyata dalam budaya musyawarah untuk mencapai mufakat yang masih sangat terihat di masyarakat pedesaan di Indonesia, dimana ketika ada sengketa di antara mereka, cenderung masyarakat tidak membawa permasalahan tersebut ke pengadilan, namun diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan antara pihak yang bersengketa, maka mereka akan membawa sengketa mereka tersebut di hadapan Kepala Desa.

Dengan semangat “musyawarah untuk mencapai mufakat” yang sudah mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia, Alternatif Penyelesaian Sengketa mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dan digunakan oleh para praktisi hukum di Indonesia. Pentingnya peran Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa semakin besar dengan diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.35

Nilai kooperatif dan kompromi dalam penyelesaian sengketa muncul di mana saja di Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relatif memiliki nilai ligious, Indonesia masih mengandalkan forum runggun adat, yang intinya penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator. Konsep pembuatan keputusan dalam pertemuan desa pada suku jawa tidak didasarkan atas suara

35


(20)

mayoritas, tetapi dibuat oleh keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan.36

Selain daripada budaya Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memang sudah melekat dalam masyarakat Indonesia, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) juga mempunyai potensi yang beesarsar untuk berkembang di Indonesia karena alasan-alasan sebagai berikut37 :

1. Faktor ekonomis ; Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki potensi sebagai sarana penyelesaian sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.

2. Faktor ruang lingkup yang dibahas ; Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensiif, dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit (polycentris) yang disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan-persoalan ilmiah (scientifically complicated).

3. Faktor pembinaan hubungan baik ; Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik antar manusia yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

36 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004, hal. 38

37


(21)

Pemanfaatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), baik di luar maupun di dalam negeri telah menimbulkan suatu kesan bahwa ada satu kelompok atau aliran pemikiran yang mengarah pada perkembangan proses Alternatif Penyelesaian sengketa dan dipandang sebagai cakupan berbagai usaha yang ditarik dari berbagai sumber yang berbeda dan yang masing-masing memiliki filsafah, budaya, dan cara penerapan khusus.38 Seiring dengan berkembangnya zaman, para pelaku bisnis berupaya untuk mengembangkan mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai solusi dari litigasi di pengadilan. Kini, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 30 tahun 1999, pelaku bisnis menyadari bahwa putusan menang dan kalah melalui jalurn litigasi belum tentu menjadi solusi yang terbaik, dan putusan yang demikian membuat tujuan-tujuan umum dari business yang mereka lakukan tersebut tidak tercapai. Solusi litigasi melalui pengadilandemikian membuat tujuan-tujuan umum dari bisnis yang mereka lakukan tersebut tidak tercapai.

Solusi litigasi melalui pengadilan negeri yang memenangkan negeri yang memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya, ini dapat dikatakan sebagai suatu metode penyelesaian sen salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya, ini dapat dikatakan sebagai suatu metode penyelesaian sengketa yang dapat membawa efek negatif atas perkembangan business seorang pelaku bisnis.

Hal ini karena dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa dimungkinkan untuk dilaksanakannya suatu penyelesaian sengketa secara

38 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa suatu pengantar, Jakarta ; Fikahati Aneska, 2002, hal. 18


(22)

informal, sukarela, dengan kerjasama langsung antara kedua belah pihak yang bersengketa, dan dapat tercapainya kebutuhan maupun kepentingan dari pihak yang bersengketa (win-win solution). Alhasil, banyak dari para pelaku bisnis tersebut ingin agar sengketa-sengketa keperdataan yang timbul di antara mereka diselesaikan dengan hasil win-win solution.

Di sinilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) timbul untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan para pelaku bisnis tersebut. Namun dalam perkembangannya, Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak hanya digunakan oleh pelaku bisnis, melainkan juga telah digunakan secara umum dalam upaya menjawab perselisihan-perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat, seperti konflik horizontal antara kelompok masyarakat.39

Untuk adanya proses penyelesaian sengketa yang efektif, maka kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk diperhatikan dan didengarkan. Setelah itu baru proses dialog dan pencarian titik temu dapat dimulai, dimana kondisi ini merupakan kondisi dimana proses penyelesaian sengketa dapat berjalan. Tanpa kesadaran pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak akan berjalan dengan baik.

Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu :

1) Kepentingan (interest), 2) Hak-Hak (rights),

3) Status Kekuasaan (power)

39


(23)

Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya dipenuhi serta ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut diatas. Bila menyimak sejarah perkembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di Amerika Serikat, perkembangannya dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut :

1. Untuk mengurangi kemacetan di Pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan. Proses seperti ini memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2. Untuk meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.

3. Untuk memperlancar serta memperluas akses ke Pengadilan

4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima dan dapat memuaskan semua pihak.

Proses penyelesaian sengketa dimana para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar pada sistem pengaturan sendiri (self governing system) yang dapat ditemukan di Negara Indonesia.40

40 Sayud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010, hal. 27-29


(24)

Masyarakat Adat memiliki pandangan yang berbeda terhadap Penyelesaian Sengketa Alternatif. Masyarakat Adat menilai bahwa sebagian besar dari penduduk Indonesia hidup di pedesaan, mereka merasa dirinya sebagai bagian dari alam sekitarnya, yaitu alam semesta. Dengan kata lain, untuk mencapai kebahagiaan hidup, penduduk senantiasa harus menyesuaikan perilakunya dengan tata sebagaimana ditentukan oleh alam semesta. Sehubungan dengan itu, di dalam perilaku mereka harus memperhitungkan ketentuan-ketentuan ghaib yang tidak tampak.

Jika timbul sengketa antara penduduk pada masyarakat pedesaan menyangkut masalah-masalah tersebut diatas, jarang sekali masalah dibawa ke pengadilan Negara untuk diselesaikan. Mereka yang bersengketa dengan senang hati dan lebih suka membawa ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaiakan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasa dilakukan di hadapan Kepala Desa atau Hakim Adat.

Hal ini perlu disadari bahwa secara historis kultural, masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan consensus. Pengembangan penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan tradisional dan penyelesaian sengketa secara adat. Alasan Kultural bagi eksistensi dan pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia, tampaknya lebih kuat daripada alasan ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.


(25)

Di Indonesia, proses penyelesaian melalui alternatif bukanlah sesuatu yang baru dalam nilai-nilai budaya kita yang berjiwa kooperatif. Nilai kooperatif dan kompromi dalam penyelesaian sengketa muncul dimana saja di Indonesia. Di masyarakat Batak yang relative memiliki nilai litigious, masih mengandalkan forum runggun adat yang intinya penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau dikenal dengan Lembaga Hakim Perdamaian, yang secara umum peranannya sebagai mediator dan konsiliator. Di Suku Jawa, konsep pembuatan keputusan dalam pertemuan desa tidak didasarkan atas suara mayoritas tetapi dibuat oleh keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan. Mayoritas dan minoritas dapat membatasi pendapat mereka sehingga dapat saling sejalan.

Indonesia mempunyai beragam metode pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun mengambil dari metode luar. Metode ini dapat dibagi ke dalam 2 prosedur, yaitu sebagai berikut :

a. Prosedur Administratif atau Prosedur Judicial, dimana sanksi dari pihak ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang mengikat. Prosedur ini berakar pada proses pengadilan pada Zaman Kerajaan, Kesultanan dan Adat setempat atau Pemuka Adat Desa, serta Prosedur Administratif Pengadilan Zaman Kolonial Belanda. b. Proses Konsensus Sukarela, dimana para pihak mengembangkan

penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar dari sistem pengaturan sendiri, yang dapat ditemukan di Negara Kepulauan


(26)

kita. Ditemukan pula beberapa persamaan pada masyarakat Indonesia, antara lain seperti berikut ini :

1) Banyak Sengketa yang diselesaikan oleh prosedur judicial, dimana ada otoritas dari pengambil keputusan, seperti pemuka adat, memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang bersengketa dan juga membantu mereka untuk bernegosiasi dengan memakai standar dan criteria adat atau kerangka penyelesaian menurut saran pemuka adat.

2) Banyak suku yang telah mempunyai atau masih mempertahankan prosedur consensually-based untuk menyelesaiakan sengketa. Bentuk consensually-base kurang lebih diartikan ke dalam musyawarah untuk mencapai mufakat (consensus).41

Beberapa alasan pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia, selain alasan di atas dapat dilihat sebagai suatu peluang, seperti berikut ini:

1) Faktor Ekonomis

Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki potensi sebagai sarana penyelesaian yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya dan waktu.

2) Faktor Ruang Lingkup yang dibahas

Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki kemampuan untuk membahas ruang lingkup atau agenda permasalahan secara lebih luas,

41


(27)

komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dikembangkan serta ditentukan oleh para pihak, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa. Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit, disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan-persoalan ilmiah.

3) Faktor pembinaan hubungan baik

Penyelesaian Sengketa Aternatif yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangatcocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik antar manusia, yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

Penyelesaian Sengketa Alternatif mempunyai daya tarik yang khusus di Indonesia karena keserasian dengan sistem sosial-budaya tradisional yang berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah ini merupakan keuntungan dalam memilih Penyelelesaian Sengketa Alternatif :

1) Sifat kesukarelaan dalam proses

Para pihak percaya bahwa Penyelesaian engketa Alternatif memberikan jalan keluar yang potensial untuk menyelesaiakan masalah dengan lebih baik daripada melakukannya dengan prosedur litigasi dan prosedur lainnya, yang melibatkan para pembuat keputusan dari pihak ketiga.


(28)

2) Prosedur yang cepat

Karena prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif bersifat kurang formal, maka pihak-pihak terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat-syarat penggunaannya. Hal ini mencegah penundaan dan mempercepat proses penyelesaiannya.

3) Keputusan non-judicial

Wewenang untuk membuat keputusan dipertahankan oleh pihak-pihak yang terlibat daripada didelegasikan kepada pembuat keputusan dari pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak terlibat mempunyai lebih banyak control dan dapat meramalkan hasil-hasil sengketa. 4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi

Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif menempatkan keputusan di tangan orang yang mempunyai posisi baik untuk menafsirkan tujuan-tujuan jangka panjang dan jangka pendek dari organisasi yang terlibat, dan dampak-dampak positif dan negatif dari setiap pilihan penyelesaian masalah tertentu. Pembuatan keputusan oleh pihak ketiga seringkali meminta bantuan seorang hakim, juri, arbiter untuk membuat keputusan yang mengikat mengenai suatu isu.

5) Prosedur Rahasia

Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak sama besar. Pihak-pihak menjajaki pilihan-pilihan sengketa yang potensial dan tetap melindungi hak-hak mereka untuk mempresentasikan data untuk menyerang balik mereka.


(29)

6) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif bisa juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi parameter-parameter isu yang sedang didiskusikan dan cakupan dari penyelesaian masalah. Memungkinkan pengembangan cara penyelesaian yang lebih komprehensif untuk membahas penyebab persengketaan. Prosedur ini menghindarkan ganjalan dari kendala prosedur judicial yang sangat terbatas pada pembuatan keputusan pengadilan yang didasarkan pada titik sempit hukum, seperti misalnya apakah prosedur yang tepat sudah diikuti atau belum.

7) Hemat Waktu

Dengan kelambatan yang cukup berarti dalam menunggu kepastian tanggal persidangan, prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif menawarkan kesempatan yang lebih untuk menyelesaiakan sengketa tanpa harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan litigasi.

8) Hemat Biaya

Biaya ditentukan oleh kegunaan dan besarnya waktu yang dipakai, dan pihak ketiga yang netral rata-rata memasang tarif yang lebih rendah untuk mengganti waktu mereka habiskan daripada membayar para pengacara hukum.


(30)

9) Pemeliharaan hubungan

Cara penyelesaian menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak terlibat. Lebih jauh mampu untuk mempertahankan hubungan-hubungan kerja yang sekarang sedang berjalan maupun untuk waktu mendatang daripada menang/kalah seperti misalnya litigasi.

10)Tinggi kemungkinan kesepakatan dilaksanakan

Para pihak yang telah mencapai kesepakatan pada umumnya cenderung untuk mengikuti dan memenuhi syarat-syarat kesepakatan, dan ketika sebuah ketika sebuah kesepakatan kesepakatan telah ditentukan oleh pengambil keputusan pihak ketiga. Faktoraktor ini membantu para peserta dalam prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif untuk menghindari litigasi yang tidak efektif.

11)Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil

Pihak-pihak yang menegosiasikan penyelesaian sengketa sendiri mempunyai lebih banyak kontrol terhadap hasil-hasil atau akibat sengketa. Keuntungan dan kerugian lebih mudah diperkirakan dalam cara penyelesaian yang dinegosiasikan atau melalui mediasi daripada jika kasus tersebut diselesaikan atau melalui arbitrase atau diselesaikan di depan seorang hakim.

12)Keputusan bertahan sepanjang waktu

Penyelesaian sengketa dengan prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif cenderung untuk bertahan sepanjang waktu, dan jika


(31)

dikemudian hari persengketaan itu menimbulkan masalah, maka pihak-pihak terlibat kelihatannya mau memanfaatkan bentuk pemecahan masalah yang kooperatif untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan daripada menerapkan pendekatan adversial atau pertentangan.

C. Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif

Merujuk pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Penyelesaian Sengketa Alternatif terdiri dari penyelesaian di luar pengadilan dengan menggunakan metode, antara lain42 :

a. Konsultasi ; suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya. b. Negosiasi ; suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa

melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.43 c. Mediasi ; cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh meditor.

42

Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 7

43 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitra se), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 44


(32)

d. Konsiliasi ; Penengah akan bertindak sebagai konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

e. Penilaian Ahli ; pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.

Metode Penyelesaian Sengketa Alternatif yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah metode Mediasi dan Negosiasi. Dibawah ini penulis akan memberikan penekanan pada metode mediasi dan negosiasi ini.

1. Mediasi

Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang

bertindak sebagai “kenderaan” untuk berkomunikasi antar para pihak,

sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggungjawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Defenisi tersebut tidak jauh dari defenisi yang dinyatakan dalam Black’s Law Dictionary yang mendefinisikan mediasi sebagai : A method of non-binding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties rech a mutually agreeable solution.

Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No.1 Tahun 2008) mendefenisikan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses


(33)

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.44

Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus dilaksanakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan seorang mediator sebagai penengah memegang peranan penting dalam kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah, merumuskan kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan.45

Berbeda dengan arbitrase maupun litigasi yang memiliki produk hukum putusan yang mengikat dan berkekuatan eksekutorial, produk hukum dari suatu proses mediasi adalah kesepakatan para pihak yang berbentuk perjanjian. Perjanjian yang menjadi produk dari mediasi tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan. Hal ini terkadang menyebabkan susahnya dilakukan penegakan atas isi dari apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses mediasi. Permasalahan

44 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

45


(34)

yang timbul adalah sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak? Bagaimana apabila sudah tercapai kesepakatan namun ternyata salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) atas perjanjian perdamaian mediasi, apakah akibat hukumnya?

Dalam hal tercapai kesepakatan, maka merujuk pada Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan

i’tikad baik (te geode trouw) dan wajib didaftarkan ke pengadilan negeri

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah didaftarkannya kesepakatan ke pengadilan negeri. Dengan didaftarkannya suatu kesepakatan tertulis mediasi ke pengadilan negeri, maka kesepakatan tersebut akan menjadi suatu kesepakatan yang memiliki kekuatan eksekutorial. Pendaftaran yang dimaksud di sini adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi (kesepakatan perdamaian) tersebut di pengadilan negeri yang berwenang. Dengan pendaftaran seperti demikian, akan tercipta suatu akta perdamaian yang memiliki kekuatan eksekutorial.46

2. Negosiasi

Kata negosiasi berasal dari kata negotiation, yang berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut

46


(35)

negosiator (negotiator). Negosiasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang paling umum. Bernegosiasi sudah menjadi bagian dari aktivitas kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, tawar-menawar, harga, gaji, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa negosiasi secara umumnya adalah suatu proses tarik ulur dan adu argumentasi di antara kedua belah pihak yang berbeda kepentingan atas persoalan yang sama. Secara umum, negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.47 Di dalam proses negosiasi, para pihak yang bersengketa akan berhadapan secara langsung dan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi.

Secara sederhana, defenisi dari negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung. Dengan demikian, negosiasi merupakan suatu pilihan upaya Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dilaksanakan secara mandiri melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tuujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas persengketaan perdata yang sedang berlangsung.

47


(36)

Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang di desain` untuk mencapai suatu kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama atau berbeda. Berbeda dengan mediasi, komunikasi yang dilaksanakan dalam proses negosiasi tersebut dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Kualitas dari sebuah negosiasi bergantung pada negosiator yang melakukannya. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan negosiator adalah pihak itu sendiri ataupun penerima kuasa yang mewakili pihak yang bernegosiasi. Penerima kuasa yang dimaksud disini misalnya advokat.

Hasil akhir proses negosiasi adalah dituangkannya hasil kesepakatan tersebut ke dalam suatu perjanjian dalam bentuk tertulis untuk dilaksanakan oleh para pihak. Menunda pelaksanaan hasil kesepakatan bisa mengakibatkan perubahan persepsi para pihak yang terlibat, yang dapat menghancurkan kesepakatan yang telah dicapai dalam negosiasi. Namun demikian, dalam hal tercapai kesepakatan, maka sama seperti mediasi, merujuk pada Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak

untuk dilaksakan dengan i’tikad baik (te geode trouw) dan harus didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah didaftarkannya kesepakatan ke pengadilan negeri.


(37)

Negosiasi biasanya dilakukan dalam perkara yang tidak terlalu rumit.

Suatu hal yang penting dalam bernegosiasi adalah suatu i’ tikad baik dari

para pihak untuk secara bersama-sama duduk dan menyelesaikan masalah. Dalam hal kepercayaan maupun keinginan untuk mendapatkan suatu kesepakatan di antara para pihak telah luntur, maka negosiasi akan menjadi suatu upaya yang sia-sia. Namun demikian, jika para pihak dapat duduk secara bersama-sama dengan i’tikad baik dan niat untuk mencari suatu kesepakatan, maka negosiasi akan menjadi suatu metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang sangat tepat, sederhana, dan menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).48

48


(1)

d. Konsiliasi ; Penengah akan bertindak sebagai konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

e. Penilaian Ahli ; pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.

Metode Penyelesaian Sengketa Alternatif yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah metode Mediasi dan Negosiasi. Dibawah ini penulis akan memberikan penekanan pada metode mediasi dan negosiasi ini.

1. Mediasi

Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang

bertindak sebagai “kenderaan” untuk berkomunikasi antar para pihak,

sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggungjawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Defenisi tersebut tidak jauh dari defenisi yang dinyatakan dalam Black’s Law

Dictionary yang mendefinisikan mediasi sebagai : A method of non-binding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties rech a mutually agreeable solution.

Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No.1 Tahun 2008) mendefenisikan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses


(2)

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.44

Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus dilaksanakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan seorang mediator sebagai penengah memegang peranan penting dalam kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah, merumuskan kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan.45

Berbeda dengan arbitrase maupun litigasi yang memiliki produk hukum putusan yang mengikat dan berkekuatan eksekutorial, produk hukum dari suatu proses mediasi adalah kesepakatan para pihak yang berbentuk perjanjian. Perjanjian yang menjadi produk dari mediasi tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan. Hal ini terkadang menyebabkan susahnya dilakukan penegakan atas isi dari apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses mediasi. Permasalahan

44 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

45


(3)

yang timbul adalah sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak? Bagaimana apabila sudah tercapai kesepakatan namun ternyata salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) atas perjanjian perdamaian mediasi, apakah akibat hukumnya?

Dalam hal tercapai kesepakatan, maka merujuk pada Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan

i’tikad baik (te geode trouw) dan wajib didaftarkan ke pengadilan negeri

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah didaftarkannya kesepakatan ke pengadilan negeri. Dengan didaftarkannya suatu kesepakatan tertulis mediasi ke pengadilan negeri, maka kesepakatan tersebut akan menjadi suatu kesepakatan yang memiliki kekuatan eksekutorial. Pendaftaran yang dimaksud di sini adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi (kesepakatan perdamaian) tersebut di pengadilan negeri yang berwenang. Dengan pendaftaran seperti demikian, akan tercipta suatu akta perdamaian yang memiliki kekuatan eksekutorial.46

2. Negosiasi

Kata negosiasi berasal dari kata negotiation, yang berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut

46


(4)

negosiator (negotiator). Negosiasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang paling umum. Bernegosiasi sudah menjadi bagian dari aktivitas kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, tawar-menawar, harga, gaji, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa negosiasi secara umumnya adalah suatu proses tarik ulur dan adu argumentasi di antara kedua belah pihak yang berbeda kepentingan atas persoalan yang sama. Secara umum, negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.47 Di dalam proses negosiasi, para pihak yang bersengketa akan berhadapan secara langsung dan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi.

Secara sederhana, defenisi dari negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung. Dengan demikian, negosiasi merupakan suatu pilihan upaya Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dilaksanakan secara mandiri melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tuujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas persengketaan perdata yang sedang berlangsung.

47


(5)

Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang di desain` untuk mencapai suatu kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama atau berbeda. Berbeda dengan mediasi, komunikasi yang dilaksanakan dalam proses negosiasi tersebut dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Kualitas dari sebuah negosiasi bergantung pada negosiator yang melakukannya. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan negosiator adalah pihak itu sendiri ataupun penerima kuasa yang mewakili pihak yang bernegosiasi. Penerima kuasa yang dimaksud disini misalnya advokat.

Hasil akhir proses negosiasi adalah dituangkannya hasil kesepakatan tersebut ke dalam suatu perjanjian dalam bentuk tertulis untuk dilaksanakan oleh para pihak. Menunda pelaksanaan hasil kesepakatan bisa mengakibatkan perubahan persepsi para pihak yang terlibat, yang dapat menghancurkan kesepakatan yang telah dicapai dalam negosiasi. Namun demikian, dalam hal tercapai kesepakatan, maka sama seperti mediasi, merujuk pada Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak

untuk dilaksakan dengan i’tikad baik (te geode trouw) dan harus didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah didaftarkannya kesepakatan ke pengadilan negeri.


(6)

Negosiasi biasanya dilakukan dalam perkara yang tidak terlalu rumit.

Suatu hal yang penting dalam bernegosiasi adalah suatu i’ tikad baik dari

para pihak untuk secara bersama-sama duduk dan menyelesaikan masalah. Dalam hal kepercayaan maupun keinginan untuk mendapatkan suatu kesepakatan di antara para pihak telah luntur, maka negosiasi akan menjadi suatu upaya yang sia-sia. Namun demikian, jika para pihak dapat duduk secara bersama-sama dengan i’tikad baik dan niat untuk mencari suatu kesepakatan, maka negosiasi akan menjadi suatu metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang sangat tepat, sederhana, dan menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).48

48