Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku-Buku

Bambang Daru Nugroho, 2015, Hukum Adat Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Bandung : RefikaAditama.

Bushar Muhammad, 2006, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pranadya Paramita.

Fauzi Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Jakarta : Dewaruci Press.

Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika.

Hasim Purba, dkk, 2006, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan, Medan : Cahaya Ilmu.

Iman Sudiyat, 1982, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty.

Iman Sudiyat, 2000, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty.

Joni Emirzon, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi,Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Mahadi, 1991, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung : Alumni.

Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan, Jakarta, Kompas.

Muhammad Yamin, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press.

Muhammad Yamin dan Rahim Lubis, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press.

Philipus M. Hadjon dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.


(2)

Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa suatu pengantar, Jakarta ; Fikahati Aneska.

Sandra Moniaga, 2005, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta : HuMa.

Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia.

Sayud Margono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bogor : Ghalia Indonesia.

Soerjono Soekanto & Soleman B.Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali Press.

Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Telaga Ilmu Indonesia.

Surojo Wignjodipuro, 1988, engantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung.

Syafruddin, Kalo, 2004, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jakarta : Pustaka Bangsa Press.

S.Chandra, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah, Medan :Pustaka Bangsa Press.

Tampil Ashari Siregar, 2007, empertahankan Hak Atas Tanah, Medan, Multi Grafika.

B. Perundang – Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun


(3)

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI,Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, dan Kepala BPN RI Nomor 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan . Keputusan Menteri Koperasi,Usaha Kecil, dan Menengah RI No. 07/BH/KDK.2.9/IX/1998 tentang akte pendirian KPKS Bukit Harapan

C.Perjanjian-Perjanjian :

1. Akta Legalisasi No. 65/L/1998 oleh Notaris Setiawati,SH tentang Perjanjian Kerjasama antara Masyarakat Adat Luhat Ujung Batu dengan PT. TORGANDA.

2. Akta Legalisasi No. 186/L/1998 oleh Notaris Setiawati,SH tentang Perjanjian Kerjasama Pengolahan Lahan antara KPKS Bukit Harapan dengan PT.TORGANDA.

D.Putusan-Putusan :

1. Putusan MA No. 2642 K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2007 atas nama terpidana D.L Sitorus.

2. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan No.13/PDT.PLW/2007/PN.PSP atas gugatan terhadap Jaksa Agung RI. 3. Putusan MA RI No. 134/K/TUN/2007 tentang Perkara Kasasi Tata

Usaha Negara antara Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit melawan Menteri Kehutanan RI.

4. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI Nomor 06/PK/TUN/2008


(4)

E. Internet

http://makalahkomplit.blogspot.co.id/2012/08/dasar-berlakunya-hukum-adat.html diakses pada tanggal 19 Desember 2015, pukul 13.00 Wib.

F. Surat, makalah, dan artikel

1. Surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut III/2002 tentang Pemberian Ijin (prinsip) Pengelolaan Lahan Register 40.

2. Surat Menteri Kehutanan Nomor : S.419/Menhut-II/2004 tentang Pembatalan Ijin (prinsip) Pengelolaan Lahan register 40.

3. Surat Penolakan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan kepada Presiden RI Ir. Joko Widodo, 11 Mei 2015.

4. Lampiran Kronologis KPKS Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT. Torganda oleh Pimpinan KPKS Bukit Harapan, tanggal 04 Februari 2005.

5. Lampiran Kronologis Kehadiran Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT. TORGANDA di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara.


(5)

BAB III

SENGKETA PERTANAHAN YANG TERJADI ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH DI ATAS TANAH

REGISTER 40 PADANG LAWAS

A. Hak Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Padang Lawas Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat merupakan pencerminan dari kepribadian bangsa Indonesia yang berurat dan berakar dari kebudayaan bangsa. Setiap suku dan daerah memiliki Hukum Adat yang berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut justru menjadi perekat persatuan bangsa (Bhinneka Tunggal Ika).49 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke dua) dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3).

Dalam Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan :50 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berdasarkan statusnya terdiri dari hutan Negara dan hutan hak.

49

Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat (Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Kehutanan & Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Bandung : Refika Aditama, 2015, hal. 70

50

Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(6)

Hutan Negara dapat berupa hutan adat. Status dari hutan ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Menurut Pasal 37 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa :

(1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

a)Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.

b)Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan c)Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan


(7)

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi disebutkan :

(1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

(2) Pengambilan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2) diatur oleh Menteri.

Berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang tertera diatas maka masyarakat adat berhak atas Tanah Ulayat mereka yang berada di atas Tanah Register 40 Padang Lawas. Sebagaimana diketahui bahwa hak tersebut ada yang termasuk dalam bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk


(8)

mengelola, mengatur dan memimpin, penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaannya.51

Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Masyarakat hukum adatlah sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat bukan orang seorang.

Tanah dalam masyarakat adat mempunyai kedudukan yang khusus dan penting. Hal ini disebabkan menurut sifatnya, tanah merupakan salah satu kekayaan yang bersifat tetap dan tidak terpengaruh dengan keadaan yang terjadi di atasnya, kemudian secara factual dalam kenyataannya tanah itu berfungsi sebagai tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada warga persekutuan, tempat tinggal makhluk ghaib pelindung persekutuan dan arwah para leluhur suatu persekutuan.

Menurut fakta tersebut, tanah dalam kehidupan masyarakat adat mempunyai hubungan yang erat dengan suatu persekutuan hukum yang berada di atas tanah tersebut, bahkan hubungan tersebut bersifat Religiomagis. Di Kalimantan, masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa Tanah adalah hidup dan nafas kami. Di Papua Barat hampir seluruh masyarakat adat meyakini bahwa tanah kita, Hidup kita. Di kalangan masyarakat adat Amerika, mereka memandang bahwa : “Every part of the earth is sacred to my people. Every shinning pine needle, every sandy

51

Hasim Purba, dkk, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan, Medan : Cahaya Ilmu, 2006, hal. 202-203


(9)

shore, every mist in the dark words, every clearing and humming insect is holy in the memory and experience of my people.” Tanah bagi masyarakat persekutuan hukum merupakan sumber kehidupan, merusak alam sama dengan menyakiti kehidupan dan merusak pernafasannya.52

Tanah, tumbuh-tumbuhan (hutan), dan makhluk hidup yang ada di atasnya merupakan suatu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Masyarakat Adat sebagai warga persekutuan hukum di suatu wilayah ulayat kehutanan merupakan subjek hukum yang mempunyai peranan besar dalam memelihara dan mengelola wilayah tersebut, apabila ada pihak luar yang akan memanfaatkan wilayah ulayat kehutanan tersebut maka harus mendapat izin dari Kepala Adat dengan kewajiban membayar uang pemasukan dan tidak merugikan kepentingan masyarakat adat setempat.53

Secara yuridis formal keberadaan Hak Ulayat diatur dalam pasal 3

UUPA yang berbunyi : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”54

52

Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta : HuMa, 2005, hal. 4

53

Bambang Daru Nugroho, Op, Cit, hal. 88

54


(10)

Posisi hak ulayat dalam sistem hukum tanah nasional diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari. Kepala Adat dan para Ketua Adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.55

Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 134/K/TUN/2007 tertanggal 19 Juni 2007 yang menyatakan bahwa : Izin Pengelolaan atas Tanah Ulayat seluas 23.000 hektar oleh KPKS Bukit Harapan di Kecamatan Simangambat kabupaten Padang Lawas Utara adalah sah dan berkekuatan hukum tetap, dikuatkan dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 06/PK/TUN/2008 pada tanggal 02 Mei 2008.56

Masyarakat Adat yang berada di atas tanah register 40 Padang Lawas juga telah memiliki bukti bahwa Tanah Ulayat mereka di Kecamatan Simangambat telah diatur dalam Gouvernment Besluit dari Pemerintahan Hindia Belanda serta mempunyai batas-batas yang jelas, sebelumnya telah

55Ibid,

hal. 204

56


(11)

dikuasai turun temurun sejak tahun 1784,57 telah menjadi lingkungan tempat mengambil keperluan hidup dan penghidupan sehari-hari bagi warga masyarakat adat setempat yang berdasarkan sejarah asal-usul, dahulu merupakan 2 Kekuriaan (Kerajaan) Bersaudara, yakni Kekuriaan Ujung Batu berdiri sejak tahun 1689, dibuktikan : angka tahun tersebut tertera pada

“Stempel Kerajaan” yang terbuat dari perak, salah satu benda peninggalan Kekuriaan Ujung Batu yang sekarang terdiri dari 13 Desa disebut “Huta”

dan Kekuriaan Simangambat terdiri dari 20 Desa/Huta. Tanah Ulayat dimaksud telah terdaftar di PPAT Kecamatan Barumun Tengah pada tahun 1983, terdaftar di Panitera Pengadilan Negeri Padangsidimpuan pada tahun 1985 dan terdaftar sebagai tanah adat/ulayat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 27 Agustus 1992.58

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat jelas memiliki hak untuk menguasai tanah ulayat mereka, dalam hal ini adalah tanah register 40 Padang Lawas sesuai dengan amanah Undang-Undang, Putusan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lainnya.

B. Perlindungan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Kawasan Register 40 Padang Lawas merupakan Tanah Ulayat bagi Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat berdasarkan Gouvernment Besluit dari Pemerintah Hindia Belanda. Tanah Ulayat juga diatur dalam

57

Sinar Indonesia Baru, 14 Mei 2008

58

Surat Penolakan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan kepada Presiden RI Ir. Joko Widodo, 11 Mei 2015


(12)

Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 dan Pasal 5, bahkan Amandemen II (dua) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 – B Ayat

(2) menegaskan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Kemudian Pasal 28

ayat 1 : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak azasi manusia (HAM),” serta dipertegas lagi oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi : “Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas Tanah Ulayat dilindungi (sebagai hak azasi manusia) selaras dengan perkembangan zaman.59

Pengelolaan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas kurang lebih 23.000 hektar oleh KPKS Bukit Harapan telah mendapat izin Pengelolaan (izin prinsip) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia melalui surat Menhut No. 1680/Menhut III/2002, tanggal 26 September 2002 meski oleh Menteri Kehutanan sempat membatalkan Ijin Pengelolaan tersebut pada bulan Oktober 2004, akan tetapi pihak KPKS Bukit Harapan memperkarakan Surat Pembatalan Menhut No. S.419/Menhut-II/2004 tertanggal 13 Oktober 2004 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan ternyata hasilnya dimenangkan oleh KPKS Bukit Harapan dalam perkara Kasasi Tata Usaha Negara melalui Putusan Mahkamah Agung RI No. 134/K/TUN/2007 pada tanggal 19 Juni 2007 yang dikuatkan dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI No. 06/PK/TUN/2008 pada tanggal 05 Mei 2008.

59


(13)

Berdasarkan landasan diatas maka konsekuensinya jelas bahwa Ijin Pengelolaan KPKS Bukit Harapan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas kurang lebih 23.000 hektar di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara adalah Sah dan Berkekuatan Hukum Tetap yang harus diakui dan dihormati demi tegaknya Supremasi Hukum (Law Enforcement) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recht Staat), bukan berdasarkan atas kekuasaan (Mach Staat).

Dalam Areal 23.000 hektar tersebut, Pihak Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan telah menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas nama Masyarakat Petani Plasma yang tergabung menjadi anggota PIR Koperasi Bukit Harapan atas permohonan masyarakat itu sendiri sebanyak 1.820 helai sertifikat, sebagai berikut60 :

1) Untuk Luhat Ujung Batu sebanyak 500 KK/Sertifikat terdiri dari 11 Desa.

2) Untuk Luhat Simangambat sebanyak 1.320 KK/Sertifikat terdiri dari 20 Desa

Berdasarkan hal tersebut diatas maka Negara berkewajiban melindungi setiap masyarakat sebagai pemegang hak atas tanahnya yang telah dibuktikan dengan memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

60

Lampiran Kronologis KPKS Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT.Torganda oleh Pimpinan KPKS Bukit Harapan, tanggal 04 Februari 2005


(14)

Alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum.” Nyatanya persoalan yang terjadi sekarang justru bukan bagaimana

si miskin supaya memperoleh lahan tanah bagi kesejahteraan hidup mereka, namun masalah yang muncul yaitu, bagaimana kepemilikan hak atas tanah dapat dipertahankan.61

Pada saat ini sifat persoalan tanah telah bergeser, yang terlibat bukan lagi antara pemegang hak atas tanah melawan buruh tani, akan tetapi antara pemilik modal (investor) bahkan pemerintah melawan pemegang hak atas tanah, merata terjadi baik di kota maupun di desa.

Oleh karena itu maka teori perlindungan hukum yang terdapat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 tersebut, tepat sekali digunakan untuk tersedianya aturan perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah, pemilik hak atas tanah serta segenap bangsa dan territoriumnya karena adanya kandungan nilai perjuangan serta motivasi.

C. Perjanjian Kerjasama Tokoh-Tokoh Adat Eks Dewan Negeri Luat Simangambat dengan PT. Torganda dalam Pengelolaan Tanah dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

Bidang-bidang tanah yang berada di kawasan Register 40 sampai dengan tahun 1995 dalam keadaan terlantar, ditumbuhi semak-semak dan alang-alang

61

S.Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2006, hal. 85


(15)

serta tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. Oleh karenanya masyarakat adat diwakili oleh tokoh adat setempat bermaksud memanfaatkannya demi kesejahteraan masyarakat setempat. Namun apabila digarap sendiri-sendiri oleh masyarakat sudah tentu hasilnya tidak akan maksimal karena keterbatasan dana dan keahlian. Melalui tokoh-tokoh adat telah mengambil keputusan untuk mencari investor yang memiliki dana dan berminat untuk mengelola tanah tersebut sebagai lahan perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit.

Untuk menindaklanjuti rencana pengelolaan perkebunan kelapa sawit tersebut, kemudian ditandatangani perjanjian-perjanjian sebagai berikut :

Surat Perjanjian tertanggal 23 Juli 1998, untuk lahan seluas kurang lebih 10.000 hektar dan 72.000 hektar ditandatangani oleh dan antara PT.Torganda dengan Tokoh-Tokoh Eks Dewan Negeri Luhat Simangambat. Surat Perjanjian ini dilegalisasi oleh Notaris Setiawati, Rantau Prapat No. 68/L/1998 dan No. 186/L/1998. Dalam perjanjian ini disepakati masyarakat adat setuju untuk bekerjasama dengan Darianus Lungguk Sitorus selaku Direktur Utama

PT.Torganda dengan pola “Bapak Angkat” yang akan mengelola dan membiayai

perkebunan. Pada hari itu juga telah diberikan Uang Tanda Bakti (Pago-Pago) sesuai dengan Hukum Adat dan Perundang-Undangan Pertanahan kepada masyarakat Adat Luhat Simangambat yang berhak menerimanya melalui para Hatobangon dan Raja Panusunan Bulung sebesar Rp. 817.500.000,- (Delapan Ratus Tujuh Belas Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) tunai.

Setelah PT.Torganda meninjau dari berbagai aspek pengelolaan lahan perkebunan dengan system Bapak Angkat/Mitra Kerja, dan untuk melindungi


(16)

hak-hak masyarakat adat atas tanah adat ulayat maka PT.Torganda menyarankan kepada Hatobangon/Tokoh Masyarakat Adat dan Raja Panusunan Bulung Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat agar kedua Luhat bernaung dibawah satu wadah Badan Hukum Koperasi. Atas saran dan petunjuk dari Direktur Utama PT.Torganda, dan dengan hasil musyawarah-mufakat masyarakat desa kedua Luhat dibentuklah Koperasi yang bernama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan yang berkedudukan di Desa Tanjung Botung, Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara. Akte pendiriannya disahkan melalui Keputusan Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 07/BH/KDK.2.9/IX/1998, tanggal 29 September 1998.62

Setelah Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan berdiri, dengan persetujuan Masyarakat Adat, Hatobangon dan Tokoh Masyarakat, serta Raja Panusunan Bulung, Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat, PT. Torganda melepaskan hak atas pengelolahan lahan dimaksud sesuai surat Perjanjian Kerjasama Nomor : 186/L/1998 kepada Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan dengan surat pelepasan hak tanggal 30 September 1998 yang dilegalisir oleh Notaris Setiawaty, SH.

Mengingat keterbatasan kemampuan tenaga skill dan pengalaman serta keterbatasan dana, maka unuk melanjutkan pengelolahan lahan dimaksud, maka KPKS Bukit Harapan memohon kepada PT.Torganda untuk menjadi pendamping atau mitra kerja sekaligus penyandang dana, untuk kelanjutan pembangunan kebun kelapa sawit dan pengelolaanya. Permohonan tersebut dipenuhi oleh PT.

62

Kronologis Kehadiran Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT. TORGANDA di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara


(17)

Torganda yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama dengan notariil akta nomor : 15, tertanggal 30 September 1998 dibuat dihadapan Notaris Setiawati, SH.

Dalam Surat Perjanjian Nomor 186/L/1998 yang dilegalisasi oleh Notaris Setiawati, SH terdapat 11 poin yang menjadi pokok perjajian, antara lain :63

1. Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya-demikian selama antara kedua belah pihak masih terdapat kesepakatan dalam pelaksanannya.

2. Pihak Pertama dengan ini mengakui bahwa Pihak Kedua, yakni PT. TORGANDA sebagai satu-satunya “Bapak Angkat” yang berhak dan berwenang sepenuhnya untuk mengelola dan membiayai dalam arti seluas-luasnya atas lahan seluas lebih kurang 72.000 hektar.

3. Untuk tertib administrasi kerjasama ini, Pihak Kedua berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukan yang transparan guna kepentingan kedua belah pihak.

4. Setelah lahan tersebut dapat berproduksi, maka kepada masing-masing Kepala Keluarga yang berdomisili diatas lahan tersebut, Pihak Kedua wajib menyerahkan sebagian dari lahan tersebut, yakni seluas lebih kurang 2 hektar untuk setiap Kepala Keluarga.

5. Pihak Pertama dan/atau masyarakat yang memiliki atau menguasai lahan tersebut dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk mengangsur pengembalian modal/dana yang telah dan/atau akan dikeluarkan oleh

63

Surat Perjanjian Nomor 186/L/1998 dilegalisir oleh Notaris Setiawati, SH tanggal 23 Juli 1998


(18)

Pihak Kedua, yakni dengan memperhitungkan dari hasil produksi dan dengan perbandingan pembagian sebagai berikut :

PIHAK PERTAMA : PIHAK KEDUA = 70 % : 30 %

Pembagian mana harus tetap dilakukan sampai dengan pengembalian modal Pihak Kedua benar-benar lunas.

6. Agar perjanjian ini dapat terlaksana dengan baik, maka dengan ini Pihak Pertama member kuasa dengan hak substitusi kepada Pihak Kedua.

7. Pihak Pertama dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada Pihak Kedua, semata-mata agar tercapainya tujuan diadakannya perjanjian ini, terutama menyangkut legalitas status lahan.

8. Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini berjanji untuk menyelesaikan segala permasalahan atau silang sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari secara musyawarah dan kekeluargaan, namun apabila secara musyawarah itu tidak tercapai kata sepakat, maka kedua belah pihak akan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.

9. Segala sesuatu yang belum atau tidak cukup diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian dalam suatu perjanjian tersendiri yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.

10. Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak dengan I’tikad baik dan penuh tanggungjawab serta tanpa tekanan dari pihak manapun.


(19)

11.Untuk perjanjian ini dan segala akibatnya, kedua belah pihak memilih kedudukan (domicilie) hukum yang umum dan tetap di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.

D. Lahirnya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Masyarakat Adat yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa diantaranya berada di dalam atau di sekitar hutan, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kawasan hutan Negara seluas 143 juta hektar atau kurang lebih 70 % dari luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan.

Kebijakan Pemerintah tentang pelaksanaan Hak Penguasaan Hutan di wilayah Hak Ulayat Kehutanan, merupakan kewenangan Pemerintah yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria. Walaupun merupakan kewenangan pemerintah, ternyata dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat adat/masyarakat lokal yang menguasai wilayah ulayat kehutanan tersebut.64

Hak menguasai oleh Negara pada saat ini pada umumnya dilimpahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta besar atau pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, tanpa konsultasi dan persetujuan rakyat. Dengan pelimpahan ini, maka pengelolaan

64


(20)

sumber daya alam oleh pihak perusahaan swasta dan BUMN menjadi lebih dominan. Akumulasi modal dan kekayaan pada penerima hak mengelola sumber daya alam ini akan terus berkembang.65

Di lain pihak, masyarakat/Masyarakat Hukum Adat belum tentu ikut merasakan keuntungan yang dinikmati para pengusaha tersebut, karena bagi pengusaha yang diprioritaskan adalah pengelolaan sumber daya alam yang menguntungkan para pengusaha. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelola sumber daya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Sumber daya alam kehutanan hanya dinikmati dan dikuasai oleh sekelompok orang saja, karena dari 579 konsesi Hak Penguasaan Hutan di Indonesia ternyata hanya di dominasi oleh 25 orang pengusaha kelas atas. Masyarakat local/Masyarakat Hukum Adat yang masih menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan yang dari generasi ke generasi telah berbisnis perkayuan terpaksa tidak bisa berbisnis kayu lagi.66

Monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu dikuasai oleh para pemegang Hak Penguasaan Hutan. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini disahkan melalui berbagai peraturan, mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan jo. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan peraturan pelaksanaannya yang

65Ibid 66


(21)

membekukan hak rakyat/Masyarakat Hukum Adat untuk turut mengelola hutan.

Hak masyarakat hukum adat untuk mengambil hasil hutan sering berbenturan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perhutanan, beberapa kasus yang saat ini terjadi, antara lain :

(1) Pengalihan fungsi dari hutan rotan dalam suatu wilayah ulayat kehutanan menjadi lahan pertanian. Hal ini mengakibatkan masyarakat hukum adat kehilangan mata pencaharian dalam pengumpulan hasil rotan.

(2) Hak Ulayat Kehutanan dijadikan Hak Penguasaan Hutan (HPH), akibatnya masyarakat adat yang berada di wilayah ulayat kehutanan kehilangan haknya untuk mengambil hasil hutan.

(3) Pengalihan fungsi hutan mangrove/hutan bakau menjadi daerah pertambakan dan perumahan.

(4) Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang merugikan kepentingan masyarakat adat setempat, karena bersifat merampas hak masyarakat adat tanpa memberikan kompensasi sebagai pengganti hak masyarakat adat tersebut.

Sesuai dengan penyerahan lahan masyarakat Luhat Ujung Batu dan Simangambat serta penyerahan kedua badan hukum tersebut maka luas lahan seuruhnya yang harusnya dikelola oleh Koperasi Perkebunan kelapa Sawit Bukit Harapan adalah seluas 87.000 Ha.


(22)

Dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan koperasi mendapat hambatan dan rintangan baik dari masyarakat penggarap, kelompok pengusaha, maupun Instansi Pemerintah. Adapun hambatan dan tantangan tersebut, antara lain :

1. Dalam areal seluas 87.000 Ha tersebut telah berdiri Perusahaan Swasta seperti :

a. Koperasi Produsen Sawit Ujung Gading Indah b. PT. Eka Pendawa Sakti

c. PT. First Mujur Plantation d. PT. Wonorejo

e. PT. PIR Harapan f. PT. SSPI

2. Dalam areal yang sama juga ditemukan kelompok kecil masyarakat penggarap dan kelompok penggarap petani berdasi.

Melihat situasi lahan dan untuk menghindari tumpang tindih areal, maka Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan mengambil kebijakan dari luas lahan 87.000 Ha hanya mengelola lahan seluas 23.000 Ha. Namun, dalam areal 23.000 Hektar ini juga masih ditemukan masyarakat penggarap. Bertitik tolak dari tujuan Koperasi perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan bukan untuk merugikan masyarakat. Lahan garapan masyarakat telah dilakukan ganti rugi seluas lebih kurang 17.396,74 Hektar, dengan jumlah rupiah Rp. 12.062.009.500,- (Dua belas milyar enam puluh dua juta Sembilan ribu lima ratus rupiah).


(23)

Walaupun telah dilakukan ganti rugi lahan terhadap masyarakat penggarap, tantangan dan hambatan masih tetap muncul, yaitu terjadinya suatu tragedi yang memilukan hati dengan meninggalnya empat orang karyawan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada tanggal 16 Februari 2000 yang dianiaya dan dibunuh oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan sampai saat ini pelaku pembunuhan tersebut belum diproses oleh hukum. Tragedi tersebut kami kenang sebagai TRAGEDI KEMANUSIAAN, dan untuk mengenangnya kami sengaja mendirikan Patung Korban Tragedi Kemanusiaan tersebut di areal kebun Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan.67

Hambatan dan rintangan yang lebih gencar juga datang dari Pemerintah yang selalu menyudutkan, menuduh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan sebagai Perambah Hutan Register 40, perampas tanah masyarakat. Tuduhan tersebut dilontarkan hanya karena rasa sentiment terhadap Pengusaha Anak Negeri, yang selalu dipersulit untuk mengembagkan usahanya. Oleh karenanya Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan sulit memperoleh legalitas/izin, padahal sebelum Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan membuka usaha perkebunan beberapa perusahaan swasta telah beroperasi/berdiri lebih dahulu di areal tersebut, termasuk oknum-oknum yang mengkondisikan dirinya menjadi petani berdasi.

67

Kronologis Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT. Torganda, Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara


(24)

Sengketa antara Masyarakat Adat dan Pemerintah semakin memanas ketika pada tahun 2005, Departemen Kehutanan Republik Indonesia mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas, melalui proses hukum Pidana yang dinilai masyarakat sarat dengan muatan politik dan bersifat diskriminatif, serta merta melakukan pengangkapan terhadap DR. Sutan Raja DL. Sitorus dengan tuduhan dan dakwaan yang tidak relevan serta terkesan dipaksakan. Tuduhan tersebut adalah ILLEGAL LOGGING / Merambah Hutan, padahal yang bersangkutan

adalah investor beri’tikad baik sebagai “Mitra” bagi warga masyarakat adat (bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan ribuan warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani Plasma mendapat pembagian pola PIR seluas 2 Hektar/Kepala Keluarga sebagai kompensasi pembangunan Tanah Ulayat tersebut, serta menyerap puluhan ribu Tenaga Kerja yang berarti telah turut membantu Program Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran, akan tetapi akhirnya dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi dan kondisi sosial di lapangan.

Hal tersebut jelas membuat masyarakat bingung dan tidak mengerti, merasa cemas dan resah karena terlebih lahan tersebut dinyatakan

“dirampas” untuk Negara. Sementara 40 lebih pengusaha (investor)

Perkebunan Kelapa Sawit lainnya dihamparan lahan yang sama justru tidak ada satupun yang memberi kontribusi bagi kesejahteraan rakyat sekitarnya,


(25)

tapi hingga saat ini tak satupun yang dipermasalahkan oleh Kementerian Kehutanan atau diproses secara hukum, apalagi dipenjarakan.68

Sehubungan dengan maksud Departemen Kehutanan Republik Indonesia yang ingin melakukan perampasan lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan seluas 23.000 hektar, yang sebagian telah dikonvensi menjadi hak milik yaitu sebanyak 1820 Lembar Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama 1.820 Kepala Keluarga Masyarakat Adat setempat beserta bangunan yang ada di atasnya, dengan tegas ditolak oleh Masyarakat Adat dan lahan tersebut akan tetap mereka pertahankan walau dengan resiko apapun. Perampasan lahan tersebut sama artinya merampas nafas kehidupan Masyarakat Adat yang berarti akan memiskinkan kembali kehidupan masyarakat.

Pemaksaan kehendak oleh Pemerintah sangat tidak sesuai bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta menciderai kedaulatan, harkat dan martabat Masyarakat Adat Nusantara pada umumnya, khususnya Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat karena tindakan tersebut adalah arogansi yang tidak berdasar serta bernuansa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) , sehingga wajar jika Masyarakat Adat Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat tidak akan tinggal diam, dan mereka akan melakukan perlawanan hingga titik darah terakhir.69 Hal-hal yang tertulis di atas merupakan latarbelakang timbulnya sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.

68

Point ke 3 Surat Penelokan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit harapan di Kec.Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara

69


(26)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA

MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH TERHADAP KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Proses eksekusi perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektar yang berada di kawasan register 40 Padang Lawas sebagai akar penyebab terjadinya sengketa dikarenakan adanya diskriminasi penerapan hukum yang mana dalam satu objek perkara yang sama terdapat 3 putusan (Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara).

Dalam perkara pidana Putusan MA No. 2642 K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2007, menyatakan terdakwa D.L Sitorus terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah dan menghukum Darianus Lungguk Sitorus 8 (delapan) tahun penjara, denda Rp. 5 Milyar.70

Selanjutnya, mengeksekusi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan register 40 Padang Lawas seluas 23.000 hektar yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan dan 24.000 hektar Perkebunan Kelapa Sawit yang dikuasai Koperasi Parsub dan PT. Torganda.

Sementara Perkara Tata Usaha Negara, Putusan Mahkamah Agung No. 134 K/TUN/2007 tanggal 19 Juni 2007 dalam perkara antara Koperasi

70


(27)

Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan melawan Departemen Kehutanan. Mahkamah Agung memutuskan menyatakan batal surat Menteri Kehutanan No. S 149/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004 perihal permohonan untuk mengelola perkebunan di dalam kawasan hutan Register 40 Padang Lawas Provinsi Sumatera Utara.

Demikian juga Perkara Perdata, masyarakat adat Padang Lawas menggugat Jaksa Agung RI yang mana Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan No. 13/PDT. PLW/2007/PN.PSP, mengabulkan gugatan masyarakat adat dan menyatakan masyarakat adat itu adalah pemilik sah

dan beri’tikad baik dalam hak atas bidang-bidang tanah perkebunan itu. Kemudian dalam putusan itu dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum Berita Acara Penyitaan (Letak Sita) tertanggal 22 November 2005 oleh Kejaksaan Agung terkait objek perkara Darianus Lungguk Sitorus dan menguatkan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki masyarakat secara turun temurun (8 keturunan) telah mendiami dan menguasai lahan tersebut.71

Dari segi administrasi dan penerapan hukum, Pemerintah menunjukkan tidak konsisten terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, dan hal tersebut menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas, antara lain :

71

Wawancara dengan Ketua Adat Luhat Simangambat, 12 Januari 2016, pukul 16.00 WIB


(28)

1. Tidak konsistennya Pemerintah dalam menjalankan amanah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria. Dimana dalam peraturan ini Negara menjamin hak Masyarakat Adat dalam mengolah Tanah Ulayat mereka. Akan tetapi pada kenyataannya Negara melimpahkan sebagian besar dari hak tersebut kepada perusahaan-perusahaan swasta besar atau pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, tanpa konsultasi dan persetujuan rakyat. Dengan pelimpahan ini, maka pengelolaan sumber daya alam oleh pihak perusahaan swasta dan BUMN menjadi lebih dominan. Di lain pihak, Masyarakat Adat tidak merasakan keuntungan yang dinikmati para pengusaha yang memprioritaskan keuntungan pribadi mereka.

2. Tidak konsistennya Pemerintah dalam hal pemberian izin pengelolaan perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas.

Hal tersebut dibuktikan dalam beberapa surat yang kontradiksi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, antara lain :

- Tanggal 26 September 2002 Menteri Kehutanan telah mengeluarkan surat No. 1680/Menhut III/2002 perihal pemberian izin pengelolaan (ijin prinsip) atas Lahan Eks Tanah Ulayat Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat seluas 23.000 hektar. (Surat Terlampir)


(29)

- Tanggal 13 Oktober 2004 Menteri Kehutanan mengeluarkan surat No. S.419/Menhut-II/2004 perihal Pembatalan Ijin Pengelolaan tersebut. (Surat Terlampir) 3. Pemerintah tidak menghormati Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia No. 134/K/TUN2007 pada tanggal 19 Juni 2007 yang dikuatkan dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 06/PK/TUN/2008 pada tanggal 05 Mei 2008 tentang Perkara Kasasi Tata Usaha Negara antara Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan melawan Menteri Kehutanan RI. Dimana dalam gugatan ini KPKS Bukit Harapan menggugat Kementerian Kehutanan RI tentang Surat No. S.419/Menhut-II/2004 perihal Pembatalan Ijin Pengelolaan Lahan Eks Tanah Ulayat Masyarakat Adat Luhat Simangambat dan Luhat Ujung Batu, Kabupaten Padang Lawas Utara. Dalam hal ini perkara ini dimenangkan oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan. Artinya Surat Menteri Kehutanan No. 1680/Menhut III/2002 tentang pemberian izin pengelolaan lahan masih tetap berlaku. Konsekuensinya jelas bahwa Ijin Pengelolaan KPKS Bukit Harapan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas 23.000 hektar di Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara adalah Sah dan Berkekuatan Hukum Tetap yang harus diakui dan dihormati demi tegaknya


(30)

Supremasi Hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 bahwa Negara adalah berdasarkan atas Hukum.

4. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak menghormati Putusan Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memiliki Kekuatan Hukum Tetap atas Lahan tersebut meski telah beberapa kali disomasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, justru sebaliknya bahwa dengan arogansinya Kehutanan mengeluarkan Surat No. S.39/Menhut-IV/RHS/2010 tertanggal 18 Juni 2010 perihal Peringatan meninggalkan lokasi kepada Ir. Djonggi Sitorus selaku Ketua Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan (KPKS) yang membuat Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat merasa resah, tidak nyaman, bagaikan di negeri sendiri dijajah bangsa sendiri.

5. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan telah melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene beginselen van behoorlijk bestuur) dengan uraian sebagai berikut72 :

a. Asas kepastian hukum (Rechtszeker heidsbeginsel)

Bahwa pembatalan sepihak Kementerian Kehutanan melalui suratnya No. SA 19/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004, namun pada tanggal 26 September 2002 dengan suratnya No. 1860/Menhut-III/2002 Kementerian Kehutanan memberikan persetjuan prinsip bahkan telah memberikan perincian detail

72

Alasan dan Dasar Hukum Pembatalan Surat Tergugat (Kementerian Kehutanan) terhadap Surat No. S.419/Menhut-II/2004 dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 134 K/TUN/2007


(31)

dan menyeluruh tentang hal-hal apakah yang harus dilakukan oleh Masyarakat Adat yang tergabung dalam KPKS Bukit Harapan agar dapat mengelola lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23.000 hektar di kawasan register 40 Padang Lawas. Perbuatan Pemerintah jelas mengaburkan kepastian hukum mengenai diperbolehkannya Masyarakat Adat untuk membangun/mengelola lahan perkebunan kelapa sawit di atas tanah-tanah ex-adat yang berada di Luhat Simangambat dan Luhat Ujung Batu (kawasan register 40 Padang Lawas) yang merupakan hak Masyarakat Adat, selain itu surat yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan saling bertentangan dan inkonsistensi dalam tindakan hukum yang menghilangkan asas kepastian hukum.

b. Asas Kecermatan (Zorgvuldigheidsbeginsel)

Bahwa perbuatan Pemerintah yang telah menerbitkan Surat Keputusan pembatalan secara sepihak terhadap pemberian izin prinsip kepada Penggugat untuk mengelola lahan kelapa sawit di kawasan register 40 Padang Lawas, dengan tidak memperhatikan secara lebih seksama dan lebih teliti bahwa Masyarakat Adat/Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan telah memenuhi seluruh kewajibannya untuk dapat membangun/mengelola lahan kelapa sawit seluas 23.000 hektar di kawasan register 40 Padang Lawas, terlebih lagi


(32)

Pemerintah telah memberikan izin prinsipnya melalui Surat Menteri Kehutanan yang diterbitkan dan ditandatangani sendiri dengan No. 1630/Menhut-III/2002 pada tanggal 26 September 2002

c. Asas tertib penyelenggaraan Negara, Asas keterbukaan ( Azas pemberian alasan)

Bahwa perbuatan Pemerintah yang secara sepihak telah membatalkan Surat Izin Prinsip yang telah diterbitkan oleh Pemerintah sendiri pada tanggal 26 September 2002, tidak didukung dengan alasan-alasan yang sah yang menjadi dasar hukum penerbitan Surat Keputusan tersebut, sebagaimana lazimnya sebuah Surat Keputusan yang baik yang harus menjelaskan setidaknya memberikan alasan, dasar fakta yang teguh serta pemberian alasan yang mendukung.73

Sudah merupakan azas dalam pemerintahan yang baik, bahwa setiap keputusan harus didasarkan alasan yang sah yang menjadi dasar pertimbangan, memiliki dasar fakta yang teguh yang dapat dibuktikan kebenarannya, dan pemberian alasan yang mendukung dan meyakinkan, baik secara rasional dan juga mempunyai kekuatan hukum berdasarkan peraturan yang berlaku.

73

Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001, Hal. 275-276


(33)

d. Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalisme dan Asas Akuntabilitas (Asas permainan yang layak/ Het beginselen van fairplay).

Bahwa Pemerintah dengan suratnya No. 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 tentang Pemberian Izin Prinsip kepada KPKS Bukit Harapan untuk pengelola lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23.000 hektar di kawasan register 40 Padang Lawas juga beserta seluruh persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh KPKS Bukit Harapan agar dapat mengelola lahan kelapa sawit di kawasan register 40 Padang Lawas tersebut. Akan tetapi berdasarkan fakta hukum, pada saat Masyarakat Adat sedang berusaha memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah, tiba-tiba secara sepihak dengan tanpa penjelasan Pemerintah membatalkan izin prinsip yang telah diterbitkannya tersebut. Pemerintah juga tidak memberikan kesempatan kepada Masyarakat Adat untuk mendapatkan penjelasan yang layak mengenai alasan hukum pembatalan izin prinsip tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas berakibat timbulnya sengketa yang berkepanjangan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.74

74


(34)

B. Penyelesaian Sengketa Alternatif yang bisa dilakukan dalam Menyelesaiakan Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan secara bijak sesuai dengan fungsinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam menyelesaikan Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan secara bijak sesuai dengan fungsinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan sepanjang masih menguasai tanah di kawasan hutan sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Oleh karenanya apapun yang dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa ini harus sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Artinya apapun solusi yang dipergunakan harus bertujuan untuk menguntungkan dan mensejahterakan rakyat, bukan untuk mensejahterakan para pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggungjawab, bahkan para aparatur Negara yang memanfaatkan kondisi ini.


(35)

Ada beberapa upaya penyelesaian sengketa alternatif yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah, antara lain :

Alternatif I :

Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada dasarnya menyatakan bahwa :

a. Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi maupun perusahaan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.

b. Secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan yang telah ditebangnya

c. Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini merupakan kelapa sawit)

d. Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit (selama 35 tahun.

e. Pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode f. Satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran


(36)

Apabila hal ini diterapkan maka akan ada banyak keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah, antara lain :

a. Areal okupasi penduduk/masyarakat, yayasan, koperasi dan perusahaan terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas dapat dikembalikan statusnya menjadi kawasan hutan.

b. Pengelola kebun kelapa sawit mendapat kepastian berusaha dari pemerintah yang berupa IUPHHBK (kelapa sawit)

c. Pemerintah tidak kehilangan luasan kawasan hutannya

d. Pemerintah Daerah mendapat pemasukan berupa PBB atas areal/kawasan yang telah diusahakan kelapa sawit secara sah

e. Pemerintah mendapat penggantian tegakan berupa PSDH/DR terhadap tegakan yang telah ditebang

f. Dapat dibentuk tegakan HTI Meranti untuk jangka waktu satu daur ulang kelapa sawit

g. Pemerintah mendapat tambahan PSDH dari hasil kelapa sawit yang dipanen pada tahun berjalan

Alternatif II :

Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan kebijakan Menteri Kehutanan.

Dengan melaksakan alternatif ini maka akan sangat merugikan bagi masyarakat, akan tetapi terwujud juga sebuah kebaikan, seperti :

a. Departemen Kehutanan menegakkan hukum sesuai proses sejarah perambahan hutan yang telah berlangsung sejak tahun 1996


(37)

b. Akan terwujud kepastian hukum terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas

Alternatif III :

Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan.

Adapun kebaikan pada alternatif ini, antara lain :

a. Ada kepastian masyarakat, yayasan, koperasi dan perusahaan dalam melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit

b. Adanya kepastian Departemen Kehutanan dalam menentukan neraca kawasan hutan

C.Faktor-Faktor Penghalang dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan yang terjadi di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Ada beberapa faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara masyarakt adat dengan pemerintahan, antara lain :

1. Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada dasarnya menyatakan bahwa :

a. Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi maupun perusahaan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.


(38)

b. Secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan yang telah ditebangnya

c. Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini merupakan kelapa sawit)

d. Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit (selama 35 tahun.

e. Pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode f. Satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran

batas hutan

Kelemahan :

a. Departemen Kehutanan memerlukan waktu setidaknya 35 tahun untuk mengembalikan status kawasan hutan secara utuh.

b. Proses justisi terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas, terutama register 40 Padang Lawas dihentikan, untuk selanjutnya dialihkan menjadi proses penerbitan IUPHHBK.

c. Adanya hambatan dari masyarakat yang melakukan okupasi kawasan

Oleh karenanya masih terdapat faktor penghambat yang menyebabkan alternatif ini tidak bisa langsung diterapkan.


(39)

Alternatif II :

Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan kebijakan Menteri Kehutanan.

Kelemahan :

a. Memerlukan upaya yang sangat rumit, waktu yang sangat panjang, dan biaya yang sangat besar.

b. Selama proses hukum berlangsung akan terjadi stagnasi atau vakum pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan pengangguran besar-besaran terhadap tenaga kerja masyarakat setempat, dan mengganggu kepercayaan investor serta mempengaruhi laju pembangunan daerah.

c. Proses pengukuran kembali tata batas hutan terutama kawasan hutan register 40 akan sulit dilaksanakan, karena adanya perlawanan dari masyarakat.

d. Pemerintah tidak mendapat kontribusi penerimaan PSDH, DR serta PBB. e. Bukti material tata batas hutan di lapangan sudah tidak ditemukan di

seluruh level penggarap.

Peluang untuk mencapai alternatif ini adalah sekitar 50 % karena masih banyak hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.


(40)

Alternatif III :

Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan

Kelemahan :

a. Akan terjadi pengurangan kawasan hutan secara drastis

b. Wibawa pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan turun c. Pemerintah tidak mendapat sedikitpun penggantian terhadap tegakan yang

telah ditebang

d. Akan terjadi pengulangan perambahan lokasi perkebunan kelapa sawit

Peluang untuk melaksanakan alternatif ini hanya 20 %, karena pemerintah tidak akan pernah setuju.


(41)

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Sengketa antara Masyarakat Adat dan Pemerintah berawal pada tahun 2005, Departemen Kehutanan Republik Indonesia mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas, melalui proses hukum Pidana yang dinilai masyarakat sarat dengan muatan politik dan bersifat diskriminatif, serta merta melakukan penangkapan terhadap DR. Sutan Raja D.L Sitorus dengan tuduhan dan dakwaan yang tidak relevan serta terkesan dipaksakan. Tuduhan tersebut adalah ILLEGAL LOGGING / Merambah Hutan, padahal yang

bersangkutan adalah investor beri’tikad baik sebagai “Mitra” bagi warga

masyarakat adat (bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan ribuan warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani Plasma mendapat pembagian pola PIR seluas 2 Hektar/Kepala Keluarga sebagai kompensasi pembangunan Tanah Ulayat tersebut, serta menyerap puluhan ribu Tenaga Kerja yang berarti telah turut membantu Program Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran, akan tetapi akhirnya dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi dan kondisi sosial di lapangan.


(42)

2. Upaya penyelesaian sengketa alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah terhadap awasan Hutan Register 40 Padang Lawas dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, antara lain :

1) Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada dasarnya menyatakan bahwa : Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi maupun perusahaan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan yang telah ditebangnya, Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini merupakan kelapa sawit), Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit (selama 35 tahun), pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode, satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran batas huta;

2) Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan kebijakan Menteri Kehutanan;

3) Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan


(43)

3. Faktor-faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas, antara lain :

1) Departemen Kehutanan memerlukan waktu setidaknya 35 tahun untuk mengembalikan status kawasan hutan secara utuh, Proses justisi terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas, terutama register 40 Padang Lawas dihentikan, dan selanjutnya dialihkan menjadi proses penerbitan IUPHHBK.

2) Memerlukan upaya yang sangat rumit, dan biaya yang sangat besar, Selama proses hukum berlangsung akan terjadi stagnasi atau vakum pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan pengangguran besar-besaran terhadap tenaga kerja masyarakat setempat, dan mengganggu kepercayaan investor serta mempengaruhi laju pembangunan daerah, proses pengukuran kembali tata batas hutan terutama kawasan hutan register 40 akan sulit dilaksanakan, karena adanya perlawanan dari masyarakat, pemerintah tidak mendapat kontribusi penerimaan PSDH, DR serta PBB, bukti material tata batas hutan di lapangan sudah tidak ditemukan di seluruh level penggarap.

3) Akan terjadi pengurangan kawasan hutan secara drastis, wibawa pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan turun, Pemerintah tidak mendapat sedikitpun penggantian terhadap tegakan yang telah ditebang, akan terjadi pengulangan perambahan lokasi perkebunan kelapa sawit


(44)

B.Saran

1. Pada saat ini metode penyelesaian yang sangat mungkin digunakan adalah metode pada alternatif yang pertama, yaitu Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan. Metode ini dipilih karena sama-sama tidak merugikan kedua belah pihak, baik Masyarakat Adat maupun Pemerintah. Karena Masyarakat adat akan sangat senang dan akan mengikuti kesepakatan dalam satu daur ulang tanaman Kelapa Sawit, disisi lain pemerintah juga dinilai bijaksana dalam mengambil keputusan, dan nantinya pada saat satu daur ulang selesai maka kawasan tersebut akan dikembalikan ke kawasan hutan kembali.

2. Pemerintah harus lebih mengatur dan menguatkan lagi Undang-Undang tentang Pertanahan terutama tentang konflik yang akan terjadi di masa mendatang. Diharapkan aturan yang dibuat harus sesuai dengan konsep bekerjanya hukum sebagai suatu sistem agar tidak terjadi tumpang tindih bahkan kekosongan hukum dalam berbagai masalah pertanahan. ` 3. Badan Pertanahan Nasional harus lebih berhati-hati dalam melakukan

proses pendaftaran tanah termasuk dalam menerbitkan sertifikat. Badan Pertanahan Nasional harus mengacu pada prosedur yang telah diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


(45)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

A. Masyarakat Adat pada Umumnya serta Peraturan Hukum yang Mengaturnya

Hukum Adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberikan pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubunga antara yang satu dengan yang lain, baik di kota maupun dan lebih-lebih di desa.12

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka setiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepa

da bangsa yang bersangktan.13

Beberapa pengertian tentang hukum adat yang diberikan oleh para sarjana hukum adalah sebagai berikut :14

a. Prof. Dr. Supomo, S.H

12

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 2006, hal. 7

13

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung 1988, hal. 13

14


(46)

Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum

b. Mr. J.H.P. Bellefroid

Hukum Adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

c. Prof. M.M Djojodigoeno, S.H

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.

Terdapat dua unsur hukum adat, antara lain :

- Unsur Kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat.

- Unsur Psikologis; bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.15

Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang ada dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang, lembaga hukum tentang kepemilikan tanah dan lain-lain, harus mengetahui

15


(47)

struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan system (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu, Soepomo menulis :

“Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira 50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 ; bahwa untuk mengetahui hukum, maka perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari.16

Dari apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Soepomo di atas tadi, kelihatan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri-ciri khas hukum adat itu, adalah persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Ter Haar merumuskan bahwa hakikat dari masyarakat hukum (persekutuan hukum) antara lain :

1. Kesatuan manusia yang teratur 2. Menetap di suatu daerah tertentu 3. Mempunyai penguasa-penguasa

4. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud

Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan

16


(48)

untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.17

Agar pemahaman terhadap Hukum Adat lebih mendalam, maka penulis perlu menguraikan pengertian Hukum Adat menurut para pakar hukum lainnya.18

Menurut Iman Sudiyat, Hukum Adat adalah :

“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam

hubungannya satu sama lain, baik merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat Adat, karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa Adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat Adat itu) yaitu : Lurah,

Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat, dan Hakim.”19

Menurut Bushar Muhammad dijelaskan bahwa :

“Hukum Adat itu adalah terutama hukum yang mengatur tingkah

laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan pelanggaran dan yang ditetapkan dalam putusan-putusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri

dari lurah, wali tanah, kepala adat dan hakim.”20

.

Hukum adat memiliki satu kesatuan dengan hak ulayat dengan maksud thak ulayat dengan maksud tiang penting tempat hukuiang penting

17Ibid,

hal. 21-22

18

Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Bandung : Refika Aditama, 2015, hal. 72

19

Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1982, Hal. 18

20

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pranadya Paramita, 1976, Hal. 27


(49)

tempat hukum adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adatm adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adat bertopang, dasar-dasar bertopang, dasar-dasar tempat hukum adat berpijak pada tiang-tiang hukum adat yang ditegakkan oleh Van Vollenhoven :

1. Persekutuan Hukum 2. Hak Ulayat

3. Daerah Hukum Adat

4. Perjanjian adalah perbuatan konkret

5. Hukum Adat tidak mengenal kontruksi juridis yang abstrak

6. Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan panca indera sebagai dasar bagi membuat kategori hukum dan sebagai ukuran membeda-bedakan

7. Sifat susunan keluarga

Van Vollenhoven, membagi wilayah berlakunya Hukum Adat atas 19 lingkungan hukum (rechtskring). Lingkungan hukum adalah suatu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam, tiap-tiap lingkungan Hukum Adat dapat dibagi-bagi lagi atas kukuban-kukuban hukum (rechtsgouwen).21

Van Vollenhoven membagi seluruh daerah di Indonesia menjadi beberapa lingkaran/lingkungan, yaitu :

1. Aceh

2. Tanah Gayo Alas, Batak, dan Nias

21

Soerjono Soekanto & Soleman B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 1983, Hal.. 20-21


(50)

3. Minangkabau dan Mentawai 4. Sumatera Selatan

5. Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau) 6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan 8. Minahasa 9. Gorontalo 10.Toraja

11.Sulawesi Selatan 12.Kepulauan Ternate 13.Maluku dan Ambon 14.Irian

15.Kepulauan Timor 16.Bali dan Lombok

17.Jawa Tengah dan Jawa Timur

18.Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) 19.Jawa Barat

Mahadi menulis : “bahwa masyarakat hukum adat itu in heren dengan

adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu”. Dalam hubungannya dengan pembangunan


(51)

kehutanan seperti disebutkan dalam hukum kehutanan, hutan dalam statusnya ada hutan Negara dan hutan hak.22

Hutan Negara dapat berupa hutan adat yang mana harus ditetapkan statusnya sebagai tanah adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih berada dikawasan hutan tersebut, sebagai dasar pengakuan tersebut. Sejalan dengan perkembangan hukum adat yang bersangkutan tidak berlaku lagi maka pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah yang mengelolanya (Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999)23.

Hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat termasuk hutan Negara, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan tersebut dalam satu ekosistem yang dalam sistem kehutanan harus tidak terpisah dari pengertian hutan itu sendiri. Di dalam isi hak ulayat tidak ulayat tidak membedakan hutan dan bukan hutan, sebab yang menjadi hak ulayat itu sendiri meliputi :

a. Tanah (daratan)

b. Air (perairan) seperti misalnya sungai, danau, pantai beserta perairannya

c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar d. Binatang yang hidup liar di hutan

Corak Hukum Adat atau sifat masyarakat adat pada sembilan belas (19) lingkungan hukum tersebut sama, yaitu :

22

Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung : Alumni, 1991, hal. 58

23

Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 114


(52)

a. Magis religious, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat percaya dengan kehidupan/hal-hal yang bersifat gaib dan menilai kehidupan religi sebagai suatu yang hakiki dalam kehidupan manusia.

b. Komunal, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat lebih memprioritaskan kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat akan tetapi tidak mengabaikan kebutuhan individual.

c. Kongkrit, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu menggunakan simbol-simbol nyata sebagai wujud atau bukti dari tindakan atau perbuatan dan kehendak seseorang.

d. Kontan, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu merespon dengan segera terhadap setiap prestasi yang diterima dengan imbalan berupa kontra prestasi.

Hukum Adat menurut Iman Sudiyat mempunyai tiga sifat, yaitu : a. Sifat statis, artinya Hukum Adat selalu memelihara dan

mempertahankan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh leluhurnya. b. Sifat dinamis artinya Hukum Adat selalu mengikuti perubahan

dan perkembangan zaman.

c. Sifat elastic/plastis, artinya Hukum Adat dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan dalam masyarakat, termasuk dengan kasus-kasus khusus dan menyimpang.


(53)

Dasar Hukum berlakunya Hukum Adat dan Perkembangannya sejak 1945 sampai sekarang antara lain :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 segala peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda, untuk sementara waktu dipertahankan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.24

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :

“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

2. UUDS Tahun 1945

Di dalam Pasal 104 ayat 1, ditentukan :

“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan undang-undang dan

aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.”

Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional berlakunya hukum adat itu sampai sekarang belum diberi peraturan penyelenggara atau pelaksanaannya.25

3. I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama

24

Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Bandung : Penerbit Alumni, 1991, hal. 78

25

Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 2000, hal. 23


(54)

a. I.S. (Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undang-undang yang selengkapnya berbunyi : “Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie”.

b. R.R. (Regerings-Reglement) adalah singkatan dari

Undang-Undang yang selengkapnya berbunyi : “Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlands-Indie.”

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang berasal dari jaman colonial dan yang pada masa sekarang (sampai UU No. 19 Tahun 1964) masih tetap berlaku adalah : I.S. Pasal 131 ayat 2 sub b :

Menurut ketentuan tersebut maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi; yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi mereka :

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama dan apabila kepentingan umum memerlukannya


(1)

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu dari lubuk hati yang terdalam penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum selaku Dekan Fakulta Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Pembimbing I Penulis yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan dan bimbingan, serta motivasi dalam penulisan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syarifuddin Hasibuan, SH.,MH.,DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ok. Saidin, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. H. Hasim Purba, SH.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rabiatul Syariah, SH.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Syamsul Rizal, SH.,M.Hum selaku Ketua Program kekhususan BW Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan serta bimbingan dalam penulisan skripsi ini.


(2)

9. Kepada orang tua penulis Ayahanda H. Suwandi, SP dan Ibunda Hj. Rahmawati Nasution, S.Pd, terima kasih telah menjadi orangtua terhebat yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada penulis. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua penulis. 10.Kepada Kakak dan Adik penulis Marisa Ayu Ramadhani, S.Com dan

Mastika Widya Ningrum, terima kasih atas kasih sayang dan semangat yang selalu kalian berikan kepada penulis.

11.Kepada Eko Yudhistira Kalo, SH.,M.Kn dan Dr. Marianne Magda Ketaren, SH.,M.Kn, terima kasih telah menjadi dosen terbaik sekaligus abang dan kakak yang selalu membimbing dan memberikan warna bagi penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Seluruh Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selama ini telah memberikan ilmunya kepada penulis.

13.Seluruh staf administrasi dan pegawai yang turut serta membantu penulis dalam proses administrasi selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14.Keluarga Besar Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Periode 2015-2016 Kabinet Generasi Pekerja. Sebagai tempat belajar dan menimbah ilmu dan pengalaman bagi penulis.


(3)

15.Keluarga Besar Imakopasid USU-Polmed, terkhusus Angkatan 2011 yang selama ini telah memberikan warna bagi penulis dalam pertemanan dan keorganisasian.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

AGUNG HANDI SEJAHTERA


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF... 12

A. Masyarakat Adat pada Umumnya serta Peraturan Hukum yang Mengaturnya... 12

B. Pandangan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif... 28

C. Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif... 39


(5)

BAB III. SENGKETA PERTANAHAN YANG TERJADI ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN

PEMERINTAH DI ATAS TANAH DI ATAS TANAH

REGISTER 40 PADANG LAWAS ... 46

A. Sejarah Lahirnya Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas 46 B. Hak Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Padang Lawas... 47

C. Perlindungan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Padang Lawas... 55

D. Lahirnya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas... 58

BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH TERHADAP KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS... 69

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas... 69

B. Penyelesaian Sengketa Alternatif yang bisa dilakukan dalam Menyelesaiakan Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas... 75

C. Faktor-Faktor Penghalang dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan yang terjadi di atas Tanah Register 40 Padang Lawas... 79

BAB V. PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82


(6)

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN – LAMPIRAN

1. Surat Riset