Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah.1 Tanah dapat memberikan penyediaan berbagai peluang dan pihan untuk manusia mencukupi kebutuhannya. Sebidang tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia seperti : perumahan, bercocok tanam berkebun, membangun jalan, jembatan, dan berbagai fasilitas kepentingan umum lainnya. Mengingat sangat terbatasnya kemampuan lahan untuk menyediakan ruaang, kebutuhan akan lahan ini dapat menimbulkan benturan kepentingan berbagai pihak, baik dalam hal kepemilikan maupun peruntukannya.2

Jumlah luasnya tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang umpamanya untuk perkebunan, perternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan, dan jalan-jalan untuk perhubungan.

1

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia 1977, hal. 7

2

Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 6


(2)

Berhubung oleh karena itu, bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah semakin meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu, telah menimbulkan berbagai persoalan dalam berbagai segi.

Sehubungan dengan itu, pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah, yang dengan singkat dapat disebut “Hukum Tanah” seharusnyalah pula terdiri dari ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan perkembangan zaman.Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah. Karena tidak ada aktivitas orang ataupun badan hukum,apalagi yang disebut kegiatan pembangunan yang tidak membutuhkan tanah.

Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah tidak bisa ditawar ataupun ditunda, terlebih lagi di dalam dasar Negara pancasila dinyatakan bahwa kepentingan umum itu harus dipandang porsinya lebih besar dan didahulukan dari kepentingan individu.

Demikian pula pihak swasta yang melaksanakan upaya pengembangan dan peningkatan usahanya, baik yang bernuansa untuk kepentingan umum maupun tidak juga membutuhkan tanah.Belum lagi banyaknya anggota masyarakat yang nekat menduduki dan menguasai tanah tanpa alas hak yang sah bahkan dengan cara yang terencana dan sengaja mengaja melakukan kekerasan untuk memeennuhi kebutuhannya.

Oleh karena itu semakin cepat roda pembangunan berputar maka semakin luaslah tanah yang dibutuhkan. Dimana wilayah yang padat penduduknya, secara


(3)

logis disitu pulalah kegiatan pembangunan yang lebih luas dilaksanakan. Dengan demikian pengambilan tanah-tanah yang lebih luaspun yang sudah dimiliki/dikuasai oleh masyarakat tidak terelakkan akan menjadi korban.3

Hak seseorang atas tanah semestinya harus dihormati, dalam pengertian tidak boleh oleh orang lain melakukan tindakan yang melawan hukum untuk memiliki/menguasai lahan tersebut. Seyogianya jika ada hak seseorang atas tanah harus didukung oleh bukti hak, dapat berupa sertifikat, bukti hak non tertulis non sertifikat atau pengakuan dan keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya.

Jika penguasaan tanah dimaksud hanya didasarkan atas kekuasaan, arogansi atau kenekatan semata, pada hakekatnya penguasaan tersebut sudah melawan hukum. Tegasnya berdasarkan hukum tidak dapat disebut bahwa yang bersangkutan mempunyai hak atas tanah itu. Atau dengan kata lain, penguasaan yang demikian tidak boleh ditolelir dan semestinya yang berwenang dengan segala wewenang yang ada padanya harus segera menggusurnya dari tanah tersebut.

Karena jika berlarut-larut masalahnya semakin rumit untuk diselesaikan dan pengaruhnya sangat meluas (kompikatif) dan berdampak tidak baik (destruktif) di masa datang. Masalah ini semakin meningkat akhir-akhir ini karena jumlah penduduk Indonesia sebagai petani yang membutuhkan hunian semakin bertambah besar jumlahnya.4

3

Tampil Ashari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Medan, Multi Grafika 2007, hal. 2

4


(4)

Sebelum UUPA diberlakukan pada tanggal 24 September 1960 yang merupakan peraturan dasar pokok-pokok agrarian di Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka sudah berlaku berbagai macam hukum agrarian/pertanahan. Pada masa penjajahan misalnya, telah berlaku Hukum Adat di masing-masing daerah disamping Hukum Agraria yang diterapkan oleh penjajah.

Sekalipun melalui berbagai upaya telah dilakukan penjajah agar hukum agrarian kolonial berlaku secara menyeluruh namun masyarakat adat tidak menerimanya. Oleh karena itu terjadilah apa yang disebut dualism hukum agrarian, dalam pengertian bahwa tanah-tanah yang ada di Indonesia pada saat itu sebagian ada yang tunduk kepada Hukum Agraria colonial dan sebagian besar lainnya tunduk kepada Hukum Adat daerahnya masing-masing.

Akibat dari dualisme hukum agrarian tersebut maka timbullah hak-hak atas tanah yang beraneka ragam. Ada hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Adat dengan sebutan nama yang berbeda-beda di masing-masing daerah dan hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Agraria Kolonial (Hukum Perdata Barat) yang lebih berbeda pula. Berbagai hak atas tanah berdasarkan Adat itu maka dikenal hak ulayat, hak milik perseorangan, hak milik komunal (bersama) dan lain-lain, sementara pada Hukum Perdata Barat (BW) juga dikenal dengan berbagai macam hak dan hak-hak tersebut dikelompokkan ke dalam hak kebendaan dan hak perseorangan.5

Beranjak dari dualisme hukum Agraria yang terjadi, maka dilahirkanlah sebuah produk hukum Bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Pokok

5


(5)

Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Dengan diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintahan kolonial Belanda. Tidak ada lagi dualisme hukum yang terjadi.

Didalam konsiderans Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air dan ruang angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan atas tanah terutama tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam pembangunan masyarakat. Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pasal 3 UUPA menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.6

Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan meningkat

6


(6)

dalam kompleksitas maupun kuantitas permasalahannya, seiring dengan dinamika ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Sebagai gambaran dewasa ini di Indonesia, dengan semakin memburuknya situasi ekonomi yang sangat terasa dampaknya.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 disebutkan : “Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.7

Ketentuan mengenai tanah juga dapat terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/ badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama kemerdekaan Indonesia negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya, UUPA baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.

Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang/ badan hukum dapat memunculkan konflik maupun sengketa. Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

7


(7)

Secara ekonomis sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya yang dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang potensial terjadi adalah penurunan produktivitas kerja tata usaha karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya, serta meluangkan waktu secara khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi hal yang sama terhadap kerja atau usahanya.

Dampak sosial dari konflik adalah dapat terjadinya ketidakharmonisan/ kerenggangan sosial diantara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerjasama diantara mereka. Dalam hal ini konflik dapat terjadi dengan instansi pemerintah dan warga masyarakat di sekitar lokasi tanah sengketa, sehingga menimbulkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkenaan ketidakpastian hukum. Disamping itu, selama konflik berlangsung ruang atas suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi objek konflik/ sengketa biasanya berada dalam keadaan status quo sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan akibatnya adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan kepentingan semua pihak. Tanah yang dulu dipandang dari sudut sosial, yang tercakup dalam lingkup hukum adat, hak ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat dari sudut ekonomi, sehingga tepat apabila Perserikatan Bangsa-bangsa mensinyalir bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu kemasyarakatan tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.8

8

Muhammad Yamin dan Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 26


(8)

Adapun dalam penelitian ini yang menjadi sorotan adalah sengketa pertanahan yang terjadi di atas tanah register 40 Padang Lawas. Objek sengketanya yaitu tanah di areal Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan lindung Padang Lawas seluas ± 23.000 dan ± 24.000 hektar yang dikelola oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit, PT. Torganda, dan Koperasi Parsub yang terletak kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Salah satu sumber daya alam di bumi yang dapat diperbaharui adalah hutan. Hutan merupakan sekumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan lain, disamping itu terdapat juga masyarakat didalamnya. Hutan juga salah satu sumber pendapatan negara, hal ini dapat dilihat dari segi hutan produksi. Hutan juga merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.9

Menurut Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999, membagi hutan berdasarkan statusnya, yaitu :10

1. Hutan Negara adalah “Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”.

2. Hutan Hak adalah “Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah”.

9

Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI,Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, dan Kepala BPN RI Nomor 79 Tahun 2014

10


(9)

Berdasarkan Pasal 15 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengukuhan sebuah kawasan berkepastian hukum sebagai kawasan hutan melalui 4 (empat) tahapan :

1. Tahapan Penunjukan Kawasan Hutan 2. Tahapan Penataan Batas Kawasan Hutan 3. Tahapan Pemetaan Kawasan Hutan

4. Tahapan Penetapan Kawasan Hutan dengan tunduk kepada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)

Jika 4 (empat) tahapan ini sudah dilakukan barulah status hukum Register 40 Padang Lawas sah sebagai kawasan hutan negara. Kawasan Hutan register 40 memiliki luas keseluruhan 178.508 hektar dimana 90 % dari luasan tersebut sudah menjadi hamparan hijau perkebunan kelapa sawit yang dikelola 43 perusahaan, yayasan, perorangan, dan kelompok masyarakat. Versi Menteri Kehutanan Register 40 kawasan hutan dan berdasarkan Perda Tapsel No. 14 kawasan ini adalah kawasan perkebunan.

Versi Dinas Kehutanan Sumatera Utara bahwa luas yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit 167.585 hektar terdiri dari izin Menhut untuk 8 perusahaan seluas 75.885 hektar, izin lokasi dari Bupati Tapsel kepada kepada 7 perusahaan seluas 31.200 hektar, izin lokasi dari BPN Tapsel kepada Koperasi Serba Guna seluas 4.000 hektar. Selanjutnya perusahaan, kopersahaan, koperasi, perorangan yang merasi, perorangan yang merambah ada 5 (lima) kelompok tanpa mendapat HGU, izin pelepasan dari Dephut dan izin lokasi dari Bupati Tapsel seluas 56.500 hektar.


(10)

Luas Register 40 Padang Lawas 178.508 hektar, Dari luasan ini 90 % telah menjadi perkebunan kelapa sawit dengan usia tanam 2 sampai 10 tahun yang diusahai oleh 43 Perusahaan. Sampai Tahun 1970 Register 40 ini masih hutan perawan, lalu sejak tahun 1970 sampai dengan Tahun 1990 (selama 20 tahun) digarap oleh 5 (lima) pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Setelah berakhir masa HPH kawasan ini gundul dan tidak dirawat oleh Pihak Kehutanan sehingga sejak tahun 1995 digarap oleh 43 perusahaan, yayasan,koperasi,perorangan,dan masyarakat.

Seluruh bidang-bidang tanah masyarakat adat sebagian berasal dari tanah adat yang dikuasai secara turun temurun yang terletak di Desa Gunung Manaon Sim, Desa Simangambat Julu, Desa Tanjung Botung, Desa Sigagan dan Desa Aek Raru, Ujung Gading Tua, Langkimat, Mandasip, Hutapasir, Hutabaru, Jabi-jabi, Sibulang-bulang, Hutabaringin seluruhnya berada di Kecamatan Simangambat (dahulu Kecamatan Barumun Tengah) Kabupaten Tingkat II Tapanuli Selatan (sekarang Padang Lawas), Provinsi Sumatera Utara.

Sampai dengan Tahun 1997 bidang-bidang tanah tersebut dalam keadaan terlantar, ditumbuhi semak-semak dan alang-alang serta tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. Oleh karenanya masyarakat adat diwakili oleh tokoh adat setempat bermaksud memanfaatkannya demi kesejahteraan masyarakat. Namun karena keterbatasan dana dan keahlian untuk itulah para masyarakat adat melalui tokoh-tokoh adat telah mengambil keputusan untuk mencari investor yang memiliki dana dan berminat untuk mengelola tanah tersebut sebagai lahan perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit.


(11)

Setelah beberapa waktu lamanya dan bertemu dengan beberapa investor, akhirnya pada Tahun 1998 D.L Sitorus, Direktur Utama PT. Torganda bersedia menjadi investor untuk mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Maka pada saat itu juga dibentuklah Koperasi yang bernama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan. Berdasarkan Perjanjian kedua belah pihak, maka Koperasi Perkebunan Bukit Harapan berkewajiban menyediakan lahan untuk dijadikan Perkebunan Kelapa Sawit dan PT. Torganda milik D.L. Sitorus berkewajiban sebagai penyandang dana (dalam bentuk pinjaman), menyediakan tenaga ahli bidang perkebunan, serta sarana dan prasarana.

Akan tetapi, pada Tahun 2005 Departemen Kehutanan Republik Indonesia mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas. Pada saat itu D.L. Sitorus ditangkap dengan tuduhan dan dakwaan yang tidak relevan dan terkesan dipaksakan menurut masyarakat, yakni Perambahan Hutan (illegal logging).

Masyarakat menganggap penangkapan ini sarat dengan muatan politik dan bersifat diskriminatif. Dimata masyarakat yang bersangkutan adalah Investor beri’tikad baik sebagai “mitra” bagi masyarakat adat (bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan ribuan warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani Plasma mendapat pembagian kebun Pola PIR seluas 2 Hektar per Kepala Keluarga sebagai kompensasi pembangunan Tanah Ulayat tersebut serta menyerap puluhan ribu Tenaga Kerja yang berarti telah turut membantu Program Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan


(12)

dan mengurangi pengangguran, akan tetapi akhinya dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi dan kondisi sosial di lapangan. Hal ini membuat masyarakat bingung dengan sikap Pemerintah dan keseharian mereka dirundung rasa cemas dan resah karena lahan tempat mereka menggantungkan hidup akan dirampas oleh Negara.11

Atas dasar situasi dan kondisi tersebut, maka masyarakat tidak akan tinggal diam apabila lahan penghidupan mereka dirampas oleh Negara. Masyarakat akan melakukan perlawanan hingga titik darah terakhir. Disisi lain Pemerintah juga harus menegakkan hukum dan aturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia ini.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mencari solusi penyelesaian sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah terhadap Kawasan Hutan Register 40 ini. Oleh karenanya penulis akan mengangkat hal ini sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain:

11

Surat Penolakan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan kepada Presiden RI Ir. Joko Widodo, 11 Mei 2015.


(13)

1. Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas?

2. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Alternatif yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas?

3. Faktor-Faktor apa saja yang menjadi penghalang dalam menyelesaikan sengketa pertanahan yang terjadi di atas Tanah Register 40 Padang Lawas?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian yang dilakukan penulis adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadi sengketa pertanahan antara masyarakat adat dengan pemerintah diatas tanah Register 40 Padang Lawas.

2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara masyarakat adat dengan pemerintah diatas tanah Register 40 Padang Lawas.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghalang dalam menyelesaikan sengketa pertanahan yang terjadi atas diatas tanah register 40 Padang Lawas


(14)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria. Dengan adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang terjadi di lapangan.

2. Secara praktis

Bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang agraria ataupun pertanahan, dan agar para pihak mengerti akan tuntutan dan menyadari pentingnya upaya penyelesaian alternatif terhadap sengketa pertanahan dalam masyarakat.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif yaitu dipergunakan untuk mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku. Sedangkan penelitian hukum empiris yaitu penelitian lapangan yang berasal dari data primer yang didapat langsung dari


(15)

masyarakat sebagai sumber utama dengan melalui pengamatan atau observasi, wawancara atau penyebaran kuisoner.

2. Sumber Data

Di dalam penelitian, dikenal 2 jenis data yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat. Cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data primer yaitu: wawancara, questioner/angket, observasi baik secara partisipatif maupun non partisipatif.

b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data ini diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, seperti: buku-buku, hasil penelitian, laporan, makalah, surat kabar, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data-data yang ada pada skripsi ini dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu melakukan penelitian dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku referensi, buku catatan, situs internet yang bersifat teoritis ilmiah,


(16)

yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini dan dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa data yang terkumpul.

b. Penelitian Lapangan (field research) yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara penelitian secara langsung ke lapangan (pemerintah dan masyarakat) dan mencari data yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Misalnya dengan cara wawancara, questioner. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan Kabupaten Padang Lawas Utara.

4. Analisi Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematika dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam skripsi.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini di dasarkan atas ide atau gagasan penulis. Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Keperdataan, tidak ditemukan adanya kesamaan judul dengan judul ini yaitu: “Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah terhadap Kawasan Hutan Register


(17)

40 Padang Lawas.” Oleh karena itu keaslian penulisan skripsi ini murni dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun moral oleh penulis.

Adapun judul yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara yaitu :

- Jujur Halasan Batubara Nim 08701158 dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Pasca Putusan Pidana No. 2462 K/PID/2006 atas nama terpidana DL. Sitorus”.

- Tulus Yunus Abdi Nim 097005061 dengan judul “Eksekusi Barang Sitaan berupa Aset tidak Bergerak Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL. Sitorus”.

- Citra Felani Nim 070200391 dengan judul “Tinjauan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Secara Mediasi Oleh Kantor Pertanahan Kota Medan”.

- Choky Aprianda Lubis 110200400 dengan judul “Tinjauan Yuridis Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012”.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, penulisan skripsi ini diuraikan secara sistematis. Penulis membaginya dalam beberapa bab, masing-masing bab diuraikan masalah tersendiri yang saling berkaitan antara


(18)

satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini terdapat latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian Masyarakat Adat, hak ulayat dan peraturan hukum yang mengaturnya, serta pandangan umum tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif, jenis-jenis, dan dasar hukumya.

BAB III : SENGKETA PERTANAHAN YANG TERJADI ANTARA

MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH DI ATAS TANAH REGISTER 40 PADANG LAWAS

Pada bab ini diuraikan tentang hak dan perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat, perjanjian kerjasama antara Masyarakat Adat dengan PT. Torganda, serta sejarah lahirnya sengketa pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.


(19)

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA

MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH TERHADAP KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS

Pada bab ini diuraikan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa, cara penyelesaian sengketa alternatif yang bisa dilakukan, dan faktor-faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bagian terakhir dari tulisan ini, memuat kesimpulan yang merangkum keseluruhan dari pembahasan pembahasan yang terdahulu, serta saran sesuai dengan kesimpulan dari pembahasan tersebut.


(1)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria. Dengan adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang terjadi di lapangan.

2. Secara praktis

Bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang agraria ataupun pertanahan, dan agar para pihak mengerti akan tuntutan dan menyadari pentingnya upaya penyelesaian alternatif terhadap sengketa pertanahan dalam masyarakat.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif yaitu dipergunakan untuk mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku. Sedangkan penelitian hukum empiris yaitu penelitian lapangan yang berasal dari data primer yang didapat langsung dari


(2)

masyarakat sebagai sumber utama dengan melalui pengamatan atau observasi, wawancara atau penyebaran kuisoner.

2. Sumber Data

Di dalam penelitian, dikenal 2 jenis data yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat. Cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data primer yaitu: wawancara, questioner/angket, observasi baik secara partisipatif maupun non partisipatif.

b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data ini diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, seperti: buku-buku, hasil penelitian, laporan, makalah, surat kabar, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data-data yang ada pada skripsi ini dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu melakukan penelitian dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku referensi, buku catatan, situs internet yang bersifat teoritis ilmiah,


(3)

yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini dan dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa data yang terkumpul.

b. Penelitian Lapangan (field research) yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara penelitian secara langsung ke lapangan (pemerintah dan masyarakat) dan mencari data yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Misalnya dengan cara wawancara, questioner. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan Kabupaten Padang Lawas Utara.

4. Analisi Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematika dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam skripsi.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini di dasarkan atas ide atau gagasan penulis. Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Keperdataan, tidak ditemukan adanya kesamaan judul dengan judul ini yaitu: “Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah terhadap Kawasan Hutan Register


(4)

40 Padang Lawas.” Oleh karena itu keaslian penulisan skripsi ini murni dan

dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun moral oleh penulis. Adapun judul yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara yaitu :

- Jujur Halasan Batubara Nim 08701158 dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Pasca Putusan Pidana No. 2462 K/PID/2006 atas nama

terpidana DL. Sitorus”.

- Tulus Yunus Abdi Nim 097005061 dengan judul “Eksekusi Barang Sitaan berupa Aset tidak Bergerak Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL. Sitorus”.

- Citra Felani Nim 070200391 dengan judul “Tinjauan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Secara Mediasi Oleh Kantor Pertanahan

Kota Medan”.

- Choky Aprianda Lubis 110200400 dengan judul “Tinjauan Yuridis Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012”.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, penulisan skripsi ini diuraikan secara sistematis. Penulis membaginya dalam beberapa bab, masing-masing bab diuraikan masalah tersendiri yang saling berkaitan antara


(5)

satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini terdapat latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian Masyarakat Adat, hak ulayat dan peraturan hukum yang mengaturnya, serta pandangan umum tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif, jenis-jenis, dan dasar hukumya.

BAB III : SENGKETA PERTANAHAN YANG TERJADI ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH DI ATAS TANAH REGISTER 40 PADANG LAWAS

Pada bab ini diuraikan tentang hak dan perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat, perjanjian kerjasama antara Masyarakat Adat dengan PT. Torganda, serta sejarah lahirnya sengketa pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.


(6)

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA

MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH TERHADAP KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS

Pada bab ini diuraikan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa, cara penyelesaian sengketa alternatif yang bisa dilakukan, dan faktor-faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bagian terakhir dari tulisan ini, memuat kesimpulan yang merangkum keseluruhan dari pembahasan pembahasan yang terdahulu, serta saran sesuai dengan kesimpulan dari pembahasan tersebut.