Profil Faktor Pencetus Migren Pada Pasien Migren di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Migren

Menurut International Headache Society, 2013, migren adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat dan diperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual, muntah, fotofobia dan fonofobia.

Konsep klasik mengatakan migren adalah gangguan fungsional otak dengan manifestasi nyeri kepala unilateral yang sifatnya mendenyut atau mendentum yang terjadi mendadak disertai mual atau muntah.Konsep tersebut telah diperluas oleh The Research Group On Migraine and Headache of The World Federation Of Neurology. Migren merupakan gangguan bersifat familial dengan karakteristik serangan nyeri kepala yang berulang-ulang yang intensitas, frekuensi dan lamanya bervariasi.Nyeri kepala umumnya unilateral, disertai anoreksia, mual, dan muntah.Dalam beberapa kasus migren ini didahului oleh gangguan neurologik dan gangguan perasaan hati.

Definisi migren yang lain yang ditetapkan oleh panitia ad hoc mengenai nyeri kepala (Ad Hoc Comittee on Classification of Headache) adalah serangan nyeri kepala unilateral berulang-ulang dengan frekuensi lama dan hebatnya rasa nyeri yang beraneka ragam dan biasanya berhubungan dengan tidak suka makan dan terkadang dengan mual dan muntah. Terkadang didahului oleh gangguan sensorik, motorik, dan kejiwaan.Sering dengan faktor keturunan.

Harsono (2011) mengusulkan definisi migren sebagai nyeri kepala berulang-ulang berlangsung antara 2-72 jam dan bebas nyeri antara serangan nyeri kepala, harus berhubungan dengan gangguan visual atau gastrointerstinal atau keduanya.Gejala visual timbul sebagai aura dan/atau fotofobia selama nyeri kepala.Bila tidak ada gangguan visual hanya berupa gangguan gastrointestinal, maka muntah harus sebagai gejala pada beberapa serangan.


(2)

2.2. Etiologi dan Faktor Resiko Migren

Menurut Harsono (2011), sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminal vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer. Diketahui ada beberapa faktor resiko timbulnya serangan migren yaitu :

1. Perubahan hormonal

Beberapa wanita yang menderita migren merasakan frekuensi serangan akan meningkat saat menstruasi. Bahkan ada diantaranya yang hanya merasakan serangan migren saat menstruasi. Istilah ‘menstrual migraine’ sering digunakan untuk menyebut migren yang terjadi pada wanita saat dua hari sebelum menstruasi dan sehari setelahnya. Ini terjadi disebabkan penurunan kadar estrogen.

2. Kafein

Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti minuman ringan, teh, cokelat, dan kopi. Kafein dalam jumlah yang sedikit akan meningkatkan kewaspadaan dan tenaga, namun bila diminum dalam dosis yang tinggi akan menyebabkan gangguan tidur, lekas marah, cemas dan sakit kepala.

3. Puasa dan terlambat makan

Puasa dapat mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat puasa terjadi pelepasan hormone yang berhubungan dengan stres dan penurunan kadar gula darah.

4. Ketegangan jiwa (stres) baik emosional maupun fisik atau setelah istirahat dari ketegangan.

5. Cahaya kilat atau berkelip

Cahaya yang terlalu terang dan intensitas perangsangan visual yang terlalu tinggi akan menyebabkan sakit kepala pada manusia normal. Mekanisme ini juga berlaku untuk penderita migren yang memiliki kepekaan cahaya yang lebih tinggi daripada manusia normal.


(3)

6. Makanan

Penyedap makanan atau MSG dilaporkan dapat menyebabkan sakit kepala, kemerahan pada wajah, berkeringat dan berdebar-debar jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut kosong. Fenomena ini disebut ‘Chinese Restaurant Syndrome’.Aspartam atau pemanis buatan pada minuman diet dan makanan ringan, dapat menjadi pencetus migren bila dimakan dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.

7. Banyak tidur atau kurang tidur

Gangguan mekanisme tidur seperti tidur terlalu lama, kurang tidur, sering terjaga tengah malam, sangat erat hubungannya dengan migren dan sakit kepala tegang, sehingga perbaikan dari mekanisme tidur ini akan membantu mengurangi frekuensi timbulnya migren.

8. Faktor herediter 9. Faktor kepribadian 10.Faktor cuaca

Polusi udara, temperatur, suhu ruang yang tidak stabil dipercaya mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap insidensi terjadinya migren.


(4)

Tabel 2.1. Potential Migraine Triggers

Behavioral • Fasting

• Emotions

• Sleep disturbances • Stress

• Exercise

Environmental • Bright light/visual stimuli

• Odors

• Weather changes • Cigarette smoke

Infectious • Upper respiratory infections

Dietary • Caffeinated beverages

• Alcoholic beverages • Aged cheeses • Chocolate • Ice cream

Chemical • Monosodium glutamate

• Tyramine • Nitrates • Aspartame

Hormonal • Menstruation

Dikutip dari : (Martin and Behbehani, 2007).

Gambar 2.1. Frequency of individual triggers occurring at least occasionally (%)

dikutip dari : (Kelman, 2007). 2.3 Klasifikasi Migren

Menurut The International Headache Society (2013), klasifikasi migren adalah sebagai berikut :


(5)

1. Migren tanpa aura 2. Migren dengan aura

• Migren dengan aura yang khas

• Migren dengan aura yang diperpanjang

• Migren dengan lumpuh separuh badan (familial hemiflegic migraine) • Migren dengan basilaris

• Migren aura tanpa nyeri kepala • Migren dengan awitan aura akut 3. Migren oftalmoplegik

4. Migren retinal

5. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial 6. Migren dengan komplikasi

Status migren (serangan migren dengan sakit kepala lebih dari 72 jam) • Tanpa lebihan penggunaan obat

• Kelebihan penggunaaan obat untuk migren Infark migren 7. Gangguan seperti migren yang tidak terklasifikasikan

Dahulu dikenal adanya classic migraine dan common migraine.Classic migraine didahului atau disertai dengan fenomena defisit neurologik fokal, misalnya gangguan penglihatan, sensorik, atau wicara.Sedangkan common migraine tidak didahului atau disertai dengan fenomena defisit neurologikfokal. Oleh Ad Hoc Comittee of the International Headache Society diajukan perubahan nama atau sebutan untuk keduanya menjadi migren dengan aura untuk classic migraine dan migren tanpa aura untuk common migraine.

2.4 Patofisiologi migren

Patofisiologi migren masih belum jelas, namun ada tiga teori yang dapat menjelaskan mekanisme terjadinya migren. Teori pertama adalah teori vaskular


(6)

yang menyebutkan bahwa pada serangan migren terjadi vasodilatasi arteri ekstra kranial. Teori kedua adalah teori neurologi yang menyebutkan bahwa migren adalah akibat perubahan neuronal yang terjadi di area otak yang berbeda dan dimediasi perubahan sistem neurotransmisi. Teori ini fokus pada fenomena depolarisasi kortikal yang menyebar yang menyebabkan munculnya aura. Teori ketiga menyebutkan tentang perubahan vaskular akibat disfungsi neuronal sehingga terjadi vasodilatasi meningeal (Charles and Brennan, 2011).

Berdasarkan gejala klinis migren, terdapat tiga fase terjadinya migren yaitu pencetus, aura dan nyeri kepala. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pencetus melibatkan batang otak sebagai pembangkit migren dan mungkin berhubungan dengan channelopathy familial. Setelah itu, aliran darah otak regional berkurang yang diikuti depresi gelombang penyebaran kortikal. Pada penderita dengan aliran darah otak yang menurun, maka aura akan muncul. Aliran darah otak yang berkurang ini akan diikuti oleh vasodilatasi selama munculnya nyeri kepala, yang mungkin akibat dari perubahan aktivitas neuron yang mensarafi arteri kranial. Penelitian imunohisto kimiawi mendapatkan adanya neurotransmiter selain noradrenalin dan asetilkolin yang bersifat vasodilator yaitu 5-HT, vasoactive intestinal peptide (VIP), nitric oxide (NO), substansi P, neurokinin A dan CGRP. Vasodilatasi kranial menyebabkan aliran darah yang meningkat setiap kali jantung berdetak sehingga terjadi pulsasi pada pembuluh darah yang terlibat. Pulsasi tersebut akan dirasakan oleh reseptor regangan pada dinding vaskular dan menyebabkan peningkatan sensorik saraf perivaskular (trigeminus) sehingga terjadi nyeri kepala dan gejala lain (Noseda and Burstein, 2013). Rangsangan trigeminal ini akan mengeluarkan neuropeptida sehingga vasodilatasi dan aktivitas saraf perivaskular bertambah.


(7)

Gambar 2.2. Mekanisme Migren


(8)

Gambar 2.3. Patofisiologi migren dikutip dari : (Shankar, 2009)

2.5 Manifestasi Klinis Migren

Secara keseluruhan, manifestasi klinis penderita migren bervariasi pada setiap individu.Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada penderita migren, tetapi semuanya tidak harus dialami oleh setiap individu.Fase-fase tersebut antara lain (Aminoff, MJ et al, 2015) :

1. Fase Prodromal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya berupa perubahan mood, irritable, depresi, atau euphoria, perasaan lemah,


(9)

letih, lesu, tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (seperti cokelat) dan gejala lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari sebelum fase nyeri kepala. Fase ini memberi petanda kepada penderita atau keluarga bahwa akan terjadi serangan migren.

2. Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului atau menyertai serangan migren. Fase ini muncul bertahap selama 5-20 menit. Aura ini dapat berupa sensasi visual, sensorik, motorik, atau kombinasi dari aura-aura tersebut. Aura visual muncul pada 64% pasien dan merupakan gejala neurologis yang paling umum terjadi. Yang khas untuk migren adalah scintillating scotoma (tampak bintik-bintik kecil yang banyak) , gangguan visual homonym, gangguan salah satu sisi lapangan pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang bergerak pelan (fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adanya scotoma (fenomena negatif) yang timbul pada salah satu mata atau kedua mata. Kedua fenomena ini dapat muncul bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura pada migren biasanya hilang dalam beberapa menit dan kemudian diikuti dengan periode laten sebelum timbul nyeri kepala, walaupun ada yang melaporkan tanpa periode laten.

3. Fase nyeri kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral, dan awalnya berlangsung didaerah frontotemporalis dan okular, kemudian setelah 1-2 jam menyebar secara difus kearah posterior. Serangan berlangsung selama 4-72 jam pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak berlangsung selama 1-48 jam. Intensitas nyeri bervariasi, dari sedang sampai berat, dan kadang-kadang sangat mengganggu pasien dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

4. Fase Postdromal. Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi menurun, dan terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa “segar” atau euphoria setelah terjadi serangan, sedangkan yang lainnya merasa deperesi dan lemas.


(10)

Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara pada penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodromal, fase nyeri kepala, dan fase postdromal.

Gambar 2.4. Fase Migren

dikutip dari : (Dodick and Gargus, 2008)

2.6 Kriteria Diagnosis (Aminoff, MJ et al, 2015) 2.6.1 Kriteria Diagnosis Migren Tanpa Aura

A. Sekurang-kurangnya 10 kali serangan termasuk B-D

B. Serangan nyeri kepala berlangsung antara 4-72 jam (tidak diobati atau pengobatan yang tidak adekuat) dan diantara serangan tidak ada nyeri kepala


(11)

berikut:

1. Lokasi unilateral 2. Sifatnya berdenyut

3. Intensitas sedang sampai berat 4. Diperberat dengan kegiatan fisik

D. Selama serangan sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut di bawah ini:

1. Mual atau dengan muntah 2. Fotofobia atau dengan fonofobia

E. Sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut dibawah ini:

1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan adanya kelainan organik

2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya kelainan organik tetapi pemeriksaan neroimaging dan pemeriksaan tambahan lainnya tidak menunjukkan kelaianan

2.6.2 Kriteria Diagnosis Migren dengan Aura

A. Sekurang-kurangnya 2 serangan seperti tersebut dalam B

B. Sekurang-kurangnya terdapat 3 dari karakteristik tersebut dibawah ini: 1. Satu atau lebih gejala aura yang reversible yang menunjukkan

disfungsi hemisfer dan/atau batang otak

2. Sekurang-kurangnya satu gejala aura berkembang lebih dari 4 menit, atau 2 atau gejala aura terjadi bersama-sama

3. Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila lebih dari satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama. Nyeri kepala mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri kurang dari 60 menit, tetapi kadang kadang dapat terjadi sebelum aura.

C. Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini:

1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan adanya kelainan organik


(12)

organik, tetapi pemeriksaan neuroimaging dan pemeriksaan tambahan lainnya tidak menunjukkan kelainan.

2.6.3 Kriteria Diagnosis Migren Retinal

Sekurang-kurangnya terdiri dari 2 serangan sebagaimana tersebut dibawah ini:

A. Scotoma monocular yang bersifat reversibel atau buta tidak lebih dari 60 menit, dan dibuktikan dengan pemeriksaan selama serangan atau penderita menggambarkan gangguan lapangan penglihatan monokular selama serangan tersebut.

B. Nyeri kepala yang mengikuti gangguan visual dengan interval bebas nyeri tidak lebih dari 60 menit, tetapi kadang-kadang lebih dari 60 menit. Nyeri kepala bisa tidak muncul apabila penderita mempunyai jenis migren lain atau mempunyai 2 atau lebih keluarga terdekat yang mengalami migren. C. Pemeriksaan oftalmologik normal di luar serangan. Adanya emboli dapat

disingkirkan dengan pemeriksaan angiografi, CT scan, pemeriksaan jantung dan darah.

2.6.4 Kriteria Diagnosis Migren Dengan Gangguan Intrakranial

A. Sekurang-kurangnya terdapat satu jenis migren

B. Gangguan intrakranial dibuktikan dengan pemeriksaan klinik dan neuro imaging

C. Terdapat satu atau keduanya dari :

1. Awitan migren sesuai dengan awitan gangguan intrakranial 2. Lokasi aura dan nyeri sesuai dengan lokasi gangguan intrakranial D. Bila pengobatan gangguan intrakranial berhasil maka migren akan hilang


(13)

2.7 Komplikasi Migren

a. Status Migrenosus

Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam, mendapat pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang 4 jam (tidak termasuk tidur) (Headache Classification Comittee of International Headache Society ,2013).

b. Infark Migrenosus

Dahulu disebut migren komplikata. Migren komplikata adalah keadaan satu atau lebih gejala aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam waktu 7 hari dan atau didapatkan infark iskemik pada konfirmasi pemeriksaan neuroimaging. Insidensi sangat rendah, biasanya jenis migren ini terjadi setelah lama menderita migren dengan aura. Patogenesis belum diketahui, tetapi faktor hiperaglutinasi dan hiperviskositas mempunyai peranan penting.

Perbedaan antara Migren Tanpa Aura dengan Migren Aura

Dalam klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Association, definisi migren tanpa aura (MTA) dan migren aura (MA) dibedakan oleh kriteria diagnostik. Secara klinisnya keduanya dapat dibedakan dari ada dan tidak adanya gejala aura, gejala aura terjadi secara simultan dengan penurunan aliran darah otak, sedangkan pada MTA aliran darah otak normal. Selanjutnya pada fase nyeri terjadi dilatasi dari arteri serebri media baik pada MTA maupun MA.Hal tersebut menunjukkan bahwa patogenesis MA dan MTA pasa fase awal berbeda tetapi hampir serupa pada fase nyeri. Beberapa perbedaan lain antara MA dan MTA


(14)

Tabel 2.2. Perbedaan migren tanpa aura dengan migren aura

Migren tanpa aura Migren aura

prevalensi 14.7% 7.9%

Rasio laki-laki : perempuan 1:2,2 1:1,5 Usia saat onset Sesuai kurva normal

(unimodal)

Kurva dengan dua puncak

(bimodal) Sensitivitas terhadap hormon

wanita

-migren menstruasi

-onset migren dan menarche sama -migren ovulasi 24,8% 64,3% 3,6% 8,1% 0 6,6% Sensitifitas terhadap sinar

terang

(-) >>

Pola keluarga < >

Frekuensi serangan Sering Jarang

Lama serangan Panjang Pendek

Penurunan CBF (-) (+)

dikutip dari : (Harsono, 2011).

2.8 Diagnosis Migren

Diagnosis migren ditegakkan berdasarkan anamnesis, karena nyeri kepala merupakan keluhan yang sangat subjektif, jarang sekali didapatkan kelainan neurologis dan bila ada biasanya terjadi saat serangan.

2.8.1 Anamnesis

Dalam anamnesis perlu digali lokasi, penjalaran, intensitas, kualitas, gejala premonitory, aura, gejala penyerta, faktor pencetus, faktor peringan/perberat dan riwayat keluarga. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ketepatan diagnosis migren mencapai 95%. Apabila didapatkan kelainan neurologis saat serangan migren, untuk membedakan dengan kelainan neurologis lain perlu dilakukan pemeriksaan ulang saat bebas serangan, sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.


(15)

2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Disamping pemeriksaan fisik secara umum, dilakukan pemeriksaan neurologis yang meliputi: Nervus kranialis, pupil, lapangan pandang, gerakan bola mata, funduskopi untuk evaluasi keadaan n. II, retina dan pembuluh darah retina, kekuatan otot, tonus dan koordinasi,reflex fisiologis dan patologis, sensorik terutama sensorik kortikal (stereognosis), gait, bising orbita, palpasi arteri superfisialis temporalis.

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang diperlukan bila dicurigai adanya kelainan struktural yang mempunyai gejala seperti migren (Sprenger, 2012).

a. EEG. Gambaran abnormal yang sering dijumpai adalah perlambatan aktifitas listrik, peningkatan gelombang teta dan delta di daerah kepala belakang, pada sisi nyeri kepala kadang-kadang didapatkan gelombang tajam yang tidak spesifik.

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI pada 91 penderita migren dan 98 kontrol, didapatkan lesi kecil di substansia alba pada 15 dari 51 penderita (29,4%), sedangkan pada kontrol 11 dari 98 orang (11,2%) dan ini mempunyai perbedaan bermakna.

c. PET (Positron Emission Tomography). Sachs membangkitkan serangan migren pada 5 penderita dengan injeksi reserpin subkutan, kemudian dilakukan pemeriksaan PET 1,5 jam setelah pemberian, terjadi penurunan yang bermakna pada metabolisme glukosa pada penderita migren.


(16)

2.9 Penatalaksanaan Migren

2.9.1 Mencegah atau menghindari faktor pencetus. 2.9.2 Pengobatan non-medik.

Karena faktor pencetus tidak selalu bisa dihindari, maka dianjurkan pengobatan non- medik, oleh karena hal ini dapat mengurangi banyaknya obat migren sehingga efek samping dari obat-obatan dapat dikurangi.Termasuk dalam pengobatan non-medik adalah latihan relaksasi otot (Emma, 2012).

2.9.3 Pengobatan simptomatik

Harsono (2011), menganjurkan pada waktu serangan migren sebagai berikut :

a. Mencegah pemberian obat-obat yang mengganggu tidur

b. Obat-obat anti mual seperti metoklopramid. Obat anti mual dapat memicu aktivitas normal pencernaan (gastrointestinal) yang terganggu saat serangan migren.

c. Analgetika sederhana. Misalnya aspirin atau parasetamol dapat menghilangkan nyeri kepala bila sebelumnya diberi yang memicu aktivitas gastrointestinal.

d. Ergotamin tartrat. Cara kerja obat ini bifasik, bergantung pada tahanan darah yang telah ada sebelumnya.

2.9.4 Pengobatan abortif

Harus diberikan sedini mungkin, tetapi sebaiknya saat timbul nyeri kepala. Obat yang dapat digunakan (Kelley and Tepper, 2012) :

a. Ergotamin tartrat dapat diberikan tersendiri atau dicampur dengan obat antiemetik, analgesik, atau sedatif.

b. Dihidroergotamin (DHE) merupakan agonis reseptor serotonin yang aman dan efektif untuk menghilangkan serangan migren dengan efek samping mual yang kurang dan lebih bersifat vasokonstriktor.

c. Sumatriptan suksinat merupakan agonis selektif reseptor 5- Hidroksi triptamin (5-HT1D) yang efektif dan cepat menghilangkan serangan nyeri.


(17)

2.9.5 Pengobatan pencegahan

Pengobatan pencegahan diberikan bila terdapat lebih dari 2 kali serangan dalam sebulan. Obat pencegah migren adalah (Kelley, 2012) :

a. Beta-blocker b. Antagonis Ca

c. Antiserotonin dan antihistamin d. Antidepresan trisiklik


(1)

organik, tetapi pemeriksaan neuroimaging dan pemeriksaan tambahan lainnya tidak menunjukkan kelainan.

2.6.3 Kriteria Diagnosis Migren Retinal

Sekurang-kurangnya terdiri dari 2 serangan sebagaimana tersebut dibawah ini:

A. Scotoma monocular yang bersifat reversibel atau buta tidak lebih dari 60 menit, dan dibuktikan dengan pemeriksaan selama serangan atau penderita menggambarkan gangguan lapangan penglihatan monokular selama serangan tersebut.

B. Nyeri kepala yang mengikuti gangguan visual dengan interval bebas nyeri tidak lebih dari 60 menit, tetapi kadang-kadang lebih dari 60 menit. Nyeri kepala bisa tidak muncul apabila penderita mempunyai jenis migren lain atau mempunyai 2 atau lebih keluarga terdekat yang mengalami migren. C. Pemeriksaan oftalmologik normal di luar serangan. Adanya emboli dapat

disingkirkan dengan pemeriksaan angiografi, CT scan, pemeriksaan jantung dan darah.

2.6.4 Kriteria Diagnosis Migren Dengan Gangguan Intrakranial

A. Sekurang-kurangnya terdapat satu jenis migren

B. Gangguan intrakranial dibuktikan dengan pemeriksaan klinik dan neuro imaging

C. Terdapat satu atau keduanya dari :

1. Awitan migren sesuai dengan awitan gangguan intrakranial 2. Lokasi aura dan nyeri sesuai dengan lokasi gangguan intrakranial


(2)

2.7 Komplikasi Migren

a. Status Migrenosus

Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam, mendapat pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang 4 jam (tidak termasuk tidur) (Headache Classification Comittee of International Headache Society ,2013).

b. Infark Migrenosus

Dahulu disebut migren komplikata. Migren komplikata adalah keadaan satu atau lebih gejala aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam waktu 7 hari dan atau didapatkan infark iskemik pada konfirmasi pemeriksaan neuroimaging. Insidensi sangat rendah, biasanya jenis migren ini terjadi setelah lama menderita migren dengan aura. Patogenesis belum diketahui, tetapi faktor hiperaglutinasi dan hiperviskositas mempunyai peranan penting.

Perbedaan antara Migren Tanpa Aura dengan Migren Aura

Dalam klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Association, definisi migren tanpa aura (MTA) dan migren aura (MA) dibedakan oleh kriteria diagnostik. Secara klinisnya keduanya dapat dibedakan dari ada dan tidak adanya gejala aura, gejala aura terjadi secara simultan dengan penurunan aliran darah otak, sedangkan pada MTA aliran darah otak normal. Selanjutnya pada fase nyeri terjadi dilatasi dari arteri serebri media baik pada MTA maupun MA.Hal tersebut menunjukkan bahwa patogenesis MA dan MTA pasa fase awal berbeda tetapi hampir serupa pada fase nyeri. Beberapa perbedaan lain antara MA dan MTA


(3)

Tabel 2.2. Perbedaan migren tanpa aura dengan migren aura

Migren tanpa aura Migren aura

prevalensi 14.7% 7.9%

Rasio laki-laki : perempuan 1:2,2 1:1,5

Usia saat onset Sesuai kurva normal (unimodal)

Kurva dengan dua puncak

(bimodal) Sensitivitas terhadap hormon

wanita

-migren menstruasi

-onset migren dan menarche sama -migren ovulasi 24,8% 64,3% 3,6% 8,1% 0 6,6%

Sensitifitas terhadap sinar terang

(-) >>

Pola keluarga < >

Frekuensi serangan Sering Jarang

Lama serangan Panjang Pendek

Penurunan CBF (-) (+)

dikutip dari : (Harsono, 2011). 2.8 Diagnosis Migren

Diagnosis migren ditegakkan berdasarkan anamnesis, karena nyeri kepala merupakan keluhan yang sangat subjektif, jarang sekali didapatkan kelainan neurologis dan bila ada biasanya terjadi saat serangan.

2.8.1 Anamnesis

Dalam anamnesis perlu digali lokasi, penjalaran, intensitas, kualitas, gejala premonitory, aura, gejala penyerta, faktor pencetus, faktor peringan/perberat dan riwayat keluarga. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ketepatan


(4)

2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Disamping pemeriksaan fisik secara umum, dilakukan pemeriksaan neurologis yang meliputi: Nervus kranialis, pupil, lapangan pandang, gerakan bola mata, funduskopi untuk evaluasi keadaan n. II, retina dan pembuluh darah retina, kekuatan otot, tonus dan koordinasi,reflex fisiologis dan patologis, sensorik terutama sensorik kortikal (stereognosis), gait, bising orbita, palpasi arteri superfisialis temporalis.

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang diperlukan bila dicurigai adanya kelainan struktural yang mempunyai gejala seperti migren (Sprenger, 2012).

a. EEG. Gambaran abnormal yang sering dijumpai adalah perlambatan aktifitas listrik, peningkatan gelombang teta dan delta di daerah kepala belakang, pada sisi nyeri kepala kadang-kadang didapatkan gelombang tajam yang tidak spesifik.

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI pada 91 penderita migren dan 98 kontrol, didapatkan lesi kecil di substansia alba pada 15 dari 51 penderita (29,4%), sedangkan pada kontrol 11 dari 98 orang (11,2%) dan ini mempunyai perbedaan bermakna.

c. PET (Positron Emission Tomography). Sachs membangkitkan serangan migren pada 5 penderita dengan injeksi reserpin subkutan, kemudian dilakukan pemeriksaan PET 1,5 jam setelah pemberian, terjadi penurunan yang bermakna pada metabolisme glukosa pada penderita migren.


(5)

2.9 Penatalaksanaan Migren

2.9.1 Mencegah atau menghindari faktor pencetus. 2.9.2 Pengobatan non-medik.

Karena faktor pencetus tidak selalu bisa dihindari, maka dianjurkan pengobatan non- medik, oleh karena hal ini dapat mengurangi banyaknya obat migren sehingga efek samping dari obat-obatan dapat dikurangi.Termasuk dalam pengobatan non-medik adalah latihan relaksasi otot (Emma, 2012).

2.9.3 Pengobatan simptomatik

Harsono (2011), menganjurkan pada waktu serangan migren sebagai berikut :

a. Mencegah pemberian obat-obat yang mengganggu tidur

b. Obat-obat anti mual seperti metoklopramid. Obat anti mual dapat memicu aktivitas normal pencernaan (gastrointestinal) yang terganggu saat serangan migren.

c. Analgetika sederhana. Misalnya aspirin atau parasetamol dapat menghilangkan nyeri kepala bila sebelumnya diberi yang memicu aktivitas gastrointestinal.

d. Ergotamin tartrat. Cara kerja obat ini bifasik, bergantung pada tahanan darah yang telah ada sebelumnya.

2.9.4 Pengobatan abortif

Harus diberikan sedini mungkin, tetapi sebaiknya saat timbul nyeri kepala. Obat yang dapat digunakan (Kelley and Tepper, 2012) :


(6)

2.9.5 Pengobatan pencegahan

Pengobatan pencegahan diberikan bila terdapat lebih dari 2 kali serangan dalam sebulan. Obat pencegah migren adalah (Kelley, 2012) :

a. Beta-blocker b. Antagonis Ca

c. Antiserotonin dan antihistamin d. Antidepresan trisiklik