Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan
BAB II
ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA
DI HUMBANG HASUNDUTAN
2.1 Keadaan Geografis Daerah Penelitian
Geografis daerah penelitian berlokasi di sebuah kampung kecil di Kecamatan
Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu desa Pandumaan. Kabupaten
Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara
yang ibukotanya ialah Doloksanggul.
Kabupaten Humbang Hasundutan secara geografis terletak pada garis
2o1' 2o 28' Lintang Utara. 98o10o -98o58' Bujur timur yang terletak ditengah wilayah
Provinsi Sumatera Utara. Dengan
Luas
Wilayah daratan: 250.271,02 Ha dan
1.494,91 Ha luas perairan (danau toba), dengan jumlah penduduk 171.650 jiwa.
Secara administratif pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10
Kecamatan, 1 Kelurahan dan 143 Desa dengan Suhu Udara berkisar antara 170 C 290 C. 14
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang
mempunyai ketinggian bervariasi antara 330-2.075 Meter diatas permukaan laut,
dengan perincian :
Datar
= 278,75 Km2 (0 s/d 2 %)
Landai
= 491,63 Km2 (2 s/d 15 %)
Miring
= 1.066,50 Km2 (15 s/d 40 %)
Terjal
= 665,82 Km2 (40 s/d 44 %)
Kabupaten ini berada di jajaran Bukit Barisan dengan keadaan Tanah
umumnya bergelombang. Merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk
beberapa kabupaten : Dairi, Tapanuli Tengah dan Toba Samosir. Seperti layaknya
daerah tropis lainnya, Humbang Hasundutan mengalami dua musim yaitu Hujan dan
Kemarau. Selama tahun 2011 hujan cenderung lebih sering terjadi di Humbang
14
Sumber :https://humbahaskab.go.id
Hasundutan, dimana tercatat bahwa hujan terjadi sebanyak 208 hari dengan rata - rata
curah hujan mencapai 228,76 mm setiap bulannya.
Banyak hal yang mempengaruhi curah hujan diantaranya adalah ketinggian
tempat, arah angin, perbedaan suhu tanah (daratan) dengan lautan dan luas daratan.
Oleh karena itu, curah hujan yang terjadi di Humbang Hasundutan juga berbeda beda menurut bulan dan Kecamatan. Curah hujan tertinggi pada November yaitu
342,78 mm selama 22 hari. Berdasarkan kecamatan, rata - rata curah hujan tertinggi
tahun 2011 terjadi di Kecamatan Pakkat (340,33 mm), sedangkan terendah di
Kecamatan Baktiraja (140,50 mm). 15
Sedangkan secara geografis letak Kabupaten Humbang Hasundutan diapit atau
berbatasan langsung dengan empat kabupaten yaitu :
•
•
•
•
15
Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara,
Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Barat,
Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, dan
Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Sumber :https://humbahaskab.go.id
Gambar 2.1 Peta Sumatera Utara 16
16
www.google.com
1. Gambar 2.2. Kabupaten Humbang Hasundutan 17
17
www.google.com
Nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai
berikut:
1. Kecamatan Paranginan
2. Kecamatan Lintong nihuta
3. Kecamatan Bakti Raja
4. Kecamatan Doloksanggul
5. Kecamatan Pollung
6. Kecamatan Sijamapolang
7. Kecamatan Onan Ganjang
8. Kecamatan Pakkat
9. Kecamatan Tara Bintang
10. Kecamatan Parlilitan
Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 Kecamatan dimana salah
satunya adalah Kecamatan Pollung yang juga merupakan lokasi penelitian penulis,
tepatnya di Kampung Pandumaan.
Kecamatan Pollung terletak antara 2o09-2o25o Lintang Utara dan 98o49o Bujur
Timur dan berada 1300 meter diatas permukaan laut 18. Kecamatan Pollung memiliki
luas wilayah 32.736,46 Ha yang terdiri dari 13 desa dan 45 dusun yang berbatasan
dengan :
•
•
•
•
18
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Harian Kabupaten Samosir
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bakti Raja
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Doloksanggul
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan
https://humbahaskab.go.id
Data statistik Kecamatan Pollung mengenai keadaan penduduk, pendidikan,
pertanian, kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel-1. Jumlah penduduk per Desa di Kec.Pollung
No
NAMA DESA
KEPALA DESA
JUMLAH PENDUDUK
Laki-laki
perempuan
Jumlah
1
Parsingguran I
Hobby Banjarnahor
548
25
1.173
2
Hutapaung
Jamotan Lumban Gaol
768
93
1.561
3
Pollung
Trosky Banjarnahor
824
14
1.638
4
Hutajulu
Saurma S Lumban Gaol
1.153
1.076
2.229
5
Ria-Ria
Rosman Siregar
1.156
1.162
2.318
6
ParsingguraII
Sabar Banjarnahor
1.054
1.061
2.115
7
Pansurbatu
Pondis Lumban Batu
690
689
1.379
8
Aek Nauli I
Jasihar Manullang
659
691
1.350
9
Aek Nauli II
Sahat Lumban Gaol
630
726
1.356
10
Pandumaan
BudimanLumban Batu
619
685
1.304
11
Sipituhuta
Harianto Lumban Gaol
1.126
1.075
2.201
12
Pardomuan
Harjo Lumban Gaol
273
230
503
13
Hutapaung
Dippos Lumban Gaol
534
495
1.029
10.034
10.122
0156
Utara
JUMLAH
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
Tabel-2 Distribusi Sarana Pendidikan
TK
SD
5
19
SMP
SMA
SMK
4
1
1
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
Tabel-3 Distribusi Sarana Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
-
1
Pustu
BPU
Posyandu
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
Tanaman Kemenyan
No
Nama Kecamatan
Luas (ha)
Produktifitas (ton)
1
Pakkat
57,00
16,53
2
Onan ganjang
1.039,00
294,25
3
Sijamapolang
529,00
125,25
4
Lintong Nihuta
0,00
0,00
5
Paraginan
0,00
0,00
6
Doloksanggul
1.403,00
416,99
7
Pollung
284,00
84,21
8
Parlilitan
818,00
357,09
9
Tarabintang
27,00
10,50
10
Baktiraja
0,00
0,00
TOTAL
4.221,00
1.304,82
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
2.2 Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pollung khususnya di Desa
Pandumaan keseluruhannya adalah etnis Batak Toba, sehingga kebudayaan yang ada
dan dipakai oleh masyarakat ini adalah adat Batak Toba.
2.2.1 Struktur Kekerabatan
Struktur kekerabatan yang dimaksud penulis adalah hubungan kekeluargaan
antara satu individu dengan individu lain. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu
disebabkan hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinan (konjunal).
Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang
(individu) dan antara seorang kelompok (keluarga/kerabat) demikian pula
sebaliknya 19.
Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba secara umum
menganut garis keturunan patrilineal, dimana marga (nama belakang yang menjadi
tanda pengenal) keturunan dalam keluarga akan mengikuti marga si ayah yang juga
berperan sebagai kepala keluarga. Namun meskipun garis keturunan mengikuti
keturunan ayah, bukan berarti keturunan ibu tidak dianggap penting. Saudara laki-laki
dari ibu yang dipanggil tulang (paman) oleh keturunannya bahkan memiliki status
yang tinggi dalam adat batak. Status ini dikenal dengan nama hula-hula.
2.2.1.1 Kekerabatan berdasarkan keturunan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Pandumaan tidak
jauh berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.
Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada
tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga (klan),
dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah, patrilineal),
seperti yang sudah dijelaskan di atas.
19
Lihat, Kepler, 2002 :33.
Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan
terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk
perempuan disebut boru. Dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan ini, dalam
masyarakat Batak Toba, termasuk yang ada di desa Pandumaan, terdapat beberapa
nama panggilan antara satu individu dengan individu lainnya yang masih tergolong
dalam satu garis keturunan. Nama panggilan tersebut diantaranya adalah:
a. Inong, adalah nama panggilan untuk ibu yang melahirkan anakanaknya.
b. Among, adalah nama panggilan anak-anak kepada ayahnya selaku
kepala rumah tangga
c. Ompung Doli (Kakek), dibaca Oppung Doli adalah panggilan khusus
kepada kakek kita, ayah dari ayah/ibu kita
d. Ompung Boru (Nenek), dibaca Oppung Boru adalah panggilan khusus
kepada nenek kita, ibu dari ayah/ibu kita
e. Gelleng, adalah Sebutan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan).
f. Anaha/sinuan tunas, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada
anaknya laki-laki
g. Boru/sinuaan beu, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anak
perempuannya.
h. ito/iboto, adalah adalah panggilan anak laki-laki kepada anak
perempuan, demikian juga sebaliknya.
i. Anggi, adalah nama panggilan antara anak laki-laki kepada adiknya
laki-laki, dan juga panggilan antara anak perempuan dengan adik
perempuannya.
j. Akkang, adalah nama panggilan kepada anak yang lebih muda
kepadaanak yang lebih tua darinya, dalam konteks ini adalah mereka
yang berjenis kelamin sama.
k. Pahoppu, adalah nama panggilan kakek dan nenek kepada cucucucunya.
Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berperan sebagai pewaris dan
penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis
akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi
keturunannya, dan anak-anak yang dilahirkannya secara otomatis akan menyandang
marga suaminya.
Apabila ada orang Batak pergi merantau dan diperantauan dia bertemu dengan
suku Batak juga secara otomatis mereka martutur/martarombo dan apabila mereka
semarga maka dia akan diperlakukan seperti keluarga di perantauan. Hal itu terjadi
karena dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat
yang memiliki satu nenek moyang yang sama (dongan tubu, dongan sabutuha). Pria
dan wanita yang semarga disebut marito (abang beradik) dan sangat tidak dibenarkan
untuk kawin/menikah.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa marga pada masyarakat Batak Toba
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu
juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga juga sangat
berperan dalam mengatur tata kehidupan masyarakat.
2.2.1.2 Kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan
Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan
dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri
dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak.
Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan
kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982).
Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang
dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan
bersama, ibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban diatasnya. Tiga batu
penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam
usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki
peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama
yang lain.
Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula,
dongan tubu dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga yang
paling dihormati dan derajatnya paling tinggi. Hula-hula adalah pihak dari istri yaitu
orangtua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga
lain. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagiaan,
pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba
meyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut
sebagai “Tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orangorang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya.
Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang
sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama.
Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederajat dengan pihak
yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk
mengawasi berjalannya acara adat.
Boru adalah keluarga yang memperistri anak perempuan dari suatu marga.
Boru adalah parhobas (yang mempersiapkan) dalam acara adat. Boru lah yang selalu
sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan
adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau
acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah
perheletan atau pesta dari pihak hula-hula.
Ketiga unsur dalam dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan
bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap
orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-
hulaakan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga
dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi
keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga
konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan:
“somba marhula-hula, elek marbolu, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53).
Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah
kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu
bersikap mangelek (mmbujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan
tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan
selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan
tubu.
Dalam sistem kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan ini, juga
terdapat nama panggilan antara masing-masing pihak mempelai laki-laki dengan
pihak mempelai perempuan, yang merupakan tambahan dari nama panggilan yang
ada dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan, ada pun nama panggilan ini
adalah sebagai berikut :
a. Hela, adalah panggilan kepada Menantu laki-laki atau sebutan untuk suami
dari anak abang/anak adik kita.
b. Parumaen, adalan nama panggilan kepada Menantu Perempuan atau Istri ari
anak kita laki-laki
c. Amang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua lakilakinya
d. Inang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua
perempuannya.
e. Lae, adalah panggilan kita (laki-laki) kepada anak laki-laki dari tulang kita,
dan juga panggilan kita (laki-laki) kepada suami dari saudari kita yang
perempuan.
f. Tunggane, adalah panggilan kepada Semua abang dan adik (laki-laki) dari
isteri kita atau semua anak laki-laki dari tulang kita
g. Tulang, adalah panggilan kepada Abang atau adik (laki-laki) dari ibu kita,
atau laki-laki yang satu marga dengan Istri kita.
h. Nantulang, panggilan kepada istri dari tulang kita
i. Namboru, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ayah kita yang
perempuan yang sudah Nikah ataupun belum.
j. Eda, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ipar sesama antara
perempuan.
k. Amangbao / Bao, adalah nama panggilan kepada suami dari eda mempelai
perempuan.
l. Inangbao, adalah nama panggilan kepada Isteri dari hula-hula atau tunggane
kita (abang/adik isteri)
m. Pariban, adalah nama panggilan kepada Putri dari Pihak Tulang kita atau satu
marga dengan Tulang kita ataupun anak laki-laki dari Namboru kita.
2.3 Bahasa
Bahasa ialah sistem perlambangan manusia dalam bentuk lisan maupun
tulisan sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain
(Koentjaraningrat, 1986:39).
Desa Pandumaan Kecamatan Pollung merupakan salah satu daerah di
Kabupaten Humbang Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba.
Bahasa Batak Toba merupakan satu-satunya bahasa komunikasi yang dipergunakan
masyarakat Batak yang menetap disana. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak
pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering
digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Hal ini bisa
dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat setempat.
2.4 Sistem Religi
Kata religi dalam kamus sosiologi (Soerjono Soekanto, 1983:403) berasal dari
kata religion yang berarti: kepercayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat
kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi
mengenai hal-hal spiritual.
Sistem religi yang ada pada masyarakat di Desa Pandumaan Kecamatan
Pollung mayoritas beragama Kristen Protestan dan sebagian lagi beragama Katolik.
Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan terhadap
benda-benda yang dianggap memiliki kekuataan gaib dan roh-roh orang yang telah
meninggal (dinamisme). Benda-benda mati dipercayai memiliki kekuatan (roh)
misalnya: gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib.
Orang Batak juga percaya kepada arwah leluhur yang telah meninggal, ada
yang baik dan ada yang buruk. Ada yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan
penyakit atau malapetaka kepada manusia, dan ada yang bersifat memperbaiki diri
dan ada roh yang ditakuti. Penghormatan dan penyembahan yang dilakukan kepada
arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut
maupun pada keturunannya.
Dari dulu sampai zaman modern sekarang ini masyarakat Batak tetap
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan bumi. Masyarakat Batak Toba mengenal tiga
konsep menyangkut jiwa dan roh, yaitu:
1.Tondi
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan
sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari
sombaon yang menawannya.
2. Sahala
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
3. Begu
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti
oleh orang Batakyaitu:
1. Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan
rimba yang gelap dan mengerikan.
2. Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat-tempat tertentu
3. Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu
marga
4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat
membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi masih
banyak orang Batak yang mempercayainya.
2.5 Sistem Mata Pencaharian
Kecamatan Pollung merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung
dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat
yang tinggal di kecamatan ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya
masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan, dalam usaha memenuhi kebutuhan
hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti kopi, padi dan penyadap
pohon haminjon (kemenyan) yang merupakan tumbuhan alami yang tumbuh disekitar
desa tersebut. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai
guru dan bekerja di pemerintahan. Namun sekalipun berprofesi sebagai guru dan
pegawai pemerintah, mereka juga melakukan kegiatan bertani sebagai pekerjaan
sampingan di saat senggang atau setelah pulang dari bekerja.
Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap kemenyan. Kemenyan ini
diperoleh dari pohon haminjon yang masih tumbuh secara alami tanpa adanya niat
untuk membudidayakan pohon haminjon tersebut. Di desa ini belum ada dijumpai
orang yang membudidayakan pohon haminjon. Pohon haminjon yang disadap
biasanya tumbuh di ladang milik orang. Panige harus minta ijin terlebih dahulu
kepada pemilik ladang sebelum menyadap pohon kemenyan yang ada di ladangnya
tersebut. Pemilik haminjon biasanya tidak pernah meminta atau mempermasalahkan
pembagian dari hasil penjualan kemenyan tersebut nantinya. Semua tergantung dari
parhaminjon yang menyadap pohon haminjon di ladang pemilik tersebut mau
memberikan sebagian hasilnya atau tidak.
2.6 Kesenian
2.6.1 Seni musik
Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang biasanya
mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai
alat/instrumen musik. Menurut Hutajulu dan Harahap (2005:19), istilah penggunaan
gondang bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiannya, misalnya:
1. Gondang hasahatan; kata gondang memiliki makna sebuah komposisi.
2. Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari
tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata
Sori”.
3. Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu
sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.
4. Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara penyembahan.
5. Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna
ensambel musik.
Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba,
yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat
dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune
bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang
terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune
etek (aerofon), dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang
hasapi ini sudah jarang dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa
Pandumaan sampai saat ini. Masyarakat sudah memakai instrument kibot dan sulim
dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa
pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai
pelengkap.
Penggunaan musik di desa Pandumaan ini juga terdapat digereja pada saat
masyarakat ibadah, instrumen yang biasa dipakai adalah keyboard dengan
menggunakan voice organ. Dalam beberapa iringan lagu tertentu, kadang mereka
menggunakan instrument Gitar dan Seruling untuk menambahkan variasi musik
tersebut.
2.6.2 Seni tari
Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor
dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat
seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh
pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan
tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba.
Pada masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan kegiatan martumba sudah
tidak dilakukan lagi. Unsur hiburan lain seperti siaran televisi dan kemajuan jaman
menjadi salah satu penyebab kegiatan ini tidak dilakukan lagi. Akan tetapi, tortor
yang menjadi salah satu seni tari dari masyarakat batak toba masih dilakukan pada
saat upacara perkawinan atau upacara adat kematian yang terdapat di desa
Pandumaan.
2.6.3
Seni sastra
Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba
dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu:
1. Umpasa/umpama merupakan kata-kata (perumpamaan) yang berisi ajaran
tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan
religius. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara
adat yang ada di masyarakat desa Pandumaan ini.
2. Tonggo-tonggo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teksteks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada
Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan
dan harapan. Tonggo ini masih terdapat dimasyarakat desa Pandumaan,
khususnya bagi mereka petani kemenyan yang masih martonggo pada saat
manige (menyadap).
3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber
dari berbagai mitos dan legenda. Legenda yang biasa diceritakan dalam
masyarakat Desa Pandumaan adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba,
Sitapi omas, dan Bongkahan emas di Dolok Pinapan, Namun menurut
Op.Besson Lumbangaol, turi-turian ini sudah jarang ditemukan di Desa
Pandumaan.
4. Huling-huling ansa (marhutissa) adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki
yang umumnya dilakukan oleh pemuda dan pemudi dan anak-anak usia
sekolah di waktu senggang.
Umpasa/ umpama merupakan seni sastra yang masih terdapat pada
masyarakat yang ada di Desa Pandumaan sampai saat ini. Berdasarkan pengamatan
penulis, umpasa/umpama sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan
juga upacara adat kematian.
2.6.4
Seni Rupa
Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling
umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini
adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam
orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut
menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada
masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat (Harahap, 2005:12).
Ada beberapa contoh karya seni rupa yang masih dapat ditemui penulis
dilapangan, diantaranya adalah ukiran patung-patung berbentuk manusia yang
terdapat di makam-makam leluhur masyarakat setempat, dan juga ukiran-ukiran relief
yang terdapat pada Padung (lumbung padi) oleh masyarakat desa Pandumaan.
ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA
DI HUMBANG HASUNDUTAN
2.1 Keadaan Geografis Daerah Penelitian
Geografis daerah penelitian berlokasi di sebuah kampung kecil di Kecamatan
Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu desa Pandumaan. Kabupaten
Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara
yang ibukotanya ialah Doloksanggul.
Kabupaten Humbang Hasundutan secara geografis terletak pada garis
2o1' 2o 28' Lintang Utara. 98o10o -98o58' Bujur timur yang terletak ditengah wilayah
Provinsi Sumatera Utara. Dengan
Luas
Wilayah daratan: 250.271,02 Ha dan
1.494,91 Ha luas perairan (danau toba), dengan jumlah penduduk 171.650 jiwa.
Secara administratif pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10
Kecamatan, 1 Kelurahan dan 143 Desa dengan Suhu Udara berkisar antara 170 C 290 C. 14
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang
mempunyai ketinggian bervariasi antara 330-2.075 Meter diatas permukaan laut,
dengan perincian :
Datar
= 278,75 Km2 (0 s/d 2 %)
Landai
= 491,63 Km2 (2 s/d 15 %)
Miring
= 1.066,50 Km2 (15 s/d 40 %)
Terjal
= 665,82 Km2 (40 s/d 44 %)
Kabupaten ini berada di jajaran Bukit Barisan dengan keadaan Tanah
umumnya bergelombang. Merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk
beberapa kabupaten : Dairi, Tapanuli Tengah dan Toba Samosir. Seperti layaknya
daerah tropis lainnya, Humbang Hasundutan mengalami dua musim yaitu Hujan dan
Kemarau. Selama tahun 2011 hujan cenderung lebih sering terjadi di Humbang
14
Sumber :https://humbahaskab.go.id
Hasundutan, dimana tercatat bahwa hujan terjadi sebanyak 208 hari dengan rata - rata
curah hujan mencapai 228,76 mm setiap bulannya.
Banyak hal yang mempengaruhi curah hujan diantaranya adalah ketinggian
tempat, arah angin, perbedaan suhu tanah (daratan) dengan lautan dan luas daratan.
Oleh karena itu, curah hujan yang terjadi di Humbang Hasundutan juga berbeda beda menurut bulan dan Kecamatan. Curah hujan tertinggi pada November yaitu
342,78 mm selama 22 hari. Berdasarkan kecamatan, rata - rata curah hujan tertinggi
tahun 2011 terjadi di Kecamatan Pakkat (340,33 mm), sedangkan terendah di
Kecamatan Baktiraja (140,50 mm). 15
Sedangkan secara geografis letak Kabupaten Humbang Hasundutan diapit atau
berbatasan langsung dengan empat kabupaten yaitu :
•
•
•
•
15
Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara,
Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Barat,
Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, dan
Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Sumber :https://humbahaskab.go.id
Gambar 2.1 Peta Sumatera Utara 16
16
www.google.com
1. Gambar 2.2. Kabupaten Humbang Hasundutan 17
17
www.google.com
Nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai
berikut:
1. Kecamatan Paranginan
2. Kecamatan Lintong nihuta
3. Kecamatan Bakti Raja
4. Kecamatan Doloksanggul
5. Kecamatan Pollung
6. Kecamatan Sijamapolang
7. Kecamatan Onan Ganjang
8. Kecamatan Pakkat
9. Kecamatan Tara Bintang
10. Kecamatan Parlilitan
Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 Kecamatan dimana salah
satunya adalah Kecamatan Pollung yang juga merupakan lokasi penelitian penulis,
tepatnya di Kampung Pandumaan.
Kecamatan Pollung terletak antara 2o09-2o25o Lintang Utara dan 98o49o Bujur
Timur dan berada 1300 meter diatas permukaan laut 18. Kecamatan Pollung memiliki
luas wilayah 32.736,46 Ha yang terdiri dari 13 desa dan 45 dusun yang berbatasan
dengan :
•
•
•
•
18
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Harian Kabupaten Samosir
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bakti Raja
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Doloksanggul
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan
https://humbahaskab.go.id
Data statistik Kecamatan Pollung mengenai keadaan penduduk, pendidikan,
pertanian, kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel-1. Jumlah penduduk per Desa di Kec.Pollung
No
NAMA DESA
KEPALA DESA
JUMLAH PENDUDUK
Laki-laki
perempuan
Jumlah
1
Parsingguran I
Hobby Banjarnahor
548
25
1.173
2
Hutapaung
Jamotan Lumban Gaol
768
93
1.561
3
Pollung
Trosky Banjarnahor
824
14
1.638
4
Hutajulu
Saurma S Lumban Gaol
1.153
1.076
2.229
5
Ria-Ria
Rosman Siregar
1.156
1.162
2.318
6
ParsingguraII
Sabar Banjarnahor
1.054
1.061
2.115
7
Pansurbatu
Pondis Lumban Batu
690
689
1.379
8
Aek Nauli I
Jasihar Manullang
659
691
1.350
9
Aek Nauli II
Sahat Lumban Gaol
630
726
1.356
10
Pandumaan
BudimanLumban Batu
619
685
1.304
11
Sipituhuta
Harianto Lumban Gaol
1.126
1.075
2.201
12
Pardomuan
Harjo Lumban Gaol
273
230
503
13
Hutapaung
Dippos Lumban Gaol
534
495
1.029
10.034
10.122
0156
Utara
JUMLAH
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
Tabel-2 Distribusi Sarana Pendidikan
TK
SD
5
19
SMP
SMA
SMK
4
1
1
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
Tabel-3 Distribusi Sarana Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
-
1
Pustu
BPU
Posyandu
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
Tanaman Kemenyan
No
Nama Kecamatan
Luas (ha)
Produktifitas (ton)
1
Pakkat
57,00
16,53
2
Onan ganjang
1.039,00
294,25
3
Sijamapolang
529,00
125,25
4
Lintong Nihuta
0,00
0,00
5
Paraginan
0,00
0,00
6
Doloksanggul
1.403,00
416,99
7
Pollung
284,00
84,21
8
Parlilitan
818,00
357,09
9
Tarabintang
27,00
10,50
10
Baktiraja
0,00
0,00
TOTAL
4.221,00
1.304,82
Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014
2.2 Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pollung khususnya di Desa
Pandumaan keseluruhannya adalah etnis Batak Toba, sehingga kebudayaan yang ada
dan dipakai oleh masyarakat ini adalah adat Batak Toba.
2.2.1 Struktur Kekerabatan
Struktur kekerabatan yang dimaksud penulis adalah hubungan kekeluargaan
antara satu individu dengan individu lain. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu
disebabkan hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinan (konjunal).
Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang
(individu) dan antara seorang kelompok (keluarga/kerabat) demikian pula
sebaliknya 19.
Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba secara umum
menganut garis keturunan patrilineal, dimana marga (nama belakang yang menjadi
tanda pengenal) keturunan dalam keluarga akan mengikuti marga si ayah yang juga
berperan sebagai kepala keluarga. Namun meskipun garis keturunan mengikuti
keturunan ayah, bukan berarti keturunan ibu tidak dianggap penting. Saudara laki-laki
dari ibu yang dipanggil tulang (paman) oleh keturunannya bahkan memiliki status
yang tinggi dalam adat batak. Status ini dikenal dengan nama hula-hula.
2.2.1.1 Kekerabatan berdasarkan keturunan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Pandumaan tidak
jauh berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.
Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada
tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga (klan),
dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah, patrilineal),
seperti yang sudah dijelaskan di atas.
19
Lihat, Kepler, 2002 :33.
Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan
terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk
perempuan disebut boru. Dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan ini, dalam
masyarakat Batak Toba, termasuk yang ada di desa Pandumaan, terdapat beberapa
nama panggilan antara satu individu dengan individu lainnya yang masih tergolong
dalam satu garis keturunan. Nama panggilan tersebut diantaranya adalah:
a. Inong, adalah nama panggilan untuk ibu yang melahirkan anakanaknya.
b. Among, adalah nama panggilan anak-anak kepada ayahnya selaku
kepala rumah tangga
c. Ompung Doli (Kakek), dibaca Oppung Doli adalah panggilan khusus
kepada kakek kita, ayah dari ayah/ibu kita
d. Ompung Boru (Nenek), dibaca Oppung Boru adalah panggilan khusus
kepada nenek kita, ibu dari ayah/ibu kita
e. Gelleng, adalah Sebutan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan).
f. Anaha/sinuan tunas, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada
anaknya laki-laki
g. Boru/sinuaan beu, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anak
perempuannya.
h. ito/iboto, adalah adalah panggilan anak laki-laki kepada anak
perempuan, demikian juga sebaliknya.
i. Anggi, adalah nama panggilan antara anak laki-laki kepada adiknya
laki-laki, dan juga panggilan antara anak perempuan dengan adik
perempuannya.
j. Akkang, adalah nama panggilan kepada anak yang lebih muda
kepadaanak yang lebih tua darinya, dalam konteks ini adalah mereka
yang berjenis kelamin sama.
k. Pahoppu, adalah nama panggilan kakek dan nenek kepada cucucucunya.
Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berperan sebagai pewaris dan
penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis
akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi
keturunannya, dan anak-anak yang dilahirkannya secara otomatis akan menyandang
marga suaminya.
Apabila ada orang Batak pergi merantau dan diperantauan dia bertemu dengan
suku Batak juga secara otomatis mereka martutur/martarombo dan apabila mereka
semarga maka dia akan diperlakukan seperti keluarga di perantauan. Hal itu terjadi
karena dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat
yang memiliki satu nenek moyang yang sama (dongan tubu, dongan sabutuha). Pria
dan wanita yang semarga disebut marito (abang beradik) dan sangat tidak dibenarkan
untuk kawin/menikah.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa marga pada masyarakat Batak Toba
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu
juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga juga sangat
berperan dalam mengatur tata kehidupan masyarakat.
2.2.1.2 Kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan
Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan
dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri
dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak.
Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan
kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982).
Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang
dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan
bersama, ibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban diatasnya. Tiga batu
penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam
usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki
peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama
yang lain.
Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula,
dongan tubu dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga yang
paling dihormati dan derajatnya paling tinggi. Hula-hula adalah pihak dari istri yaitu
orangtua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga
lain. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagiaan,
pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba
meyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut
sebagai “Tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orangorang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya.
Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang
sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama.
Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederajat dengan pihak
yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk
mengawasi berjalannya acara adat.
Boru adalah keluarga yang memperistri anak perempuan dari suatu marga.
Boru adalah parhobas (yang mempersiapkan) dalam acara adat. Boru lah yang selalu
sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan
adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau
acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah
perheletan atau pesta dari pihak hula-hula.
Ketiga unsur dalam dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan
bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap
orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-
hulaakan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga
dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi
keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga
konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan:
“somba marhula-hula, elek marbolu, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53).
Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah
kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu
bersikap mangelek (mmbujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan
tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan
selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan
tubu.
Dalam sistem kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan ini, juga
terdapat nama panggilan antara masing-masing pihak mempelai laki-laki dengan
pihak mempelai perempuan, yang merupakan tambahan dari nama panggilan yang
ada dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan, ada pun nama panggilan ini
adalah sebagai berikut :
a. Hela, adalah panggilan kepada Menantu laki-laki atau sebutan untuk suami
dari anak abang/anak adik kita.
b. Parumaen, adalan nama panggilan kepada Menantu Perempuan atau Istri ari
anak kita laki-laki
c. Amang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua lakilakinya
d. Inang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua
perempuannya.
e. Lae, adalah panggilan kita (laki-laki) kepada anak laki-laki dari tulang kita,
dan juga panggilan kita (laki-laki) kepada suami dari saudari kita yang
perempuan.
f. Tunggane, adalah panggilan kepada Semua abang dan adik (laki-laki) dari
isteri kita atau semua anak laki-laki dari tulang kita
g. Tulang, adalah panggilan kepada Abang atau adik (laki-laki) dari ibu kita,
atau laki-laki yang satu marga dengan Istri kita.
h. Nantulang, panggilan kepada istri dari tulang kita
i. Namboru, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ayah kita yang
perempuan yang sudah Nikah ataupun belum.
j. Eda, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ipar sesama antara
perempuan.
k. Amangbao / Bao, adalah nama panggilan kepada suami dari eda mempelai
perempuan.
l. Inangbao, adalah nama panggilan kepada Isteri dari hula-hula atau tunggane
kita (abang/adik isteri)
m. Pariban, adalah nama panggilan kepada Putri dari Pihak Tulang kita atau satu
marga dengan Tulang kita ataupun anak laki-laki dari Namboru kita.
2.3 Bahasa
Bahasa ialah sistem perlambangan manusia dalam bentuk lisan maupun
tulisan sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain
(Koentjaraningrat, 1986:39).
Desa Pandumaan Kecamatan Pollung merupakan salah satu daerah di
Kabupaten Humbang Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba.
Bahasa Batak Toba merupakan satu-satunya bahasa komunikasi yang dipergunakan
masyarakat Batak yang menetap disana. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak
pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering
digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Hal ini bisa
dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat setempat.
2.4 Sistem Religi
Kata religi dalam kamus sosiologi (Soerjono Soekanto, 1983:403) berasal dari
kata religion yang berarti: kepercayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat
kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi
mengenai hal-hal spiritual.
Sistem religi yang ada pada masyarakat di Desa Pandumaan Kecamatan
Pollung mayoritas beragama Kristen Protestan dan sebagian lagi beragama Katolik.
Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan terhadap
benda-benda yang dianggap memiliki kekuataan gaib dan roh-roh orang yang telah
meninggal (dinamisme). Benda-benda mati dipercayai memiliki kekuatan (roh)
misalnya: gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib.
Orang Batak juga percaya kepada arwah leluhur yang telah meninggal, ada
yang baik dan ada yang buruk. Ada yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan
penyakit atau malapetaka kepada manusia, dan ada yang bersifat memperbaiki diri
dan ada roh yang ditakuti. Penghormatan dan penyembahan yang dilakukan kepada
arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut
maupun pada keturunannya.
Dari dulu sampai zaman modern sekarang ini masyarakat Batak tetap
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan bumi. Masyarakat Batak Toba mengenal tiga
konsep menyangkut jiwa dan roh, yaitu:
1.Tondi
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan
sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari
sombaon yang menawannya.
2. Sahala
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
3. Begu
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti
oleh orang Batakyaitu:
1. Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan
rimba yang gelap dan mengerikan.
2. Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat-tempat tertentu
3. Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu
marga
4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat
membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi masih
banyak orang Batak yang mempercayainya.
2.5 Sistem Mata Pencaharian
Kecamatan Pollung merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung
dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat
yang tinggal di kecamatan ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya
masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan, dalam usaha memenuhi kebutuhan
hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti kopi, padi dan penyadap
pohon haminjon (kemenyan) yang merupakan tumbuhan alami yang tumbuh disekitar
desa tersebut. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai
guru dan bekerja di pemerintahan. Namun sekalipun berprofesi sebagai guru dan
pegawai pemerintah, mereka juga melakukan kegiatan bertani sebagai pekerjaan
sampingan di saat senggang atau setelah pulang dari bekerja.
Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap kemenyan. Kemenyan ini
diperoleh dari pohon haminjon yang masih tumbuh secara alami tanpa adanya niat
untuk membudidayakan pohon haminjon tersebut. Di desa ini belum ada dijumpai
orang yang membudidayakan pohon haminjon. Pohon haminjon yang disadap
biasanya tumbuh di ladang milik orang. Panige harus minta ijin terlebih dahulu
kepada pemilik ladang sebelum menyadap pohon kemenyan yang ada di ladangnya
tersebut. Pemilik haminjon biasanya tidak pernah meminta atau mempermasalahkan
pembagian dari hasil penjualan kemenyan tersebut nantinya. Semua tergantung dari
parhaminjon yang menyadap pohon haminjon di ladang pemilik tersebut mau
memberikan sebagian hasilnya atau tidak.
2.6 Kesenian
2.6.1 Seni musik
Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang biasanya
mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai
alat/instrumen musik. Menurut Hutajulu dan Harahap (2005:19), istilah penggunaan
gondang bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiannya, misalnya:
1. Gondang hasahatan; kata gondang memiliki makna sebuah komposisi.
2. Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari
tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata
Sori”.
3. Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu
sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.
4. Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara penyembahan.
5. Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna
ensambel musik.
Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba,
yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat
dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune
bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang
terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune
etek (aerofon), dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang
hasapi ini sudah jarang dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa
Pandumaan sampai saat ini. Masyarakat sudah memakai instrument kibot dan sulim
dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa
pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai
pelengkap.
Penggunaan musik di desa Pandumaan ini juga terdapat digereja pada saat
masyarakat ibadah, instrumen yang biasa dipakai adalah keyboard dengan
menggunakan voice organ. Dalam beberapa iringan lagu tertentu, kadang mereka
menggunakan instrument Gitar dan Seruling untuk menambahkan variasi musik
tersebut.
2.6.2 Seni tari
Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor
dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat
seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh
pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan
tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba.
Pada masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan kegiatan martumba sudah
tidak dilakukan lagi. Unsur hiburan lain seperti siaran televisi dan kemajuan jaman
menjadi salah satu penyebab kegiatan ini tidak dilakukan lagi. Akan tetapi, tortor
yang menjadi salah satu seni tari dari masyarakat batak toba masih dilakukan pada
saat upacara perkawinan atau upacara adat kematian yang terdapat di desa
Pandumaan.
2.6.3
Seni sastra
Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba
dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu:
1. Umpasa/umpama merupakan kata-kata (perumpamaan) yang berisi ajaran
tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan
religius. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara
adat yang ada di masyarakat desa Pandumaan ini.
2. Tonggo-tonggo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teksteks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada
Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan
dan harapan. Tonggo ini masih terdapat dimasyarakat desa Pandumaan,
khususnya bagi mereka petani kemenyan yang masih martonggo pada saat
manige (menyadap).
3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber
dari berbagai mitos dan legenda. Legenda yang biasa diceritakan dalam
masyarakat Desa Pandumaan adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba,
Sitapi omas, dan Bongkahan emas di Dolok Pinapan, Namun menurut
Op.Besson Lumbangaol, turi-turian ini sudah jarang ditemukan di Desa
Pandumaan.
4. Huling-huling ansa (marhutissa) adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki
yang umumnya dilakukan oleh pemuda dan pemudi dan anak-anak usia
sekolah di waktu senggang.
Umpasa/ umpama merupakan seni sastra yang masih terdapat pada
masyarakat yang ada di Desa Pandumaan sampai saat ini. Berdasarkan pengamatan
penulis, umpasa/umpama sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan
juga upacara adat kematian.
2.6.4
Seni Rupa
Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling
umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini
adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam
orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut
menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada
masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat (Harahap, 2005:12).
Ada beberapa contoh karya seni rupa yang masih dapat ditemui penulis
dilapangan, diantaranya adalah ukiran patung-patung berbentuk manusia yang
terdapat di makam-makam leluhur masyarakat setempat, dan juga ukiran-ukiran relief
yang terdapat pada Padung (lumbung padi) oleh masyarakat desa Pandumaan.