Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ T2 752011044 BAB II

BAB II
LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA

2.1. Pendahuluan
Kajian liturgi secara umum cenderung dipahami dalam bingkai peribadahan Kristen atau di gedung Gereja. Pandangan yang demikian itu tidak
salah. Istilah tersebut memang banyak dipakai oleh dunia Kekristenan daripada kalangan kepercayaan ataupun agama-agama lainnya. Karena itu
pulalah kajian teori pada bab ini juga berpijak pada liturgi Kristen. Namun,
tujuan utamanya adalah mencari hakikat dan pokok-pokok liturgi itu sendiri
sehingga dapat dipergunakan untuk mengenal unsur-unsur yang sama di
lingkup keagamaan lain, seperti upacara kepercayaan yang ada di tengah
kehidupan masyarakat berbudaya Jawa sebagai keberadaannya yang khas
(kontekstual).
Pada Bab II ini akan dijabarkan secara berturut-turut tentang liturgi
dengan berbagai pengertian istilah maupun operasionalnya, dasar, sejarah
dan perkembangan, beserta dengan hubungannya dengan budaya. Demikian
pula dengan kajian budaya Jawa yang meliputi inti dari faham Jawa,
perubahan yang terjadi dalam perkembangan masyarakatnya serta
perwujudan dan tata susunan dalam bentuk upacara kepercayaan Jawa.
Tentunya kedua kajian itu lalu dipadukan untuk melihat upacara

17


kepercayaan Jawa sebagai liturgi, sekaligus liturgi yang kontekstual.
Akhirnya, seluruh hasil kajian teori yang tersebut ditutup kesimpulan.

2.2. Liturgi
2.2.1. Arti Liturgi
Seperti disinggung secara singkat pada Bab I, Brownlee menjelaskan
bahwa liturgi merupakan kata dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia
(λειτουργία). Istilah itu nampak dalam Kitab Perjanjian Baru bersama
dengan kata lain yang memiliki kemiripan arti, yaitu latreia (λατρεία). Arti
harafiah kedua istilah tersebut adalah karya pengabdian atau karya bakti
bagi kepentingan umat secara umum. Pada Kitab Perjanjian Lama kedua
istilah itu dikenal dengan kata sharath (

) dan abodah ( ‫) ﬠבּידּה‬, yang di-

Indonesia-kan menjadi ibadah, dan artinya kebaktian atau pelayanan.22
Jadi menurut arti katanya, istilah liturgi dan ibadah tampaknya hampir
tidak ada bedanya. Seperti dikatakan H. A. van Dop, arti keduanya seakan
sama saja.23 Selain itu, meminjam sebutan dari Emanuel Martasudjita dan

James F. White, bahwa istilah-istilah tersebut sesungguhnya merupakan
pekerjaan bermakna sekular yang lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Liturgi maupun ibadah adalah tindakan yang dilakukan oleh umat tanpa
pamrih demi kepentingan kota atau negara, sebagai pelayanan dan bakti.24

22

Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, 19.
H. A. van Dop, Hakikat dan Makna Liturgi, dalam: Liturgi dan Komunikasi
(Jakarta, YAKOMA—PGI, 2005), 104.
24
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009),
13-14.
23

18

Misalnya memberi sumbangan, iuran, pajak, dan lain sebagainya. Karena itu
secara teologis hakikat liturgi di dalam Kekristenan yang didasarkan pada
peringatan kebangkitan Yesus Kristus Tuhan tidak terpisahkan dengan

peribadahan pada hari-hari kerja atau hari-hari biasa lainnya. Sebagaimana
dikatakan J. L. Ch. Abineno bahwa pada dasarnya semula tidak ada batas
jelas antara ibadah dan kehidupan sehari-hari Jemaat Mula-Mula. Sebab di
antara keduanya memiliki hubungan yang cair dan fleksibel.25
Menurut kajian etimologis di dalam sejarah Gereja, arti liturgi maupun
ibadah memiliki banyak istilah dan perkembangan arti. Selain empat istilah
yang telah disebut, ada beberapa istilah lain yang biasa digunakan oleh
Gereja. Pertama, worship (Inggris) yang berasal dari kata weorthscipe,
artinya perbuatan yang baik atau yang layak dilakukan. Kedua, service yang
berasal dari kata servitium (Latin), artinya pelayanan pekerjaan yang
dilakukan untuk orang lain. Ketiga, office yang berasal dari kata officium
(Latin), artinya kesediaan untuk melayani. Keempat, cult/cultus yang
berasal dari kata colere (Latin), artinya tindakan memberi (persembahan)
yang menimbulkan ketergantungan atau ikatan hubungan antara pemberi
dan penerima. Kelima, kebaktian yang berasal dari kata bakthi (Sansekerta),
artinya perbuatan yang menyatakan setia melayani dan hormat, menghamba,
serta perbuatan baik dengan kerelaan. Keenam, missa (Latin), yang merupakan penyingkatan dari kata “ite missa est!” dengan arti “inilah pembubaran

25


J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, PelayanPelayannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 72-73.

19

atau pengutusan”.26 Ketujuh, ritus (Latin), artinya peribadahan yang
dilakukan sesuai dengan pola dan tata cara tertentu dalam petunjuk-petunjuk
baku dan resmi bagi umat untuk pelaksanaan ekaristi, pelayanan-pelayanan
pastoral maupun upacara-upacara peresmian. Dari istilah terakhir inilah
kemudian muncul istilah kedelapan dan kesembilan, yaitu ceremony dan
order yang menunjuk pada tata ibadah. Sebutan ceremony cenderung untuk
pelaksanaan upacara peresmian, sedangkan order digunakan untuk urutan
yang tersusun pada peribadahan.27
Kajian asal-usul istilah di atas memberikan pemahaman penting.
Liturgi memiliki tiga arti mendasar yang sejajar, yaitu pelayanan,
persembahan, serta perutusan.28 Ketiganya merupakan motivasi penting
serta saling berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan sebagai satu
kesatuan peribadahan yang dilakukan dan sekaligus dirayakan oleh Gereja
dari waktu ke waktu.29 Selanjutnya, meskipun secara harafiah memiliki
pengertian umum yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, akan
tetapi liturgi maupun peribadahan juga memiliki keterkaitan arti dengan

kegiatan-kegiatan Gereja sebagai kebersamaan umat secara terbatas. Karena
itu, pada satu segi tampaknya liturgi bisa dikatakan tidak sama persis
dengan ibadah. Liturgi mengesankan sebagai suatu bentuk rumusan gagasan
Gereja melalui tindakan di dalam pola dan tata cara yang tersusun secara
teratur untuk mengungkapkan maksud ataupun tujuan tertentu di tengah
26

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1-5
White, Pengantar Ibadah Kristen, 18-19.
28
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6.
29
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6-7.
27

20

keberadaan hidupnya. Adapun ibadah cenderung merupakan istilah bagi
kegiatan umat secara umum, sebagaimana layaknya dilakukan juga oleh
khalayak orang. Dengan kata lain, liturgi menjadi semacam tindakan teknis

bagi penghayatan dari ibadah itu sendiri. Pembedaan itu makin tegas dengan
adanya perkembangan makna dalam pemakaian masing-masing istilah di
antara keduanya pada ranah lapangan penerapan. Liturgi cenderung
digunakan untuk tata cara resmi ataupun upacara agung, sebagaimana
terdapat dalam praktik keagamaan Gereja Katholik Roma. Adapun ibadah
cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk praktik keagamaan
apapun, bahkan untuk kepercayaan-kepercayaan adat masyarakat suku.30
Ada tiga pendekatan untuk melihat pembedaan di atas. Pendekatan
pertama adalah sudut arti kata. Dibandingkan dengan liturgi, ibadah
dipandang lebih bermakna luas, cenderung praktis dan umum, tanpa harus
ada pemaknaan khusus. Misalnya berderma, saling hormat, saling
menolong, dan lain sebagainya. Sedangkan wujud liturgi cenderung
memiliki penghayatan khusus terkait dengan iman. Pendekatan kedua
berpangkal pada makna teologis, di mana liturgi memiliki pengertian yang
lebih luas dari pada ibadah yang gerakannya cenderung hanya searah dari
tindakan umat kepada Tuhan (anabatis). Kelebihan liturgi dibandingkan
dengan ibadah secara teologis, yaitu memiliki dua arah sebagai dialog.
Selain anabatis, di dalam liturgi sekaligus juga terdapat katabatis, yaitu
tindakan dari Tuhan kepada umat. Pendekatan ketiga adalah dimensi
30


Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4-5.

21

tindakan ibadah yang masih bisa bersifat pribadi dan tidak memiliki unsur
resmi, sementara liturgi pasti merupakan tindakan bersama oleh umat dan
resmi.31 Karena itu kaidah dasar pelaksanaan liturgi di dalam peribadahan
tidak hanya terbatas pada kegiatan upacara keagamaan atau perayaan bagi
Tuhan semata, tetapi juga merupakan sikap hidup sebagai pelayanan kepada
Tuhan dengan bersedia tunduk dan hormat dalam tindakan, perilaku,
kepribadian, maupun pemikiran dari segenap kehidupan umat.32
Pemahaman penting selanjutnya adalah bahwa istlah-istilah tata peribadahan Gereja beserta dengan makna dan penggunaannya di atas merupakan hasil penyesuaian budaya yang dilakukan Kekristenan dalam ruang
persebaran dan perkembangannya. Semua kata sebutan itu digunakan oleh
Gereja dalam rangka mengakarkan, sekaligus untuk mengungkapkan
gagasan-gagasan imannya menurut konteks di tempat dia hidup. Pelayanan,
persembahan, dan perutusan yang ada pada tindakan kemasyarakatan pada
umumnya ternyata dipakai juga oleh Gereja sebagai liturgi untuk beribadah
kepada Kristus Tuhan. Selangkah maju terhadap pemahaman umum maupun khusus tersebut, memperlihatkan adanya penalaran bahwa adat-istiadat
yang terangkai dengan berbagai wujud ritual kepercayaan bagi kebersamaan

oleh suatu masyarakat memungkinkan untuk dipakai Gereja melalui langkah
tertentu sebagai liturgi peribadahan. Kemungkinan itu dimiliki pula oleh
GKJ di tengah budaya masyarakatnya.

31

E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), 26-30.
32
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4.

22

2.2.2. Definisi Liturgi
Kajian etimologi di atas menjadi dasar pemahaman makna liturgi
menurut sudut-sudut batasan operasional atau definisi yang ditekankan. Ada
empat sudut penekanan dalam mendefinisikan liturgi, yaitu dari sudut aksi,
sudut dasar aksi, sudut isi gagasan, dan sudut ruang penghayatan.
Berdasarkan sudut aksi, liturgi didefinisikan sebagai kegiatan ibadah,
baik berbentuk seremonial maupun praksis. Maksud ibadah praksis adalah

seperti yang diungkapkan oleh Rasid, yaitu ibadah yang tidak terbatas pada
perayaan di gedung Gereja melalui selebrasi, tetapi terwujud pula di dalam
sikap hidup orang percaya di dunia sehari-hari melalui aksi yang meliputi
pelayanan, tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis
hidup, pola maupun cara berpikir, menanggapi, dan sebagainya.33 Karena
itu, pada diri liturgi mesti terdapat keikutsertaan umat secara bersungguhsungguh untuk ikut ambil bagian, sebagai ungkapan hidup imannya.34
Dari sudut dasar aksi, liturgi didefinisikan sebagai kehidupan Kristen
yang diungkapkan sebagai ibadah untuk menyatakan penyataan diri Allah di
dalam Yesus Kristus, sekaligus merupakan tanggapan manusia terhadapnya.35 Intinya adalah bahwa di dalam ibadah Allah bertindak untuk
memberikan hidupNya bagi manusia serta membawa manusia untuk ikut
mengambil bagian di dalam kehidupan. Karena itu, semua yang dilakukan
oleh umat selaku pribadi ataupun Gereja dipengaruhi oleh ibadah.
33
34

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1.
Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja (Malang: Dioma, 2004), 1-

35


White, Pengantar Ibadah Kristen, 7.

2.

23

Adapun menurut sudut isi gagasannya liturgi didefinisikan sebagai
pertemuan umat di hadapan Allah, bahkan dengan Allah sendiri. Karena itu
liturgi peribadahan bukanlah tata cara atau bentuknya melainkan isinya,
yaitu umat bersama dengan segala sesuatu yang dilakukan di dalam perkumpulannya bermakna untuk melayani Tuhan dan melayani sesama
manusia di hadapanNya dan di dalam namaNya.36
Ketiga definisi di atas memperlihatkan ada nisbah yang bisa
dipadukan. Pertama, bila liturgi pada definisi pertama dipandang sebagai
kegiatan pengungkapan iman Gereja oleh keikutsertaan umat yang mendorong perwujudan nyata dalam segenap bidang kehidupan maka definisi
liturgi yang kedua dapat dipandang sebagai penyebab tindakan Gereja itu
sendiri, yaitu penyataan Allah yang memberikan hidupNya bagi manusia.
Karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam definisi liturgi yang kedua, maka
kegiatan pengungkapan iman Gereja merupakan tanggapan terhadap
penyataan Allah itu. Kedua, perpaduan definisi liturgi yang pertama dan
kedua tersebut menunjukkan adanya prakarsa di antara pihak Allah dan

manusia menjadi suatu perjumpaan yang disebut pada definisi liturgi yang
ketiga sebagai makna bagi umat untuk melayani Allah maupun sesama
menurut iman.
Berikutnya berdasarkan sudut ruang penghayatan, liturgi didefinisikan
sebagai tempat bagi umat menyanyikan akan pengharapan dan masa depan.
Liturgi adalah wahana yang di dalamnya umat terhanyut oleh visi
36

van Dop, Liturgi dan Komunikasi, 104-107.

24

kedatangan Kerajaan Allah dengan pelayanan kepada Allah dan sesama.37
Sudut definisi liturgi yang terakhir ini memperlihatkan kedudukan
pelayanan yang dilakukan umat bukan sekedar kegiatan Gereja beserta
penyebab, ataupun isi gagasannya. Keberadaan liturgi dari sudut ruang
penghayatan tersebut cenderung memahami pelayanan sebagai arena
sekaligus wujud penghayatan akan tujuan dari iman yang diungkapkan oleh
Gereja.
Penekanan-penekanan dari keempat definisi liturgi di atas nampaknya
sekaligus menjadi cara pendekatan masing-masing. Namun keragaman penekanan maupun cara pendekatan beberapa definisi liturgi tersebut bila
dipadukan memungkinkan memberikan pengertian yang utuh, yaitu perjumpaan umat bersama dengan Allah sebagai tanggapan sekaligus penghayatan atas penyataan Allah yang telah memberikan hidupNya untuk
keselamatan manusia berupa pelayanan seremonial maupun praksis.

2.2.3. Dasar Liturgi
Secara langsung ataupun tidak langsung, etimologi dan definisi liturgi
di atas menunjukkan adanya dasar-dasar penting yang berpusat pada soal
tafsir, sejarah, budaya maupun adat-istiadat, dan penyesuaian terkait iman di
dalam kemunculan serta perkembangan Kekristenan. Artinya, tata peribadahan di dalam Kekristenan dibangun dengan memberi makna atas
peristiwa
37

atau

pengalaman

nyata,

dan

perwujudannya

dilakukan

E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 111.

25

penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada
kehidupan bersama suatu masyarakat.
Dari sebuah kajian teologi terhadap liturgi terungkap bahwa
kemunculan liturgi Kristen atau Gereja berawal dari langkah hermeneutik
baru melalui Yesus yang disebut Kristus dan Tuhan atas peribadahan
masyarakatNya, yang tumbuh berakar dari kebudayaan Yahudi. Oleh Yesus
itu, sekelompok orang Yahudi yang bercaya kepadaNya menafsirkan ulang
ketidakpastian perkembangan keadaan kemasyarakatan beserta keagamaan
masa itu yang sulit menemukan sarana peribadahan sebagai alat peneguhan
umat karena akhirnya hancur di masa penjajahan bangsa Roma.38 Sarana
peribadahan yang kemudian hilang dari budaya dan adat-istiadat ibadah
keagamaan Yahudi itu berupa kenisah, altar, dan korban. Selain menjadi
perangkat peneguhan bagi keutuhan umat, sarana-sarana tersebut juga
merupakan pemujaan, penyembahan, serta penyucian umat kepada Allah
yang melambangkan penyelamatan. Pada sosok Yesus semua budaya
keagamaan yang musnah dalam sejarah politik bangsa Yahudi itu
dicerminkan kembali.39 Artinya, seperti penjelasan Brox40 dan Everett
Ferguson41 bahwa sarana-sarana peribadahan Yahudi sebagaimana ada pada
tradisi Kitab Perjanjian Lama telah disatukan dan dibangun kembali dalam
figur Yesus. Yesus diyakini umat sebagai pribadi Messias melalui
38

R. S.Sugirtharajah, Poscolonial Criticism and Biblical Interpretation (New York:
Oxford University Press, 2002), 91.
39
Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, 29-33.
40
Brox, A History of the Early Church, 2-4.
41
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity ((Michigan: Grand Rapids,
1994), 517-519.

26

penafsiran baru atas tradisi keagamaan dalam kitab-kitab Ibrani maupun
sejarah perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakatnya, dan
kemudian dijadikan tradisi baru atau tradisi pengganti.42
Sepanjang keberadaan liturgi, dasar-dasar penting yang disebutkan di
atas juga ada. Langkah pembaruan yang terjadi pada peristiwa Yesus itu
terlihat pula pada tradisi-tradisi penerusnya, yaitu tradisi apostolik43 dan
tradisi reformasi Gereja.44
Pada tradisi apostolik unsur-unsur mendasar ditemukan dalam tiga
titik tolak, yaitu sejarah liturgi Gereja, sejarah tempat dan waktu
pelaksanaan liturgi Gereja, serta sejarah perayaan liturgi oleh Gereja
Perdana. Di dalam sejarah liturgi Gereja, kesadaran iman akan Yesus yang
hidup dan bangkit dari kematian mengubah cara hidup Gereja, khususnya
penafsiran peribadahan. Pengabsahan ibadah yang semula bersifat lahiriah
berupa kenisah, altar, dan korban di Bait Allah berganti yang rohaniah
melalui Yesus Kristus untuk memuji, menyembah, dan menguduskan umat
kepada Allah dengan dalil “dalam roh dan kebenaran” oleh kesediaan
dipimpin Roh Kudus. Sementara di dalam sejarah tempat dan waktu
pelaksanaan, peribadahan Gereja yang sempat dilakukan oleh Jemaat MulaMula mengikuti tradisi pada hari Sabat di Bait Allah berangsur diubah di
rumah-rumah secara bergantian pada hari Akhad atau yang dikemudian

42

Richard E. Palmer, Hermuneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 39-42.
43
Brox, A History of the Early Church, 4-5.
44
Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.

27

waktu disebut pula hari Minggu,45 yaitu hari peringatan akan Yesus yang
hidup dan bangkit dari kematian. Adapun di dalam sejarah perayaan liturgi
oleh Gereja Perdana, pada tradisi hari peribadahan yang baru itu selalu
dilakukan pengajaran para rasul, berdoa bersama, serta makan bersama
(perjamuan agape) maupun memecah-mecahkan roti sebagai perjamuan
Tuhan

(ekaristi)

untuk

mengenang

(anamnese)

akan

pengalaman

penyelamatan Allah pada umat, seperti mandat Yesus sendiri dalam
Perjamuan Malam Paskah menurut tradisi keagamaan Yahudi.46
Pada tradisi reformasi Gereja dasar-dasar penting liturgi di atas terungkap, khususnya dalam tafsiran teologis atas perkembangan Gereja di
tengah kehidupan politik yang meliputi delapan hal. Pertama adalah dalil
sola scriptura, sehingga sebagai firman Allah maka Alkitab memiliki
otoritas tertinggi di dalam peribadahan Kristen sekaligus merupakan
dokumen liturgis. Kedua adalah Allah Maha Kuasa dan berdaulat penuh atas
kehidupan umat, sehingga di dalam peribadahan umat tidak bisa berliturgi
semena-mena menurut pikiran, keinginan, dan kesenangannya sendiri. Umat
harus bersedia tunduk dan berserah kepada seluruh kehendak yang difirmankan Allah (epiklese). Ketiga adalah norma praktik apostolik, sehingga liturgi
pribadahan Kristen mesti mengacu sekaligus memiliki kesesuaian dengan
praktik-praktik dari Jemaat Mula-Mula sewaktu para rasul mengajar.
Keempat adalah pemulihan makna penggunaan waktu secara tepat, sehingga
semua hari dalam seminggu berhubungan dengan sejarah penyelamatan
45
46

Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 51.
Brox, A History of the Early Church, 92-93, 100-101.

28

Allah bagi umat. Karena itu peringatan yang dilakukan tiap hari Minggu
dalam liturgi peribadahan merupakan tindakan umat untuk mengenang
penyelamatan Allah (anamnese). Kelima adalah firman dan perjamuan
kudus sebagai kebaktian normatif, sehingga ibadah sebagai anamnese tidak
bisa mengurangi, menggantikan, bahkan menghilangkan kedua unsur itu.
Keenam adalah bahwa kebaktian sebagai peristiwa persekutuan, sehingga
Gereja tidak bisa menjadi lembaga statis. Gereja harus in transitius, yaitu
lembaga yang bergerak atau hidup dari umat yang mengadakan perziarahan.
Ketujuh adalah pemulihan partisipasi umat, sehingga tata peribadahan tidak
berpusat pada satu pelayan melainkan seluruh umat yang saling melayani
sebagai peristiwa persekutuan dalam satu tubuh Kristus dengan keteraturan
dan penuh rasa hormat. Kedelapan adalah norma pastoral. Artinya sejauh
manakah pengertian dari dasar tata peribadahan yang pertama sampai
ketujuh di atas dapat diterapkan atau dikontekstualisasikan dalam keberadaan umat sehingga tujuannya tercapai oleh umat. Karena itu pelaksanaan
liturgi di dalam peribadahan perlu per-timbangan pastoral berdasarkan
persoalan yang ada di tengah kebersamaan umat itu.47

2.2.4. Sejarah dan Perkembangan Liturgi
Kedua tradisi di atas menguatkan keterkaitan tafsir, sejarah, budaya
beserta tradisi suatu masyarakat, sebagai dasar keberadaan liturgi Kristen
yang secara lebih jelas sangat kelihatan pada historisitas dan per47

Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.

29

kembangannya. Pertama kali muncul umat Kristen, liturgi peribadahan
dalam bentuk rumusan khusus dan baku pada dasarnya belum ada. Liturgi
dalam peribadahan Kristen Perdana sesungguhnya mengalir mengikuti
kebiasaan yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat sebelumnya, yaitu
tradisi peribadahan Yahudi yang memiliki konteks keberagamaan atau
keimanannya sendiri.48 Dari berbagai konteks keagamaan masyarakat
Yahudi itu sendiri, tampaknya ada tradisi umum dan tradisi khusus yang
menjadi sumber penting dalam kemunculan peribadahan Kristen, yaitu
Paskah dan Baptisan. Paskah merupakan tradisi keagamaan yang umum
bagi masyarakat Yahudi, sedangkan Baptisan merupakan tradisi keagamaan
khusus yang hanya dimiliki dan dilakukan oleh golongan tertentu dalam
masyarakat Yahudi itu.
Dalam suatu kajian, baptisan merupakan ritual yang berasal dari kaum
Esseni untuk orang yang dibaiat sebagai anggota. Sejauh mana hubungannya dengan tradisi yang terdapat pada Kitab Perjanjian Lama, yang pasti
baptisan yang mereka lakukan itu sebagai lambang dari kesucian atau
kemurnian hidup yang menjadi cita-cita dan gerakan mereka di tengah
keprihatinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya kala itu.
Karenanya, meski belum bisa di-anggap bagian dari kaum Esseni,
dimungkinkan Yesus (demikian pula Yohanes Pembaptis) memiliki
hubungan dengan kaum Esseni. Sebab dari kehidupan dan karyaNya
memperlihatkan kemiripan dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh kaum itu.
48

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 503-527.

30

Selain baptisan, mereka sangat kuat dalam ritual-ritual kesucian, anti
kekerasan, serta selalu melakukan propaganda tentang Kerajaan Allah dan
pertobatan.49
Pandangan mengenai asal-usul tradisi baptisan tersebut bertentangan
dengan kajian lain yang menganggap berasal dari tradisi Rabbinik. Menurut
pandangan Rabbinik, baptisan yang dijalani setelah sunat adalah untuk menjadikan seseorang sebagai bagian dari Umat Perjanjian, seperti pengalaman
yang terjadi pada diri Yesus. Tradisi itu kemudian menjadi lebih khas di
dalam perkembangan Kekristenan sebagai pandangan sektarian yang jauh
terbuka dan mendalam dengan tidak membatasi pada kalangan Yahudi saja
seperti kaum Esseni, ataupun menjadikan seseorang menjadi Yahudi seperti
kaum Rabbinik, tetapi bagi semua orang tanpa melihat syarat asal-usulnya
maupun sunat atau tidak sunat.50 Dan itulah sebabnya, baptisan juga
menjadi bagian yang penting dalam kehidupan Yesus, dan akhirnya diikuti
oleh para murid atau para pengikutNya.
Meskipun berbeda, kedua pandangan asal-usul baptisan tersebut dapat
memberikan gambaran bahwa pada mulanya baptisan sendiri sesungguhnya
merupakan hasil tafsir kelompok-kelompok masyarakat Yahudi yang
mampu mereka terima dan menjadi sebuah tradisi untuk mencapai tujuan
tertentu, yaitu sebagai tanda pengenal sekaligus lambang gagasan cita-cita
iman kemasyarakatan mendasar di tengah keprihatinan atas perubahan

49

John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), 91-124.
50
Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 142-150.

31

kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang mereka miliki. Sehubungan
dengan baptisan di dalam Kekristenan, pada intinya juga memiliki dasardasar bangunan penting yang sama. Namun sifat gerakan yang dilambangkan dengan baptisan Kristen bertolak belakang dengan kaum Esseni maupun
Rabbinik. Bila pandangan baptisan mereka terbatas bagi tujuan kelompok
atau bangsa mereka sendiri, maka baptisan pada Kekristenan lebih terbuka
bagi semua golongan, masyarakat, maupun bangsa.
Dalam perkembangannya, tradisi Paskah maupun tradisi Baptisan itu
selanjutnya menjadi sumber penting bagi ibadah maupun liturgi umat
Kristen, yang secara mengesankan ditumbuhkan oleh peristiwa yang dijalani
Yesus, mulai dari Perjamuan Malam menjelang hari Paskah, kematianNya
di hari Paskah, maupun kebangkitanNya di hari pertama setelah hari
Sabbath, yaitu hari Akhad. Peristiwa pada hari Akhad itu selalu dijadikan
anamnese bagi umat Kristen dengan perjamuan agape maupun ekaristi serta
baptisan.
Selain kedua tradisi penting di atas, ada kebiasaan-kebiasaan dari
peribadahan Yahudi yang juga diikuti dalam liturgi Kristen.51 Kebiasaan itu
adalah melantunkan Kitab Mazmur, membaca Kitab Suci (Taurat dan NabiNabi) seperti di Sinagoge dengan diikuti khotbah pengajaran dari para rasul,
dan pada waktu kemudian ditambah dengan membaca Epistel dan Injil,
yang kemudian diakhiri dengan doa bersama.52 Tata urutan peribadahan
untuk mengenang Yesus secara sederhana itu dikenal juga dengan sebutan
51
52

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 13-14.
Brox, A History of the Early Church, 4-5.

32

liturgi synaxis, yaitu liturgi persekutuan untuk membaca Kitab Suci,
menyanyikan Mazmur, serta berdoa bersama di Sinagoge.53 Namun, yang
membedakan antara liturgi umat Kristen dengan umat Yahudi itu adalah
adanya perjamuan agape, ekaristi, dan baptisan.
Berpijak dari tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan di atas itulah
liturgi peribadahan umat Kristen terbentuk dan berkembang. Meskipun pada
perkembangan masa dan tempat persebaran umat Kristen di luar daerah
bangsa Yahudi begitu pesat dan memiliki keanekaragaman yang khas
karena perjumpaan dengan budaya masyarakat yang baru beserta dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka, namun inti
liturgi yang memiliki ciri-ciri warisan dari tata tradisi keagamaan orang
Yahudi tetap dipertahankan dan dijadikan isi pokok peribadahan Kristen. Ini
dapat dilihat dalam periode umum perkembangan Gereja dari masa awal
hingga sekarang.
Periode pertama yaitu masa Gereja Perdana. Gereja yang dipimpin
oleh para rasul Yesus Kristus ini melakukan baptisan dan perjamuan dengan
spontan di rumah-rumah mereka secara bergiliran yang disertai dengan
pem-bacaan Kitab Suci dan khotbah pengajaran, menyanyikan puji-pujian,
dan berdoa bersama-sama, seperti liturgi persekutuan di Sinagoge dan
dilakukan pula oleh Yesus sendiri.54 Liturgi Gereja Perdana tersebut awalnya berjalan tanpa terikat pada tatanan, tulisan, maupun aturan liturgi
tertentu. Di masing-masing daerah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.
53
54

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 15.
Matius 4:23, Markus 6:2, Lukas 4:16, Yohanes 6:59 LAI.

33

Ada yang biasa seperti umat Kristen di Yerusalem, namun ada yang kreatif
dalam keikutsertaan umat secara aktif di dalam peribadahan seperti umat
Kristen di Korintus.55
Periode kedua adalah masa Gereja Patriarkhi. Masa ini dikenal juga
sebagai masa para Bapa Gereja, yaitu para pemimpin umat Kristen yang
menjadi penerus Rasul-Rasul Yesus Kristus. Pada masa ini terdapat dua
tahap perkembangan yang mewarnai liturgi dalam peribadahan umat
Kristen. Tahap pertama adalah kehidupan yang sulit. Gereja tidak hanya
menghadapi penolakan yang semakin besar dari masyarakat asalnya tetapi
juga mendapat tekanan politis yang sangat keras dari penguasa Romawi,
maupun pemurtadan dari berbagai kalangan keagamaan yang hidup pada
waktu itu.56 Karena itu, di dalam konteks masa awal tersebut tata
peribadahan umat Kristen bersifat pastoral. Untuk menghadapi tekanan
masyarakat dan agama yang ada di sekitarnya, maupun penganiayaan yang
dilakukan oleh penguasa Romawi, maka Gereja memiliki Didache,
Apologia, ataupun Apostolike Paradosis (Apostolic Tradition) sebagai
tulisan yang digunakan di dalam peribadatan.
Tulisan-tulisan yang digunakan di dalam peribadatan tersebut sudah
menampakkan adanya tata urutan yang tersusun.57 Kebenaran dari keadaan
liturgi pada masa Bapa-Bapa Gereja awal itu dapat dilihat dalam terjemahan
tata peribadahan mereka yang dihimpun oleh Bard Thompson. Pada tulisan55

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 17.
Th. van Den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987), 34-56.
57
Martasudjita, Liturgi, 53-55.
56

34

tulisan itu ditemukan bahwa sebelum diadakan ekaristi, terlebih dulu dilakukan pembacaan Kitab Suci dan khotbah atau pengajaran-pengajaran yang
berasal dari para rasul. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa oleh umat yang
disusul dengan pengucapan syukur atas roti dan anggur maupun air bagi
ekaristi untuk dibagikan kepada umat. Demikian pula dengan pelaksanaan
baptisan yang dilakukan di tengah peribadahan umat.58
Kesulitan pada masa Bapa-Bapa Gereja awal di atas mengalami perkembangan sebagai tahap kedua, yaitu kehidupan yang terbuka di bawah
pengaruh politik kekuasaan pemerintah Romawi. Dengan pamrih dapat
memanfaatkan kesetiaan orang-orang Kristen pada imannya untuk memperkuat kesatuan negara, maka pada jaman Kaisar Konstantinus dikeluarkan
edik di Milan untuk menghentikan penindasan terhadap orang-orang Kristen
yang sulit ditekan dan malah cenderung berkembang. Sejak itu Kekristenan
diijinkan tumbuh bebas di kekaisasan Romawi.59 Bahkan pada masa
berikutnya, untuk mengukuhkan tujuan politik tersebut Kaisar Gratianus dan
Kaisar Teodosius menjadikan Kekristenan sebagai agama negara.60 Tahap
perubahan kedua dalam periode perkembangan Gereja ini, berdampak besar
pada kehidupan Gereja, khususnya pada peribadahan umat yang keadaan
dan suasananya sangat berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya. Ketika
Kekristenan masih ditolak dan ditindas, pelaksanaan liturgi peribadahan
umat Kristen penuh dengan suasana kekeluargaan dan sederhana di rumah58

Bard Thompson, Liturgies of the Western Church (Philadelphia: Fortress Press,
1982), 4-9.
59
van Den End, Harta dalam Bejana, 57.
60
Martasudjita, Liturgi, 56-57.

35

rumah, bahkan di katakombe-katakombe, atau tempat-tempat tersembunyi
lainnya. Namun, semenjak diperbolehkan dan akhirnya dijadikan agama
resmi negara, Kekristenan diistimewakan dengan gelar kebangsawanan
ataupun pengangkatan sebagai pejabat negara istimewa bagi para imam
Gereja, bahkan memberikan kedudukan sebagai masyarakat kelas utama
bagi umat Kristen.61 Dampak lain pemberian tempat dan kedudukan
Kekristenan di tengah masya-rakat yang demikian itu mengubah citra
peribadahan yang disebabkan oleh sarana dan prasarana lengkap dari
negara. Pelaksanaan peribadahan menjadi penuh dengan suasana resmi,
hirarkis, serta kemegahan dan mewah ala imperial basilika. Bahkan, di masa
itu mulai muncul liturgi-liturgi untuk aneka tujuan atau keperluan. Misalnya
liturgi peneguhan dan pelantikan para petinggi atau para pejabat negara,
terlebih para pejabat gerejawi yang dengan sendirinya menjadi pejabat
negara, pernikahan, dan lain sebagainya.62
Pola-pola liturgi yang berkembang di dalam peribadahan Kristen pada
masa Gereja Patriarkhi tersebut memiliki penekanan ritual sebagai pendekatan terhadap berbagai perubahan di dalam tata kehidupan baru dan
keagamaan masyarakat Roma waktu itu. Namun demikian, liturgi peribadahan utama yang dilakukan pada tiap hari Minggu dengan inti
pengajaran dan sakramen perjamuan masih tetap memiliki pola kecenderungan dasar yang sama. Ada doa syukur umat yang dilanjutkan
dengan pembacaan Kitab-Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian
61
62

Martasudjita, Liturgi, 56-57.
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 57-63.

36

Baru dengan selingan lantunan nyanyian pujian ataupun mazmur sebelum
pengajaran dan doa pengucapan syukur untuk sakramen perjamuan. Hanya
saja, yang membedakan dengan masa sebelumnya adalah peran serta umat
dalam liturgi yang berangsur kurang dibandingkan dengan peran serta kaum
imam yang semakin besar dan menentukan di dalam segala hal.63
Keadaan perkembangan liturgi di atas terus berlanjut pada periode
perkembangan yang ketiga, yaitu masa Gereja Abad-Abad Pertengahan.
Pada periode ini terjadi perubahan besar, yaitu kekuasaan politik Romawi
Barat yang kian surut dan berangsur cepat beralih ke tangan Gereja.
Perubahan itu ditandai dengan kemunculan Papal (Paus) sebagai pemimpin
Gereja tertinggi di wilayah Romawi Barat yang memiliki kewenangan yang
sangat besar di dalam kehidupan umat Kristen maupun masyarakat.64
Pengaruh dari Paus tersebut nampak dalam kehidupan peribadahan umat
dengan banyaknya pemberlakuan Ritus Roma atau Liturgi Roma (yang
sekarang dikenal dengan Liturgi Gereja Katholik) pada Gereja di lingkup
kekuasaannya.65 Namun pemberlakuan liturgi tersebut tidak sepenuhnya
memiliki alasan politis. Semenjak Kekristenan mengalami kebebasan maka
akibat yang kurang menguntungkan adalah banyaknya percobaan-percobaan
liturgi yang dilakukan oleh para uskup maupun abbas sehingga memunculkan ketidakpuasan dan kebingungan umat terhadap pelaksanaan liturgi.66

63

van Olst, Alkitab dan Liturgi, 88-91.
Christiaan de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987), 60-70.
65
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 77.
66
Martasudjita, Liturgi, 70.
64

37

Apapun penyebab kuatnya pengaruh Liturgi Roma yang kian
menyebar di tengah bangsa-bangsa daerah Romawi Barat pada masa
perkembangan Gereja Abad Pertengahan tersebut, yang pasti di dalam
pelaksanaannya nampak ada suasana resmi dan begitu rumit, bahkan khas
dengan bahasa pengantar, yaitu Latin. Selain itu, peran imam menjadi
menonjol dan meng-geser kedudukan umat,67 sehingga terkesan menjadi
penentu peribadahan. Karena itu Ritus Roma disebut juga dengan Liturgi
Klerus. Dengan penggunaan pola yang serba resmi menurut peran para
imam tersebut, umat semakin terasing dari liturgi karena bahasa
pengantarnya maupun pokok-pokok yang ada di dalam tata susunan liturgi
hampir semua dikuasai dan diperankan oleh para imam dengan rumusan
baku, terutama dengan doa.68
Bahkan, di dalam liturgi itu sendiri juga memiliki pemahaman iman
tentang keselamatan yang banyak berkembang secara berjenjang,69 apabila
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Keselamatan yang diimani umat
terkesan lebih terjamin melalui roh-roh para tokoh perantara yang
dipandang suci dan mampu menolong (santo dan santa) untuk memperoleh
pengampunan dan pengudusan dari Tuhan. Pergeseran ataupun perkembangan tersebut dimungkinkan juga berimbas pada pemahaman dan tata
perlakuan atas lambang-lambang di dalam peribadahan. Roti dan anggur
setelah penyucian dengan doa syukur dan berkat serta pengucapan kata-kata

67

Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.
Martasudjita, Liturgi, 72.
69
Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.
68

38

yang pernah diucapkan oleh Tuhan Yesus sewaktu Perjamuan Malam
Paskah oleh imam diyakini telah menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus
sendiri (hosti). Karena itu, cara penerimaannya tidak boleh sembarangan
dan harus dengan penuh rasa hormat. Hosti harus diletakkan oleh imam
secara langsung pada lidah tiap umat yang berhak menerimanya. Demikian
pula dengan altar, Kitab Suci, bejana roti dan anggur, salib, rosary, hingga
para santo dan santa dengan relik-relik mereka yang dipandang memiliki
daya pengaruh oleh ritual yang dilakukan oleh para imam Gereja.70 Semua
itu memberi kesan kecenderungan untuk memberikan makna keselamatan
umat ditentukan atau diukur oleh tindakan Gereja melalui ritus;71 sehingga
di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Pentingnya ritus di dalam peribadahan itu sekaligus menunjukkan pula adanya
kuasa kaum imam Gereja yang sangat menentukan bagi keselamatan umat.72
Puncak kecenderungan-kecenderungan peribadahan semacam itu menjebak
Gereja dalam sekularisme yang terungkap dengan peristiwa penerbitan surat
penghapusan siksa (indulgensi).73
Sekularisme di tengah Gereja itulah yang mencetuskan periode sejarah
berikutnya, yaitu periode masa Reformasi Gereja.74 Pada periode perkembangan Gereja yang keempat ini umat mengadakan perlawanan
terhadap sekularisme yang menyebabkan kesewenang-wenangan para imam
70

van Den End, Harta dalam Bejana, 141-142.
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 135.
72
H. Berkhof, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),
71

111.
73
74

Berkhof, Enkklaar, Sejarah Gereja, 114-118, 126-127.
van Den End, Harta dalam Bejana, 142.

39

di berbagai sisi kehidupan, dan mengembalikannya menurut pandangan
yang terdapat pada kehidupan Gereja Perdana. Kedudukan Gereja dan
negara ditempatkan sejajar (iucta positie) sebagai mitra untuk mewujudkan
keselamatan atau membangun kesejahteraan segenap masyarakat. Ajaran
extra ecclesiam nulla salus dengan berbagai tata peribadahan yang berhubungan dengannya diperiksa dan dikembalikan pada asas-asas yang
terdapat pada pandangan Gereja Perdana.75 Salah satu upaya reformasi yang
mendasar untuk memulih-kan kedudukan Gereja maupun umat pada abad
pertengahan menurut tata kebiasaan Gereja Perdana adalah mengembalikan
hak dan tanggung jawab yang melibatkan peran serta umat secara penuh di
dalam sakramen maupun pelayanan firman (pengajaran) dengan menggunakan bahasa setempat yang biasa digunakan umat.76
Salah satu hasil reformasi Gereja di dalam kehidupan peribadahan
umat di atas adalah Liturgi Protestan. Dibandingkan dengan Liturgi Roma,
Liturgi Protestan pada masa-masa awal perkembangannya memperlihatkan
adanya keragaman yang cepat. Salah satunya adalah Liturgi Calvin, yang
hingga perkembangannya di masa kini dipakai juga oleh Gereja Kristen
Jawa. Ada perbedaan yang menjadi kekhasan pandangan reformasi Gereja
di dalam Liturgi Calvin. Pertama, susunan di dalam Liturgi Calvin
dipandang lebih sederhana dibandingkan dengan Liturgi Roma yang
dipenuhi dengan berbagai macam ritual. Sewaktu ibadah di mulai, disampaikan salam dan berkat yang didalamnya terkandung makna seruan (votum)
75
76

van Den End, Harta dalam Bejana, 166-176, 188-191.
Berkhof, Enklaar, Sejarah Gereja, 98, 131, 135.

40

maupun pengakuan pertolongan Tuhan di dalam pelaksanaan ibadah
(adiutorium) yang disambut dengan pujian umat dan dilanjutkan dengan
pengakuan dosa (konfesi). Setelah itu disampaikan berita anugerah
(absolusi) dan petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah bagi kehidupan
iman umat yang baru (komandemen) yang disambutan dengan kesanggupan
oleh umat (aklamasi). Selanjutnya umat menghaturkan persembahan syukur
yang terkumpul (kolekta) dan disambung dengan pemberitaan firman
melalui pembacaan Alkitab secara berangkai serta berkesinambungan
(leksio kontinua) maupun penyampaian pengajaran (homili). Pemberitaan
firman itu diteruskan dengan doa permohonan umat (intersesi) maupun doa
sakramen perjamuan, dan pelayanan sakramen (perjamuan ataupun baptis)
menurut rumusan serta aturan yang berlaku. Namun bagi yang tidak
melaksanakan sakramen tiap Minggu, maka peribadahan dapat langsung
ditutup dengan pengucapan rumusan pengakuan iman (kredo) dan
penyampaian berkat (benediksi) sewaktu hendak pembubaran dalam
perutusan (dismissi). Kesederhanaan tersebut diyakini memiliki dasar pada
Kitab Suci maupun kebiasaan Gereja Kuno.77 Kedua, Liturgi Calvin tidak
mengistimewakan ritual sebagaimana terdapat di dalam Liturgi Roma,
melainkan pemberitaan firman yang diuraikan dalam ajaran berdasarkan
rangkaian pembacaan kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru
dan Injil secara berkesinambungan bersama dengan perutusan yang
diteguhkan dalam berkat. Ketiga, roti dan anggur Perjamuan Kudus yang
77

Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.

41

diletakkan di atas meja perjamuan dipandang bukan penjelmaan kurban
Yesus Kristus di atas altar untuk penebusan yang bisa diulang-ulang
sebagaimana pengertian yang ada pada Liturgi Roma, melainkan sebagai
tanda dan pengingat bagi setiap orang percaya yang ikut ambil bagian di
dalam sakramen perjamuan akan karya korban penebusan dosa beserta janji
kehidupan kekal dari Allah di dalam Yesus Kristus. Karena itu, yang
keempat bahwa kelayakan yang memberikan pengudusan umat dihadirat
Allah bukan karena anggur dan roti yang disucikan melalui ritual seperti
yang ada pada Liturgi Roma, melainkan karena kasih karunia yang bekerja
melalui pengujian batin diri setiap pribadi umat yang hendak mengambil
bagian di dalam sakramen perjamuan sebagai disiplin kehidupan iman.
Adapun yang terakhir, kelima adalah doa-doa umat untuk kesejahteraan atau
keselamatan tidak untuk para suci ataupun melalui mereka kepada Tuhan
seperti yang terdapat di dalam Liturgi Roma, tetapi merupakan permohonan
langsung kepada Tuhan agar memberikan berkat dan pertolongan kepada
negara dan para memimpinnya supaya dapat menjalankan tanggung jawab
menurut tugas-tugas mereka, serta kepada gereja dan umat agar bisa
menjalankan kehidupan yang baik menurut ajaran iman yang benar oleh
ketaatan.78
Segala sesuatu yang ada di dalam periode perkembangan Gereja pada
masa Reformasi Gereja di atas, apabila dicermati melalui perbandingan
yang terdapat pada periode sebelumnya, ada pola maju pada jamannya yang
78

Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.

42

digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan pemahaman keselamatan
di dalam kehidupan umat, yaitu pola pendidikan atau pengajaran. Cara yang
dimiliki umat pada masa ini dipandang memiliki hubungan dengan budaya
yang sedang menonjol saat itu, yaitu Renaisance yang berpegang pada
pemikiran akan kesadaran diri manusia sebagai tindakan kritis dan ilmiah,
serta Barok yang menekankan kebebasan manusia untuk mengungkapkan
kemampuan diri sebagai hak asasinya.79
Periode terakhir di dalam perkembangan Gereja hingga saat ini adalah
masa Pasca Reformasi Gereja. Sebutan ini memang belum baku. Apabila
menggunakan istilah Rasid, maka istilah untuk menyebut masa tersebut
adalah jaman modern. Sebutan itu berpijak pada perkembangan Gereja pada
abad

ke-20 dengan keterbukaan yang luas terhadap berbagai sisi yang

menjadi kehidupan umat di dunia ini.80 Namun terkait dengan perhatian
yang kian terbuka pada jaman tersebut, Martasudjita memberikan sebutan
lain, yaitu jaman pembaruan hingga abad ke-20. Dasarnya adalah gerakan
yang telah dimulai semenjak reformasi Gereja melalui Konsili Trente dan
berpuncak pada Konsili Vatikan II, di mana Gereja semakin membuka diri
terhadap umat dalam keikutsertaan mereka di tengah peribadahan selaras
dengan sisi-sisi dan pergumulan nyata dari umat saat ini.81 Apapun sebutannya, masa-masa tersebut adalah masa yang memiliki hubungan erat dan
memang merupakan kelanjutan dari masa reformasi Gereja. Karena itu di

79

van Olst, Alkitab dan Liturgi, 92-93.
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 192-193.
81
Martasudjita, Liturgi, 77-96.
80

43

dalam periode ini bisa disebut juga sebagai masa Pasca Reformasi Gereja,
atau Jaman Gereja Masa Kini.
Pemahaman akan perubahan di dalam perkembangan pada masa ini
tidak bisa hanya dihubungkan dengan tindakan yang dilakukan oleh
kalangan Gereja Protestan saja, tetapi juga pada kehidupan Gereja Katholik
(Gereja Romawi Barat). Sebab di antara keduanya sama-sama melakukan
pembaruan. Di antara Gereja Protestan maupun Gereja Katholik pada masa
ini sama-sama berusaha untuk semakin dapat memberikan hak dan tanggung
jawab umat sebagai pengakuan dan pemberian tempat atas peran serta
mereka di dalam tata peribadahan dengan mengacu pada tradisi Gereja
Perdana. Bahkan kesadaran oikumenis beserta dengan pergumulan
masyarakat dan budaya di mana umat tinggal dan hidup di dalamnya juga
semakin mendapat tempat yang penting sebagaimana dikenal adanya
gerakan-gerakan oleh lembaga-lembaga internasional bersama dengan
Dewan Gereja Dunia ataupun kebijakan Vatikan dengan istilah adaptasi,
kontekstualisasi,

inkarnasi,

inkulturisasi,

enkulturisasi,

akulturisasi,

indigenesasi (pempribumian), dan lain sebagainya, untuk mendaratkan
teologi bagi liturgi peribadahan umat Kristen itu sendiri.
Pada akhirnya meskipun secara praktis ada persamaan, namun pada
asas keyakinan dan pemahaman yang terungkap lewat pola yang digunakan
untuk mewujudkan keselamatan umat di antara kedua Gereja itu tetap tidak
bisa disamakan. Gereja Katholik masih tetap bertahan dengan pola ritualnya, sedangkan Gereja Protestan begitu kuat dengan pendekatan pengajaran44

nya. Pola masing-masing Gereja tersebut sangat nyata dipengaruhi oleh
budaya dan sejarah perkembangan yang terjadi di tengah kehidupan
masyarakat.

2.2.5. Liturgi dan Budaya
Merunut uraian sejarah singkat asal-usul dan bagaimana liturgi Kristen
berkembang dari penjelasan di atas, ada salah satu segi penting yang begitu
berperan di dalam nya, yaitu budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tata
peribadahan yang merupakan bentuk dari ritual keagamaan itu tidak lepas
dari pengaruh budayanya.82 Seperti dinyatakan oleh Soerjono Soekamto,
bahwa ritual adalah suatu sisi keagamaan yang menjadi salah satu unsur
pokok pembentuk kebudayaan sekelompok orang atau masyarakat sebagai
jalinan erat dan utuh di dalam keberadaan mereka.83 Karena itu pada diri
liturgi bisa pula melekat unsur-unsur lain dari sebuah kebudayaan, seperti
pandangan hidup, bahasa, seni, peralatan, pencaharian masyarakat, maupun
penataan hidup bersama yang dimilikinya.
Selain dari kajian asal usul Paskah dan Baptisan di atas, hubungan
liturgi Kristen dengan budaya dapat dilihat pada tafsir yang menjadi sudut
teologis. Dari sudut teologis Kristen, kematian Yesus Kristus di kayu salib
diyakini sebagai korban penebusan dosa yang sejajar dengan gagasan
tentang domba korban penebusan dan pengudusan umat seperti yang

82
83

Paul Tillic, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 47.
Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1990),

191-194.

45

terdapat di dalam akar keagamaan orang-orang Yahudi,84 seperti dicatat pula
dalam beberapa tulisan-tulisan ayat Kitab Suci Perjanjian Baru.85 Keterkaitan itu semakin jelas dengan pengabsahan gagasan dasar pandangan
Kristen melalui penggunaan pustaka-pustaka yang berasal dan yang
digunakan pula oleh Agama Yahudi.
Adapun roti dan anggur sebagai sarana dalam sakramen yang menjadi
lambang gagasan dasar dan pusat peribadahan umat Kristen sendiri juga
menunjukkan wujud kebudayaan Yahudi. Makanan roti dan minuman
anggur adalah pangan olahan orang-orang Yahudi yang banyak dihidangkan
untuk makan pokok keluarga maupun pesta. Keduanya sudah menjadi
kebutuhan yang penting bagi kehidupan orang Yahudi sejak jaman kuno,
termasuk sebagai barang persembahan di dalam upacara keagamaan.86
Beberapa ayat di dalam teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama juga
menyebutkan bahwa roti adalah barang persembahan bakaran yang sama
seperti hewan-hewan korban bakaran. Sedangkan anggur merupakan barang
persembahan curahan sama seperti darah hewan korban bakaran yang
sebelumnya disembelih terlebih dulu dan darahnya dituangkan di atas
korban yang sedang dibakar itu.87

84

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),

69-71.
85

Yohanes 1:29, 36, I Korintus 5:7b, Ibrani 9:13-14, I Petrus 1:18-19 LAI.
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.
87
Keluaran 22:29, 29:40, Imammat 23:13, Bilangan 15:5, 7, 18:27, 28:14, Ulangan
12:17, I Samuel 1:24, Ezra 6:9, Nehemia 10:36-37, 13:5, 12 LAI.
86

46

Demikian pula dengan berbagai kelengkapan dan lambang-lambang
yang berkembang di dalam peribadahan hingga sekarang. Pada Kekristenan
awal belum banyak ditemukan lambang yang digunakan di dalam peribadahan ataupun liturginya. Beberapa lambang yang ada pada waktu itu
masih berupa anggur, roti, dan air. Namun dengan berubahnya suasana
keadaan waktu dan persebaran umat Kristen muncullah lambang-lambang
lain, yang salah satu kegunaannya lebih mengarah pada makna tanda
pengenal bagi satuan mereka di tengah lingkungan maupun kedudukan
Kekristenan di dalam masyarakat atau negara, serta penunjuk rangkaian
masa tahunan di dalam almanak tahunan peribadahan.
Sewaktu terjadi tekanan dan tersingkir dari pusat masyarakat Yahudi
maupun kemudian juga di pusat masyarakat Romawi, maka di tengah
Kekristenan lahirlah lambang pengenal untuk melakukan hubungan di
dalam kesatuan umat berbentuk gambar salib jangkar dan ikan.88 Dilihat
dari sudut kebudayaan, keberadaan lambang-lambang itu dimungkinkan
berasal dari budaya masyarakat para mengikut Yesus mula-mula, yaitu
masyarakat pisisir Galilea yang daerahnya dikuasai bangsa Roma, dengan
kehidupan sebagai nelayan.89 Akan tetapi, pada waktu itu semua lambang di
atas belum memiliki hubungan secara langsung di dalam peribadahan
Kristen. Baru setelah jaman yang memberikan keterbukaan makin luas dari
penguasa Roma, maka lambang-lambang tadi mulai masuk di dalam peribadahan dan secara berangsur dijadikan sebagai sarana liturgi. Tidak hanya
88
89

van Den End, Harta dalam Bejana, 29.
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.

47

roti, anggur, dan air saja yang digunakan sebagai lambang di dalam
peribadahan, tetapi mulai terdapat berbagai lambang lain, seperti meja altar,
salib dan relik, pakaian para imam, dupa, gambar-gambar lambang dan
warna-warna masa tahunan almanak Gerejawi, bentuk bangunan dan tata
ruang beserta perabotnya, musik maupun nyanyian ibadah, bahkan tata
gerak tubuh dan tata peran umat di dalam peribadahan. Kemunculan
lambang-lambang itu tidak lepas dari budaya yang ada di lingkup kehidupan
umat, khususnya kebudayaan Romawi dan kebudayaan Yunani.
Yang tidak kalah penting dalam perkembangan liturgi yang bersinggungan dengan budaya secara lebih lanjut adalah gagasan keselamatan
yang tidak lagi cukup dalam pribadi Yesus Kristus seperti kepercayaan baku
Kekristenan awal, namun pada akhirnya juga ada pribadi lain yang
dipandang oleh kaum tertentu ikut menentukan, yaitu santo ataupun santa.
Semua perkembangan yang ada di dalam liturgi peribadahan Kristen
tersebut disebabkan adanya pengaruh dari budaya yang dimiliki oleh
masyarakat di mana umat Kristen hidup bertumbuh, yaitu faham Yahudi
Yunani (Hellenistic Judaism) yang khas dengan sisi pengetahuan filsafat
dalam diri kaum Yahudi Diaspora di negeri-negeri daerah Mediteranian, dan
dunia kepercayaan Pagan Yunani Roma (Pagan Roman Hellenistic World)
yang terwujud dalam teologi, pandangan keselamatan dan pemahaman diri
Gereja, maupun tata hubungan yang tersusun di dalam kelembagaan umat.90

90

Brox, A History of the Early Church, 11-15.

48

Kelekatan liturgi sebagai salah s

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Musik Gamelan sebagai Identitas Jawa dalam Liturgi Ibadah di GKJ Salatiga Selatan T2 752016031 BAB II

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ T2 752011044 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ T2 752011044 BAB IV

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ T2 752011044 BAB V

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Liturgi Gereja Kristen Jawa:Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ

0 1 66

T2__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB V

0 2 11

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB IV

0 1 46

T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB III

0 0 15

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II

0 1 26