Gambaran Kebiasaan Makan, Aktivitas Fisik,Body Image Dan Status Gizi Remaja Putri Di Smk Negeri 2 Sibolga

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebiasaan Makan
Kebiasaan

makan

didefinisikan

sebagai

perilaku

seseorang

atau

sekelompok orang untuk memnuhi kebutuhan makan yang meilbatkan sikap,
kepercayaan, dan pilihan makanan (Irwan, 2004). Pendefinisian tentang makanan
juga berpengaruh pada kebiasaan makan dan kecukupan gizi, pengertian makan
hanya ditujukan pada nasi atau produk olahan yang berasal dari bahan dasar beras,

seperti lontong. Kalau belum makan nasi belum dianggap makan apapun lauknya.
Kebiasaan makan tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang tentunya berpengaruh
pada kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Uraian tentang keberagaman
kebiasaan makan dan pengolahan makanan diharapkan dapat bermanfaat untuk
memhami kondisi gizi dan kesehatan masyarakat maupun bagi program
penyuluhan gizi dan kesehatan masyarakat (Saptandari dalam Irwan, 2014).
Kebiasaan makan merupakan kebiasaan yang dilakukan remaja berkaitan
dengan konsumsi makanan yang mencakup jenis makanan, jumlah, frekuensi
mengonsumsi makanan, distribusi makanan dalam keluarga dan cara memilih
makanan yang dapat diperoleh berdasarkan faktor-faktor sosial budaya disekitar
lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Soekatri et al (2011), pada usia remaja,
kebiasaan makan dipengaruhi oleh lingkungan, teman sebaya, kehidupan sosial,
dan kegiatan yang dilakukannya di luar rumah. Remaja mempunyai kebiasaan
makan di antara waktu makan, berupa jajanan baik di sekolah maupun di luar
sekolah. Pilihan jenis makanan yang dilakukan lebih penting daripada tempat atau
8
Universitas Sumatera Utara

9


waktu makan. Remaja umumnya mengkonsumsi junk food sehingga asupan
karbohidrat, lemak, gula, garam (Na), dan protein lebih besar daripada yang
diperlukan.
Remaja biasanya telah mempunyai pilihan sendiri terhadap makanan yang
disukainya. Pada masa ini telah terbentuk kebiasaan makan yang tidak sehat, yaitu
seringnya anak sekolah jajan di luar rumah. Kebanyakan orang membatasi
makanan yang mereka makan sesuai dengan mereka sukai atau nikmati.
Ketidakseimbangan

antara

asupan

dan

keluaran

energi

mengakibatkan


pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung
berlanjut ke dewasa dan lansia (Arisman, 2010).
Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada
kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut.
Ketidakseimbangan

antara

asupan

dan

keluaran

energi

mengakibatkan

pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung

berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan
salah satu faktor resiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular,
diabetes mellitus, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, dan berbagai
gangguan kulit (Siagian, 2010).
2.1.1

Pengukuran Kebiasaan Makan
Menurut Siagian (2010), ada enam metode yang lazim digunakan untuk

menilai konsumsi pangan individu, yaitu: 1) metode ingatan 24 jam. 2) metode
pengulangan ingatan 24 jam. 3) metode pencatatan makanan. 4) metode
penimbangan makanan. 5) metode riwayat makanan. 6) metode frekuensi

Universitas Sumatera Utara

10

konsumsi pangan. Keeman metode tersebut, penelitian ini menggunakan metode
food recall 24 jam .
a. Metode Food Recall 24 Jam

Metode food recall adalah metode untuk menilai konsumsi pangan
individual dengan cara mengingat-ngingat pangan apa saja yang dikonsumsi
seseorang pada kurun waktu 24 jam yang lalu (Siagian,2010).
Menurut Supriasa,dkk (2002) metode recall 24 jam ini mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah mudah
melaksanakannya serta tidak membebani responden, biaya murah karena tidak
memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas, cepat melaksanakannnya
sehingga dapat mencakup banyak responden, dapat digunakan untuk responden
yang buta huruf, serta dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar
dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam adalah tidak dapat menggambarkan
asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan satu hari, ketepatan sangat
tergantung pada daya ingat responden, kecenderungan bagi responden yang kurus
untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (The Flat Slape Syndrome),
membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih atau terampil dalam
menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut
kebiasaan masyarakat, responden harus dibari motivasi dan penjelasan tentang
tujuan dari penelitian.

Universitas Sumatera Utara


11

2.1.2

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebiasaan Makan
Menurut Khomsan (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan

makan remaja adalah 1) pengaruh teman sebaya, remaja yang beraktivitas banyak
dilakukan di luar rumah membuat individu sering dipengaruhi teman sebayanya;
2) tingkat ekonomi, dari sudut pandang ekonomi, remaja menjadi pasar yang
potensial untuk produk makanan tertentu, umumnya remaja mempunyai uang
saku, hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai
media cetak maupun elektronik; 3) suasana dalam keluarga, suasana dalam
keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan, hal ini
mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya kebiasaan makan bersama, oleh
karena itu kebiasaan makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling
berkumpul, apalagi makan bersama; 4) kemajuan insdustri makanan, kehadiran
fast food dalam industri makanan di Indonesia memengaruhi pola makan kaum
remaja di kota, khususnya bagi remaja tingkat menengah ke atas, restaurant fast

food merupakan tempat yang tepat untuk bersantai, makanan yang ditawarkan pun
relatif dengan harga yang terjangkau kantong mereka, servisnya cepat, dan jenis
makanannya memenuhi selera.
2.1.3

Kaitan Kebiasaan Makan dengan Body Image
Body image mempunyai pengaruh terhadap kebiasaan makan. Seseorang

cenderung akan memiliki status gizi yang baik apabila seseorang memiliki
persepsi yang bagus terhadap dirinya sendiri. Hal yang berdampak negatif
terhadap dirinya berbeda. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau

Universitas Sumatera Utara

12

sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang
tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi dalam Erison, 2014).
Berdasarkan hasil Lestari (2014) penelitian tidak terdapat hubungan
signifikan antara persepsi body image dan kebiasaan makan. Pendapat yang

berbeda dikemukakan oleh Ricciardelli dan McCabe dalam Lestari (2014) , ada
banyak bukti bahwa kekhawatiran mengenai citra tubuh berhubungan dengan
sikap dan perilaku makan yang mencakup kesalahan makan, strategi memperbesar
otot (contoh menggunakan steroid, bubuk protein, dan beberapa suplemen
makanan, dan pola hidup yang ekstrim) dan strategi merubah bentuk tubuh.
Hasil penelitian Erison (2014) tidak terdapat hubungan signifikan antara
body image dengan frekuensi makan perhari. Menurut Khomsan (2003) hal ini
tidak sejalan dengan penelitiannya bahwa persepsi seseorang terhadap bentuk
tubuhnya memiliki hubungan dengan perilaku makannya, contoh yang memiliki
ketakutan terhadap keadaan bentuk tubuh yang tidak normal kerap kali melakukan
diet yang salah.
Penelitian Nurcahyani (2014) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara body image dengan tingkat konsumsi yang meliputi tingkat
konsumsi energi, protein, lemak dan karbohidrat. Hal ini berarti body image tidak
memepengaruhi tingkat konsumsi namun ada kecenderungan pengaruhnya dari
pola konsumsi makanan yang dikonsumsi sehingga body image mempengaruhi
status gizi. Pada penelitian Anggraeni (2015) juga menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara frekuensi makan dengan body image.

12

Universitas Sumatera Utara

13

2.1.4

Kaitan Kebiasaan Makan dengan Status Gizi
Kebiasaan makan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Pada masa

remaja terjadi perubahan biologis, emosional, sosial dan kognitif. Perubahan ini
berpengaruh langsung terhadap status gizi. Pertumbuhan dan perkembangan yang
dialami remaja secara dramatis menaikkan kebutuhan akan zat gizi (Brown dalam
Savitri, 2015).
Kebiasaan makan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan
satu atau lebih esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat gizi
dalam jumlah berlebih, sehingga menimbulkan efek toksik atau membahayakan.

Baik pada status gizi kurang maupun lebih status gizi lebih terjadi gangguan gizi.
Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah
apabila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang
disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan,
kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor
sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di
sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi (Almatsier, 2009).
Salah satu penyebab kurang gizi yang berkaitan dengan kebiasaan makan
adalah karena makanan yang tidak cukup jumlahnya serta terlalu rendah mutu
gizinya, dan jika berlangsung lama menyebabkan perubahan metabolisme dalam

13
Universitas Sumatera Utara

14

otak, sehingga otak tidak berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan
kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan berat badan terganggu,
bahkan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang kecil. Kekurangan gizi
berakibat pada menurunnya kecerdasan remaja yang dibutuhkan dalam

pembangunan bangsa (Cakrawati, 2012).
Berdasarkan penelitian Tanti (2013) sebanyak 96,3% remaja putri
menyukai buah, sisanya 1,7% tidak menyukai buah. Remaja putri yang
mengonsumsi camilan atau makanan ringan sebanyak 43,3 % dengan frekuensi 35 kali/minggu. Adapun presentase tertinggi mengonsumsi camilan setiap hari
adalah sebesar 20%. Adapun sebagian besar 66,7% remaja putri menyatakan
setiap hari membeli dan mengonsumsi jajanan di sekolah. Sedangkan dalam
mengonsumsi fast food dan soft drinksebanyak 81,7% remaja putri mengonsumsi
fast food 1-2 kali/minggu.
Hasil penelitian Kusuma (2014) frekuensi makan pada makanan pokok
yang dikonsumsi oleh seluruh mahasiswa program studi ilmu gizi FKM Unhas
Makassar nasi putih 2-3x/hari. Frekuensi makan pada lauk pauk yang paling
dikonsumsi adalah jenis telur ayam ras dan tempe dengan frekuensi makan 5-6
kali seminggu, lauk pauk yang jarang dikonsumsi responden adalah ikan lele dan
cumi-cumi dengan frekuensi 1-3 kali/bln. Adapun frekuensi makan pada sayuran
yang sering dikonsumsi adalah wortel, tomat dan cabe kecil dengan frekuensi
makan 5-6 kali seminggu. Sedangkan yang paling jarang dikonsumsi adalah
bayam merah dan sawi putih dengan frekuensi 1 kali/minggu.

Sedangkan

frekuensi makan pada camilan yang paling sering dikonsumsi adalah biskuit

14
Universitas Sumatera Utara

15

dengan frekuensi 5-6 kali seminggu. Adapun makanan jadi yang paling sering
dikonsumsi adalah mie bakso, mie goreng, nasi kuning, dan ayam krispi dengan
frekuensi makan 2-4 kali/minggu.

2.2 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh
dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan
bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat
pekerjaan yang dilakukan (Almatsier, 2009).
Aktivitas remaja sebagian besar banyak dilakukan di sekolah selama 8 jam
meliputi kegiatan belajar dan bermain saat istirahat. Aktivitas berada dirumah
kurang lebih 5-6 jam meliputi mengerjakan pekerjaan rumah, membantu orangtua
dan bermain di lingkungan sebayanya. Aktivitas fisik remaja membutuhkan
asupan pangan mengandung gizi yang cukup sehingga kondisi tubuh remaja akan
tetap baik (Fatmah, 2013).
Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi risiko
terhadap penyakit seperti cardiovaskuler disease (CVD), stroke, diabetes mellitus,
dan kanker kolon. Selain itu juga memberikan efek positif terhadap penyakit
seperti kanker payudara, hipertensi, osteoporosis dan risiko jatuh, kelebihan berat
badan, kondisi maskuosketal, gangguan mental, dan psikologikal dan mengontrol

15
Universitas Sumatera Utara

16

perilaku yang berisiko seperti merokok, alcohol, serta juga dapat meningkatkan
prouktifitas dalam bekerja (Fatmah, 2013).
2.2.1

Kaitan Antara Aktivitas Fisik dengan Body Image
Salah satu aktivitas fisik adalah olahraga. Dengan berolahraga tidak hanya

terbukti sebagai kegiatan yang dapat mempertahankan kesegaran jasmani namun
terbukti dapat memperbaiki suasana hati, mengurangi ketegangan, dan meberi
kesejahteraan bila dilakukan secara teratur, karena mampu mengontrol diri,
mengurangi kecemasan, serta memperbaiki body image yang kurang baik pada
seseorang (Romansyah, 2014).
Hasil penelitian Romansyah (2014) ada hubungan gangguan body image
dengan aktivitas olahraga pada mahasiswa obesitas Prodi Keperawatan Strata I
Program A STIKES RS Baptis Kediri. Pada penelitian Maraculi ada hubungan
body image terhadap aktivitas fisik pada siswa/i sekolah menengah atas di Banda
Aceh dan Aceh Besar.
2.2.2

Kaitan Antara Aktivitas Fisik dengan Status Gizi
Seiring dengan perkembangan teknologi, termasuk teknologi transportasi

dan informasi, terjadi juga perubahan aktivitas fisik dari pola aktivitas aktif
menjadi pola aktivitas kurang aktif. Dengan pola aktivitas yang semakin rendah
mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk yang mengalami kelebihan gizi,
berupa overweight dan obesitas (Cakrawati, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Anggraini (2014) terdapat hubungan antara
aktivitas fisik dengan status gizi, semakin ringan intensitas aktivitas fisik yang
dilakukan maka berpengaruh terhadap status gizi (IMT/U) lebih bahkan obesitas.

16
Universitas Sumatera Utara

17

Hasil penelitian Khasanah (2016) terdapat hubungan signifikan antara
aktivitas fisik dengan satus gizi remaja putrid di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam
Surakarta. Aktivitas fisik yang sesuai, aman, dan efektif dalam upaya mencapai
status gizi yang normal adalah dengan berolahraga karena akan membantu
memelihara berat badan yang optimal.
2.2.3

Pengukuran Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik memiliki tiga tingkatan yaitu, aktivitas fisik berat adalah

kegiatan yang secara terus menerus melakukan aktivitas fisik selama 10 menit
sampai meningkatnya denyut nadi dan nafas lebih cepat dari biasanya (misalnya
menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dan
lain-lain) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas
≥ 1500 MET minute, aktivitas sedang yaitu apabila melakukan aktivitas fisik
sedang (menyapu, mengepel,dll) minimal lima hari atau lebih dengan total
lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu, aktivitas ringan adalah selain
dari aktivitas tersebut (Riskesdas, 2013).
Kegiatan fisik dihitung dengan menggunakan metode faktorial dengan
cara merinci jenis kegiatan secara spesifik serta lamanya kegiatan telah dilakukan
selama 24 jam (dalam menit) untuk kemudian dicatat dan kemudian disesuaikan
dengan estimasi standar faktorial dari total pengeluaran energi. Besar energi
kegiatan dihitung sebagai kelipatan BMR per menit yang disebut sebagai Physical
Activity Ratio (PAR), dan kebutuhan energi 24 jam dengan menggunakan nilai
Physical Activity Level (PAL) (FAO,2001).
PAL = (PAR x alokasi waktu tiap aktivitas)
24 jam
17
Universitas Sumatera Utara

18

Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi
Durasi
Jenis Kegiatan
PAR
Total (PAL)
(Jam)
Aktivitas Ringan
Tidur
8
1
8
Perawatan pribadi (berpakaian
1
2,3
2,3
mandi)
Makan
1
1,5
1,5
Memasak
1
2,1
2,1
Duduk (pekerjaan di sekolah)
8
1,5
12
Pekerjaan rumah tangga
1
2,8
2,8
Berangkat ke/ dari sekolah
1
2
2
mengendarai mobil/ sepeda motor
Berjalan
1
3,2
3,2
Kegiatan santai (menonton TV,
2
1,4
2,8
mengobrol)
Total
24
36,7/24 = 1,53
Aktivitas Sedang
Tidur
8
1
8
Perawatan pribadi (berpakaian,
1
2,3
2,3
mandi)
Makan
1
1,5
1,5
Mengajar dikelas
8
2,2
17,6
Berangkat ke/ dari sekolah dengan
1
1,2
1,2
angkutan umum
Olahraga/ senam intensitas rendah
1
4,2
4,2
Kegiatan santai (menonton TV,
3
1,4
4,2
mengobrol)
Total
24
42,2/24 = 1,76
Aktivitas Berat
Tidur
8
1
8
Perawatan Pribadi (berpakaian,
1
2,3
2,3
mandi)
Makan
1
1,5
1,4
Memasak
1
2,1
2,1
Kerja pertanian (penanaman,
6
4,1
24,6
menyiram, mencangkul)
Mengumpulkan air/kayu
1
4,4
4,4
Pekerjaan rumah tangga (menyapu,
1
2,3
2,3
mencuci piring dan pakaian dengan
tangan)
Berjalan
1
3,2
3,2
Kegiatan santai (menonton TV,
4
1,4
5,6
mengobrol)
Total
24
53,9/24 = 2,25
Sumber: FAO, 2001

18
Universitas Sumatera Utara

19

Berikut ini tabel aktivitas fisik standar berdasarkan nilai Physical Activity
Level (PAL).
Tabel 2.2 Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical
Activity Level (PAL)
Kategori aktivitas fisik berdasarkan Physical
Nilai PAL
Activity Level (PAL)
Ringan
1,40-1,69
Sedang
1,70-1,99
Berat
2,00-2,40
Sumber: FAO, 2001

2.3 Body Image
Menurut Germov & Williams (dalam Savitri, 2015) body image adalah
gambaran seseorang mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya sendiri, gambaran ini
memengaruhi oleh bentuk dan ukuran tubuh aktualnya, perasaannya tentang
bentuk tubuhnya serta harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang
diinginkannya. Apabila harapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tubuh
aktualnya, maka hal ini dianggap sebagai body image negatif.
Body image pada umumnya dialami oleh mereka yang menganggap bahwa
penampilan adalah faktor yang paling penting dalam kehidupan. Hal ini terutama
terjadi pada usia remaja. Mereka beranggapan bahwa tubuh yang kurus dan
langsing adalah yang ideal bagi wanita, sedangkan tubuh yang kekar dan berotot
adalah yang ideal bagi pria. Wanita yang langsing sering kali dianggap cantik dan
sehat serta menjadi idaman para laki-laki. Sedangkan kegemukan dianggap
sebagai hal yang memalukan. Gemuk itu dianggap jelek, lemah, tidak punya
kendali, malas, dan tidak punya ambisi (Germov & Williams dalam Savitri,
2015).

19
Universitas Sumatera Utara

20

2.3.1

Kaitan Antara Body Image dengan Status Gizi
Seseorang cenderung akan memiliki status gizi yang baik apabila

seseorang memiliki persepsi yang bagus terhadap dirinya sendiri. Hal yang
berdampak negatif terhadap status gizi seseorang yaitu ketika persepsi dengan
kenyataan seseorang terhadap keadaan dirinya berbeda. Penilaian terhadap status
gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau
sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi
dalam Erison, 2014).
Hasil penelitian Syahrir (2013) di SMA Islam Ahirah Kota Makassar
menunjukkan sebanyak 33,8% responden yang memiliki persepsi body image
negatif (mengalami ketidakpuasan terhadap bentuk tubuhnya) tidak hanya terjadi
pada siswa dengan kelebihan berat badan saja (gemuk dan obesitas), namun juga
pada siswa dengan status gizi normal (50,0%). Hasil penelitian Lingga (2011)
pada siswi SMA Budi Mulia Bogor sebanyak 42,9% remaja putri yang berstatus
gizi normal memiliki persepsi bentuk tubuh negatif , mereka menganggap bentuk
tubuh mereka gemuk/obes dan 11,4% menganggap bentuk tubuh mereka kurus.
Berdasarkan penelitian Nurcahyani (2014) terdapat hubungan yang
signifikan antara body image dengan status gizi. Hasil analisis penelitian Sahputri
(2015) mengenai hubungan antara status gizi dengan gambaran tubuh diperoleh
bahwa ada sebanyak 67 (33,8 %) remaja putri SMAN 3 Cimahi mempunyai status
gizi normal dengan gambaran tubuh positif. Sedangkan 77 (38,9%) remaja putri
memiliki status gizi normal dengan gambaran tubuh yg negatif. Siswa yang
memiliki status gizi kurus dan gambaran tubuh positif ada sebanyak 21 (10,6%)

20
Universitas Sumatera Utara

21

remaja putri. Berbeda dengan mereka yang memiliki status gizi gemuk, dimana
terdapat 7 (3,5%) siswi memiliki gambaran tubuh yang negatif. Hasil uji statistik
terdapat hubungan antara status gizi dengan gambaran tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian Savitri (2015) ada hubungan antara body
image dengan status gizi bahwa status gizi kurang lebih banyak dialami oleh siswi
yang memiliki body image negatif (20%) dibanding dengan siswi yang memiliki
body image positif.
2.3.2

Pengukuran Body Image
Persepsi tubuh merupakan suatu hal yang abstrak dan tidak dapat diukur

secara langsung. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen yang dapat
mengkotkretkan persepsi tubuh sehingga dapat diukur secara langsung. Menurut
Stunkard et al (1983) dalam Lingga (2014) penilaian body image menggunakan
Figure Rating Scale (FRS). FRS terdiri dari sembilan skema gambar yang
memiliki interval dari sangat kurus dengan skor 1 sampai sangat gemuk dengan
skor 9. Skala tersebut digunakan untuk mengukur persepsi tubuh. Remaja putri
yang menjadi contoh dalam penelitian ini diminta memilih nomor mana yang
sesuai dengan persepsinya. Penentuan kategori bentuk tubuh berdasarkan nomor
gambar yaitu gambar 1 dan 2 kategori kurus, gambar 3 dan 4 kategori normal,
gambar 5 dan 6 kategori overweight, gambar 7,8,9 kategori obesitas.
Menurut Collin dalam Lestari (2014) persepsi body image menggunakan
kuesioner yang terdiri pertanyaan mengenai bentuk tubuhnya, bentuk tubuh ideal,
dan bentuk tubuh yang diharapkannya. Pertanyaan tersebut

kemudian

dideskripsikan satu persatu sesuai dengan jawaban contoh. Jenis persepsi contoh

21
Universitas Sumatera Utara

22

diukur dengan membandingkan status gizi aktual terhadap bentuk tubuh
aktualnya. Apabila persepsi contoh terhadap bentuk tubuh aktualnya berbeda
dengan status gizi aktualnya, maka hal ini dapat dikatakan sebagai persepsi tubuh
negatif. Sebaliknya, apabila persepsi contoh terhadap bentuk tubuh aktualnya
sama dengan status gizi aktualnya, maka hal ini dapat dikatakan sebagai persepsi
tubuh positif. Hasil persepsi body image baik negatif atau positif diolah secara
deskriptif melihat rataan, sehingga didapatkan hasil secara umum mengenai
persepsi body image.

Gambar 2.1. Penilaian persepsi tubuh metode Figure Rating Scale (FRS)
Sumber: Stunkard et al (1983)

2.4 Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi, dibedakan anatara gizi kurang, baik, dan lebih
(Almatsier, 2009). Sedangkan menurut Supariasa, 2002, status gizi adalah
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau
perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. Menurut Brown dalam

22
Universitas Sumatera Utara

23

Savitri (2015) Pada remaja terjadi perubahan yang besar dilihat dari sisi biologis,
emosional, sosial, dan kognitif dari masa anak-anak menuju dewasa. Pertumbuhan
fisik

dan

perkembangan

pada

remaja

menaikkan

kebutuhan

energy,

protein,vitamin dan mineral.
Menurut Cakrawati (2012) status gizi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
gizi baik, gizi kurang, dan gizi lebih. Gizi baik apabila asupan gzi seimbang
dengan kebutuhan gizinya. Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat
(patologis) yang timbul karena tidak cukup makan atau konsumsi energi dan
protein kurang selama jangka waktu tertentu. Gizi lebih merupakan keadaan
patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan. Kegemukan
(obesitas) merupakan tanda pertama yang dapat dilihat dari keadaan gizi lebih.
Obesitas yang berkelanjutan akan mengakibatkan berbagai penyakit seperti
diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, dan lain-lain.
2.4.1

Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi diartikan sebagai interpretasi data tentang asupan dan

penggunaan zat gizi perorangan untuk menentukan status kesehatannya (Arisman,
2010). Dalam penelitian ini digunakan penilaian dengan cara antropometri, yaitu
penilaian status gizi dengan mengukur tinggi dan berat badan. Pengukuran tinggi
badan menggunakan microtoise dan berat badan menggunakan bathroom scale.
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai macam tingkat umur dan tingkat gizi (Supriasa,2012).
Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

23
Universitas Sumatera Utara

24

1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, diketahui bahwa penilaian status gizi remaja didasarkan pada Indeks
IMT/U (Kemenkes, 2010). IMT (Indeks Massa Tubuh) merupakan hasil dari
pembagian antara berat badan dengan tinggi badan yang dikuadratkan, seperti
pada rumus berikut:
BB (kg)
IMT =
TB (m2)
Dimana: BB = Berat Badan dan TB = (Tinggi Badan)
Klasifikasi nilai ambang batas Indeks Massa Tubuh untuk remaja usia 518 tahun adalah:
Tabel 2.3 Kategori Nilai Ambang Batas anak umur 5-18 tahun
Kategori Status Gizi
Ambang Batas (Z-score)
Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Obesitas

< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 1 SD
>1 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD

Sumber: Kemenkes RI Tahun 2010

2.5 Kerangka Konsep
Persepsi body image seseorang akan mempengaruhi kebiasaan makannya.
Apabila seseorang berpersepsi bahwa tubuhnya terlalu gemuk padahal tubuhnya
terlihat kurus maka dia akan mengurangi frekuensi makan agar mendapatkan
bentuk tubuh yang diinginkannya. Begitu sebaliknya apabila seseorang
berpersepsi bahwa tubuhnya sudah kurus padahal remaja memliki status gizi
obesitas maka dia akan selalu menambah frekuensi makannya agar mendapatkan
24
Universitas Sumatera Utara

25

tubuh yang gemuk. Persepsi body image mempengaruhi aktivitas fisik seseorang,
apabila seseorang berpersepsi bahwa tubuhnya terlalu gemuk maka dia berusaha
mengubah pola hidupnya dengan lebih sering beraktivitas fisik seperti olahraga.
Body image merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan dengan status gizi
seseorang. Persepsi terhadap kegemukan ini lebih sering terjadi pada remaja,
dimana pada masa ini para remaja akan berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan bentuk tubuh yang lebih baik dari yang ia miliki saat ini.

Body Image

Kebiasaan Makan

Aktivitas Fisik

Status Gizi

Gambar 2.2. Kerangka Penelitian Gambaran Kebiasaan Makan, Aktivitas Fisik, Body
Image, dan Status Gizi Remaja Putri di SMK Negeri 2 Sibolga

25
Universitas Sumatera Utara