Landex dalam Upacara Adat Ngampeken Tulantulan Analisis Struktur, Fungsi dan Makna pada Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar

45

BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DI DESA TIGA JUHAR

2.1 Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar
Sebelum kemerdekaan republik Indonesia, wilayah Kabupaten Deli Serdang
memiliki dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan yaitu Kesultanan Deli yang
berpusat di Medan dan Kesultanan Serdang yang berpusat di Perbaungan. Pada
masa itu wilayah administrasi dan geografi Kabupaten Deli Serdang sangat luas.
Meliputi wilayah Medan, Binjai hingga Tebing Tinggi dengan luas wilayah 6.400
km2 dan terdiri dari 33 Kecamatan (Tarigan, 2008:2). Pada tahun 1980-an terjadi
perubahan wilayah administrasi Kabupaten Deli Serdang.
Pusat pemerintahan Kabupaten Deli Serdang dipidahkan ke Lubuk Pakam,
sebuah kota kecil yang terletak di jalan lintas Sumatera lebih kurang 30 meter
yang sampai saat ini ditetapkan menjadi ibu kota Kabupaten Deli Serdang. Di
tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2004 wilayah ini mengalamin dua kali
perubahan wilayah yaitu Medan, Binjai dan Tebing Tinggi meminta mengadakan
perluasan wilayah diikuti Serdang Bedagai. Serdang Bedagai memiliki berbagai
potensi daerah sehingga ikut terpengaruh untuk membuat wilayah pemerintahan
sendiri. Akhirnya luas wilayah Kabupaten Deli Serdang menjadi 2.394,62 km 2

yang terdiri dari 22 Kecamatan (Wikipedia//.com Kab.Deli Serdang).

Universitas Sumatera Utara

46

Foto 2.1 Peta Kabupaten Deli Serdang
(Dok. www.Kab.Deli Serdang.com. 2017)

Universitas Sumatera Utara

47

Foto 2.1 menunjukan letak geografis Kabupaten Deli Serdang berdasarkan
kecamatan. Kabupaten Deli Serdang terletak diantara 2o57”-3o16” LU dan antara
98o33”-99o27” BT merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang dikawasan
Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 km2 dari luas provinsi
Sumatera Utara dengan batasan wilayah, sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Sumatera, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah Barat berbatasan dengan

Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat.
Pada hakekatnya berdirinya Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah
Kerajaan Kesultanan Deli yang berpusat di Medan. Deli en Serdang adalah nama
dari Kabupaten ini pada masa kepemimpinan Belanda. Tanggal 14 November
1956 Kabupaten Deli serdang ditetapkan menjadi daerah otonom oleh pemerintah.
Pada tanggal 1 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Deli Serdang.
Kabupaten Deli Serdang saat ini memiliki 22 Kecamatan, yang terdiri dari
Kecamatan Bangun Purba, Batang Kuis, Beringin, Biru-Biru, Deli Tua, Galang,
Gunung Meriah, Hamparan Perak, Kutalimbaru, Labuhan Deli, Lubuk Pakam,
Namo Rambe, Pagar Merbau, Pancur Batu, Pantai Labu, Patumbak, Percut Sei
Tuan, Sibolangit, Sunggal, Tanjung Merawa, Sinembah Tanjung Muda Hilir dan
Sinembah Tanjung Muda Hulu (wawancara kepela desa 19 April 2017).

Universitas Sumatera Utara

48

Foto 2.2 Kantor Camat STM. Hulu
(Dok. Nadra Akabar Manalu. 2017)
Foto di atas menunjukan kantor camat Sinembah Tanjung Muda Hulu yang

masih aktif beroprasi melayani masyarakat di desa tersebut. Kecamatan Sinembah
Tanjung Muda Hulu atau yang sering disingkat STM Hulu merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Deli Serdang yang memiliki 20 desa di wilayah
admistrasinya. Diantara 20 desa salah satu bernama desa Tiga Juhar dan menjadi
lokasi penelitian oleh penulis. Desa Tiga Juhar memiliki letak geografis sebelah
Utara berbatasan dengan desa Ranggitgit, sebelah Timur berbatasan dengan desa
Sumbil, sebelah Barat berbatasan dengan desa Ranggitgit dan sebelah Selatan
berbatasan dengan desa Durian Emblang, memiliki ± 430 kepala keluarga dan
terdapat 1000 jiwa penduduk (Wawancara kepala desa Tiga Juhar 2017).

Universitas Sumatera Utara

49

Foto 2.3. Suasana di Desa Tiga Juhar
(Dok. Nadra Akbar Manalu, 2017).
Dapat dilihat pada foto 2.3 di atas, yang memperlihakan sebagian dari lokasi
penelitian di desa Tiga Juhar, foto tersebut menggambarkan suasana dari tempat
penelitian. Pada foto tidak terlihat kemajuan yang berarti pada bidang
infrastruktur, namun menurut kepala desa, pemerintah tengah menjalankan

pembangunan desa, sampai saat ini masih dalam proses pembangunan. Menurut
kepala desa Tiga Juhar, desa tersebut berdiri pada tahun 1950-an hiangga saat ini
penduduk di desa Tiga Juhar terus maju dan berkembang. Dapat dilihat juga dari
perkembangan penduduk di desa dalam bidang pendidikan hampir keseluruhan
masyarakatnya mengecap pendidikan baik dari tingkat pendidikan PAUD hingga
Perguruan tinggi. Desa ini juga memiliki sarana pendidikan formil dari tingkat
PAUD hingga SMA. Hal tersebut berpengaruh dalam perkembangan dan
kemajuan desa, masyarakat di desa Tiga Juhar saat ini sudah memiliki pola

Universitas Sumatera Utara

50

pemikiran yang maju sehingga sumber daya manusia di desa dapat berkembang,
nantinya diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyaraka dan
kemajuan desa itu sendiri baik dalam bidang infrastruktur, wisata, ekonomi dan
sebagainya.
Desa Tiga Juhar memiliki objek wisata yang menarik di daerahnya. Hal
yang menarik dari objek wisata di desa ini ialah selain objek wisatanya yang
indah, desa ini memiliki daya tarik tersendiri yang dapat dilihat dari objek wisata

berbasis kearifan lokal, seperti adat istiadat atau kebudayaan masyarakat setempat.
Objek wisata di desa ini yang dekenal oleh masyarakat luas diantaranya:
1. Objek wisata Danau Linting
2. Objek wisata Jembatan Gantung yang memiliki panjang 165 m dengan
kedalaman 135 m
3. Objek wisata air terjun tarunggang
4. Objek wisata air terjun gren enyon
5. Objek wisata gua rumah liang
Objek-objek wisata tersebut dalam proses pengembangan oleh pemerintah
setempat, salah satu tujuannya untuk menambah pendapatan bagi masyarakat di
desa Tiga Juhar. seperti yang telah dikatakan di atas, tidak hanya objek wisata
yang dikembangkan, menurut kepala desa Tiga Juhar yakni bapak Daniel Barus,
desa Tiga Juhar yang mayoritasnya adalah suku Karo dan akan menonjolkan
kebudayaan Karo di tempat-tempat objek wisata tersebut. Identitas dan cirikhas
dari suku Karo tidak akan dihilangkan namun akan dikembangkan seiring
pengembangan objek wisata di desa Tiga Juhar.

Universitas Sumatera Utara

51


Foto 2.4. Objek wisata danau linting di desa Tiga Juhar, kecamatan
STM Hulu, Kabupaten Deli Serdang.
(Dok. Nadra Akbar Manalu, 2017)

2.2 Mata Pencaharian Masyarakat di Desa Tiga Juhar
Masyarakat di desa Tiga Juhar mayoritas bermata pecaharian sebagai petani,
karena berdasarkan letak geografisnya mendukung untuk lahan pertanian. Hasil
pertanian seperti sawit, karet dan salak. Selain bercocok tanam perternakan juga
merupakan mata pencaharian masyarakat desa Tiga Juhar terutama memelihara
kerbau, babi, kambing, ayam dan bebek. Dalam hal ini kerbau dibutuhkan sebagai
binatang yang membantu petani bekerja disawah, babi pada umumnya digunakan
masyarakat Karo untuk pelaksanaan pesta adat sebagai konsumsi utama, selain itu
babi, kerbau, ayam, kambing dan bebek juga banyak dijual untuk menambah
pendapatan atau perekonomian keluarga. Disamping itu, mata pencaharian

Universitas Sumatera Utara

52


masyarakat Karo sebahagian besar bekerja di perusahaan perkebunan, sebagai
pedagang, industri, sebagai pegawai negeri sipil, diperternakan dan jasa angkutan.
Hubungan yang baik antara manusia dan alam merupakan tanggung jawab
masyarakat Karo untuk melestarikannya. Misalnya dengan melaksanakan pesta
syukuran, seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah yang
dilaksanakan setiap tahun. Pada dasarnya masyarakat Karo mengenal sikap
gotong royong dalam hal bercocok tanam di desa Tiga Juhar yang dalam bahasa
Karo disebut raron. Dalam hal ini sekelompok orang yang bertetangga atau
berkerabat secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya dengan
bergiliran. Dalam kaitan ini raron merupakan suatu pranata yang keanggotaannya
sukarela dan lamanya berdiri tergantung pada persetujuan anggotanya.
Selain raron dikenal juga istilah aron yang artinya wanita pekerja. Dalam
kalangan keluarga kurang mampu beban yang sangat berat harus ditanggung oleh
perempuan sendiri terlebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia
memikul beban kerja ganda (Mansour, 1996:21). Wanita di desa tersebut tidak
hanya laki-lakinya saja yang bekerja, tetapi hampir mendominasi wanita ikut
bekerja. Dikenal juga istilah neraya yang memiliki pengertian mengerjakan
pekerjaan secara bersama-sama. Pengertiannya memiliki kesamaan dengan raron
hanya penyebutannya saja yang berbeda. Hasil dari pertanian di desa Tiga Juhar
terus berkembang, saat ini hasil pertanian dan perkebunan tidak hanya dikonsumsi

masyarakat desa Tiga Juhar, hasil pertanian dan perkebunan mereka jual
kedaerah-daerah lain.

Universitas Sumatera Utara

53

2.3 Mitologi
Pembahasan ini tentang asal mula berdirinya desa Tiga Juhar dan arti dari
kata Tiga Juhar itu sendiri. Menurut narasumber pada awalnya penduduk yang
pertama kali datang di desa Tiga Juhar adalah marga Barus dan merupakan
seorang pejuang melawan penjajah pada masa lampau. Marga Barus tinggal dan
menetap di desa ini, hingga saat ini masyarakat di desa Tiga Juhar menganggap
bahwa marga Barus lah sebagai pendiri desa Tiga Juhar.
Setelah marga Barus baru datang marga dari suku Karo yang lain yaitu
marga Karo-karo, marga Ginting, marga Sembiring, marga Perangin-angin dan
marga Tarigan, setelah itu masyarakat berkembang dan ditambah oleh masyarakat
pendatang seperti Jawa, Minang, Batak Toba, Batak Mandailing, Aceh, dan suku
Pak-pak. Kedatangan suku pendatang lain tidak menjadikan desa tersebut
kehilangan identitasnya, hingga saat ini penduduk di desa Tiga Juhar masih

mayoritas adalah suku Karo.
Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi ditengah-tengah masyarakat
di desa Tiga Juhar umumnya menggunakan bahasa Karo sebagai bahasa
kesehariannya selain menggunakan bahasa Indonesia. Arti dari nama desa Tiga
Juhar itu sendiri yaitu diambil dari nama pohon yang dahulunya banyak tumbuh di
desa Tiga Juhar tersebut yaitu pohon Juhar, jadi arti dari kata “Tiga” yaitu “pasar”
dan “Juhar” yaitu “Pohon Juhar”. Jadi arti dari nama desa tersebut, hanya berasal
dari arti kata “pasar pohon juhar” yang menandakan lokasi tersebut banyak
ditumbuhi pohon juhar. Maka disepakati nama desa tersebut denga kata “Tiga
Juhar”.

Universitas Sumatera Utara

54

2.4 Agama dan Kepercayaan
Dalam kehidupan seorang manusia, agama penting artinya sebagai landasan
dan sistem kontrol dalam menjalanin kehidupan sehari-hari bagaimana berprilaku,
bersikap, serta dapat menjadikan diri untuk bisa mengajarkan perbuatan yang baik
kepada orang lain. Sebelum masuknya agama-agama samawiyah, masyarakat

Karo mempunyai sistem religinya sendiri, yang disebut perbegu. Masyarakat
Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini baik yang dapat dilihat
maupun yang tak dapat dilihat adalah ciptaan oleh Dibata, yang disebut Dibata
Kaci-kaci berjenis kelami perempuan.
Dibata Kaci-kaci ini mempunyai wilayah kekuasaan yaitu: dunia atas, dunia
tengah dan dunia bawah. Setiap wilayah kekuasaan diperintah oleh seorang
Dibata sebagai wakil dari Dibata kaci-kaci. Ketiga Dibata ini merupakan satu
kekuasaan yang disebut Sitelu. Berdasarkan tempatnya memerintah orang Karo
percaya kepada Dibata Datas, Dibata Tengah, dan Dibat Teruh. Dibata Datas
disebut juga Dibata Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).
Dibata Tengah

disebut juga Tuhan Padukah Ni Aji, Dibata inilah yang

menguasai dan memerintah di bagian dunia. Dibata Teruh disebut juga Tuhan
Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah (Tarigan,
1990:83).
Kepercayaan perbegu mempercayai bahwa setiap orang mempunyai tendi
(arwah). Apabila seseorang meninggal dunia, maka tendi tersebut berubah
menjadi begu. Agama perbegu di daerah Karo pada Tahun 1946 diganti namanya

menjadi pemena oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin. Perubahan nama

Universitas Sumatera Utara

55

ini disebabkan karena banyak mendapat tekanan-tekanan pahit dari pemerintah
Belanda bersama penyiar-penyiar agama yang dibawa oleh bangsa Eropa. Bangsa
Eropa menyebut perbegu sebagai agama menyembah setan (Tarigan, 2003:267).
Suku Karo percaya bahwa setiap orang mempunyai tendi roh. Jika seorang
meninggal dunia, maka tendi akan berubah menjadi begu. Begu dipercaya
masyarakat Karo sering mengganggu manusia yang masih hidup dan sekaligus
dipercaya dapat menjadi manusia. Artinya ada begu yang ditakuti ada begu yang
dihormati. Berikut dijelaskan beberapa jeni begu yang terdapat pada masyarakat
Karo:
1. Begu yang sangat penting adalah begu jabu atau rumah tangga, yang
disebut dibata jabu atau dewa rumah tangga. Begu ini merupakan jenis
arwah dari kerabat terdekat yang meninggal secara tiba-tiba (si mate sada
wari) atau seseorang yang meninggal dalam suatu hari tertentu., baik
karena kecelakaan ataupun bunuh diri, tetapi tidak karena sakit tertentu.
Setelah acara ritus perumah begu, begu ini menjadi arwah rumah tangga
atau begu jabu, yang melindungi keluarga mereka dari bentuk kekuatan
dan pengaruh jahat. “Begu jabu ngkelini jabuna” artinya roh rumah (begu
jabu) menyelamatkan keluarganya. Arwah atau dewa ini dikatakan
menghuni rumah tangga dan sajian khusus disampaikan kepada mereka.
2. Begu yang dikenal masyarakat Karo adalah begu batara guru, yakni
arwah anak yang baru lahir atau yang juga disebut begu perkakun jabu,
yakni arwah pengaman rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

56

3. Begu yang dikenal sebagai bicara guru disebut juga begu perkakun jabu
adalah arwah seorang anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi.
4. Begu simate sada wari yaitu begu yang berasal dari orang-orang yang
meninggal secara mendadak dalam suatu hari.
5. Begu tungkep wanita yang meninggal dan belum pernah menikah selama
hidupnya, begu ini termasuk begu jabu yang harus dihormati agar tidak
mengganggu keluarga yang masih hidup.
6. Begu kayat-kayaten orang yang meninggal disebabkan penyakit,
sedangkan orangnya belum begitu tua. Begu ini dianggap sebagai begu
biasa.
7. Begu mentas orang lain yang merupakan begu melintas saja.
8. Begu menggep yaitu sejenis begu yang sangat menakutkan dan selalu
mengintip orang untuk mencederainya di bawah kolong atau di bawah
tangga rumah atau kepondok yang dipercayai untuk menerkam
mangsanya.
9. Begu sidangbela atau begu dari wanita yang meninggal pada saat
melahirkan. Begu ini sangat marah, benci dan kejam sekali terhadap
wanita hamil dan anak-anak kecil. Sebagai penangkal dan penolak maka
dipercayai anak-anak dan para wanita hamil diberikan kalung umbi
jerangau.
10. Begu juma yaitu begu orang yang meninggal secara umum. Begu ini
selalu mengganggu orang yang bekerja diladang, merasuki orang
sehingga orang di ladang berkelahi tanpa sebab.

Universitas Sumatera Utara

57

11. Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senang mencekik leher
mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang.
12. Begu sirudang gara yaitu begu yang biasa disuruh-suruh, misalnya
menjaga ladang, kolam ikan, jemuran dan lain-lain. Bila ada pencuri, bisa
tiba-tiba meninggal atau stroke. Tarigan dalam Ginting (2015:110-113).
Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan di desa Tiga Juhar dahulunya
masih percaya begu akan hadir dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan. Di
antara dua belas begu tersebut, begu jabu, begi simate sadawari dan begu kayatkayaten. Tiga begu tersebut yang hadir dan dipanggil dalam upacara ini. Saat ini
kepercayaan dari perbugu sudah hilang dalam kehidupan masyarakat Karo.
Seiring perjalanan waktu masyarakat Karo mempercayai agama dan memeluk
agama dari keyakinan mereka masing-masing. Kini masyarakat Karo sebagian
besar telah beragama Protestan, Katolik, Islam dan Hindu. Agama merupakan
suatu bentuk kepercayaan yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh masingmasing pemeluk agama. Hal tersebut dapat dilihat dari perbuatan manusia. Setiap
perbuatan pasti memiliki aturan dan konsekuensi sesuai dengan apa yang
ditetapkan oleh ajaran agama yang dianut.
Masyarakat Karo di desa Tiga Juhar awalanya masih mempercayai
kepercayaan parbegu, seiring perkembangan zaman dan masuknya penyebaran
agama maka mayarakat Karo mulai meyakini agama Nasrani ataupun agama
Islam. Kegiatan-kegiatan upacara masyarakat Karo beralih fungsi menjadi upacara
adat begitu juga masyarakat Karo yang berada di desa Tiga Juhar. Masyarakat
yang tinggal di desa Tiga Juhar saat ini mayoritas beragama Nasrani dan sebagian

Universitas Sumatera Utara

58

lagi masyarakatnya memeluk agama Islam. Jika di presentasikan masyarakat yang
memeluk agama Nasrani berkisar 60 % sedangkan masyarakat yang memeluk
agama Islam berkisar 40%. Di desa Tiga Juhar kerukunan dan nilai toleransinya
sangat terjaga. Salah satu contohnya dapat dilihat dari tempat ibadah masyarakat
yang saling berdampingan.
Masyarakat selalu mengadakan kegiatan keagamaan dan beribadah dengan
keyakinan mereka masing-masing. Dipastikan di desa Tiga Juhar tidak terdapat
agama lain ataupun masyarakat Karo yang masih mempercayai agama pamena
hampir seluruh masyarakat sudah memeluk dan meyakini agama mereka masingmasing. Agama masuk di Desa Tiga Juhar pada tahun 1960, pada saat itu agama
yang masuk dan melakukan penyebaran pertamakali adalah agama Nasrani
Protestan (GBKP) dan saat itu mayoritas masyarakat di desa Tiga Juhar memeluk
agama tersebut.
Di tahun berikutnya penyebaran agama Islam pun masuk di desa Tiga Juhar,
pada saat masuknya agama Islam tidak dapat dipastikan tahun berapa tepatnya,
diperkirakan tahun 1970 agama Islam masuk dan menyebar, namun diperkirakan
juga agama Islam mulai di yakini masyarakat setelah penyebaran agama Protestan
antara tahun 1960-1973. Terakhir masyarakat di Desa Tiga Juhar mempercayai
kepercayaan Katolik yang mulai masuk ke desa Tiga Juhar sekitar tahun 1973.
Dapat disimpulkan saat ini masyarakat di desa Tiga Juhar hanya meyakini di
antara ke tiga agama itu saja yaitu Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Berikut
ini adalah dua diantara tiga rumah ibadah yang berada di desa Tiga Juhar yang
lokasi rumah ibadahnya berada tepat berdampingan antara Mesjid (Islam) dengan

Universitas Sumatera Utara

59

Geraja (Protestan), menurut masyarakat setempat hal ini sebagai simbol
kerukunan beragama yang ditonjolkan di desa tersebut.

Foto 2.5. Rumah Ibadah di Desa Tiga Juhar.
(Dok. Nadra Akabar Manalu, 2017)
Pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini mayoritas yang
tetap melaksanakan upacara ini adalah masyarakat yang menganut kepercayaan
Nasrani. Karena bagi mereka upacara ini sudah tidak ada lagi berkaitan dengan
hal-hal mistik atau pemujaan setan. Upacara ini sudah menjadi upacara adat, tidak
ada unsur mistik ataupun religi. Bagi umat islam sendiri upacara ini tidak
dilakukan sama sekali, karena bagi umat islam menggali kuburan orang yang
sudah dikuburkan di yakini akan menyiksa orang yang sudah meninggal tersebut.

2.5. Upacara Adat
Upacara berasal dari bahasa Sanskerta yaitu terdiri atas kata upa artinya
dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan (Ginting, 2015:33). Upacara
mengadung arti kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan.
Maksudnya adalah suatu kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang

Universitas Sumatera Utara

60

Maha Esa atau kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan (Donder,
2007:280).
Berkaitan hal tersebut, upacara pada masyarakat Karo awalnya dari
kepercayaan agama Pamena atau Perbegu (memuja arwah atau setan), kemudian
masuklah pengaruh Hindu pada orang Karo, peristiwa itu terjadi sekitar tahun
1200-an (Tarigan, 2008:34). Kepercayaan Pemena adalah agama yang pertama
dilahirkan Tuhan kedunia dari sekian jumlah agama lainnya dijagat raya (Tarigan,
2011:24). Salah satu upacara pada masa kepercayaan Pemena yaitu upacara
‘perkualuh’ merupakan upacara penghanyutan abu jenazah. Selanjutnya upacaraupacara yang ada di zaman Hindu berhubungan dengan arwah atau tendih, seperti
dalam upacara ‘persilihi’ dan Erpangir ku Lau. Perselihi adalah upacara substitusi
dimana gana-gana atau patung-patung dijadikan pengganti dari dukun atau guru
yang dinyatakan akan mengalami bahaya maut, sedangkan erpangir ku lau adalah
upacara yang diyakini dapat memulihkan rezki dengan berlangir ke sungai.
Semua kepercayaan Hindu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan tendi (arwah)
atau masih besarnya pola pemikiran masyarakat yang masih meyakini
kepercayaan Pemena atau Perbegu.
Upacara-upacara pada masa kepercayaan Hindu mulai mengalami
pergeseran. Pola pemikiran dan kehidupan masyarakat Karo mulai berubah seiring
masuknya agama Protestan dan Islam. Pengaruh era modern menjadikan upacaraupacara religi pada masyarakat Karo menjadi suatu kebudayaan. Upacara terus
dilestarikan sebagai konteks upacara adat. Kepercayaan terhadap arwah-arwah
sudah tergeser dalam tujuan upacara. Tujuan upacara kini menjadi bentuk

Universitas Sumatera Utara

61

penghormatan. Hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan masyarakat Karo.
Saat ini upacara adat erat hubungannya denga sistem kekerabatan. Dengan kata
lain segala sesuatu yang melibatkan sisitem kekerabatan atau sangkep nggeluh di
dalamnya dikatakan sebagai upacara adat.

2.6 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Karo yang dahulunya terisolir dipedalaman dataran tinggi Karo
saat ini disebut dengan wilayah Kabupaten Karo. Memiliki sebuah komunitas
terbentuk dari sebuah budaya yang menjadi patron bagi mereka dalam
berhubungan dengan sang Pencipta, alam dan khususnya hubungan antara sesama
manusia. Pola hubungan tersebut disebut dengan budaya. Menurut Singarimbun
dalam Tarigan (2008:15) Aspek budaya merupakan identitas masyarakat Karo,
terdapat empat identitas tersebut yaitu merga, bahasa, kesenian dan adat Istiadat.
Pada masyarakat Karo merga sangat penting gunanya untuk kehidupan.
Merga berguna untuk mengekspresikan identitas diri serta hubungannya dengan
ertutur (mencari hubungan kekerabatan). Merga dan beru dipakai untuk
dibelakang nama. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok yang
sering disebut dengan istilah merga silima yaitu Ginting, Karo-karo, Peranginangin, Sembiring dan Tarigan. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga
ayah juga itulah merga anak. Disamping itu masyarakat Karo tidak hanya
mempunyai merga dan beru saja, tetapi sekaligus mewarisi beru dari ibu
kandungnya yang disebut bere-bere. Jadi setiap pribadi mempunyai merga atau
beru dan bere-bere. Lain halnya dengan orang Karo yang melakukan kawin

Universitas Sumatera Utara

62

campuran atau kawin antar etnik. Dilihat sepintas pada masyarakat Karo orang
beranggapan bahwa dalam menarik garis keturunan secara patrilinier, akan tetapi
kalau diteliti lebih mendalam lagi barulah dimengerti letak kekhasan masyarakat
Karo dalam menarik garis keturunanya. Mereka bukan patrilineal melainkan
parental (bilateral) yang menarik garis keturunan melalui ayah dan ibu sekaligus
(Bangun, 1989:18). Namun demikian dalam pelaksanaan sehari-hari bere-bere
tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam
kegiatan ertutur, untuk mengetahui hubungan kekeluargaan seseorang, walaupun
masyarakat Karo mempunyai sistem parental akan tetapi yang paling penting
adalah merga dan beru.
Kelahiran dan kematian merupakan suatu hal yang mempengaruhi
kekeluargaan dalam silsilah merga. Hal ini terbukti bahwa merga dan beru tetap
dicanyumkan setelah seseorang meninggal dunia. Kebiasaan ini merupakan hal
yang lazim pada masyarakat Karo. Oleh sebab itu setiap orang Karo yang
mencantumkan merga dan berunya maka telah menunjukan pembuktian bahwa
mereka adalah orang Karo.
Merga suatu ikatan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat
Karo atau dengan kata lain tidak terlepas dari kepribadian orang Karo dalam
kehidupannya walaupun dalam bentuk yang paling sederhana sekali, kita akan
dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan
keluarga, sistem ekonomi, politik, status sosial, agama, cara menyelesaikan
konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan
material, suatu kumpulan pengetahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi.

Universitas Sumatera Utara

63

Setinggi apapun pangkat Dia, atau serendah apapun Dia, maka aturan dan tutur
marga tetap dijunjung olah masyarakat Karo. Bagi masyarakat Karo sistem
kekerabatan dan adat istiadat sangat berkaitan disebabkan sebagaian dari adat
istiadat secara tidak langsung dipengaruhi oleh sistem kekerabatan.
Masyarakat Karo mempunyai sistem kekerabatan, hal ini terjadi karena
masyarakat

ingin

mempertahankan

sistem

kehidupan

keluarga

untuk

kelangsungan hidup dalam mempertahankan nilai-nilai yang dimilikinya, terutama
yang berkaitan dengan jati diri. Pada masyarakat Karo sistem kemasyarakatan
dikenal dengan sistem kekerabatan dan bila diamati atau diperhatikan secara
cermat, akan diketahui bahwa sistem kekerabatan pada suku Karo mengandung
cakupan yang cukup luas dan mendalam.
Munculnya sistem kekerabatan disebabkan terjadinya perkawinan antar
merga (marga) dan sub merga lain, kemudian perkawinan itu menghasilkan
keturunan sebagai akibat terjadilah kelompok keluarga baru disamping ada
keluarga yang lama (Yulianus, 2006:4). Artinya terjadilah pertukaran-pertukaran
kedudukan dan fungsinya misalnya pihak keluarga laki-laki yang kawin dengan
pihak keluarga perempuan, dalam suatu perkawinan maka keluarga pihak laki-laki
dinamakan “anak beru” dari pihak perempuan. Selanjutnya keluarga pihak
perempuan disebut “kalimbubu” oleh pihak keluarga laki-laki. Anak perempuan
dari pihak laki-laki menjadi anak beru pihak laki-laki itu sendiri. Dalam hal
tersebut terjadi lagi proses keluarga baru disamping adanya keluarga lama
diatasnya, maka akhirnya timbulah sistem kekerabatan yang dikenal dengan
istilah sangkep nggeluh.

Universitas Sumatera Utara

64

Sangkep nggeluh adalah suatu sistem kekeluargaan yang secara garis besar
terdiri dari senina, anak beru, dan kalimbubu. Sangkep nggeluh berfungsi menjadi
wadah musyawarah sekaligus menjadi perangkat dalam kelompok keluarga
tertentu yang bertindak sebagai sukut atau tuan rumah. Sangkep nggeluh
masyarakat Karo diikat oleh hubungan kekerabatan yang disebut dengan orat
tutur atau perkade- kadean. Sangkep nggeluh tersebut membahas suatu rencana
kerja menyangkut kegiatan dalam suatu kelompok keluarga, apa yang dihasilkan
sebagai putusan musyawarah itulah dilaksanakan sebaik-baiknya, penuh tanggung
jawab oleh pihak anak beru dan sukut.
Sangkep nggeluh dapat dikecilkan menjadi tegun tutur siwaluh. Tutur
siwaluh kemudian dapat dikecilkan kembali menjadi tegun rakut sitelu dari pihak
atau kelompok keluarga terdekat yang terdiri dari: (1) puang kalimbubu, (2)
kalimbubu, (3) sembuyak, (4) senina, (5) senina sipemeren, (6) senina
sipengalon/sendalanen, (7) anak beru, (8) anak beru menteri. Dalam pelaksanaan
upacara adat, tutur siwaluh masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok
yang lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang
dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :
1. Puang kalimbubu adalah pihak kalimbubu dari kalimbubu yaitu suatu yang
bentuk perluasan kalimbubu atau seseorang baik dari pihak ibu ataupun
ayah.
2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu.
Kalimbubu ini dekelompokkan lagi menjadi:

Universitas Sumatera Utara

65

2.1 Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua yaitu kelompok pemberi
istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok
pemberi istri asal dari keluarga tersebut. misalnya A ber-Merga
Sembiring bere-bere Tarigan , maka Tarigan adalah kalimbubu si A.
Jika mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu benabena/kalimbubu tua adalah kalimbubu dari anak A. Jadi, kalimbubu
bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
2.2 Kalimbubu simada dareh yaitu berasal dari ibu kandung seseorang.
kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung
seseorang. dalam hal ini disebut kalimbubu simada dareh karena
dianggap bahwa darah merekalah

yang terdapat dalam diri

keponakannya.
3. Sembuyak secara harfiah se artinya “satu” dan mbuyak artinya “kandung”
jadi artinya dalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang
sama. Namun, dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina
yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh
sipedeher (yang jauh menjadi dekat).
4. Senina yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau
submerga yang sama. Senina ibas runggun adat yaitu saudara yang telah
diangkat di dalam suatu musyawarah adat. Sekalipun mungkin tidak sutu
merga, tetapi biasanya masih dalam satu induk merga. Misalnya merga
Sitepu dengan Barus atau Ginting munte dengan Ginting suka.

Universitas Sumatera Utara

66

5. Senina sipemeren yaitu orang-orang yang ibu mereka bersaudara kandung.
Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang
mempunyai istri yang bersaudara. Jadi, seseorang menjadi ersenina
(bersaudara) karena hubungan perkawinan di samping istri mereka
bersaudara.
6. Senina sipengalon/sendalanen yaitu saudara karena anaknya diambil
menjadi istri dari anak mertua yang sama. Misalnya, anak-anak perempuan
A, B, C diambil menjadi istri dari anak X, makan anak A, B, C jadi
kalimbubu X dan anak-anaknya.
7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu
untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena
mengawini wanita keluarga tertentu dan secara tidak langsung melalui
perantara orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.
Anak beru ini terdiri dari dua jenis:
7.1 Anak beru tua adalah anak beru dalam keluarga turun-temurun. Paling
tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu
(kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama karena
tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak
kalimbubu, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua
juga berfungsi sebagai singerana (sebagai pembicara) karena
fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin dalam
keluarga kalimbubu dalam konteks adat.

Universitas Sumatera Utara

67

7.2 Anak beru cekoh boka tutup yaitu anak beru yang secara langsung
dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu. Anak
beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang
kepala keluarga. Misalnya, si A seorang laki-laki mempunyai saudara
perempuan si B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup
dari si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga berebere mama.
7.3 Anak beru minteri yaitu anak beru(nya) anak beru. Asal kata minteri
adalah dari kata pinteri yang berarti meluruskan. Anak beru minteri
mempunyai pengertian yang luas, yakni sebagai petunjuk, mengawasi,
dan membantu tugas kalimbubunya pada suatu kewajiban dalam
upacara adat. Dalam hal ini ada pula yang disebut anak beru singukuri
yang bertanggung jawab penuh atas jalannya upacara adat karena
hubungan yang relatif jauh sehingga mereka ditempatkan dalam
membantu kalimbubunya sebagai anak beru minteri (Ginting, 2015:99101).
Pada tabel berikut ini dapat terlihat dengan jelas bagaimana pengklasifikasian
dari sangkep nggeluh diperkecil menjadi Tutur siwaluh dan Tutur siwaluh
menjadi Rakut sitelu.

Universitas Sumatera Utara

68

Tabel 2.1
Pengklasifikasian Sangkep nggeluh – Tutur siwaluh – Rakut sitelu
No Sangkep Nggeluh

Tutur Siwaluh

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Sembuyak

Sembuyak
Senina/ biak senina
Senina sepemeren
Senina Separibanen
Senina sendalanen
Senina sepengalon
Kalimbubu
Puang kalimbubu
Puang ni puang
Anak beru
Anak beru Menteri
Anak beru pengapit

Rakut Sitelu

Senina

Sukut

Kalimbubu
Puang kalimbubu
Puang ni puang
Anak beru
Anak beru menteri
Anak beru pengapit

Kalimbubu

Anak beru

Lembaga sosial yang tedapat dalam masyarakat Karo terdiri atas tiga
kelompok yang secara garis terdiri dari sukut, anak beru dan kalimbubu. Dalam
rakut sitelu yang terdiri dari Sukut merupakan sebutan bagi orang yang punyai
hajatan, atau yang sedang melaksanakan pesta. Kalimbubu ialah pihak keluarga
perempuan yang dinikahi. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat
dihormati, dapat disebut dengan istilah “Dibata idah” artinya Tuhan yang dapat
dilihat. Anak beru ialah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak
perempuan satu keluarga.

2.7 Kesenian
2.7.1 Musik
Kesenian merupakan salah satu aktivitas yang tidak asing dalam kehidupan
manusia, kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam sebuah

Universitas Sumatera Utara

69

masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki
perasaan indah, senang, gembira ataupun sedih. Begitu juga dalam kehidupan
masyarakat

Karo.

Kesenia

menjadi

suatau

media

komunikasi

untuk

menyampaikan sebuah perasaan melalui kesenian. Salah satu media untuk
mengekspresikannya kesenian tersebut adalah melalui seni musik yang
diwujudkan dalam bentuk instrument, musik vocal, atau gabungan antara
keduanya. Masyarakat Karo sendiri membagi musikatas dua bagian yaitu :
1. Seni Suara

: Perkolong-kolong

2. Alat Musik Karo

: Serunai, gendang, kulcapi, kelobat, surdam.

2.7.2 Seni suara
seni suara merupakan isi penyampaian dari sebuah isi lagu dalam suatu pesta
gendang. Seni suara dapat terbagi kedalam 5 bagian, yaitu :
1. Bernyanyi gembira (nyanyian perkolong-kolong)
2. Nyanyian tebas yang berisikan magic oleh guru pertebas-tebas
3. Nyanyian yang bersifat percintaan (guro-guro aron)
4. Nyanyian sedih atau tangis pada upacara meninggal
5. Nyanyian berupa cerita seperti turin-turin sibayak barus jahe, turinturin sitera jile-jile dan lain-lain.
2.7.3 Alat musik
Masyarakat Karo menyebut musik dengan istilah gendang. Alat musik
Karo tradisional bermacam-macam jenisnya yaitu; serunai (alat tiup), gendang
singindungi (alat pukul), gendang singanaki (alat pukul), penganak/canang (alat

Universitas Sumatera Utara

70

pukul), gong (alat pukul), belobat (alat tiup), suerdam (alat tiup), suling (alat
tiup), keteng-keteng (alat pukul), kulcapi (alat petik), merbab (alat gesek).
Gendang dalam musik Karo memiliki arti di setiap masing-masingnya :
1.

Gendang untuk menunjukan musik tertentu :

2.

Gendang untuk Instrument

3.

Gendang untuk jenis musik komposisi

:

4.

Gendang untuk ensambel musik

:

5.

Gendang untuk upacara

:

:

Gendang Karo dan Gendang
Melayu
Gendang singindungi dan
Gendang singanaki
Gendang simalungun rayat
dan Gendang peselukken
Gendang lima sendalanen dan
Gendang telu sendalanen
Gendang cawir metua dan
Gendang guro-guro aron

2.7.4 Seni tari
Menurut Suryadiningrat dalam Sabrina (2008:23) tari merupakan gerak dari
seluruh anggota tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta
mempunyai maksud tertentu. Sedangkan tari menurut Sussanne tari adalah gerak
ekspresi manusia yang indah. Gerakan dapat dinikmati melalui rasa ke dalam
penghayatan ritme tertentu. Gerakan tari merupakan sebuah ekspresi diri dari
seorang manusia yang menggunakan rasa dituangkan melalui gerak tubuh yang
indah. Seni tari adalah hasil ciptaan manusia yang menggunakan gerak tubuh
sebagai

suatu

keindahan.

Gerak

dalam

tari

berfungsi

sebagai

media

mengkomunikasikan maksud-maksud tertentu dari koreogragfer. Keindahan tari
terletak pada kebahagian, kepuasaan, baik itu dari koreografer, peraga dan
penikmat atau penonton. Seni tari terbagi menjadi dua jenis yaitu tari tradisional
dan tari garapan. Pengertian tari tradisional Karo ialah suatu ekspresi jiwa
manusia yang indah yang disalurkan melalui gerak mengikuti irama musik.

Universitas Sumatera Utara

71

Gerakan-gerakan yang dilahirkan dalam bentuk irama yang berhubungan dengan
musik dan memilki nilai estetika. Oleh sebab itu hampir semua gerak mengikuti
irama musik, bagaimana musiknya tentu begitu juga ayunan (gerakan) tariannya.
Misalnya tari lima serangkai merupakan lima rangkaian tarian yang iramanya
mulai dari lambat sekali hingga secepat-cepatnya. Dalam hal ini para penari harus
dapat menjiwai gerakan-gerakan yang betul-betul indah yang dapat memukau para
penonton (Tarigan, 2012:12). Tari tradisional pada masyarakat Karo dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Tari yang berhubungan dengan adat. Tari adat biasanya dilakukan pada
upacara adat, dimana pihak-pihak yang menari adalah golongan
keluarga dekat antara lain, anak beru, kalimbubu, dan sukut.
2. Tari yang berhubungan dengan religi. Tari religus adalah tari guru,
mulih-mulih, tari tungkat, tari peselukken, dan tari tembut-tembut.
3. Tari muda-mudi, pada tarian muda-mudi norma ritual dan religi tidak
begitu mengikat. Hanya usaha untuk menunjukan kelincahan dan
keindahan menari. Tari ini lebih menekankan fungsi hiburannya. Oleh
karna itu sering dilakukan bersama-sama dengan perkolong-kolong
sambil menari membentuk pasangan.

2.7.4.1 Tari adat masyarakat Karo
Adat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang telah diwarisi sejak dari masa
nenek moyang secara turun-menurun dari dahulu hingga sekarang. Begitu juga
suku Karo, memiliki warisan budaya dan kesenian dari para leluhur termasuk juga

Universitas Sumatera Utara

72

warisan merga. Tari yang dalam bahasa Karo disebut dengan landek merupakan
tari tradisional yang menggambarkan identitas suku Karo. Tari ini diciptakan dan
ditarikan berdasarkan dengan adat istiadat, norma adat yang berkaitan dengan
aturan merga atau sangkep nggeluh. Tari adat merupakan tarian yang melibatkan
sangkep nggeluh di dalamnya. Acara menari menurut adat yaitu seperti :
1. Acara menari bersama, Sukut
2. Acara menari bersama, Senina
3. Acara menari bersama, Senina Sipemeren dan Senina Siparibanen
4. Acara menari bersama, Anak beru dan Beru Menteri
5. Acara menari bersama, Kalimbubu
6. Acara menari bersama, Puang Kalimbubu
7. Acara menari bersama, untuk Kepala Kampung
8. Acara menari bersama, untuk Serayaan
Pelaksanaan menari juga terdapat perubahan-perubahan atau setelah
menari bersama, setelah seninan sipemeren dan senina siperibanan menari
bersama dilanjutkan dengan kalimbubu dan puang kalimbubu setelah itu
dilanjutkan dengan menari bersama anak beru dan anak beru menteri (singalor
lau). Perubahan ini terjadi sesuai dengan aturan yang telah disepakati oleh sisitem
kekerabatan. Selanjutnya menari bersama dilaksanakan masyarakat Karo pada :
1. Pesta perkawinan (erkata gendang)
2. Pesta mengket rumah baru (erkata gendang)
3. Pesta kematian (erkata gendang)

Universitas Sumatera Utara

73

2.7.4.2 Pesta kematian
Masyarakat Karo memiliki salah satu upacara adat yaitu upacara kematian
yang merupakan kehidupan sesungguhnya, mereka percaya bahwa didalam
kehidupan ada kematian dan di dalam kematian ada kehidupan. Kematian berasal
dari kata “mati” atau “maut” yang artinya tidak ada, gersang, tandus, kosong,
berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati nurani serta lepasnya arwah dari
jasad. Di pihak lain pengertian mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1)
kemusnahan dan kehilangan total roh-roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh
dan badan, dan (3) terhentinya budi daya manusia secara total Yusuf (dalam
Ginting 2015:32).
Pesta kematian bagi masyarakat Karo merupakan pesta yang memiliki nilai
tertinggi kedudukannya dari pesta adat yang lainnya. Pelaksanaan pesta kematian
ini dikenal dengan sebutan upacara adat ngampeken tulan-tulan, yang melibatkan
sangkep ngeluh atau sistem kekerabatan. Ungkapan rasa sedih dan tangisan
dituangkan oleh sangkep nggeluh melalui gerakan landek yang diiringi gendang
dan perkolong-kolong. Upacara atau pesta kematian diyakini harus dilaksanakan
karna dianggap kematian seperti halnya dengan kehidupan, merupakan wujud dari
keseimbangan alam sebagaimana adanya siang-malam dan begitu juga lahir-mati,
semua makhluk yang berstatus hidup dimuka bumi maka tidak ada satupun yang
terhindar dari kematian.
Upacara adat ngempeken tulan-tulan sudah ada sejak dahulu dan tetap
dilaksanakan hingga saat ini. Ngampeken-tulan-tulan yang dalam bahasa
Indonesia adalah mengangkat tulang-tulang merupakan upacara memindahkan

Universitas Sumatera Utara

74

tengkorak dari kuburan ke geriten (bangunan/kuburan batu) yang dilaksakan oleh
sangkep nggeluh. Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan adakalanya
pemindahan tulang-tulang tidak hanya satu tengkorak saja yang dipindahkan,
tetapi bisa lebih dari satu, tergantung kesepakatan dari sukut dan sangkep nggeluh,
namun masing-masing harus memiliki pertalian persodaraan yang dekat.

2.7.5 Seni rupa
Suku Karo memiliki identitas budaya begitu juga yang dihasilkan dari seni
rupa. Seni rupa adalah bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui penglihatan
(visual). Masyarakat Karo menghasilkan karya-karyanya yang berasal dari
ungkapan ekspresi jiwa yang mereka ciptakan dengan tetap mempertahankan
cirikhas dari etnik Karo. Seni rupa yang dihasilkan dari seniman Karo ada
berbagai jenis karya yaitu : seni tenun (mbayu), seni ukir dan seni bangunan
(mbangun).
Karya seni rupa berbentuk seni bangunan merupakan karya yang menarik
untuk diapresiasi. Begitu banyak hasil seni bangunan pada suku Karo.
Diantaranya :
1. Rumah adat

: Bangunnan ini sering disebut dengan si waluh
jabu

2. Jambur

: Bangunan

yang

luas

beratap

ijuk

yang

digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga
atau kekerabatan. Saat ini jambur sering

Universitas Sumatera Utara

75

digunakan masyarakat Karo untuk tempat
upacara adat baik itu perkawinan atau kematian.
3. Batang

: Bangunan yang digunakan masyarakat Karo
untuk menyimpan padi hasil pertaniannya.

4. Linge-linge

: Bangunan ini terbuat dari kayu dan bambu yang
dikelilingi daun muda enau yang gunanya untuk
kuburan bagi para leluhur.

5. Kalimbaban

: Bangunan ini hampir sama fungsinya dengan
linge-linge, hanya saja bangunan kalimbaban
lebih besar.

6. Sapo gunung

: Bangunan ini adalah bangunan kecil yang
beratap ijuk sebagai tempat mayat yang dibawa
dari rumah duka ke kuburan.

7. Lipo

: Bangunan kecil yang beratapkan ijuk sebagai
kandang ayam dan burung peliharaan.

8. Geriten

: Bangunan tradisi ini dahulunya beratap ijuk
berbentuk segi empat yang mempunyai empat
tiang dengan ukuran ± 4 x 4.

Bangunan geriten berkaitan dengan upacara adat ngampeken tulan-tulan
yang digunakan masyarakat Karo sebagai tempat penyimpanan tengkorak dari
kuburan kedalam sebuah bangunan khusus yang diyakini sebagai tempat
peristirahatan terakhir bagi orang yang sudah meninggal. Bangunan geriten saat
ini sudah mengalami perubahan dan bentuk bangunan tapi fungsinya tetap sama.

Universitas Sumatera Utara

76

Bangunan yang sudah mengalamin persentuhan di era modren saat ini, dengan
menggunakan bahan bangunan semen ataupun keramik sebagai bahan utamanya.
Bentuk bangunan dibuat sebagus mungkin sesuai permintaan keluarga. Pada
awalnya perubahan tersebut dipengaruhi oleh penyebaran agama yang menjadikan
upacara adat ngampeken tulan-tulan hanya menjadi sebuah upacara adat, tidak ada
unsur religi, dan geriten sendiri mempunyai arti sebagai persembahan terakhir
(dilihat dari kemegahan bangunan) untuk keluarga yang sudah meninggal dan
bangunan ini juga menjadi penanda status sosial dari pihak keluarga yang
melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Jika bangunan geriten
dibangun dengan megah maka dianggap pihak keluarga yang melaksanakan
upacara tersebut keturanannya sudah sukses dan tingkat perekonomian
keluarganya tergolong menengah ke atas.

Universitas Sumatera Utara

77

Foto 2.6. Bangunan geriten pada masa kepercayaan perbegu.
(Dok.www.bangunangeriten.com 2017)

Foto 2.7. Bangunan geriten modren
(Dok. Nadra Akbar Manalu 2017)

Universitas Sumatera Utara