Landex dalam Upacara Adat Ngampeken Tulantulan Analisis Struktur, Fungsi dan Makna pada Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar Chapter III VI

78

BAB III
LANDEK PADA MASYARAKAT KARO

3.1 Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan
Upacara adat terdiri dari dua kata, upacara dan adat dalam kamus istilah
Antropologi dalam Nuryani (2011:6), menjelaskan adat adalah wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma hukum serta aturan-aturan
yang sama dengan lainnya, berkaitan menjadi satu sistem yaitu sistem budaya.
Upacara adat adalah upacara-upacara yang berhubungan adat suatu masyarakat.
Upacara adat dilakukan oleh masyarakat merupakan pencerminan semua
perencanaan dan tindakan yang diatur dalam tata nilai luhur dan diwariskan secara
turun temurun kemudian mengalami perubahan menuju kebaikan sesuai tuntutan
zaman. Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih
dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan
masyarakat pendukungnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat
berhubungan dengan arwah para leluhur, juga merupakan perwujudan
kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap alam atau
lingkungannya dalam arti luas.
Hubungan antara alam dan manusia adalah sebuah keharusan yang tidak

dapat ditolak, karena hubungan tersebut memiliki nilai-nilai sakral yang sangat
tinggi. Hal ini diungkapkan dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni
kepercayaan pada makhluk gaib, kepercayaan pada dewa pencipta, atau dengan
mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial sebagai

Universitas Sumatera Utara

79

hubungan antara binatang-binatang, burung-burung, atau kekuatan-kekuatan alam
(Keesing, 1992: 131).
Konsep upacara menurut Herzt dalam Tarigan (2008:8) menganggap bahwa
upacara adalah;(1) Peralihan dan suatu kedudukan gaib tidak hanya bagi individu
yang bersangkutan tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat. (2) Peralihan dan
kedudukan sosial lainnya itu tidak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat
demi setingkat melalui serangkaian masa yang agak lama. (3) Upacara inisiasi
mempunyai tiga tahap yang melepaskan hubungan objek dengan masyarakat yang
mempersiapkan dan mengangkatnya ketingkat kedudukan yang baru. (4) Semua
orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu dianggap
mempunyai sikap keramat. (5) Dalam tingkat persiapan dan masa inisiasi subjek

merupakan makhluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan ilmu gaib. (6)
Upacara itu sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam
kehidupannya untuk mencapai tujuan tertentu apapun itu bentuknya dalam
pelaksanaannya mereka selalu menyertakan kesenian.
Pelaksanaan upacara adat maupun ritual keagamaan yang didasari atas
adanya kekuatan gaib masih tetap dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat
di Indonesia, baik berupa ritual kematian, ritual syukuran atau selametan, ritual
tolak bala, ritual ruwatan, dan lain sebagainya (Marzuki, 2015:1). Ritual-ritual ini
telah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian
besar masyarakat karena telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek
moyang mereka kepada generasi berikutnya. Hertz (dalam Koentjaraningrat:
1987:63) menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan oleh manusia

Universitas Sumatera Utara

80

dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakat, yang berwujud
sebagai gagasan kolektif.
Pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan upacara adat

yang memiliki beberapa unsur yang telah disebutkan di atas, memiliki sebuah
unsur penghormatan yang dilakukan masyarakat ke pada orang yang sudah
meninggal, dalam hal ini upacara sudah ada dari leluhur yang terus dilaksanakan
menurut aturan dan kehiduapan masyarakat Karo. Awalnya upacara ini memiliki
sebuah kepercayaan perbegu yang berkaitan dengan hal-hal gaib, tetapi
masukkannya agama sehingga kepercayaan kepada hal-hal yang di anggap mistik
tersebut luntur dan mengubah persepsi upacara ini sebagai upacara adat. Dalam
pelaksanaannya terdapat dua proses upacara yaitu upacara engkur-kur kuburen
dan upacara adat, dan pelaksanaan upacara ini juga terdapat struktur tari (landek)
yang memiliki fungsi dan makna tersendiri dalam upacara adat ngampeken tulantulan.

3.1.1 Proses upacara adat ngampeken tulan-tulan
3.1.1.1 Proses Penggalian kuburan
Upacara Engkur-kur kuburan meruakan proses awal dalam pelaksanaan
upacara ngampeken tulan-tulan. Pelaksanaan acara ini pertama kali didapat
berdasarkan musyawarah kekerabatan yaitu sangkep nggeluh (sukut/senina,
kalimbubu dan anak beru) yang memutuskan seluruh proses pelaksanaan upacara.
Dalam penyusunan pelaksanaan upacara, sistem kekerabatan diatur oleh sukut
selaku tuan rumahtuan rumah. kalimbubu golongan keluarga sebagai kelompok
yang dihormati dan menjadi kelompok yang memtim pelaksana kerja dari awal


Universitas Sumatera Utara

81

sampai akhir upacara. Keberhasilan suatu upacara terletak pada ank beru,
sehingga posisi anak beru menadi penting dalam keberhasilan dan kelancaran
pelaksanan upacara. Pada saat proses penggalian kuburan, galian pertama
dilakukan oleh kalimbubu sebagai tanda penghormatan, selanjutnya puang
kalimbubu, lalu mengikuti anak beru. Kemudian pada saat penggalian, tulang
yang pertama kali diangkat adalah batok kepala mayat, jika batok kepala belum
ditemukan maka tulang yang lain tidak boleh diangkat.
Setelah batok kepala ditemukan, kemudian tulang-tulang yang ada diangkat
oleh anak beruserta diserahkan kepada kalimbubudan diletakkan diatas selembar
kain putih sebagai alasnya. Setelah itu pihak keluarga atau senina memberikan
uang atau melemparkan uang ke dalam keburan dan akan di ambil oleh anak beru.
Hal itu sudah menjadi tradisi turun menurun. Dahulunya tidak hanya uang, tetapi
perhiasan dalam bentuk perak digunakan dalam tradisi ini sebagai wujud
terimkasih kepada anak beru karena upacara dapat terlaksana. Selanjutnyalubang
ditutup kembali, pada saat lubang ditutup, di dalam lubang harus dimasukkan

batang pisang atau dalam bahasa Karo galuh sitabar dan yang menggali kuburan
diberikan jeruk purut oleh pihak keluarga (untuk membersihkan diri). Pada
masyarakat Karo batang pisang yang di letakkan di dalam lubang dianggap
sebagai pengganti tulang-tulang yang sudah diangkat.
Proses berikutnya adalah pencucian/pembersihan tulang (lau penguras) oleh
anak beru dengan menggunakan jeruk purut. Pembersihan tulang pada awalnya
dilakukan sesuai kasta dari masyarakat Karo, namun pada saat ini kasta tidak lagi
menjadi keharusan, karena masyarakat Karo tidak lagi menjalankan sistem kasta.

Universitas Sumatera Utara

82

Tahap selanjutnya tulang-tulang tersebut dibungkus dengan kain putih dan
dimasukkan kembali kedalam peti yang baru oleh anak beru menteri dari keluarga
yang meninggal dengan syarat yang menyusun tengkorak tersebut harus
perempuan yang sudah tua dan berstatus janda. Penyusunan tulang tidak memiliki
aturan tertentu, hanya saja tengkorak kepala berada di posisi atas dan tulangtulang yang lain disusun secara rapi dan benar ke dalam peti. Tulang-tulang
tersebut yang sudah tersusun di dalam peti, selanjutnya diusung kerumah dan
diinapkan dalam semalam. Pada malam harinya diadakan acara perumah tendi

yang dipimpin oleh sibaso atau guru, bertujuan untuk memberi nasehat kepada
cucu dan keluarga yang di tinggalkan, yang diiringi dengan musik gendang lima
sendalanen. Keesokkan harinya peti yang berisikan tengkorak diusung dan
dimasukkan ke tugu yang telah dibangun oleh keluarga sebagai tempat terakhir
atau dalam bahasa Karo disebut geriten. Dahulunya geriten berbentuk seperti
rumah adat (mayat disimpan di atas atau langit-langit bangunan).
Mulai tahun 1988-1990-an geriten sudah berubah tidak lagi seperti rumah
adat tetapi dibuat dengan semen atau keramik yang mewah dan megah, dengan
arti persembahan terakhir dari keluarga kepada orang yang sudah meninggal
dengan membuat bangunan atau tempat peristirahatan terakhir yang mewah dan
megah, dari bangunan geriten tersebut menjadi simbol dari kasta ataupun dari
kesenjangan sosial masyarakat. Selain itu upacara perumah tendi juga tidak lagi
dilaksanakan, peti yang berisi tengkorak langsung diusung ke tempat
peristirahatan terakhir yaitu geriten.

Universitas Sumatera Utara

83

3.1.1.2 Proses Upacara Adat

Setelah proses penggalian kuburan selesai, acara dilanjutkan dengan proses
upacara adat ngampeken tulan-tulan. Proses upacara dengan adat oleh masyarakat
Karo biasanya dilakukan di los atau jambur. Dalam upacara adat orang yang
berperan penting ialah anak beru. Tugas anak berumulai dari menyusun acara dan
menunjuk Singerunggui (protokol) sebagai pengatur acara. Singerunggui
(protokol) biasanya dipercayakan pada tokoh adat atau tokoh masyarakat. Proses
upacara adat ngampeken tulan-tulan diawali dengan menari (landek), dilakukan
oleh sukut untuk menyambut senina dengan iringan perkolong-kolong. Perkolongkolong (vokalis) membawakan sebuah syair/petuah-petuah (pengapul) atau
disebut dengan nuri-nuri yang diiringi musik. Dalam upacara adat ngampeken
tulan-tulan syair/petuah-petuah(pengapul/nuri-nuri) yang dibawakan perkolongkolong biasanya dengan irama yang senduh atau sedih dan dalam upacara ini
nantinya kalimbubu juga memberikan petuah-petuah atau kata-kata nasehat.Acara
pertama yaitu anak beru dan sukut menari bersama berhadap-hadapan dengan
gerak landek mulih-mulih dengan arti anak beru telah melaksanakan tugasnya
untuk membuat upacara berjalan dengan lancar dan setelah berada di jambur,
anak beru menyerahkan prosesi upacara kepada sukut.
Selanjutnya sukut melandek bersama senina yang datang dan seterusnya
dilanjutkan oleh senina sepembaren, senina separibanen, senina sipangalon.Sukut
dan senina menari (landek) dengan memberikan hormat kepada kalimbubu.
Kemudian


kalimbubu

datang

dan

ikut

menari,

diikuti

kalimbubu

simadadaret,puang kalimbubu, kalimbubu bena, kalimbubu ntua dan puang

Universitas Sumatera Utara

84


silima marga. Mereka saling bergantian masuk dan melakukan landek bersama
sebagai penyampaian isi hati mengikuti irama syair (pengapul) dari perkolongkolong.Setelah mereka bergantian masuk, selanjutnya teman meriah (undangan
dan masyarakat) dan anak beru yang ikut menari (landek) secara bersama-sama
larut dalam suasana suka cita. Di akhir acara kalimbubu menari(landek)
memberikan restu untuk pembangunan geriten dan memberikan semangat untuk
keluarga yang ditinggalkan. Susunan tempat duduk juga memiliki aturan sesuai
sistem kekerabatan dan golongan berdasarkan sangkep nggeluh. Sukut berada
disebelah kiri, senina berada di tengah, kalimbubu berada disebelah kanan dan
anak beru berada di belakang.
Pada akhir acara dilakukan proses adat terakhir dengan membayar adat dari
pihak sukut dan senina kepada kalimbubu, dipercaya agar mayat yang meninggal
dianggap sudah bahagia dan keluarga yang ditinggalkan juga bahagia, jika lakilaki yang meninggal dibayar dengan bekah buluh (sejenis kain yang biasa dipakai
di bahu laki-laki) dan uang, jika perempuan tudung adat (tutup kepala yang
dipakai wanita Karo) dan uang.

3.2 Asal Mula Landek
Asal usul merupakan bagian dari sejarah, yang menekankan bagaiman
terciptanya suatu hal. Menurut pendapat Ibnu Khaldun (1985:29) Sejarah dapat
dilihat dari dua sisi, sisi luar dan sisi dalam, dari sisi luar pengertian sejarah tidak
lebih dari rekaman, jika dilihat dari sisi dalam, maka sejarah merupakan suatu

penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran suatu penjelasan
yang cerdas tentang sebab-sebab dan usul-usul segala sesuatu, sesuatu

Universitas Sumatera Utara

85

pengetahuan yang mendalam tentang bagaiman dan mengapa segala peristiwa
terjadi. Maka dari penjelasan tersebut akan dapat menjelaskan bagaimana dan
mengapa landek tercipta.
Kehidupan masyarakat Karo tidak bisa dilepaskan dari kesenian yang
beraneka ragam, baik musik, tari, rupa, teater dan sebagainya. Dalam kesenian
masyarakat Karo, memiliki chiri khas dan karakteristik. Cirikhas dan karakteristik
masyarakat Karo dapat dilihat dari beberapa bagian yaitu merga, bahasa, adat
istiadat dan kesenian yang mereka miliki. Masyarakat Karo sebagai masyarakat
yang memiliki beragam kebudayaan tentunya memiliki kesenian yang beragam.
Kesenian yang beragam tersebut muncul dan digunakan untuk mengiringi
aktivitas dalam kehidupan masyarakat Karo, baik pada kegiatan-kegiatan adat,
upacara dan hiburan, masyarakat Karo akan tetap menyertakan kesenian di
dalamnya. Landek sebagai salah satu kesenian pada etnis Karo. Landek

merupakan dasar pemikiran masyarakat Karo pada masa lampau yang mencari
cara bagaimana menggambarkan aktivitas kehidupan mereka dari berjalan,
bersopan-santun,

ramah

tamah,

dan

aktivitas

kehidupan

lainnya

yang

digambarkan lewat kesenian. Dasar pemikiran tersebut muncul menjadi sebuah
konsep penciptaan kesenian yang diawali dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
Karo selanjutnya diwujudkan dalam bentuk tari setelah mengalami distilisasi dan
distorsi (Sembiring, 2012:190).
Melihat dari sejarah asal usul landek pada awalnya muncul dari pemikiran
masyarakat Karo dari adanya permangga-mangga pada masa lampau yang saat ini
dikenal dengan istilah perkolong-kolong. Dalam istilah Karo permangga-mangga

Universitas Sumatera Utara

86

adalah suatu kegiatan bernyanyi yang tidak diiringi oleh alat musik. Nyanyian
tersebut menjadi irama

yang menghibur dikalangan masyarakat Karo.

Permangga-mangga dahulunya ada di setiap kegiatan masyarakat Karo baik
digunakan untuk kegiatan adat, upacara dan hiburan. Hadirnya permanggamangga ditengah kehidupan masyarakat Karo menginspirasi untuk menciptakan
tari dari lantunan irama permangga-mangga. Pada saat permangga-mangga
dilaksanakan masyarakat Karo ikut menggerakkan tubuh menari mengikuti
nyanyian yang dilantunkan dan mengikuti irama, pada saat itulah tari disebut
dengan landek.
Setelah hal itu terjadi landek pun diperluas kehadirannya dalam kegiatan
lainnya seperti kegiatan upacara, kegiatan adat, dan kegiatan hiburan. Istilah
permangga-mangga saat ini telah berubah menjadi penkolong-kolong dan sudah
menggunakan musik. Landek sampai saat ini terus diwariskan secara turun
menurun pada generasi penerus. Landek pada saat ini mengalami perubahan
dalam bentuk penyajiannya. Landek tidak hanya diiringi oleh perkolong-kolong
melainkan dapat diiringi oleh musik tradisional maupun musik moderen. Namun
bukan musik apakah yang diwajibkan dalam mengiringi landek, tapi bagaimana
perpaduan antara landek dengan irama yang mengiringinya dapat memunculkan
keserasian dalam perpaduan tersebut.
Perwujudan dalam menciptakan landek dapat dikatakan sebagai ekspresi
sosial, karena dalam penyajian landek dapat dilakukan dengan penari tunggal,
duet dan berkelompok. Melandek tidaklah untuk kepentingan sendiri melainkan
untuk dirasakan bersama orang lain, baik yang terlibat langsung (menari bersama)

Universitas Sumatera Utara

87

maupun yang menyaksikan dari luar. Hal ini dapat dikatakan, penari yang terbiasa
melakukan gerak landek akan terlatih untuk berhubungan langsung dengan orang
lain, serta mengkaitkan apa yang dirasakan diluar dirinya dengan yang ada di
dalam dirinya. Aktivitas landek seringkali tergantung atau bahkan terikat oleh
dinamika kehidupan suatu masyarakat.Masyarakat Karo memandang landek
mempunyai kedudukan tersendiri pada masa lampau. Masyarakat Karo
menciptakan landek dan membaginya menjadi tiga bagian yang menjadi dasar
pemikiran masyarakat Karo dalam menciptakan landek yaitu adat istiadat,
kepercayaan dan keterkaitan dengan keindahan.

3.3 Landek Pada Masyarakat Karo
Landek

merupakan

dasar

pemikiran

masyarakat

Karo

yang

disampaikanmelalui gerak.Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan landek
memiliki tujuan penyampai maksud yang dituangkan melalui gerak di dalam
prosesi upacara. Gerak landek yang dilakukan dalam upacara disebut juga
pengalo-ngalo dempak ayo, yang maksudnya dalam upacara ini landek dapat
menyampaikan suatu pesan tetang upacara adat ngampeken tulan-tulan yang
dituangkan lewat gerakan tangan dengan diturunkan dan diangkat keatas dan
henjutan kaki (ndek) mengikuti irama musik diiringi syair (pengapul) dari
perkolong-kolong. Gerak landek itu menjadi suatu komunikasi yang berhubungan
denga sangkep nggeluh. Landek yang dilakukan dalam upacara ngampeken tulantulan sesuai aturan yang sudah ada dalam upacara dimana sangkep nggeluh
berperan penting di dalamnya. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan

Universitas Sumatera Utara

88

digunakan untuk menyimbolkan rasa hormat masyarakat Karo dalam sistem
kekerabatan. Sistem kekerabatan tersebut dapat dilihat lewat bentuk penyajian
landek. Selain menonjolkan sistem kekerabatan dalam pelaksanaanya, landek
dalam upacara ini juga mengikat sopan santun dan yang penting adalah rasa
hormat terhadap keluarga.
Gerakan dasar landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan antara lakilaki dan perempuan hampir sama gerakannya. Posisi tangan memilki tiga bagian
posisi gerak dan memilki arti sebagai berikut :
1. Tangan di atas (dibata datas)

: Posisi tangan ini memilki makna

atau arti gerakan yang mengarahkan tangannya keatas ke arah pencipta
dengan maksud menghormati pencipta penguasa dari segalanya dan
memohon berkat ke pada sang penguasa.
2. Tangan di tengah (dibata tengah) : Posisi tangan ini memiliki makna
kebatinan tersendiri bagi masyarakat Karo yang memaknai gerakan ini
sebagai penghormatan kepada sesuatu yang menguasai bumi.
3. Tangan di bawah (dibata teruh)

: Posisi tangan ini memiliki makna

penghormatan kepada alam kematian. Dimana masyarakat Karo
mempercayai suatu alam kematian untuk penghormatan dan ketenangan
bagi leluhur yang sudah meninggal.
4. Posisi tangan perempuan saat terbuka dan berada dibawah menyatakan
penghormatan kepada kalimbubu (kalimbubu memiliki istilah dibata ida
Tuahan yang kelihatan atau posisi yang paling dihormati dalam tutur
sangkep nggeluh).

Universitas Sumatera Utara

89

Pola-pola gerak dalam landek menunjukkan posisi masyarakat dalam
melandek pada berbagai kegiatan. Landek pada masyarakat Karo menggambarkan
aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Landek merupakan tarian
untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo baik itu suka dan
duka (Prinst, 2004:145). Landek pada masyarakat Karo terbagi kedalam empat
jenis, yaitu landek upacara, landek sayembara, landek adat, dan landek guro-guro
aron.

3.3.1 Landek Upacara
Masyarakat

Karo

sering

melaksanakan

upacara-upacara

religius

berdasarkan awal kepercayaan tradisional Karo, misalnya upacara mukul, mesurimesuri, mbaba anak kalau ngembahken nakan, dan lain sebagainya. Namun
setelah masuknya agama ke tanah Karo, masyarakat Karo mulai meninggalkan
upacara yang ada pada masa lampau merupakan kewajiban bagi mereka, hal ini
disebabkan karena upacara yang dilaksanakan selalu berkaitan dengan
kepercayaan perbegu, sedangkan ajaran dalam agama sangat menentang
kepercayaan lain selain kepercayaan terhadap Sang Pencipta. Masyarakat Karo
kini hanya mengadakan upacara yang sangat diperlukan saja, misalnya pada saat
kemalangan, kelahiran, perkawinan dan kematian. Landek upacara atau ritual
merupakan landek yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan upacara, yang di
dalamnya terdapat interaksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan
alam dan manusia dengan Tuhan. Pada hakekatnya landek upacara sangat identik
dengan hal-hal magic dan memiliki nilai religius, yang pada umumnya

Universitas Sumatera Utara

90

menggunakan si baso (dukun) dalam pelaksanaannya sampai saat ini, walaupun
ada juga landek upacara yang tidak menggunakan hal-hal magic seperti
pernikahan, upacara mengket rumah baru¸ dan upacara lainnya, tetapi tetap
mengandung nilai-nilai religius, dalam hal ini juga terdapat interaksi antara
manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan
dalam setiap pelaksanaan upacara.

3.3.2 Landek Sayembara
Landek sayembara merupakan landek yang hadir dalam sebuah
pertandingan atau yang akan di adu. Landek sayembara biasanya dipertandingkan
antara desa-desa ataupun kecamatan dan peserta dari setiap desa ataupun
kecamatan sudah mempersiapkan dengan baik landek yang akan ditampilkan.
Landek yang diperlombakan baisanya sudah ditentukan oleh panitia perlombaan.
Pertandingan landek sayembara ini diadakan satu tahun sekali dan hanya
mempertandingkan satu landek saja untuk semua peserta/gruop sehingga semua
peserta melandek dengan landek yang sama. Landek yang diperlombakan
merupakan landek kreasi yang sudah berkembang dan populer ditengah-tengah
masyarakat Karo. Panitia dan juri perlombaan merupakan para seniman-seniman
serta tokoh adat yang sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang
landek.

Universitas Sumatera Utara

91

3.3.3 Landek guro-guro Aron
Landek guro-guro aron merupakan landek yang diadakan setiap tahunnya di
tiap-tiap desa di Kabupaten Karo untuk kalangan seluruh masyarakat Karo.
Landek guro-guro aron diperuntukkan kepada muda-mudi untuk melandek
bersama. Pesta muda-mudi yang masih melandaskan budaya dan adat istiadat
Karo terdapat nyanyian dan tarian di dalamnya.
Landek merupakan salah satu bagian yang penting dan landek itu sendiri
disebut dengan istilah landek guro-guro aron. Landek guro-guro aron ini bentuk
penyajian pada umumnya merupakan tari kreasi-kreasi yang sudah populer
dikalangan masayarakat Karo, seperti tari terang bulan, piso surit, roti manis, tiga
serangkai dan lima serangkai. Tari kreasi menjadi sebuah pertunjukan yang
dibawakan muda-mudi setiap diadakannya pesta guro-guro aron secara rutin
setiap tahunnya yang di adakan di desa-desa. Fungsi landek ini sendiri dalam
pesta guro-guro aron sebagai hiburan bagi para muda-mudi dan masyarakat Karo
dengan cara melandek bersama dan berpasang-pasangan.

3.3.4 Landek Adat
Landek adat biasanya berkaitan dengan adat pada masyarakat Karo.
Landek adat biasanya landek yang berkaitan dengan sistem kekerabatan
masyarakat Karo. Landek adat umumnya tidak terlalu mengutamakan nilai
estetika namun lebih mengutamakan atau menonjolkan sistem kekerabatan dalam
penyajian landek. landek adat memunculkan bagaimana sistem kekerabatan dalam
masyarakat Karo itu dengan menampilkan bagaimana rasa hormat, aturan dalam
sistem kekerabatan sangkep nggeluh, rasa patuh, dan aturan-atauran yang berlaku

Universitas Sumatera Utara

92

dalam kehidupan sosial masyarakat Karo. Dalam pesta pernikahan, syukuran,
penyambutan kelahiran, dan kematian landek adat terdapat di dalamnya dan
menggunakan landek adat sebagai pengiringnya. Landek dalam masyrakat Karo
juga terbagi kedalam empat bagian berdasarkan bentuk penyajiannya yang
memiliki perbedaan makna, perbedaan sifat, watak dan peranan, serta perbedaan
fungsi yang disebabkan oleh dalam kegiatan apa landek tersebut dihadirkan.

3.4 Bentuk Penyajian Landek
Pada hakikatnya proses penyajian upacara engkur-kur kuburen dalam
upacara adat ngampeken tulan-tulan yaitu tulang-tulang diletakkan di dalam
rumah selama satu malam, Selanjutnya dilaksanakan acara perumahtendi atau
upacara pemanggilan roh. Upacara perumahtendi dipimpin oleh sibaso atau guru.
Acara ini bertujuan untuk memberi nasehat kepada keluarga yang ditinggalkan
melalui sibaso. Landek pada acara ini tidak ditentukan geraknya, hanya saja
mengikuti musik dari gendang lima sendalanen (mengarah ke trance). Keesokan
harinya peti diletakkan pada halaman rumah, dan dilakukan upacara
penghormatan terakhir di rumah sukut. Setelah itu peti diangkat oleh anak beru
(laki-laki)menuju los atau jambur diiringi dengan musik. Selama perjalanan
menuju los setiap bertemu dengan persimpangan harus berhenti dan memainkan
satu musik sambil melandek dengan landek mulih-mulih serta iringan gendang
mulih-mulih. Gerakannya baku dengan tangan digerakkan kebawah mengarah ke
kanan dan ke kiri. Gerakannya seperti gerakan permisi ke pada alam agar
diberkati dan diberikan kelancaran dalam pelaksanaan upacaranya. Posisi anak

Universitas Sumatera Utara

93

beru berada di depan, sukut berada di sebelah kanan dan kalimbubu berada
disebelah kiri.

(Peti dari tengkorak)
Anak beru

Kalimbubu

Sukut

Skema 3.1 : Pola Lantai Posisi sangkep nggeluh pada upacara engkur-kur
kuburen
Setelah prosesi itu selesai, sukut, kalimbubu dan anak beru berjalan kembali
menuju jambur, selama perjalanan jika bertemu kembali dengan persimpangan,
maka semua berhenti dan kembali lagi melandek. Dipersimpangan kedua
dilakukan landek odak-odak dengan iringan musik gendang odak-odak saat
prosisi ini sukut dan kalimbubu menari medekati peti dengan arti untuk
menyampaikan rasa suka cita karena terlaksananya upacara adat ngampeken
tulan-tulan.
Setelah satu instrument musik selesai, selanjutnya seluruh keluarga berjalan
kembali menju jambur. Saat menjumpai persimpangan berikutnya maka semua
berhenti dan melandek kembali dengan landek seluk dan iringan gendang

Universitas Sumatera Utara

94

silengguri ensambel musik lebih kencang, pada saat ini pihak keluarga merasakan
rasa semangat atau bahagia dilihat dari gendang yang dimainkan lebih meriah.
Dari ketiga macam landek tersebut hanya pihak keluarga saja yang
melakukan landek tidak ada tamu atau pun undangan dan landek ini dilakukan
untuk membawa peti yang berisi tengkorak tersebut ke los atau jambur. Prosesi
ini sendiri harus melewati maksimal tiga simpang untuk pelaksanaanya. Prosesi
ini memiliki pembagian waktu masing-masing di setiap persimpangan berdurasi
15 menit. Pada tahun 1980-an proses engkur-kur kuburen (menurut narasumber)
perumah tendi tidak lagi dilakukan oleh masyarakat Karo, dikarenakan
masyarakat Karo sudah meyakini adanya Tuhan dan tidak lagi meyakini adanya
arwah (tendi). Pelaksanaan proses engkur-kur kuburen saat ini tulang-tulang yang
sudah dimasukkan ke dalam peti langsung diusung oleh anak beru dan
dimasukkan kedalam geriten.
Dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulanmemiliki struktur dan
memiliki makna yang dapat dilihat dalam bentuk perilaku ketika menari (landek)
yang melibatkan sistem kekerabat masyarakat Karo disebut sangkep nggeluh.
Dalam interaksi sangkep nggeluh masing-masing memiliki keterkaitan dan fungsi
yang berbeda-beda berdasarkan sistem kekerabatan. Dimana setiap pekerjaan atau
tugas sudah diatur secara adat.
Struktur gerak yang memiliki makna dapat diamati pada saat permulaan
landek atau menari diawali sukut dan anak beru menari bersama, sukut sebagai
tuan rumah dan anak beru sebagai pihak keluarga yang telah melaksanakan
upacara dari awal hingga akhir (panitia), selanjutnya sukut yang menyambut

Universitas Sumatera Utara

95

senina. Sukut (tuan rumah) melakukan gerakan landek dengan kaki dihenjutkan
(endek), dan kedua tangan terbuka dengan posisi telapak tangan mengarah keatas
menyambut senina yang datang ikut menari (landek) mengikuti sukut, gerakan
landek tersebut memiliki maknayang dilihat darisukut dan senina sebagai tuan
rumah (keluarga terdekat) memohon doa kepada Tuhan agar dilancarkan
acaranya.
Kemudian sukut dan senina menari (landek) kembali menyambut
kalimbubu, sukut dan senina melakukan gerakan dengan struktur gerak kaki
dihenjutkan (endek), kedua tangan terbuka dan telapak tangan mengarah kebawah
sambil menundukkan kepala (memberi hormat), kemudian bersama-sama
melakukan gerakan yang sama seperti awal begitu juga kalimbubu yang menari
(landek) dengan gerak kaki dihenjutkan (endek) dan kedua tangan terbuka dengan
posisi telapak tangan mengarah ke atas serta diturunkan ke bawah, memiliki
makna bahwasukut dan senina meminta restu kepada kalimbubu sebagai anggota
keluarga yang memiliki kedudukan tertinggi dan paling dihormati, kalimbubu juga
ikut larut dalam suasana suka cita. Selanjutnya sukut, senina dan kalimbubu
menari menyambut teman meriah (undangan dan masyarakat) makna dari gerakan
ini menandakan hubungan keluarga dengan lingkungan masyarakat yang terjalin
dengan baik. Selanjutnya sukut, senina, kalimbubu dan teman meriah menyambut
anak beru.
Gerakan sukut, senina dan kalimbubu serta teman meriahsama seperti awal
gerakan yang dilakukan sukut dengan kaki dihenjutkan (endek), tangan dibuka
dan telapak tangan mengarah keatas, begitu juga yang dilakukan oleh anak beru.

Universitas Sumatera Utara

96

maknadalam gerakan ini merupakan penyampaian rasa terimakasi sukut, senina
dan kalimbubu kepada anak beru yang sudah melaksanakan tugasnya dengan baik
sebagai pelaksana upacara adat ngampeken tulan-tulan dari awal hingga akhir
acara, kemudian sebagai rasa suka cita karena telah mengadakan upacara adat
ngampeken tulan-tulan sebagai penghormatan terakhir kepada orang tua yang
sudah meninggal sambil mengikuti irama musik dan syair (pengapul) dari
perkolong-kolong. Selanjutnya diakhir acara kalimbubu memberikan restu untuk
pembangunan geriten dan memberikan semangat kepada keluarga yang
ditinggalkan untuk tidak larut dalam kesedihan.

3.4.1 Gerak
Landek adalah penyebutan tari dalam bahasa Karo. Pola dasar tari Karo
ialah posisi tubuh, gerak tangan, gerak naik turun lutut (endek), gerak kaki yang
disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah
dengan variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah. Tari Karo
memiliki tiga dasar gerak yaitu endek (kaki turun dan naik), jole/pengodak
(goyang badan) dan tanlempir (lentik jari atau tangan yang gemulai).
Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota
badan sebagaimana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan
kaki. Pengodak atau odak dalam gerakan ini unsur endek juga harus terlihat ketika
penari melakukakn odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek
dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik. Sementara ole merupakan
gerakan goyangan atau ayunan badan ke depan dan ke belakang, atau kesamping

Universitas Sumatera Utara

97

kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti gung dan panganak. Tanlempir
merupakan gerakan yang diperlukan ketika akan membentuk pola gerak tertentu
dari tari Karo, misalnya ketika kedua tangan di atas bahu. Terdapat istilah ncemet
jari dalam tanlempir yang diperlukan saat melakukan gerak petik (gerakan tangan
mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari
muda-mudi.
Dalam tari Karo, gerakan geser kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main
mata tiidak diperbolehkan karena dianggap tidak sopan dan melanggar normanorma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo,
gerakan kaki harus dilakukan dengan mmelangkah atau odak, gerakan pinggang
harus mengikuti ayunan badan, atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh
mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan penarinya.

3.4.2 Busana
Busana (pakaian) tari merupakan perlengkapan (accessories) yang
dikenakan penari. Pemahaman terhadap tata busana terdiri dari beberapa bagian:
1)

Pakaian dasar, sebagai dasar sebelum mengenakan pakaian pokoknya.
Misalnya, setagen, korset, rok dalam, straples

2)

Pakaian kaki,

pakaian

yang

dikenakan

pada

bagian

kaki.

Misalnya binggel, gongseng, kaos kaki, sepatu.
3)

Pakaian tubuh, pakaian pokok yang dikenakan pemain pada bagian tubuh
mulai dari dada sampai pinggul. Misalnya kain, rok, kemeja, mekak,
rompi, kace, rapek, ampok-ampok, simbar dada, selendang, dan seterusnya.

Universitas Sumatera Utara

98

4)

Pakaian kepala, pakaian yang dikenakan pada bagian kepala. Misalnya
berbagai macam jenis tata rambut (hairdo) dan riasan bentuk rambut
(gelung tekuk, gelung konde, gelung keong, gelung bokor, dan sejenisnya).

5)

Aksesoris, adalah perlengkapan yang melengkapi ke empat pakaian tersebut
di atas untuk memberikan efek dekoratif, pada karakter yang dibawakan.
Misalnya perhiasan, gelang, kalung dan lain-lain.
Busana pada umumnya setiap daerah memiliki perbedaan dan cerminan

kebudayaan dari masing-masing daerah. Busana dapat menjadi simbol identitas
dari setiap daerah dan menjadi warisan budaya. Masyarakat Karo memiliki
pakaian adat, yang dapat di jelaskan sebagai berikut; laki-laki menggunakan baju
kemeja disertai jas, celana panjang, bekah bulu (dipakai di leher), bulang (penutup
kepala), cekok-cekok dan gonje (kain yang dililitkan di pinggang).
Wanita menggunakan kebayak, serta dilengkapi tudung dan uis. Ciri khas
pakaian masyarakat Karo berwarna merah tetapi untuk upacara kematian tidak
boleh menggunakan warna yang ada kuning emasnya, warna yang digunakan
benuansa gelap. Terdapat juga busana sehari-hari untuk wanita dengan
menggunakan kain (kompoh) dan laki-laki memakai sarung (mekar). Dalam
upacara adat ngampeken tulan-tulan ini tidak ada aturan khusus dalam pengaturan
berpakaian, namun khusus dari pihak sukut menggunakan busana kebaya, tudung
dan uis, begitu juga laki-laki menggunakan lengkap kemeja disertai jas, celana
panjan, beka bulu, bulang, cokok-cekok dan gonje sebagai pakaian adat
masyarakat Karo. Pada pihak kerabat yang lain bisa menggunakan pakaian
kebayak dengan kain (kampoh), laki-laki memakai pakaian rapi disertai sarung

Universitas Sumatera Utara

99

(mekar), atau dapat dikatakan busana sehari-hari. Dalam menganalisa busana juga
mempunyai fungsi yang bertujuan melihat mengetahui dari kelompok atau pihak
mana seseorang tersebut berada sesuai dengan golongan sangkep nggeluh. Sukut
menggunakan pakaian adat lengkap memiliki peranan sebagai tuan rumah, dengan
pakaian tersebut dapat lebih menghormati tamu yang hadir. Kalimbubu dan anak
beru menggunakan pakaian sehari-hari dilengkapi dengan sarung (mekar) bagi
laki-laki dan perempuan menggunakan kain (kampoh).

Foto 3.1. Pakaian adat laki-laki, dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.
(Dok. Nadra Akbar Manalu 2017)

Foto 3.2 Pakaian adat wanitadalam upacara adat Ngampeken Tulantulan(Dok. Nadra Akbar Manalu 2017)

Universitas Sumatera Utara

100

3.4.3 Musik
Istilah musik tidak populer pada masyarakat Karo, dan tidak ada kosa kata
musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait
dengan berbagai hal dalam musik atau dapat diterjemahkan juga sebagai musik.
Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak setidaknya gendang memiliki
lima makna yakni; gendang sebagai ensambel musik misalnya gendang sebagai
ensambel lima sendalanen, gendang telu sendalanen dan sebagainya. Gendang
ssebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya
gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya. Gendang sebagai nama
lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat,
gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sibagai stayle).
Gendang sebagai instrumen musik, misalnya gendang inddung, gendang anak.
gendang sebagai upacara, misalnya guro-guro aran dan sebagainya.
Musik dalam upacara ini menggunakan alat-alat musik tradisi, dengan
irama yang bersenandung sesuai irama musik Karo sebagai musik pengiring untuk
dapat mengungkapkan hati yang sedang bersuka cita. Alat- alat musik yang
digunakan dalam upacara ini yaitu sarune, gendang singindungi, gendang
singanaki, panganak, gung (gendang lima sendalanen). Tiap-tiap alat yang
dimainkan memiliki sebutan masing-masing kepada pemainnya. Sarune disebut
penarune, pemain gendang singindungi dan gendang singanaki disebut penggual,
pemain panganak disebut simalu panganak dan orang yang memainkan gung
disebut simalu gung. Ketika mereka bermain bersama dalam sebuah upacara
sebutan mereka menjadi satu yaitu sierjabaten (yang memiliki jabatan). Panggilan

Universitas Sumatera Utara

101

sierjabatan ini biasanya hanya muncul pada saat mereka bermain dalam suatu
konteks upacara kematian. Berikut ada beberapa gambar dari salah satu alat
musitradisi Karo sebagai berikut:

Foto 3.3. Alat musik Sarunei salah satu alat yang di gunakan dalam upacara
adat Ngampeken tulan-tulan .(Dok. Nadra Akabar Manalu 2017)

Foto 3.4 Gendang Singanaki. (Dok. Nadra Akabar Manalu 2017)

Universitas Sumatera Utara

102

Foto 3.5 Gendang Singindungi. (Dok Nadra Akbar Manalu, 2017)
Musik tidak dapat dilepaskan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.
musik yang dihadirkan dalam upacara berkaitan dengan landek yang dihadirkan
dalam upacara. Gendang dan landek memiliki fungsi yang sama kuat dalam
pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Seperti penjelasan di atas
bahwa dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan ini menggunakan gendang
limas sendalanen dan telah di jelaskan pula sebelumnya sebutan masing-masing
pemain pada alat musiknya, berikut ini adalah penjelasan dari alat musik gendang
lima sendalanen yang masing-masing memiliki fungsi dalam menghasilkan
iringan musik :
1. Sarune alat musik ini adalah sebagai pembawa melodi dalam ensambel
gendang lima sendalanen atau ensambel gendang sarune. Alat musik ini
dapat diklasifikasikan ke dalam golongan earofon reed ganda berbentuk
konis. Sarune terbuat dari bahan kayu mahoni atau yang sejenisnya.

Universitas Sumatera Utara

103

Sarune secara taksonomis (struktural) terdiri dari, anak –anak sarune,
tongkeh sarune, ampang-ampang sarune, batang sarune, gundal sarune.
2. Gendang alat musik ini sebagai pembawa ritme variasi. Alat ini
diaplikasikan kedalam kelompok membranofonkonis ganda yag dipukul
dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua
jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindungi (induk).
3. Gung dan Panganak yaitu pengatur ritme musik tradisional Karo. Gung
diklasifikasikan ke dalam kategori idiofon yang terbuat dari logam yang
cara memainkannya digantung.
Satu-satunya ikatan antara musik dan kehidupan adalah emosi, musik tidak
terpakai jika tidak ada emosi. Rhythm dari musik bisa menjelaskan setiap emosi
(Sinar 1990:1). Instrument-instrument musik yang dimainkan dalam upacara adat
ngampeken tulan-tulan adalah gendang simalungen rayat, gendang odak-odak,
gendang silengguri. Fungsi dari musik biasanya disesuaikan dengan landek yang
akan ditarikan oleh sangkep nggeluh dan diatur oleh perkolong-kolong.

3.4.4 Tempat/Jambur
Pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan dilaksanakan di dalam
jambur yang ada di desa tiga juhar, dengan membagi tempat dalam dua
pelaksanaan. Peroses pertama dilakukan di kuburan sebagai tempat bersemayam
orang tua, tempat ini pelaksanaan landek tiak dilakukan, karena materi acara
hanya berfous pada penggalian kuburan. Sedangkan tempat kedua berada di
rumah penyelenggara upacara, sekaligus tempat landek dilaksanakan, Selain
kedua tempat ini, pelaksana upacara juga dilakukan disetiap persimpangan jalan

Universitas Sumatera Utara

104

menuju jambur maximal dilakukan di 3 persimpangan. Namun, untuk saat ini
pelaksanaan landek pada rumah penyelenggara upacara dan di persimpangan jalan
menuju jambur ditiadakan lagi sejak tahun 1980-an. Saat ini pelaksanaan upacara
yang terdapat landek dalam materi acaranya di fokuskan hanya di jambur.Posisi
melandek pada saat pelaksanaan upacara adat ngampeken tuulan-tulan yang
melibatkan sistem kekerabatan mempunyai pola yang sudah tersusun sesuai
aturan dalam duduk atau melandek di dalam jambur.
Posisi duduk sangkep nggeluh pada saat prosesi upacara berlangsung, juga
memiliki fungsi untuk menandakan siapa yang akan bergantian untuk
menyampaikan kata-kata sambutan atau nuri-nuri dalam upacara diikuti dengan
gerak landek. Terdapat tiga posisi pola utama yang sudah menjadi aturan tetap
dalam pelaksanaan landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan, tetapi dalam
gambar ini hanya rakut sitelu yang digambarkan sebagai sample di antara
keluarga lainnya yang terlibat dalam pelaksanaan upacara, berikut ini adalah
penjelasannya serta gambaran posisi pola sangkep nggeluh melandek:
1. Pada pola yang pertama dapat dijelaskan bahwa posisi ini adalah posisi
awal tempat duduk sangkep nggeluh dalam upacara dan posisi ini juga
dapat digunakan untuk melakukan landek mulih-mulih, pada posisi ini
sangkep nggeluh tidak ada yang memberikan kata-kata sambutan atau
nuri-nuri, disini hanya sebagai penyampai rasa terimakasih dari pihak
sukut kepada anak beru yang telah melaksanakan pekerjaanya dari
awal upacara higga akhir upacara dengan melandek dan pada prosesi
pertama ini hanya sukut dan anak beru yang melandek.

Universitas Sumatera Utara

105

2. Posisi kedua ini menunjukan bahwa sukut melandek menyambut
senina. Pada posisi ini kalimbubu dan puang kalimbubu tidak ikut
melandek. Pola yang kedua ini anak beru tidak lagi ikut dalam prosesi
upacara. Anak beru kuluar untuk mempersiapkan makanan dan
perlengkapan lainnya.
3. Pada posisi ke tiga sukut dan senina menyambut kalimbubu dengan
landek mulih-mulih sebagai simbol penghormatan. Pada pola awal
hingga pola ke tiga ini hanya menggambarkan posisi dari rakut sitelu
dan sebagai sample diantara posisi sangkep nggeluh yang lainnya,
berikut ini gambaran pola posisi sangkep nggeluh saat melandek.

JAMBUR

Anak Beru
Senina

Kalimbubu
Sukut

Sierjabaten

Pintu
masuk

Skema 3.2 Posisi pertama sangkep nggeluh dalam upacara
adat ngampeken tulan-tulan

Universitas Sumatera Utara

106

JAMBUR

Sukut

K
Kalimbubu

Senina
Anak beru

Sierjabaten

Pintu
masuk

Skema 3.3 Posisi kedua sangkep nggeluh dalam upacara
adat ngampeken tulan-tulan

Universitas Sumatera Utara

107

JAMBUR

Sukut
senina

Kalimbubu
Anak beru
Sierjabaten

Pintu
masuk

Skema 3.4 Posisi ke tiga sangkep nggeluh dalam upacara
adat ngampeken tulan-tulan

3.4.5 Pelaku pelaksanaan upacara
Dalam setiap kegiatan

upacara adat, apapun itu bentuknya, pelaku

menjadi bagian yang sangat penting. Karena pelaku lah yang menentukan
berjalannya proses upacara. Dalam hal ini pelaku dalam upcara adat ngampeken
tulan-tulan dibagi atas beberapa pekerjaan yaitu:
1. Penyelenggara dalam upacara ini ialah pihak dari sangkep nggeluh sendiri,
dapat dijelaskan dalam pelaksanaan tugas yang pokok dalam upacara ini

Universitas Sumatera Utara

108

ialah sukut merupakan pihak yang menyelenggarakan upacara adat
ngampeken tulan-tulan atau sukut dikatakan sebagai tuan rumah.
Kalimbubu adalah pihak dari sangkep nggeluh yang paling di hormati,
kalimbubu sebagai penengah dalam penentuan keputusan berkaitan dengan
upacara, pemberi restu dalam setiap keputusan dan sebagai orang yang
paling di hormati dalam pelaksanaan upacara. Teman meriah merupakan
bagian dai pelaksanaan upacara. Teman meriah sebagai undangan dari
pihak keluarga untuk hubungan sosial dengan masyarakat baik teman dari
pihak keluarga yang melaksanakan upacara ataupun teman dari pihak
orang tua yang sudah meninggal. Teman meriah sendiri merupakan pihak
dari luar yang turut serta nantinya untuk melandek memberikan kata-kata
berkaitan hubunga sosial pihak keluarga yang melaksanakan upacara atauu
pun orang tua yang sudah meninggal. Dalam pelaksanaan upacara terdapat
juga pihak luar yang memiliki peranan penting dalam pelaksanaan
upacara, yaitu sierjabaten atau pemusik yang di undang untuk dapat
memainkan gendang dalam pelaksanaan upacara.
2. Penonton dalam upacara ini juga berkaitan dengan sangkep nggeluh,
karena upacara ini merupakan upacara adat maka keterlibatan sangkep
nggeluh cukup besar di dalamnya. dalam pelaksanaan upacara landek
ditarikan secara bergantian oleh sangkep nggeluh, saat pergantian ini lah
pihak dari sangkep nggeluh yang lain melihat dan mendengarkan pihak
kekerabatan

yang

lain

melandek

dan

menyampaikan

kata-kata

Universitas Sumatera Utara

109

sambutannya atau nuri-nuri. Penonton dari pihak luar dalam upacara ini
terbatas, hanya pihak undangan atau teman meriah dan sierjabaten.

3.4.6 Waktu
Upacara adat ngampeken tulan-tulan dilaksanakan selama 2 hari, yang
disepakati berdasarkan musyawarah oleh sistem kekerabatan yang dilakukan
sebulan sebelum pelaksanaan upacara, dengan pembagian dari hari pertama yaitu
acara engkur-kur kuburen atau penggalian kuburan dan hari kedua yaitu upacara
adat yang dilaksanakan di jambur. Pada hakekatnya untuk pelaksanaan upacara
adat ngampeken tulan-tulan dimulai dari musyawarah yang pertama kali berperan
adalah sukut. Sukut mendatangi kalimbubu untuk meminta restu, selanjutnya sukut
mendatangi guru untuk menanyakan hari dan tanggal baik dalam pelaksanaan
upacara adat ngampeken tulan-tulan yang nantinya guru akan melihat
berdasarakan tanggal lahir orang yang sudah meninggal ataupun dari kelender
Karo dan sebagainya.
Setelah

didapatkan

tanggal,

sangkep

nggeluh

berkumpul

untuk

membicarakan waktu pelaksanaan serta untuk mempersiapkan keperluan upacara.
Upacara engkur-kur kuburen dilaksanakan di pagi hari, setelah pembongkaran
tulang-tulang selesai pada siang harinya tulang-tulang langsung dibersihkan, dan
disusun kembali kedalam peti yang baru, kemudia tulang-tulang yang sudah
berada di dalam peti, di usung langsung menuju geriten dan sore harinya tulangtulang dari kerangka orang tua yang sudah meninggal bisa langsung dimasukkan
kedalam geriten. Pada sore hari setelah elaksanaan upacara penggalian kuburan

Universitas Sumatera Utara

110

ini selesai, tulang-tulang terlebih terlebih dahulu diusung menuju rumah pelaksana
upacara dan di letakkan di dalam rumah selama satu malam (acara perumah
tendi), lalu keesokan paginya akan diusung ke jambur. Namun, pada saat ini
pelaksaan perumah tendi ini sudah tidak dilaksanakan lagi.
Pelaksanaan upacara adat yang dilaksanakan di jambur dimulai pada pagi
hari. Pagi hari seluruh sangkep nggeluh berkumpul di jambur diikuti teman
meriah dan sierjabatan. setelah semua berkumpul tepat waktu pagi menjelang
siang upacara dimulai, dari pihak sukut melandek berhadap-hadapan dengan anak
beru,untuk prosesi melandek semuanya menghabiskan waktu dengan perhitungan
dua gendang yaitu gendang simalungen rayat dan gendang odak-odak. Begitu
juga selanjutnyanya saat sukut menyambut senina, sukut dan seni melandek
menyambut memberi penghormatan kepada kalimbubu, dan sukut menmberi katakata sambutan, menghabiskan dua gendang.
Siang harinya upacara di tunda untuk makan siang bersama, setelah makan
siang menuju sore hari kalimbubu menyampaikan petuah-petuah dan memberi
restu dalam pelaksaan pembangunan geriten, dan sore harinya dilaksanakan
pembayaran utang adat yang dilakukan oleh sukut dalam hal ini diwakili anak
beru untuk diberikan kepada kalimbubu. Setalah pembayaran utang adat selesai
maka selesai upacara adat ngampeken tulan-tulan pada sore hari dan ditandai
dengan melandek bersama dengan gerakan landek seluk diiringi dengan gendang
sielengguri.

Universitas Sumatera Utara

111

BAB IV
STRUKTUR LANDEK DALAM UPACARA ADAT
NGAMPEKEN TULAN-TULAN

4.1 Struktur Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan
4.1.1 Pelembagaan landek
Keberadaan landek dalam berbagai kegiatan adat masyarakat Karo menjadi
satu kesatuan dalam sistem kekerabatan dalam hal ini rakut sitelu. Landek
menjadi media bagi mereka dan memiliki fungsi yang amat kuat dalam kehidupan
yang didukung penuh oleh masyarakat Karo, digunakan sebagai sarana rekreatif,
kesenangan, juga berfungsi ritual. Landek hidup karena masyarakat Karo tetap
mempertahankan dengan menjalankannya disetiap aktifitas kehidupan.
Sistem kekerabatan yang menjadi tumpuan masyarakat untuk menjalankan
kegiatan adat juga tertuang dalam landek, menjadi pelembagaan yang unik. Hal
ini karena sistem kekerabatan menentukan proses pertunjukan landek, struktur
penyajiannya mengikuti aturan-aturan yang disepakati sesuai posisi masyarakat
dalam sistem tersebut. Hubungan yang ada akan menunjukkan posisi dari pihakpihak yang terlibat, sehingga kita dapat melihat status dari pihak-pihak yang
melandek. Keteraturan ini menjadi hirarki dalam pelembagaan kekerabatan,
hubungan-hubungan yang ada dalam posisi ini dianggap sah, diterima dan
dipelihara serta diertahankan, sehingga keberadaannya tetap hidup dalam
masyarakat.
Aktifitas-aktifitas dalam masyarakat yang melibatkan landek sebagai salah
satu materi yang dipersiapkan, didapat secara turun temurun, melalui aktifitas ini

Universitas Sumatera Utara

112

mereka mewariskan tidak hanya sistem kekerabatan, tetapi seluruh keteraturan
dengan norma adat menjadi bagian yang diwariskan. Pelembagaan melalui sistem
kekerabatan rakut sitelu memberikan wadah terjaganya sistem ini.Upacara
ngampeken tulan-tulan juga mengikuti sistem ini, seluruh proses kegiatan dengan
landek sebagai media memberikan kelegaan bagi penyelenggara, karena
kewajiban mereka selaku keluarga yang masih hidup untuk menyelesaikan
seluruh rangkaian proses upacara. Wujud terimakasih, doa, harapan, kasih sayang
tertuang dari rangkaian kegiatan, dan melandek mewujudkan pemaknaan
kebahagiaan, suka cita mereka pada yang meninggal.
Pelaksanaan kegiatan adat, sepenuhnya dilakukan oleh keluarga dengan
musyawarah dari rakut sitelu. Mereka bergotong royong untuk semua hal-hal
yang diperlukan dalam upacara. Setiap kekurangan, kendala akan dibicarakan dan
dicari jalan keluarnya, sehingga keterlibatan rakut sitelu tampak nyata pada
upacara ngampeken tulan-tulan. Pada saat acara melandek, pihak-pihak yang
melandek juga mempersiapkan posisinya sesuai status dalam rakut sitelu, mereka
dengan patuh turut dalam proses penyajiannya. Status di luar rakut sitelu tidak
digunakan, tidak ada pangkat yang tinggi, jabatan yang hebat, ekonomi yang
mapan, yang ada hanyalah kepatuhan pada atuaran dalam upacara dengan
mematuhi sistem kekerabatan.

Universitas Sumatera Utara

113

4.2 Struktur Landek
Struktur adalah suatu bangunan atau susunan yang tediri dari bagianbagian yang lebih kecil dan yang membentuk suatu kesenian. Struktur seni
diwujudkan dalam dimensi ruang dan waktu. Struktur memiliki tiga ide dasar,
yaitu kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri di luar
struktur itu. Struktur memiliki gaya transformasi, dalam arti bahwa struktur itu
tidak stabil. Struktur dapat mengatur diri sendiri dan setiap unsur mempunyai
fungsi berdasarkan letaknya.
Struktur dapat dijelaskan sebagai sebuah pemikiran mengidentifikasi dan
menyusun unit-unit dalam sebuah sistem untuk menemukan hubungan pola
atau pola yang lebih mendalam dan mendasar dari suatu kejadian atau
serangkaian kejadian. Penjelasan berusaha untuk menyelidiki fenomena yang
mendasar, aturan-aturan, prinsip-prinsip, atau konvensi yang menghasilkan
makna permukaan. Struktur adalah cara berfikir tentang dunia yang secara
khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur, yaitu di
dalamnya akan menitik beratkan pada usaha mengkaji fenomena seperti mitos,
ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya (Budiman, 1999:112).
Penjelasan sebelumnya yang berkaitan d