Landex dalam Upacara Adat Ngampeken Tulantulan Analisis Struktur, Fungsi dan Makna pada Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sumatera Utara yang terletak di bagian Utara Pulau Sumatera dengan ibu
kotanya Medan, memiliki keberagaman etnis yang terdiri beberapa suku antara
lain Melayu, Batak dan Nias, yang merupakan suku asli dan ditambah beberapa
suku pendatang, seperti suku Banjar, Jawa, Minang, China, India, dan lain
sebagainya. Suku Batak masih terbagi menjadi enam bagian yaitu Batak Karo,
Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Angkola, dan Batak
Dairi (Manalu, 2013:1).
Batak Karo sebagai salah satu dari suku Batak yang berada di Kabupaten
Karo terletak di daerah dataran tinggi, dikelilingi pegunungan dengan ketinggian
140-1400 meter diatas permukaan laut. Terhampar di antara Bukit Barisan serta
terletak pada koordinat 20500 LU, 30190 LS, 970550-980380 BT (Tarigan, 2008:3).
Kabanjahe merupakan Ibu Kota Kabupaten Karo yang terdiri dari 17 kecamatan
yakni Kecamatan Barus Jahe, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Tiga Binanga,
Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Kuta Buluh, Kecamatan Payung, Kecamatan
Munte, Kecamatan Juhar, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Merak, Kecamatan

Merdeka, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Tiga
Nderkat, Kecamatan Dolat Rakyat, Kecamatan Mardingding, dan Kecamatan
Kabanjahe.
Sebutan khas untuk Kabupaten Karo adalah Tanah Karo Simalem, yang
menandakan bahwa wilayah Kabupaten Karo tanahnya subur, memiliki hawa

Universitas Sumatera Utara

2

pegunungan yang sejuk, sehingga memungkinkan untuk menjadi lahan pertanian,
yang akhirnya menjadi mata pencaharian utama masyarakat Karo. Selain daerah
yang sejuk, masyarakat Karo memiliki kesenian yang turun-menurun masih
dilestarikan hingga sekarang. Kesenian yang dilestarikan menjadi ciri khas yang
identik dari masyarakat Karo.
Suku asli Karo tidak hanya menepati wilayah kependudukan di Kabupaten
Karo tetapi meluas hingga ke wilayah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli
Serdang. Keberadaan suku Karo yang meluas hingga ke Kabupaten Langkat dan
Kabupaten Deli Serdang memiliki sejarah. Menurut Tarigan (2011:5) pada masa
pemerintahan Belanda yang menjalankan kekuasaan di daerah tanah Karo mulai

pada tahun 1911, suku Karo terbagi menjadi dua wilayah yaitu Karo Gugung
(gunung) dan Karo Jahe (hilir). Pemerintah Belanda menjalankan penetapan
batas-batas administrasi pemerintahnya sejalan dengan siasat politik Devide Et
Impera yang ingin memecahkan suku Karo. Politik tersebut memisahkan orangorang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang berbeda. Batas
administrasi wilayah terbagai menjadi wilayah Karo Langkat, Karo Deli &
serdang (saat ini Deli Serdang) dan Tanah Tinggi Karo (Kabanjahe). Batasanbatasan wilayah tersebut menyebabkan penyebaran masyarakat Karo setiap
wilayahnya. Hingga saat ini wilayah tersebut hampir didominasi oleh suku Karo,
seperti yang menetap di derah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang.
Hal ini dapat diperjelas bahwa Karo gugung menunjukan suatu kelompok atau
masyarakat Karo yang mendiami dataran tinggi atau di daerah pegunungan,

Universitas Sumatera Utara

3

sedangkan Karo jahe menunjukan suatu kelompok atau masyarakat Karo yang
mendiami wilayah hilir atau dataran rendah.
Suku asli penghuni Kabupaten Deli Serdang adalah suku Melayu, Karo, dan
Simalungun. Suku pendatang yang menempati wilayah ini yaitu suku Jawa, Batak
Toba, Minang, Banjar, Mandailing, Angkola dan lain sebagainya. Suku Karo

hampir mendominasi wilayah di Kabupaten Deli Serdang. Secara adat istiadat
masyarakat Karo gugung atau Karo jahe tidak memiliki perbedaan satu sama lain,
hanya karena perbedaan letak geografis antara dua kelompok suku Karo,
terjadilah perbedaan dari dialek atau gaya berbicara walaupun sama-sama
menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi tetap terlihat berbeda dari dialek
masyarakat Karo gugung dengan Karo jahe saat berbicara dan masyarakat Karo
gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan Karo
jahe lebih banyak mengalami alkuturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama
dengan etnik Melayu. Dalam berkesenian kedua wilayah tersebut juga tidak
memiliki perbedaan yang berkaitan dengan adat istiadat, termasuk upacara adat
pesta perkawinan atau upacara kematian seperti upacara adat ngampeken tulantulan.
Kebudayaan yang dimiliki suku Karo sampai saat ini masih tetap dijaga dan
dilestarikan dalam aktifitas sehari-hari, seperti kegiatan upacara adat ngampeken
tulan-tulan. Upacara ini masih dilaksanakan di wilayah Karo jahe, dengan tetap
berpijak pada aturan-aturan yang berlaku secara turun temurun. Salah satu desa
yang masih melaksanakannya adalah Desa Tiga Juhar yang berada di wilayah

Universitas Sumatera Utara

4


pemerintahan Kabupaten Deli Serdang. Desa ini masih melaksanakan upacara
adat ngampeken tulan-tulan dan kesenian Karo lainnya dengan baik.
Membahas kesenian pada masyarakat Karo memiliki keberagaman
diantaranya tari, musik dan seni rupa dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka
menjadikan kesenian sebagai upaya dalam mewujudkan keinginan, penghormatan
pada yang diyakininya termasuk didalamnnya adalah seni tari. Secara umum tari
pada masyarakat Karo disebut dengan landek. Tarigan menyatakan dalam budaya
Karo, penyajian landek erat hubungan dengan kontekstual kegiatan yang
dilaksanakan. Dengan perkataan lain, keberadaan landek ditentukan konteks dari
penyajiannya/acara. Konteks penyajian landek

pada masyarakat Karo secara

umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu konteks penyajian dalam kepercayaan,
konteks penyajian dalam hiburan dan konteks penyajian dalam adat (Tarigan,
2008:123). Oleh karena adanya perbedaan konteks penyajian, maka dalam
pengelompokan tari Karo dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu tari kepercayaan,
tari hiburan, dan tari adat.
Tari kepercayaan ialah tari yang mengungkapkan masalah-masalah yang

berhubungan dengan kepercayaan seperti upacara erpangir ku lau yang ada pada
masyrakat Karo. Erpangir ku lau merupakan salah satu upacara religi untuk
membersihkan badan terutama jiwa seseorang yang sakit. Menurut pendapat
Prints (2002:445) tentang erpangir ku lau yaitu; langir (membersihkan rambut
kepala) yang menggunakan air jeruk purut, minyak kelapa, abu dapur, dan
sebagainya yang digunakan untuk membersihkan tubuh, juga untuk menangkal
datangnya malapetaka atau sebagai pengobatan. Malapetaka yang datang biasanya

Universitas Sumatera Utara

5

melalui pertanda dari mimpi dan sebagainya. Dalam upacara ini terdapat tarian,
akan tetapi tidak semua orang bisa menarikannya, karena pada mulanya tarian ini
hanya dapat ditarikan oleh guru (dukun). Gerakan tari erpangir ku lau berubahubah dengan cepat tergantung dukun yang telah mengalami trance (kemasukkan
arwah). Sejarah kebudayaan suku Karo sebelum masuknya pengaruh Hindu,
Budha, Islam ke Indonesia, nenek moyang menaruh kepercayaan kepada pohonpohon besar, batu besar, sungai-sungai dan lain sebagainya. Salah satu
kepercayaan masyarakat Karo di wilayah Kabanjahe ialah masyarakat Karo masih
mempercayai gunung Sibayak. Mereka menganggap bahwa arwah dari gunung
Sibayak yang disebut dengan siberu kertah ernala yang dipercaya bisa

mendatangkan rezeki, bisa mengobati berbagai penyakit dan lain sebagainya
(Tarigan, 2012:15).
Tari hiburan dalam kebudayaan masyarakat Karo terbagi lima bagaian yaitu;
tari muda-mudi; tarian ini terjadi pada pesta guro-guro aron (pertunjukan seni tari
dan musik pada masyarakat Karo yang dilaksanakan oleh muda-mudi, pesta
merdang-merdang dan pesta raj-raja. Tari perkolong-kolong; asal mula terjadinya
perkolong-kolong ialah orang yang pandai menari dan menyanyi sehingga setiap
pelaksanaan pesta gendang, maka orang ini akan selalu diminta untuk menari.
Tari pencak silat; tarian ini memiliki pola yang berbeda dengan pola tarian biasa.
Gerakan-gerakan seluruh tubuh, kepala, tangan, kaki, mata dan sebagainya harus
seirama dengan irama musik. Tari mendong-odong; tarian ini menggambarkan
kepayahan dan kepahitan bagi seorang pemikul garam dari Medan ke Tanah Karo.
Tari gundala-gundala; pada mulanya tarian ini digunakan untuk memanggil hujan

Universitas Sumatera Utara

6

dikarenakan kemarau panjang disuatu desa. Tarian ini memakai topeng berkepala
manusia tiga buah dan sebuah lagi berkepala burung. Pada dewasa ini tari ini

dipergunakan menjadi tari pertunjukan (Tarigan, 2012:16).
Tari adat pada suku Karo merupakan upacara yang dulunya biasa dilakukan
nenek moyang secara turun-temurun dan tetap dilaksanakan hingga saat ini sesuai
dengan aturan merga atau sangkep nggeluh. Upacara pada masyarakat Karo
awalnya dipengaruhi oleh agama Hindu yang sudah masuk ke Karo sejak abad
VII sesudah Kristus (Gintings, 1999:17). Dahulunya pada masa animisme dan
dynamisme masyarakat Karo meyakini agama Pemena. Agama Pemena atau
disebut perbegu ditengah-tengan masyarakat Karo. Perbegu yang artinya orang
yang mempunyai atau mempercayai hantu. Dalam perkembangannya kepercayaan
ini disebut Pemena (kepercayaan awal), kepercayaan ini tidak termasuk dalam
satu agama yang resmi. Untuk menjalankan kepercayaan tersebut masyarakat
terlebih dahulu melaksanakan ritual.
Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan
kepada roh-roh nenek moyangnya yang menjamin keselamatan bagi keluarganya
yang masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan sebab jika tidak dilaksanakan
maka roh-roh tersebut atau tendi akan bergentayangan mengganggu orang-orang
yang masih hidup dan hal ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan maka dilakukanlah pemanggilan arwah yang sudah
mati (perumah begu) Ginting (2015:108).
Kepercayaan dan ritual yang dilaksanakan masyarakat Karo saat ini sudah

beralih fungsi dan makna, ritual menjadi sebuah kegiatan adat. Salah satu upacara

Universitas Sumatera Utara

7

yang mengalami perubahan adalah upacara adat ngampeken tulan-tulan dan di
dalamnya terdapat tari atau lendek. Landek tersebut merupakan salah satu
kesenian yang ada pada masyarakat Karo.
Landek adalah seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang
saling terhubung melalui pola dan gagasan musik. Landek pada masyarakat Karo
menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Landek
merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo
baik itu suka dan duka (Prinst, 2004:145). Hal tersebut dapat dipertegas oleh
pernyataan Danis.
Menurut Danis dalam Ginting (2015:283) tari memiliki lima fungsi dalam
kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi yang
memiliki nilai estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan dan
mengisahkan suatu cerita. Kedua, tarian dapat mejadi bagian ritual dan berfungsi
komunal. Ketiga, tari dapat menjadi bentuk reaksi dan memenuhi berbagai

kebutuhan fisik, psikologis dan sosial atau hanya sekedar sebuah pengalaman
yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam fungsi sosial.
Kelima, orang menari sebagai cara menarik pasangan dengan menampilkan
keindahan, keluwesan dan vitalitas mereka. Fungsi tari dalam kehidupan manusia
dapat dilihat pada gerak landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.
Menurut Petrus Tarigan (wawancara 20 April 2017) landek masih
dipertahankan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sampai saat ini dan
landek masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Karo sebagai pengungkapan
perasaan suka cita yang dituangkan melalui gerak landek. Upacara adat

Universitas Sumatera Utara

8

ngampeken tulan-tulan awalnya dimulai dari proses penggalian kuburan,
selanjutnya kerangka tulang-tulang orang yang sudah meninggal (tengkorak)
diangkat, kemudian dicuci dengan air dan selanjutnya dibersihkan dengan lau
penguras atau perasan jeruk purut. Kerangka/tulang-tulang yang sudah
dibersihkan, disusun kembali kedalam peti dengan dilapisi kain putih. Penyusunan
dimulai dari tengkorak kepala, karena jika tidak ditemukannya tengkorak kepala

dari kuburan yang digali (dibongkar), maka upacara adat ngampeken tulan-tulan
tidak dapat dilaksanakan. Setelah tengkorak kepala, dilanjutkan kerangka tulang
yang lainnya yang melengkapi dari seluruh kerangka tubuh manusia. Tengkorak
yang telah tersusun kedalam peti kemudian diusung oleh pihak kalimbubu, sukut
dan anak beru untuk dimasukkan kedalam tugu atau geriten yang telah dibangun
oleh pihak sukut. Upacara adat ngampeken tulan-tulan ini masih dipercayai dan
masih dilaksanakan sebagai acara adat masyarakat Karo. Ngampeken tulan–tulan
yang dalam bahasa Indonesianya adalah mengangkat tulang, suatu upacara adat
yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Karo tujuannya
memberi penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal atau
membangun geriten1 sebagai simbol penghormatan.
Dahulunya geriten merupakan bangunan tradisional yang beratapkan ijuk
memiliki empat buah tiang dengan ukuran ±4x4. Saat ini geriten mengalami
perubahan bentuk, perubahannya dapat dilihat dari bangunan yang sudah
menggunakan bahan semen atau keramik. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan fungsi atau tujuan dari upacara adat ngampeken tulan-tulan. Perubahan
1

Geriten adalah sebuah tugu atau bangunan khusus yang dibangun untuk menyampaikan
tengkorak. Bangunan ini dibangun dengan megah dipercayai sebagai persembahan atau

penghormatan terakhir kepada orang tua atau orang yang sudah meninggal.

Universitas Sumatera Utara

9

terjadi akibat pengaruh modrenisme dan perubahan kepercayaan masyarakat Karo
terhadap keyakinan beragamanya.
Desakan

modrernitas, menjadikan kesenian tradisional mengalami

perubahan dari proses pengalaman dan pendalaman menjadi bentuk-bentuk
kesenian yang modren. Nilai spiritual atau ke agaman juga mempengaruhi nilai
dari kebudayaan masyarakat Karo, nilai-nilai ke agaman mengalami disposisi
antara penanda dan petanda. Penanda dan petanda terjadi karena tersentuhnya
masyarakat Karo dengan arus modrenitas yang mengakibatkan terjadinya
perubahan bentuk dan pergeseran makna

dari kebudayaan atau upacara

sebelumnya. Hal ini yang terjadi dalam realitas budaya tradisi masyarakat Karo
saat ini. Salah satunya dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dengan
pengaruh agama dan perkembangan modernitas upacara yang awalanya sebagai
suatu upacara religi dari kepercayaan perbegu saat ini mengalami perubahan
fungsi menjadi upacara adat sehingga mempengaruhi bentuk penyajiaan dalam
upacara dan terdapat perubahan makna.
Keberandaan landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini
memiliki peranan menyampaikan maksud dalam proses upacara adat melalui
gerak tari. Hal tersebut bertujuan untuk menyampaikan maksud isi hati keluarga
yang sedang berduka agar sabar untuk tidak terlarut dalam kesedihan. Kehadiran
landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dimaksud untuk membuat
acara lebih meriah dan keluarga kembali dalam suasana suka cita.
Sebagai tari upacara atau ritual adat, pelaksanaan landek biasanya terkait
dengan sistem kekerabatan masyarakat Karo yang dikenal dengan istilah sangkep

Universitas Sumatera Utara

10

nggeluh. Gerak landek yang dilakukan oleh sangkep nggeluh dan rangkaian
upacara ini sebagai media komunikasi untuk menyampaikan tujuan dari upacara
adat ngampeken tulan-tulan. Bagaimana keterkaitan tersebut merupakan suatu
kajian yang menarik untuk dibahas dan dijadikan tulisan ilmiah. Melihat hal
tersebut maka penulis memilih topik kajian yang akan difokuskan pada “Struktur,
Fungsi dan Makna Landek Dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan Pada
Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar”.

1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan suatu titik fokus dari sebuah penelitian yang
hendak dilakukan, mengingat sebuah penelitian merupakan upaya untuk
menemukan jawaban pertanyaan, maka dari itu perlu dirumuskan dengan baik,
sehingga dapat mendukung untuk menemukan jawaban pertanyaan. Maryeni
(2005:14) menyatakan bahwa:
Rumusan masalah merupakan jabaran detail fokus penelitian
yang akan digarap. Rumusan masalah menjadi semacam kontrak
bagi peneliti karena penelitian merupakan upaya untuk
menemukan jawaban pertanyaan sebagaimana terpapar pada
rumusan masalahnya. Rumusan masalah juga bias disikapi
sebagai jabaran fokus penelitian karena dalam praktiknya,
proses penelitian senantiasa berfokus pada butir-butir masalah
sebagaimana dirumuskan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut yaitu:
1. Bagaimana struktur dari landek dalam upacara adat ngampeken tulantulan pada masyarakat Karo?

Universitas Sumatera Utara

11

2. Bagaimana fungsi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan
pada masyarakat Karo?
3. Bagaimana makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan
pada masyarakat Karo?
Pokok masalah ini perlu dijelaskan bahwa yang akan dikaji dalam tesis ini
adalah :
1. Struktur penyajian landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.
2. Fungsi landek dari unsur kekerabatan sangkep nggeluh dalam upacara adat
ngampeken tulan-tulan.
3. Makna landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan senantiasa berorientasi kepada tujuan. Tanpa adanya tujuan
yang jelas maka arah kegiatan yang akan dilakukan tidak terarah karena tidak tahu
apa yang ingin dicapai kegiatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ali
(1987:9) yaitu :
Kegiatan seseorang dalam merumuskan tujuan penelitian sangat
mempengaruhi keberhasilan penelitian yang dilaksanakan,
karena penelitian pada dasarnya merupakan titik anjak dari titik
tuju yang akan dicapai seseorang sesuai dengan kegiatan
penelitian yang dilakukan, itu sebabnya tujuan penelitian harus
mempunyai rumusan yang tegas, jelas dan operasional.
Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis struktur penyajian landek dalam upacara adat ngampeken
tulan-tulan pada masyarakat Karo.

Universitas Sumatera Utara

12

2. Untuk menganalisis fungsi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan
pada masyarakat Karo.
3. Untuk menganalisis makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan
pada masyarakat Karo.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan kegunaan dari penelitian yang merupakan
sumber imformasi dalam mengembangkan kegiatan penelitian selanjutnya. Maka
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Menambah wawasan penulis dalam menuangkan gagasan dan ide ke dalam
karya tulis berbentuk tesis.
2. Sebagai bahan masukan dan menambah informasi bagi penulis dan pembaca
tentang budaya tradisional dan wawasan mengenai peranan landek dalam
upacara adat ngampeken tulan-tulan.
3. Sebagai bahan perbandingan bagi penulis lainnya yang berniat melakukan
penelitian dibidang tari tradisional.
4. Menambah kajian pustaka bagi Universitas Sumatera Utara.
5. Referensi bagi penulis-penulis lainnya yang hendak meneliti kesenian ini lebih
lanjut.

1.5 Tinjauan Pustaka
Penulis melakukan tinjauan kepustakaan agar mendapat bahan-bahan yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Kepustakaan ini diharapkan dapat

Universitas Sumatera Utara

13

membantu penulis mengembangkan kemampuan pemahaman terhadap fenomena
sesuai dengan topik kajian. Dalam tinjauan pustaka ini penulis mencari,
mempelajari dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat
membantu pemecahan permasalahan. Tinjauan pustaka merupakan pemahaman
konsep terhadap kajian yang dilakukan, kajian kepustakaan hasil-hasil penelitian
dan landasan teori. Hasil dari kepustakaan yang dilakukan penulis dalam
penelitian landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat
Karo penulis menemukan beberapa buku maupun hasil penelitian berbentuk tesis
yang mampu dijadikan panduan.
Dinamika Orang Karo Budaya dan Modernisme, Tarigan, 2008: Kesenian
merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Karo, salah
satunya seperti tarian-tarian, secara umum tari pada masyarakat Karo disebut
dengan landek dalam budaya Karo, penyajian landek erat hubungan dengan
kontekstual, yang dimaksud dengan kontekstual adalah bentuk penyajian landek
yang ditampilkan sesuai dengan konteks acara yang akan dilaksanakan. konteks
penyajian landek secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu; konteks penyajian
dalam adat istiadat, konteks penyajian dalam religi, dan konteks penyajian dalam
hiburan. Buku ini dapat menyumbangkan informasi tentang landek pada
masyarakat Karo dilihat dalam konteks penyajian adat istiadat. Kajian ini
membantu penulis untuk melihat dan menganalisis bentuk penyajian landek adat
yang ada dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.
Religi Karo, Ginting, 1999: menjelaskan kepercayaan masyarakat Karo
yang mempengaruhi tari adat atau upacara pada masyarakat Karo awalnya

Universitas Sumatera Utara

14

dipengaruhi oleh agama Hindu yang sudah masuk ke Karo sejak abad VII sesudah
kristus, Kepercayaan masyarakat Karo meyakini agama Pemena atau perbegu
dimasa animisme dan dynamisme, dengan melaksanakan ritual yang berkaitan
dengan kepercayaan terhadap roh-roh dan benda-benda yang memiliki kekuatan
yang dapat melindungi dan menyelamatkan manusia. Dari hal tersebut lahirlah
ritual-ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Karo. Buku ini memiliki
kontribusi terhadap penulisan mengenai bentuk ritual yang dilaksanakan
masyarakat Karo pada masa kepercayaan terhadap perbegu. Berkaitan hal tersebut
nantinya yang membedakan penulisan ialah perubahan bentuk ritual dari
masyarakat Karo dalam kepercayaan perbegu beralih fungsi menjadi upacara adat
oleh masyarakat Karo yang disebabkan pengaruh penyebaran agama Protestan dan
Islam serta modernitas dalam kehidupan masyarakat Karo.
Kepercayaan Orang Karo, Tarigan, 2001: Sejarah dari wilayah suku Karo
dan kepercayaan suku Karo. Kolonial Belanda menjalankan kekuasaan di Tanah
Karo pada tahun 1911 setelah hancurnya pasukan Panglima Kiras Bangun.
Perluasan wilayah menyebabkan penyebaran suku Karo dari wilayah Kabanjahe
ke wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat. Adat istiadat suku
Karo tetap terjaga, namun karena terpengaruh dengan suku lain dan masuknya
penyebaran agama, terdapat perbedaan kebudayaan antara Karo gugung dengan
Karo jahe. Adanya buku ini dapat mengarahkan penulis membahas kebudayaan
suku Karo dilihat dari pembagian wilayahnya.
Tulisan lain dalam konteks penyajian landek yang akan dianalisis adalah
landek dalam bentuk penyajian upacara dan dapat dilihat juga sebagai hiburan.

Universitas Sumatera Utara

15

Guro-guro Aron pada Masyarakat Karo, Rahma, Sitti, 2004: ‘Kajian Terhadap
Perubahan Bentuk Pertunjukan” Medan : Universitas Negeri Medan. Membahas
tentang bentuk pertunjukan guro-guro aron dan hubungan dengan system
kekerabatan masyarakat Karo yang menguraikan dan menganalisis perubahan
bentuk pertunjukan guro-guro aron pada masyarakat Karo. Penelitian tersebut
menyumbangkan informasi tentang bentuk pertunjukan, bentuk penyajian, dan
kehidupan masyarakat Karo. Membedakan dalam penulisan tesis ini ialah
penyajian landek dalam bentuk upacara adat ngampeken tulan-tulan pada
masyarakat Karo dan keterkaitan landek adat dengan sisitem kekerabatan
masyarakat Karo.
Tulisan yang berkaitan dengan upacara kematian dilihat dari bentuk
penyajian landek dan musik. Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik
Karo Pada Era Glabalisasi, Ginting, 2015: Tulisan ini membahas tentang upacara
kematian suku Karo pada ero glabalisasi yang terfokus pada gendang kematian.
Penelitian ini menyumbangkan informasi kepada penulis tentang bentuk penyajian
upacara kematian pada masyarakat Karo, baik itu dari gendang, landek dan
upacara adat ngampeken tulan-tulan.
Ritus Peralihan Di Indonesia, Koentjaranigrat, 1985: Religi dan upacara
memang merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di
dunia dan merupakan suatu topik yang paling banyak dideskripsikan dalam
kepustakaan etnografi. Akibatnya adalah bahwa banyak ahli dari berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan telah mengadakan berbagai pemikiran mengenai
masalah asas dan asal mula religi. Kontribusi buku ini tentang upacara kelahiran

Universitas Sumatera Utara

16

dan kematian dari suku-suku lain di Indonesia, menjadi sebuah refrensi penulis
dalam menganalisis upacara kematian hal ini berkaitan dengan topik pembahasan
penulis yaitu upacara kematian pada masyarakat Karo atau disebut dengan
upacara adat ngampeken tulan-tulan.
Tari Identitas dan Resistensi, Nugrahaningsih dan Heniwaty, 2012:
Menguatkan keyakinan dikalangan akademis seni budaya terhadap pentingnya
pelestarian bentuk kesenian tradisi mendorong penulis untuk mewujudkannya
melalui penulisan buku ini. Tari: identitas dan resistensi dipilih sebagai judul buku
sebagai alternatif bacaan bagi pelaku, penikmat, dan penonton seni. Buku ini
ditulis sebagai tanda pengenal etnis dalam menjaga identitasnya, sekaligus sebagai
alat pembuktian diri akan kemampuan berkreasi menerima globalisasi tanpa
kehilangan jati diri. Dalam buku ini terdapat penulisan Karakteristik Landek Pada
Masyarakat Karo oleh Sembiring, Nova. Dalam tulisan dan penelitian sangat
membantu penulis untuk mengetahui lebih dalam tetang landek. Dalam penelitian
tersebut dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan karakteristik landek
yang menjadi dasar gerak pada masyarakat Karo, selanjutnya memudahkan
penulis untuk menganalisis gerak landek yang terdapat dalam upacara adat
ngampeken tulan-tulan.
Buku yang berjudul Antropologi Tari (Annya Peterson Royce, Terjemahan
F.X. Widaryanto, 2007). Buku ini membahas tentang makna-makna dari setiap
gerakan tari, pengertian tari, perspektif antropologi tari, metode dan teknik tari,
struktur dan fungsi tari, simbol dan gaya tari, metode dan perbandingan tari,
disetiap gerakan tari mempunyai makna-makna tersendiri dengan adanya panduan

Universitas Sumatera Utara

17

buku ini maka dapat mengarahkan penulis dalam kajian tetang makna, khusnya
makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.
Buku yang berjudul Mutiara Hijau Budaya Karo, S. Tarigan, 2012.
Membahas tentang kesenian suku Karo dari sastra, seni musik, tari dan seni rupa
dan perkembangan seni tradisional. Tari tradisional Karo ialah suatu ekspresi jiwa
yang indah disalurkan melalui gerakan mengikuti irama musik dan musik
tradisional Karo sendiri terbagi dua yaitu seni suara dan seni musik. Buku ini
menyumbangkan pemahaman tentang kesenian dari suku Karo dan dapat menjadi
bahan masukkan bagi penulis tentang kesenian masyarakat Karo, sehingga dalam
pembahasan landek dan musik pada upacara adat ngampeken tulan-tulan dapat
lebih jelas menurut kebudayaan tradisional Karo.
Buku Tarian-tarian Indonesia I, Soedarsono, 1977: Dalam buku ini
menjelaskan bahwa tarian-tarian Indonesia berkembang berdasarkan pada pola
garapannya. Tari terbagi pada dua jenis yaitu tari tradisional adalah semua tarian
yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang selalu bertumpuk
pada pola tradisi yang telah ada. sedangkan tari kreasi baru ialah tari yang
mengarah kepada kebebasan dalam mengungkap ekspresi, tidak berpijak pada
pola tradisi. Dalam tari ada sistem kebebasan dalam melakukan gerakan-gerakan
yang sesuai dan ditentukan, dalam hal ini tarian tradisional juga ada
pengembangan yang harus dilakukan tetapi sesuai dengan daerah tempat tari itu
berasal. Begitu juga dengan kajian ini banyak pengaruh kebudayaan dalam tari
tradisionalnya. Landek dalam konteks tari adat merupakan dasar gerak masyarakat
Karo yang berkaitan dengan kehidupannya. Buku ini membantu penulis

Universitas Sumatera Utara

18

menganalisi seni tradisional Karo yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
Karo.
Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman, Putro, 1999: Penelitian ini membahas
tentang perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan,
kehidupan masyarakat Karo pada masa pemerintahan Belanda, dan membahas
tentang batasan-batasan wilayah pada masa pemerintahan Belanda. Buku ini
memberikan informasi kepada penulis terkait dengan upacara adat ngampeken
tulan-tulan yang diteliti. Persamaan dalam penelitian ini dengan penulis adalah
meneliti masyarakat Karo. Perbedaannya buku ini membahas sejarah masyarakat
Karo, sedangkan penulis meneliti tentang upacara adat ngampeken tulan-tulan
pada masyarakat Karo.
Landek Dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan, Manalu Nadra
Akbar, 2013: “Kajian Interaksi Simbolik Pada Masyarakat Karo” Medan :
Universitas Negeri Medan. Penelitian ini merupakan titik awal penulis melakukan
penelitian dan penulisan secara langsung dalam bentuk skripsi. Tahap selanjutnya
dalam penelitian ini penulis menganalisis lebih mendalam mengenai struktur,
fungsi dan makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan yang
dituliskan dalam bentuk tesis

1.6 Konsep dan Teori
1.6.1 Konsep struktur
Konsep merupakan salah satu unsur dari sebuah penelitian. Pengertian
konsep adalah unsur penelitian yang penting dan merupakan defenisi yang dipakai

Universitas Sumatera Utara

19

oleh para peneliti untuk menggambarkan suatau abstrak, suatu fenomena atau
fenomenon alami (Effendi, 1982:7). Dalam ilmu antropologi tari struktur
memandang tari dari pendekatan bentuk, kajian struktur tari biasanya berkenaan
dengan sesuatu yang menghasilkan aturan dari gaya-gaya tari tertentu. Menurut
A.R Radcliffe-Brown dalam Widaryanto (2007:68) struktur didefinisikan sebagai
satuan tata hubungan di antara entitas (satuan berwujud) yang ada. struktur juga
dapat menunjukan tatahubungan antara bagian-bagian dari suatu keseluruhan.
Struktur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang berhubungan
antara satu dengan yang lain. Dalam penulisan ini struktur dapat dilihat dalam
pembagian proses pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan dari awal
hingga akhir yang berhubungan antara satu dengan yang lain berkaitan dengan
landek. Proses upacara adat ngampeken tulan-tulan terbagi tiga tahapan yaitu
proses perencanaan, pelaksanaan dan penutupan.
Proses awal dari upacara adat ngampeken tulan-tulan yaitu perencanaan
waktu pelaksanaan upacara adat dalam hal ini yang berperan adalah sangkep
nggeluh dan tendi (guru). Selanjutnya proses pelaksanaan terbagi menjadi dua
proses yaitu penggalian kuburan dan upacara adat. Proses terakhir adalah penutup
dengan pembayaran hutang adat dari sukut kepada kalimbubu. Dari awal upacara
adat ngempeken tulan-tulan sudah mempunyai aturan yang terstruktur, salah
satunya adalah dari bentuk penyajian landek. Misalnya, kapan landek dapat
dilakukan oleh sangkep nggeluh pada saat upacara adat ngampeken tulan-tulan
berlangsung. Demikian juga yang berkaitan dengan posisi duduk sangkep

Universitas Sumatera Utara

20

nggeluh, pola lantai, properti, musik, busana dan tata rias yang digunakan dalam
proses upacara adat ngampeken tulan-tulan.

1.6.2 Makna
Menurut Innis (1985:10) dalam pemancaran pesan melibatkan semua bentuk
perlakuan dan konteks pewujudannya. Makna digunakan untuk menyampaikan
suatu pesan. Penyampai pesan akan memilih lambang-lambang atau tanda tertentu
dan disusun secara sistematis untuk mewujudkan makna tertentu, karena pengirim
bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna bersifat
subyektif. Tari mengirimkan tanda-tanda yang dimilikinya juga dengan perkakas
bunyi.
Menurut Saussure (2002:40) tanda (yang terdiri dari hubungan internal
antara petanda dan penanda) beroperasi dalam dimensi yang fungsinya adalah
mendenotasikan; Hjelmslev menambahkan bahwa dalam tanda juga terkandung
dimensi lain yaitu hubungan antara dirinya dengan sistem yang lebih luas diluar
dirinya. Menurut Spradley (1997:121) Objek atau peristiwa apapun yang
menunjuk pada sesuatu, semua simbol melibatkan tiga unsur; pertama, simbol itu
sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, antara simbol dengan rujukan.
Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu,
simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
Sebuah lambang atau simbol budaya dapat menggantikan rangkaian filosofi
pemaknaan yang utuh/lengkap tentang sistem budaya dan sistem sosial. Aspek
simbolis terpenting dari budaya adalah bahasa (pengertian objek/peristiwa dengan

Universitas Sumatera Utara

21

bentuk verbal). Bahasa sebagai lambang/simbol merupakan fundamen tempat
pranata-pranata budaya manusia dibangun dan diteruskan secara generatif. Dalam
hal ini dapat dikatakan bahasa sebagai alat/instrumen menumbuh kembangkan
sekaligus menyebarkan budaya (Suci, 2017:38)
Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan terdapat berbagai simbol untuk
memberikan sebuah makna. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan
yang diiringi gendang serta perkolong-kolong, kesemua itu adalah simbol
dijadikan

ungkapan

perasaan

yang

dituangkan

melalui

gerak

untuk

menyampaikan isi hati dari pihak keluarga yang ditinggalkan ataupun riwayat
hidup dari orang yang sudah meninggal (tengkorak yang diangkat).
Landek merupakan media komunikasi penyampai pesan melalui gerak yang
memiliki makna disetiap prosesnya. Landek dalam upacara adat ngampeken tulantulan bertujuan untuk menghantarkan maksud dari proses upacara yang
dituangkan melalui gerak berasal dari apa yang dirasakan oleh anggota keluarga
dan masyarakat dan diiringi dengan musik sesuai dengan susunan upacara yang
ditetapkan oleh adat suku Karo.

1.6.3 Tari
Definisi tari banyak diartikan oleh para ahli dibidang tari. Gerak tubuh
secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan
pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran adalah tari. Bunyibunyian yang dalam hal ini adalah musik pengiring tari yang mengatur gerakan
penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan dalam sebuah tarian.

Universitas Sumatera Utara

22

Gerakan

tari

berbeda

dari

gerakan

sehari-hari

seperti berlari, berjalan,

atau bersenam. Menurut jenisnya, tari digolongkan menjadi tari rakyat, tari klasik,
dan tari kreasi baru. Tari dapat dibagi berdasarkan koreografernya yaitu :
1.

Tari tunggal (Solo) adalah tari yang diperagakan oleh seorang penari, baik
laki-laki maupun perempuan.

2.

Tari berpasangan (duet) adalah tari yang diperagakan oleh dua orang
secara berpasangan.

3.

Tari kelompok (Group choreography) yaitu tari yang diperagakan lebih
dari dua orang.

4.

Tari kolosal adalah tari yang dilakukan secara masal lebih dari banyak
kelompok dan biasanya dilakukan oleh setiap suku bangsa diseluruh
daerah Nusantara.
Tari merupakan cabang seni dari salah satu warisan budaya yang

dikembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan
kebudayaan daerah setempatnya. Tari merupakan sebuah gerak yang didistilisasi
dari gerak-gerak ritmis menjadi subuah gerak yang indah dan bermakna. Tari
diciptakan dan digunakan oleh masyarakat yang kehadirannya tergantung dari
fungsi sosial masyarakat itu sendiri. Menurut Soedarsono (1976:12) tari memiliki
beberapa fungsi sosial yaitu sebagai penunjang berbagai aspek kehidupan
masyarakat seperti dalam upacara, kehidupan, siklus kepercayaan, hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia. Fungsi stimulan yakni memberi
dorongan sebagai emosi secara individual maupun secara kelompok. Selanjutnya
menurut Yulianti (1975:28) tari sebagai fungsi komunikasi yakni hubungan

Universitas Sumatera Utara

23

manusia dengan lingkungan dan dalam masa lampau dengan kekuatan penguasaan
yang dilaksanakan. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan berfungsi
sebagai tari upacara media penyampai pesan dituangkan melalui gerak landek.
Dasar dari gerak landek terbagi menjadi tiga yaitu ndek merupakan gerak naik
turun dan pondasi kekuatan kaki dilutut. Pengodak merupakan singkronisai antara
gerak dan musik atau kelompok. Selanjutnya tanlempir adalah gerak tangan yang
lentik dan lembut.

1.6.4 Fungsi tari
Tari berfungsi sebagai ungkapan perasaan manusia yang dituangkan
melalui gerak-gerak ritmis yang indah. Menurut Soedarsono (1976:12) fungsi tari
sebagai berikut;
1. Tari upacara berfungsi sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap
kekuasaan yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan
demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan masyarakat.
2. Sarana hiburan atau pergaulan dengan maksud untuk memeriahkan atau
melakukan pertemuan, bahkan memeberikan kesempatan serta penyaluran bagi
mereka yang mempunyai kegemaran akan menari dan memberikan kesempatan
bagi setiap orang bisa turut berpartisipasi dalam menari.
3. Sebagai tari pertunjukan yaitu sebagai sebuah sajian tari pertunjukan. Untuk
menghidangkan pertunjukan tari selanjutnya, diharapkan dapat memperoleh
tanggapan sebagai suatu persyaratan seni tari dari penontonnya.

Universitas Sumatera Utara

24

Pada hakekatnya landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan
merupakan tari religi dari masyarakat Karo yang menganut kepercayaan Pemena,
dengan melakukan kegiatan upacara yang berhubungan dengan arwah (begu).
Landek sebagai media komunikasi yang berfungsi menyampaikan tujuan dari
pelaksanaan upacara kepada arwah (begu), melalui gerak landek diikuti iringan
gendang lima sendalanen dan perkolong-kolong sebagai bentuk permohonan,
meminta keselamatan dan berkat dalam pelaksanaan upacara ngampeken tulantulan agar dapat terlaksana dengan lancar. Saat ini upacara adat ngempeken tulantulan tidak lagi sebagai upacara religi tetapi sebagai upacara adat yang bertujuan
memberi penghormatan dalam sistem kekerabatan. Landek dalam upacara adat
tetap dalam konteks sebagai media komunikasi yang dilakukan oleh sangkep
nggeluh.

1.6.5 Landek
Dalam Rahma (2004:17) tari dalam bahasa Karo disebut landek. Seni tari
atau landek yang terdapat di daerah Tanah Karo dibagi atas tiga jenis yaitu: landek
kepercayaan, landek adat dan landek muda-mudi. Menurut Prinst (2004:145),
landek merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat
Karo baik itu suka dan duka. Pengertian landek juga dikutip dari Sembiring
(2012:9), bahwa landek merupakan dasar pemikiran masyarakat Karo dalam
menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Menurut
Perangin-angin (wawancara 20 April 2017) landek merupakan seni gerak dalam
tradisional tari Karo. Gerak-gerak tersebut ada yang melambangkan kesedihan,

Universitas Sumatera Utara

25

kegembiraan. Landek merupakan perlambangan dalam budaya Karo yang artinya
dapat diartikan sendiri oleh penari-penari berdasarkan gerak dasar Karo.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa landek
merupakan sebuah gerak dari kegiatan masyarakat Karo untuk menyampaikan
maksud tertentu disampaikan lewat gerak tari. Landek yang terdapat dalam
upacara adat ngampeken tulan-tulan dapat diamati keterkaitannya dalam proses
upacara adat ngampeken tulan-tulan, yang di dalamnya terdapat struktur, fungsi
dan makna yang berhubungan dengan system kekerabatan dalam upacara adat
ngampeken tulan-tulan.

1.6.6 Upacara adat
Konsep upacara menurut Herzt dalam Tarigan (2008:8) menganggap bahwa
upacara adalah:
1. Peralihan dan suatu kedudukan gaib tidak hanya bagi individu yang
bersangkutan tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat.
2. Peralihan dan kedudukan sosial lainnya itu tidak dapat berlangsung
sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat melalui serangkaian masa yang
agak lama.
3. Upacara inisiasi mempunyai tiga tahap yang melepaskan hubungan
objek dengan masyarakat yang mempersiapkan dan mengangkatnya
ketingkat kedudukan yang baru.
4. Semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal
itu dianggap mempunyai sikap keramat.

Universitas Sumatera Utara

26

5. Dalam tingkat persiapan dan masa inisiasi subjek merupakan makhluk
yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan ilmu gaib.
6. Upacara itu sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat

di dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan tertentu apapun itu
bentuknya dalam pelaksanaannya mereka selalu menyertakan kesenian.
Menurut Ali (1998:7) Upacara adat merupakan sebuah tanda-tanda
kebesaran atau hal melakukan sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat
kebiasaan atau agama. Upacara menurut pendapat Poerdarminta (1999:16)
merupakan hal sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau menurut
agama.
1. Peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau perbuatan
yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama.
2. Perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan
dengan peristiwa penting. Dapat dikatakan pula adat adalah aturan
yang lazim disimpulkan bahwa upacara adat adalah kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat dan mewujudkan kebiasaan yang selalu
dilakukan serta memiliki peraturan dan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan upacara adat yang
dilakukan turun menurun dan telah ada pada masa penyebaran agama Hindu. Saat
ini upacara adat ngampeken tulan-tulan dilakukan sebagai upacara adat
masyarakat Karo untuk penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia,
dengan melakukan proses upacara adat dari proses penggalian kuburan hingga

Universitas Sumatera Utara

27

kembali dimasukkan kedalam geriten atau bangunan khusus yang dianggap
sebagai simbol penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal.

1.6.7 Upacara adat ngampeken tulan-tulan
Serangkaian perbuatan yang sudah memiliki aturan adat istiadat, agama, dan
kepercayaan ialah upacara. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain,
upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.
Upacara adat suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku
disuatu daerah, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri. Upacara adat
yang dilakukan di daerah, sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah dari
daerah masing-masing tempat. Upacara adat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat dan mewujudkan kebiasaan yang selalu dilakukan serta memiliki
peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Begitu juga dengan upacara adat ngampeken tulan-tulan salah satu kegiatan
masyarakat yang dilakukan dalam upacara adat kematian masyarakat Karo yang
sudah menjadi suatu kebiasaan atau tradisi secara turun-temurun yang dilakukan
masyarakat Karo. Upacara adat ngampeken tulan-tulan menurut Petrus Tarigan
(wawancara 20 April 2017), menjelaskan bahwa ngampeken tulan–tulan dapat di
artikan adalah mengangkat tulang, merupakan salah satu upacara adat yang
sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Karo dimana tujuannya
adalah memberi penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal
dan membangun rumah atau geriten (tugu) untuk orang yang sudah meninggal.

Universitas Sumatera Utara

28

Dahulunya upacara ini memiliki unsur kepercayaan perbegu atau mistic
didalamnya karena masyarakat Karo masih menganut paham agama Pamena,
setelah pergeseran zaman akhirnya upacara ini beralih fungsi menjadi upacara
adat. Upacara ini baru bisa dilaksanakan 5-10 tahun setelah orang tua tersebut
meninggal. Upacara ini tidak memiliki hari atau tanggal khusus pelaksanaannya,
upacara ini terbentuk dari kesepakatan keluarga. Dalam upacara tersebut memiliki
aturan-aturan dalam pelaksanaan baik dalam upacara penggalian kubur ataupun
upacara adat. Upacara diatur oleh system kekerabatan atau sangkep nggeluh
dimana masing-masing kelompok seperti sukut, kalimbubu dan anak beru
memiliki masing-masing tugas dan tanggung jawab sesuai dengan tugas mereka
berdasarka aturan adat istiadat sesuai kelompok atau masing-masing golongan.
Menurut Sinulingga (wawancara 5 April 2017), upacara adat ngampeken
tulan-tulan merupakan ritual tertinggi dari ritual-ritual yang ada pada masyarakat
Karo, ritual ini sebagai simbol penghormatan kepada leluhur atau kepada orang
yang sudah meninggal. Sama halnya dengan penjelasan di atas, upacara ini
merupakan upacara kematian yang saat ini sudah beralih fungsi sebagai upacara
adat. Dalam kehidupan masyarakat Karo, upacara ini masih dianggap sebagai
upacara adat yang memiliki nilai kesakralan atau upacara terbesar dan tertinggi
dari upacara-upacara adat lainnya yang terdapat pada masyarakat Karo. Upacara
adat ngampeken tulan-tulan saat ini masih dilaksanakan dan dilestarikan secara
baik oleh masyarakat Karo. Menurut Perangin-angin (wawancara 20 April 2015)
sependapat dengan penjelasan diatas upacara ini ditujukan untuk penghormatan

Universitas Sumatera Utara

29

kepada leluhur dipercaya kegiatan upacara ini dapat mempersatukan keluargakeluarga yang masih tidak saling kenal.

1.7 Teori
1.7.1 Teori struktur
Menganalisis dan memecahkan permasalahan struktur, makna dan fungsi
terkandung di dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dan landek

hadir

sebagai media komunikasi yang dituangkan melalui gerak. Kusumawati (1990:9)
mengungkapkan bahwa penyajian tari didukung dari beberapa unsur, yaitu gerak
karena hakikat tari adalah gerak, pola lantai (garis di atas lantai) yang dibentuk
dan dilalui oleh penari, iringan tari (musik yang menghidupkan suasana tari), tata
rias dan busana (meliputi riasan wajah dan busana yang membantu menunjang
karakter dari tari), property (seluruh peralatan yang digunakan dalam penyajian
tari, tempat pementasan). Menganalisis sebuah penelitian yang dituangkan dalam
tulisan dengan tepat kepada topik yang dikaji maka diperlukan teori yang tepat
dan menjadi acuan dalam membahas tulisan ini.
Membahas struktur, Levi Strauss mempunyai pandangan tentang struktur
berkaitan dengan budaya. Strukturalisme Levi Strauss merupakan salah satu
paradigma dalam antropologi yang memudahkan kita untuk menangkap dan
memahami berbagai fenomena budaya yang terjadi, dilakukan dan diterapkan
oleh berbagai suku pemilik kebudayaan masing-masing termasuk seni di
dalamnya. Hal ini dapat membantu mengungkap fenomena seni yang di
ungkapkan atau diekspresikan masyarakat. Levi Strauss membedakan pemahaman

Universitas Sumatera Utara

30

struktur menjadi dua macam, yaitu struktur luar atau lahir (surface structure), dan
struktur dalam atau batin (deep structure) (Ahimsa, 2001:20). Levi Strauss juga
mengambil model analisis linguistik struktural yang dikembangkan Ferdiuad de
Saussure. Saussure berpendapat bahwa bahasa memiliki dua aspek yaitu langue
dan parole. Langue menerapkan aspek sosial, dimiliki bersama dalam bahasa
sedangkan parole merupakan ujaran-ujaran dialek sifatnya lebih individu.
Perbedaan langue dan parole ini dapat diterapkan dalam sistem simbol
komunikasi lainnya, entah itu mitos, musik ataupun bentuk kesenian lainnya
(Ahimsa, 9997:27).
Struktur adalah cara berfikir tentang dunia yang secara khusus
memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur yaitu didalamnya akan
menitik beratkan pada usaha untuk mengkaji fenomena seperti mitos, ritual,
relasi-relasi

kekerabatan dan sebagainya.

Disamping itu, strukturalisme

memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau tersusun secara
konkrit sebagai “teks” fenomena teoritis yang dihasilkan oleh definisi-definisi dan
operasi-operasi teoritis (Budiman, 1999:111-112).
Dalam antropologi budaya landek dalam masyarakat Karo sebagai media
komunikasi yang memiliki struktur gerak. Tari dapat dilihat sebagai fenomena
kebahasaan karena keberadaan tari pada dasarnya adalah ekspresi, perwujudan,
atau simbolisasi dari pandangan atau perasaan-perasaan manusia. Pandangan dan
perasaan ini dikomunikasikan kepada orang lain. Jadi tari sebenarnya adalah
sebuah media komunikasi seperti bahasa. Suatu tarian dapat dijelaskan sebagai
totalitas dimana elemen-elemen strukturalnya mempunyai pola tata urutan sesuai

Universitas Sumatera Utara

31

dengan konteks budayanya. Upacara adat ngampeken tulan-tulan memiliki aturan
pelaksanaan upacara yang tersusun berdasarkan aturan budaya suku Karo.

1.7.2 Teori fungsi
Malinowski (Ihromi, 2006:89), fungsionalisme yang beranggapan atau
berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana
unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap
kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi
kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan
dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan
yang bersangkutan.
Dalam bidang studi antropologi tari membicarakan tentang fungsionalisme
telah muncul sejak awal abad keduapuluh. Fungsionalisme memasukkan
berdasarkan atas kebutuhan biofisika serta fungsionalisme berdasarkan kebutuhan
sosial., fungsionalisme yang berkenaan dengan individu dan fungsionalisme yang
berkenaan dengan masyarakat dan fungsionalisme pada akhirnya memadukan
seluruh aspek di atas, sebuah tatanan hirarkis dalam kebutuhan dan
pengaturannya. Umumnya seluruh teori fungsionalis itu adalah masalah praduga
bahwa seluruh aspek dari suatu masyarakat atau kebudayaan itu dalam berbagai
cara memberikan sumbangan bagi fungsinya pada masyarakat atau budayanya
dalam Widaryanto (2007:82). Landek memiliki fungsi sebagai komunikasi budaya
untuk mengungkapkan perasaan, nilai estetis ataupun gagasan yang menjadi

Universitas Sumatera Utara

32

bentuk komunikasi estetis melalui sebuah gerak yang dilakukan oleh masyarakat
Karo.
Menurut Soedarsono (1986:96) tari berfungsi sebagai berikut :
1. Sarana upacara sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan
yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan demi
keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini masih kuat
unsur-unsur kepercayaan kuno yang masih hidup dalam suasana budaya purba.
2. Sarana hiburan atau pergaulan dengan maksud untuk memeriahkan atau
melakukan pertemuan, bahkan memberikan kesempatan serta penyaluran bagi
mereka yang mempunyai kegemaran akan menari.
3. Sarana pertunjukan atau tontonan yang bertujuan untuk memberi hidangan
pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh tanggapan
sebagai suatu persyaratan seni tari dari penontonnya.
Teori ini menjadi acuan peneliti menganalisi landek dalam upacara adat
ngampeken tulan-tulan mengarah pada sarana upacara. Dapat dipahami
bahwasanya landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sebagai tari
upacara untuk persembahan kepada orang yang sudah meninggal dan diangkat
kembali tengkoraknya untuk diposisikan di tempat yang tertinggi yaitu bangunan
geriten dan menjadi sumber kebahagiaan tersendiri bagai masyarakat yang
melaksanakan upacara ini khusus keluarga yaitu sangkep nggeluh. Landek dalam
upacara tidak menutup kemungkinan akan menjadi sarana h