Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo

(1)

NILAI DAN FUNGSI NDUNGNDUNGEN KARO

TESIS

Oleh

ROSITA GINTING

077009022/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

NILAI DAN FUNGSI NDUNGNDUNGEN KARO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROSITA GINTING

077009022/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : NILAI DAN FUNGSI NDUNGNDUNGEN KARO

Nama Mahasiswa : Rosita Ginting

Nomor Pokok : 077009022

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.) (Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Anggota : 1. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.


(5)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Nilai dan Fungsi Ndungndungen Karo”. Tesis ini menjabarkan tentang macam-macam Ndungndungen Karo, nilai-nilai yang terkandung dalam Ndungndungen Karo, fungsi Ndungndungen Karo, dan bagaimana penggunaan Ndungndungen Karo pada saat sekarang ini.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, dengan teknik rekaman dan interviu. Metode kepustakaan juga digunakan dalam penelitian ini karena data sekunder dari penelitian ini adalah data-data yang ditemukan pada sumber pustaka. Data primer penulis dapatkan dari para informan.

Ndungndungen Karo sama dengan pantun dalam bahasa Indonesia, pewarisannya melalui lisan (oral tradition). Umumnya, Ndungndungen Karo terdiri atas empat larik setiap bait, dua larik pertama merupakan sampiran dan dua larik terakhir merupakan isi. Menurut isinya, Ndungndungen Karo dapat dibagi atas Ndungndungen yang berisi: nasihat, nasib, percintaan, perkenalan, perpisahan, humor, dan adat.

Makna Ndungndungen Karo banyak yang mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya dan nilai-nilai didaktis. Fungsi Ndungndungen Karo adalah: fungsi komunikasi, fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, fungsi sebagai pengajaran adat, fungsi pengungkapan emosional, fungsi estetis, dan fungsi sebagai alat pendidikan.

Penggunaan Ndungndungen Karo sekarang ini cenderung berkurang bila dibandingkan dengan masa lampau. Dahulu seorang pemuda dalam pergaulannya dengan seorang gadis mempergunakan Ndungndungen sebagai alat komunikasi antara mereka. Berbeda dengan muda-mudi sekarang tidak lagi menggunakan Ndungndungen sebagai alat untuk menyampaikan maksud. Tapi para orang tua masih sering menggunakan Ndungndungen pada setiap upacara adat Karo dan acara kebaktian di gereja.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tujuan masyarakat Karo berndungndungen (berpantun) ialah untuk mendidik dan mengajar anggota masyarakat agar mampu menasihati dan mengetahui sopan santun, adat istiadat, dan kekerabatan.


(6)

ABSTRACT

The title of this thesis is “The Value and The Function of Ndungndungen Karo”. It describes some various of Ndungndungen Karo, the value contained in Ndungndungen Karo, the function of Ndungndungen Karo and how the Ndungndungen Karo is being used at the present moment.

The method being used in this research is qualitative descriptive method, in which the data is collected through recording and interviews. Library reseach is also applied in this research where the secondary data of this research is found from the library while primary data is taken from some informants.

Ndungndungen Karo is the same as poem in Bahasa Indonesia, which is regenerated orally (oral tradition). Generally, Ndungndungen Karo consists of four lines in one verse; the first two lines are as preface and the last two lines are as the contents.

According to its contents Ndungndungen Karo can be devided into advice, joy, sorrow, fate, love, acquintance, separateness, humor and culture. The essence of Ndungndungen Karo mostly reflects social, cultural as well as the education value. Ndungndungen Karo functions as communication, social related values, cultural pedagogy, emotional expressions, aesthetical, and educational functions.

At the present moment, Ndungndungen Karo is less frequently used. Compared with its usage in the past, the young couple used Ndungndungen as a media of communications in their acquaintances. It is very much different from the young couples now days who tend not to use Ndungndungen as a means communications to express their ideas any more. However, this is quite different from the older generations where ndungdungen is still commonly used among them when attending parties, traditional ceremonies and churches.

Based on the research conducted, it can be concluded that the main purpose of ndungdungen among Karo ethnic is to educate the general public so as to enable them in giving advice, knowing how to conduct proper manner in society and maintain the kinship.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kasih dan sayang-Nya kepada penulis sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan .

Penelitian tesis ini berjudul “Nilai dan Fungsi Ndungndungen Karo” merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari walaupun telah berusaha dengan baik dalam penulisan tesis ini namun masih ada kekurangannya oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan tesis ini. Semoga tesis ini berguna bagi pembaca dan peneliti lainnya, khususnya pengembangan Ndungndungen Karo.

Medan, Juli 2009


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan bantuan dana untuk mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D selaku Ketua Program Studi Linguistik dan Bapak Drs. Umar Mono, M. Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik .

Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada suami L.Sembiring, dan ketiga anak saya Hendrik Sembiring, Joy Sembiring, dan Juita Sembiring yang selalu memberikan doa, dorongan, dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(9)

Semoga segala bantuan, dorongan dan kerja sama yang telah diberikan mendapat berkat dan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Juli 2009

Rosita Ginting


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rosita Ginting

NIM : 077009022

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Dosen Fakultas Sastra USU NIP : 19590520 198601 2 002

Alamat : Jl. Karet Raya No. 55 P. Simalingkar Medan No. Telepon/ HP : (061)- 8360701/ 085296861100


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

1.5 Anggapan Dasar ... 7

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Teori ... 11

BAB III : METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Metode Dasar ... 14

3.2 Lokasi, Sumber Data, dan Instrumen ... 14

3.3 Teknik Pengumpula Data ... 15


(12)

BAB IV : SISTEM SOSIAL PADA MASYARAKAT KARO ... 17

4.1 Letak Geografis ... 17

4.2 Merga... 18

4.3 Sistem Kekerabatan ... 19

4.4 Bahasa ... 21

4.5 Tradisi Sastra dan Bentuk Sastra Lisan Karo ... 22

4.5.1 Tradisi Sastra... 22

4.5.2 Bentuk Sastra Lisan Karo... 23

4.6 Ciri-ciri Ndungndungen Karo... 24

4.7 Macam/Ragam Ndungndungen Karo ... 29

4.7.1 Ndungndungen Anak-Anak... 29

4.7.2 Ndungndungen Anak Muda ... 30

4.7.3 Ndungndungen Orang Tua ... 33

4.7.4 Nungndungen yang Berisi Sindiran ... 35

4.7.5 Ndungndungen yang Berisi Nasib... 42

4.7.6 Ndungndungen yang Berisi Humor... 43

4.8 Struktur Linguistik Ndungndungen Karo ... 44

4.8.1 Frase dalam Ndungndungen Karo ... 45

4.8.2 Klausa dalam Ndungndungen Karo ... 53

BAB V : NILAI DAN FUNGSI NDUNGNDUNGEN KARO... 62

5.1 Nilai-nilai yang Terkandung dalam Ndungndungen pada Masyarakat Karo ... 62

5.1.1 Ndungndungen yang Mencerminkan Nilai-nilai Sosial ... 62

5.1.2 Ndungndungen yang Mencerminkan Nilai-nilai Budaya... 73

5.1.3 Ndungndungen yang Mencerminkan Nilai-nilai Didaktis ... 80

5.2 Fungsi Ndungndungen Karo... 87


(13)

5.2.3 Fungsi sebagai Pengajaran Adat ... 95

5.2.4 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 97

5.2.5 Fungsi Estetis ... 98

5.2.6 Fungsi Pendidikan... 101

5.3 Pemakaian/Kedudukan Ndungndungen Sekarang Ini ... 105

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1 Kesimpulan... 108

6.2 Saran ... 109


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Frekuensi Pemakaian Frase dalam Ndungndungen Karo ... 52 2. Frekuensi Pemakaian Klausa dalam Ndungndungen Karo ... 60


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 1. Daftar Informan ... 113


(16)

DAFTAR ISTILAH

1. Anak Beru artinya anak perempuan, dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil isteri dari keluarga (merga) tertentu. (Prinst 1996)

2. Dibata si idah artinya Tuhan yang nampak (Sitepu, dkk 1996)

3. Ertutur artinya berkenalan dan cara memperoleh kekerabatan dalam masyarakat

Karo ( Sitepu, dkk 1996)

4. Fungsi artinya kegunaan (Poerwadarminta 1984)

5. Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. (Prinst 1996)

6. Merga ‘marga’ adalah suatu nama yang diwariskan secara turun temurun

berdasarkan garis keturunan ayah, menurut garis lurus baik ke atas maupun ke bawah. (Prinst dan Darwin Prinst 1985)

7. Ndungndungen artinya sama dengan pantun (Tarigan 1979)

8. Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna dan berharga bagi kemanusiaan. (Poerwadarminta 1984)

9. Sangkep nggeluh artinya kelengkapan hidup yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri atas Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu. (Prinst 1996)

10.Sembuyak artinya saudara kandung, satu perut dalam satu ayah dan satu ibu. (Sitepu, dkk 1996)


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Salah satu kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia adalah sastra Nusantara. Sastra Nusantara terdiri atas sastra-sastra daerah. Kekayaan akan sastra daerah adalah hal yanga wajar karena Indonesia merupakan negara Kepulauan. Di antara beribu-ribu pulau terdapat pula berbagai kelompok etnis yang masing-masing memiliki kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Pada akhirnya akan lahir pula konsep-konsep dan sistem budaya yang berbeda.

Kekayaan sastra Nusantara yang dimiliki bangsa Indonesia kini menjadi suatu tantangan dan tugas yang berat bagi para peneliti maupun kaum intelektual dalam rangka menghimpun serta menyelamatkannya ke dalam bentuk yang lebih formal yaitu tulisan. Pekerjaan tersebut jelas perlu dilakukan mengingat sastra daerah, pada dasarnya menggunakan sistem oral (tradisi lisan). Kalalaian dan ketidakpedulian terhadap penyelamatan hasil sastra daerah dapat berakibat fatal. Untuk mengantisipasi kemungkinan kepunahannya maka mutlak perlu pendokumentasian bahkan penggalian dan penganalisaan sistem konsep, dan teori-teori yang tersembunyi di dalam tradisi karya sastra daerah.

Sastra daerah biasanya tercipta berdasarkan keadaan di mana sastra itu lahir. Artinya, sastra daerah selalu mencerminkan situasi kebudayaan pendukung sastra daerah tersebut. Di dalam sastra daerah, masyarakatnya menuangkan segala sesuatu


(18)

sistem nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya atau kelompok. Misalnya menyangkut norma-norma, kebiasaan-kebiasaan masyakatnya. Atau melalui sastra daerah diungkapkan nilai moral, ajaran umum, filsafat, cita-cita hidup kelompok. Dengan kata lain, sastra daerah merupakan perwujudan hakikat dan eksistensi dirinya sebagai seorang manusia yang diungkapkan dengan keindahan dan kekreativitasan bahasa yang menakjubkan. Maka sebenarnya sastra daerah memiliki nilai dan fungsi tersendiri dalam hidup manusia, mungkin juga bagi manusia modern. Sekarang tergantung bersedia atau tidak memetik sesuatu yang berharga dari hasil sastra daerah tersebut. Seperti yang dikatakan Teeuw (1982:10) sebagai-berikut;

“Dalam sastra lisan suku bangsa Indonesia terungkap kreativitas bahasa yang luar biasa, dan dalam hasil sastra itu manusia Indonesia yang berusaha mewujudkan hakikat mengenai dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga sampai sekarang pun untuk manusia modern ciptaan itu tetap mempunyai nilai dan fungsi asal dia bersedia berusaha untuk merebut maknanya bagi dia sendiri sebagai manusia modern.”

Susuai dengan UUD 1945, bab XV, pasal 36 di dalam penjelasannya, “bahasa daerah itu adalah merupakan bagian daripada kebudayaan Indonesia yang hidup ; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara”, yang fungsinya sebagaimana disimpulkan oleh peserta seminar politik Bahasa Nasional tahun 1975 di Jakarta :

“Didalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makassar, dan Batak berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan didalam keluarga dan masyarakat daerah. Di dalam hubunganya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daeah berfungsi sebagai (1)


(19)

Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah” (Halim (ed.), 1981:145-146).

Bahasa daerah sebagai bahasa pendukung bahasa nasional sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indoneia II tahun 1954 di Medan, merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia antara lain bidang sintaksis, semantik dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapai dalam perkembangannya.

Mengingat pentingnya fungsi bahasa daerah perlu diadakan penelitian yang mendasar secara sungguh-sungguh tehadap bahasa dan sastra daerah Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak awal abab ke–20 dunia sastra Indonesia mengenal bentuk sastra yang berbeda dari sastra tradisional. Yang disebut sastra modern, sastra modern sebenarnya merupakan kelanjutan dari perkembangan sastra tradisional. Secara formal keduanya dapat di bedakan. Terutama mengenai medium percakapannya. Sastra modern (dalam hal ini sastra Indonesia) menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat ungkapnya. Sastra tradisional (dalam hal ini sastra daerah) memakai bahasa daerah sebagai medium ekspresinya. Sejalan dengan itu, sastra Indonesia lahir dengan ditandai oleh semangat nasionalisme, sedangkan sastra daerah ditandai jiwa kedaerahannya.

Dalam kesempatan ini penulis berusaha memperkenalkan sedikit dari khasanah kesusastraan Karo. Penulis akan meneliti tentang nilai dan fungsi


(20)

ndungndungen atau ndungndungen Karo. Ndungndungen merupakan bagian sastra lisan Karo yang dipakai dalam situasi tertentu, misalnya dalam upacara adat meminang gadis atau di dalam masa pacaran muda-mudi. Dengan kata lain, penggunaan ndungndungen atau Ndungndungen terikat terhadap situasi atau konteks.

Tradisi lisan (oral tradition) adalah tradisi sastra yang lahir, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Karo yang diwariskan turun-temurun dari mulut ke mulut sejak zaman nenek moyang sampai sekarang.

Ada bermacam-macam karya sastra lisan Karo yang dihasilkan oleh tradisi lisan ini, antara lain : karya sastra yang berbentuk puisi, prosa, dan prosa liris. Karya sastra yang berbentuk puisi dibedakan atas : (1) ndungndungen, (2) cakap lumat, (3) tabas. Karya sastra yang berbentuk prosa liris disebut bilang-bilang dan karya sastra yang berbentuk prosa disebut turi-turin.

Penelitian mengenai turi-turin Karo sudah banyak dilakukan, tetapi masih bersifat inventarisasi dan dokumentasi. Oleh sebab itu, turi-turin Karo sudah cukup dikenal oleh masyarakat pendukungnya, tetapi penelitian mengenai ndungndungen Karo setahu peneliti masih kurang dilakukan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini peneliti ingin meneliti nilai dan fungsi ndungndungen Karo itu. Mengingat keberadaan ndungndungen di tengah masyarakat Karo pada saat sekarang ini kurang diteliti dikatakan kurang diketahui karena sumber ndungndungen sebagai sastra lisan adalah orang-orang tua sedangkan anak-anak muda tidak dapat lagi menggunakan ndungndungen apalagi mengetahui maknanya. Tentu keadaan ini mempunyai


(21)

tua habis. Maka, kita akan kekurangan khasanah sastra daerah yang merupakan pendukung dari sastra nasional kita karena bahasa dan sastra daerah adalah pendukung dari bahasa persatuan kita bahasa Indonesia.

Berkenaan dengan hal di atas, maka penulis merasa penting untuk meneliti nilai dan fungsi ndungndungen Karo di tengah-tengah masyarakat Karo. Karena ndungndungen itu sendiri mengungkapkan nilai-nilai sosial, didaktis, dan moral, maka hal itu penting untuk diteliti. Misalnya (1) apa sajakah nilai dan fungsi ndungndungen Karo? (2) bagaimanakah bentuk dan keberadaan ndungndungen di tengah masyarakat Karo pada saat sekarang ini? (3) dan, apakah kemajuan teknologi mengambil dampak yang negatif terhadap eksistensi ndungndungen terutama dari generasi muda sebagai pewaris tradisi ini.

Menurut Tarigan (1979:9) ndungndungen sama dengan pantun yang biasanya terdiri atas empat baris serta bersajak a b a b. dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Setiap baris umumnya terdiri atas tiga atau lima kata dan mempunyai suku kata tujuh sampai sepuluh.

Ndungndungen terdiri atas empat baris, dua baris pertama merupakan suatu

pengantar atau aba-aba untuk sampai kepada dua baris yang berikut berupa isi atau maksud.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini akan membahas tentang nilai dan fungsi ndungndungen pada masyarakat Karo. Dalam usaha memaparkan hal tersebut penulis akan lebih dulu


(22)

menguraikan geografis wilayah Karo dan selintas sistem sosial pada masyarakat Karo.

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk dan nilai-nilai apa saja yang terdapat pada ndungndungen Karo?

Dalam hal ini penulis akan membatasi pada bentuk serta nilai-nilai sosial dan nilai-nilai didaktis yang terdapat pada ndungndungen Karo.

2. Apa fungsi ndungndungen Karo?

Apakah ndungndungen Karo berfungsi sebagai alat pendidikan? dan sebagai alat pengawas supaya norma-norma adat masyarakat dipatuhi?

3. Bagaimana pemakaian ndungndungen Karo pada saat sekarang ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui bentuk dan nilai-nilai yang terkandung dalam ndungndungen Karo.

2. Mengetahui apa fungsi ndungndungen Karo.

3. Mengetahui bagaimana pemakaian ndungndungen Karo pada saat sekarang ini.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Untuk menunjang perkembangan kebudayaan Karo khususnya dan perkembangan kebudayaan Nasional umumnya.

2. Untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan dalam ilmu bahasa dan sastra daerah Indonesia terutama dalam bidang ndungndungen atau pantun yang banyak mempunyai nilai-nilai didaktis dan makna-makna yang tersirat didalamnya.

3. Untuk melestarikan ndungndungen Karo agar tidak hilang dari pengaruh perkembangan teknologi dan dapat dijadikan ajaran moral bagi masyarakatnya.

4. Dapat membantu para dosen dalam mengajarkan ndungndungen Karo, dan bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mempelajari ndungndungen Karo. 5. Dalam hubungannya dengan sastra Nasional, penelitian ini dapat mengatasi

kefakuman sastra lisan Karo dan memperkaya khazanah sastra Indonesia. 6. Untuk mengembangkan teori dan praktek satra lisan (pantun) di Indonesia.

1.5. Anggapan Dasar

Menurut Surakhmad (1994:37) anggapan dasar adalah asumsi atau postulat yang menjadi tumpuan segala pandangan, dan kegiatan terhadap masalah yang dihadapi. Postulat ini yang menjadi titik pangkal, titik mana yang tidak lagi menjadi keragu-raguan penyelidik.


(24)

Berdasarkan judul, masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, maka penulis mengemukakan anggapan dasar yakni masyarakat Karo mempunyai ndungndungen dan banyak menggunakan ndungndungen dalam acara-acara tertentu. Ndungndungen itu mempunyai makna, nilai dan fungsi.


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Menurut Tarigan (1980:70) ndungndungen dapat disamakan dengan pantun Melayu. Persamaan itu disebabkan struktur ndungndungen yang terdiri dari atas empat baris sebait bersajak a b a b dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Setiap baris umumnya terdiri atas 3 atau 4 kata dan mempunyai suku kata 7 sampai dengan 10.

Pantun merupakan bentuk puisi tradisional yang paling tua; puisi tradisional umumnya mempunyai pola atau bentuk yang tetap. Artinya tersusun dalam suatu sistem susunan tertentu yang tidak dapat diubah; bila diubah maka eksistensinya menjadi goyah atau hilang. (Semi, 1988:145-146)

Pantun digunakan dalam berbagai situasi kehidupan: dalam gembira orang berpantun, dalam kesedihan orang berpantun. Oleh sebab itu, ada berbagai macam pantun, ada pantun bersuka cita, ada pantun anak-anak, ada pantun nasihat, pantun adat, pantun muda-mudi, dan sebagainya. (Semi, 1988:147).

Penelitian ndungndungen ini dilakukan dengan dasar pendapat di atas yang membedakan pantun dengan jenis tradisi lain atas jumlah baris dan membagi pantun atas empat macam. Di samping itu digunakan juga teori yang dikemukakan oleh Bascom dalam (Danandjaja,1984:10) yang membagi fungsi sastra lisan itu atas empat bagian yaitu :


(26)

1. Sebagai sistem proyeksi, yakni mencerminkan angan-angan kelompok. 2. Sebagai alat pengesahan pranata sosial atau lembaga kebudayaan. 3. Sebagai alat pendidikan, dan

4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Di samping keempat fungsi di atas kemungkinan fungsi lain muncul berdasarkan kenyataan di lapangan.

Selanjutnya penulis juga menggunakan kajian pustaka yang ditulis oleh: a. Ginting 1998. Deskripsi Ndungndungen Karo. Hasil penelitian Fakultas Sastra,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tulisan ini berisikan macam-macam ndungndungen Karo dan pembagian ndungndungen Karo yaitu : ndungndungen anak-anak, ndungndungen anak muda, dan ndungndungen orang tua.

b. Tarigan, H.G. 1980. Sastra Lisan Karo. Jakarta : Pusat Bahasa. Buku ini berisikan macam-macam karya sastra lisan Karo, yang salah satu di antaranya termasuk ndungndungen Karo.

c. Sukapiring, Peraturen dkk. 1995. Kamus Karo – Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


(27)

2.1 Teori

Penelitian terhadap sastra daerah atau ndungndungen ini bersifat ilmiah, sehingga diperlukan suatu teori yang dapat mendukung keberhasilan pengungkapan penelitian tersebut. Sehubungan penelitian ini lebih memfokuskan pembicaraan kepada nilai dan fungsi ndungndungen Karo, maka teori yang tepat untuk menganalisis objek tersebut adalah teori pragmatis. Teori pragmatis adalah pendekatan terhadap sastra yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan. Menurut Nababan (1987:2), “Pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai dengan kalimat-kalimat itu.“

Searle dalam Wijana (1996:18), “Mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat di wujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi”. Makna lokusi yaitu tindak tutur dengan kata, dan kalimat itu sendiri sesuai dengan makna yang terkandung oleh kata dan kalimat itu sendiri. Tindak ilokusi merupakan suatu tindakan melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Sedangkan tindak perlokusi adalah suatu tindakan yang menimbulkan efek atau pengaruh kepada mitra tutur.

Sejalan dengan pendapat di atas, penelitian ini akan membahas aspek sintaksis dalam ndungndungen tersebut. Aspek sintaksis tersebut adalah frase dan klausa. Menurut Sibarani (1997:16-17) frase tersebut dapat dibedakan atas frase eksosentris dan frase endosentris. Sibarani (1997:64-65) membedakan klausa berdasarkan jenis predikat menjadi klausa verbal dan klausa nonverbal. Aspek


(28)

sintaksis ini berkaitan erat dengan makna lokusi sehingga dapat ditemukan pola frase dan klausa yang memperkuat sastra sebagai sesuatu yang pragmatis dalam pembentukan ndungndungen Karo.

Menurut Ratna (2004:72) pendekatan pragmatis memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Pragmatis sebagai suatu pendekatan terutama menekankan aspek tujuan pemakai bahasa atau aspek makna yang dihasilkan, sehingga sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat akan dicapai sebagai hasil akhir dari penelitian ini.

Endraswara (2003:115) mengatakan “Pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang ke arah aspek kegunaan sastra”. Penelitian pragmatik yaitu kajian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya sastra dalam hal ini ndungndungen Karo. Karena itu aspek pragmatik terpenting adalah karya sastra itu mampu menumbuhkan kesenangan dan berguna bagi pembaca. Penelitian pragmatik banyak mengandalkan aspek guna (useful) dan nilai karya bagi peminatnya.

Dari konsep-konsep di atas dapat dketahui bahwa penelitian pragmatik sastra ingin mengajak pembaca terlibat dalam karya sastra yang dalam hal ini ndungndungen Karo. Karya sastra sebagai produk yang menawarkan pandangan saran harapan dan langkah-langkah untuk mencapai kemajuan masyarakat. Jadi ndungndungen Karo perlu diiteliti tidak saja yang membuat pembaca tertarik, melainkan apa yang berguna bagi pembaca setelah menikmati ndungndungen Karo.


(29)

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:698) pragmatis adalah,

“Bersifat praktis dan berguna bagi umum bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan) mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis.”

Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan didaktis yang di kemukakan oleh Aminuddin (1987:47) yaitu :

“Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun orgamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya rohaniah pembaca”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa pragmatis adalah suatu teori yang menekankan aspek manfaat dan sesuatu yang nikmat dan berguna bagi manusia dari karya sastra dalam hal ini ndungndungen Karo yang dihasilkan oleh seorang pemakai bahasa. Untuk memperoleh manfaat tersebut, penelitian ini akan menitikberatkan analisis sintaksis serta nilai dan fungsi ndungndungen Karo. Dengan demikian, penelitian ini dapat memperlihatkan pola kebahasaan dan kesastraan ndungndungen dalam kehidupan masyarakat Karo.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Koentjaraninggrat (1978:7) mengatakan bahwa metode (Yunani: methodos) adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif karena metode dan teknik penelitian ini mencerminkan kenyataan berdasarkan fakta-fakta (fact finding) yang ada di lapangan sebagaimana adanya. Karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai dan fungsi ndungndungen Karo.

3.2 Lokasi, Sumber Data, dan Instrumen

Penelitian ini dilakukan di kabupaten Karo yaitu Kecamatan Simpang Empat tepatnya di desa Surbakti, Perteguhan dan rumah Kabanjahe. Sumber data adalah data yang didapat dari informan yang memenuhi syarat. Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh. (Arikunto, 1996:114).

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini akan diambil dari informan yang berasal dari ketiga tempat tersebut di atas. Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa buku catatan, daftar pertanyaan, dan alat rekam, dalam


(31)

arti lebih lengkap dan sistematis sehingga mudah untuk di olah (Arikunto, 1996 :144).

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu: 1. Data Sekunder

Sebagai langkah awal dari penelitian ini ialah melakukan studi kepustakaan. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data sekunder dari buku, majalah, dan catatan-catatan yang akan digunakan sebagai data pendukung.

2. Data Primer

Data primer dikumpulkan dengan teknik rekaman (kaset rekorder) dan interviu (dengan responden). Dengan teknik rekaman maksudnya merekam ndungndungen dari informan di lokasi penelitian. Dengan teknik interviu maksudnya mewawancarai informan untuk memperoleh keterangan tentang nilai dan fungsi ndungndungen pada masyarakat Karo.

Maka dalam usaha pengumpulan data yang maksimal penulis mengadakan wawancara dengan beberapa orang informan yang berasal dari desa dan domisili yang berbeda. Pemilihan informan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu:

1. Penutur asli bahasa Karo.

2. Berusia (saat diwawancarai) minimal sudah 40 tahun.

3. Memiliki pengetahuan tentang ndungndungen Karo serta dapat memakainya secara aktif.


(32)

4. Masih memakai dan merasakan ndungndungen Karo sebagai media pengungkapan hasrat hati kepada seseorang.

Dengan penetapan beberapa kriteria ini diharapkan data dapat diperoleh dengan maksimal dan akurat.

3.4 Analisis Data

Langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Data yang telah terkumpul ditranskripkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Analisis dimulai dengan menentukan bentuk ndungndungen apakah mempunyai sampiran dan isi.

b. Selanjutnya dideskripsikan menurut ciri-ciri ndungndungen Karo.

c. Kemudian dideskripsikan menurut macam dan ragam ndungndungen Karo. d. Lalu di kaji makna-makna yang tersirat di dalam ndungndungen Karo

Baru dianalisis mengenai nilai dan fungsi ndungndungen Karo tersebut.

Setelah perolehan data melalui metode lapangan dianggap memadai maka langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Hasil rekaman ditranskripsikan lalu data tersebut diklasifikasikan menurut keperluannya. Pada akhirnya data dari perpustakaan dan lapangan digabungkan, maka penulis membuat analisis dan telaah akhir tentang nilai dan fungsi ndungndungen pada masyarakat Karo.


(33)

BAB IV

SISTEM SOSIAL PADA MASYARAKAT KARO

4.1 Letak Geografis

Kabupaten Karo terletak di Provinsi Sumatera Utara, jaraknya dari Kota Medan lebih kurang 63 km. Kabupaten Karo merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian 20–1.400 meter dari permukaan laut dan dikelilingi oleh gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Luas Kabupaten Karo adalah 2.127,23 km2 atau kira-kira 3 % dari luas Provinsi Sumatera Utara. Iklimnya berkisar antara 160-270 C dengan kelembaban udara 82 %.

Batas wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan lima kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, di sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara, di sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun.

Pemerintahan Kabupaten Karo beribu kota di Kabanjahe. Kabupaten Karo terdiri atas 17 kecamatan yaitu : Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Munthe, Kecamatan Payung, Kecamatan Juhar, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Barus Jahe, Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Kuta Buluh, Kecamatan Mardinding, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Lau Balang, Kecamatan


(34)

Merek, Kecamatan Dolat Rayat, Kecamatan Merdeka, Kecamatan Naman Teran, dan Kecamatan Tiganderket.

4.2 Merga

Masyarakat Karo memiliki nama yang dipakai secara bersama dalam lingkungan keluarga. Nama keluarga itu dikenal dengan istilah merga. Istilah merga secara harafiah berarti ‘merga’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia (1988:559), ‘merga’ adalah kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinear, baik secara matrilineal (garis keturunan ibu) maupun patrilineal (garis keturunan ayah). Sementara itu, Prinst dan Darwin Prinst (1985:31) menyatakan merga adalah:

“suatu nama yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ayah, menurut garis lurus baik ke atas maupun ke bawah”.

Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa, pada masyarakat Karo penerus garis keturunan terletak pada pihak laki-laki. Sedangkan menurut Jaya S. Meliala (dalam Prinst dan Darwin Prinst, 1985:31) merga adalah kelompok unilineal kelompok tersebut membagi masyarakat Karo menjadi lima golongan besar merga yang terdapat pada masyarakat Karo. Kelima golongan besar itu tidak pernah saling terpaut terhadap sejarah asal usulnya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa merga adalah kelompok kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal), serta membagi


(35)

masyarakat yang didasarkan pada merga silima dan tidak berhubungan satu sama lainnya terhadap sejarah asal-usulnya.

Pada hakikatnya tiap orang Karo akan mewariskan merga ayahnya. Bila ia seorang laki-laki, maka ia akan menggunakan istilah merga. Sedangkan bila ia seorang perempuan ia akan menggunakan istilah beru. Merga/beru biasanya dicantumkan di belakang nama sipemakainya. Fungsinya adalah sebagai tanda pengenalan kelompok garis keturunan atau sebagai identitas asal-usul si pemakai merga tersebut. Dalam hubungan antar individu merga sangat beperan untuk menentukan hubungan atau jenjang kekerabatan. Menentukan jenjang kekerabatan ini biasanya dimulai dengan ertutur (berkenalan).

Suku Karo memiliki lima merga. Menurut prinst (1996:42) sesuai dengan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 di Sibayak Internasional Hotel Berastagi, maka merga Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan menjadi merga dalam adat-istiadat Karo. Kelima merga ini merupakan induk merga yang lazim di sebut “merga silima”. Setiap induk merga mempunyai sub-sub merga yang dipakai di belakang merga dalam kelompok “merga silima”.

4.3 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan pada masyarakat Karo ialah menurut garis keturunan ayah, yang lebih dikenal dengan istilah patrilineal. Susunan penduduk dalam lingkungan satu desa ditentukan oleh faktor geneologi, yaitu didiami oleh satu kelompok merga. Kalau ada merga lain, mereka itu adalah pendatang yang


(36)

mengawini salah seorang puteri kelompok merga dari desa itu. Kampung sebagai tempat tinggal di sebut urung.

Sebutan atas puncak pemerintahan, yang tertua yang dijumpai di wilayah Karo ialah pengulu yang menjalankan pemerintahan di kampung (urung) menurut adat. Terbentuknya suatu kuta harus memenuhi persyaratan adat, antara lain ada merga pendiri kuta, ada anak beru simantek kuta, serta kalimbubu simantek kuta (kalimbubu taneh). Oleh karena itu, dalam masyarakat Karo berlaku sistem pembagian masyarakat atas tiga golongan fungsional yang mengatur tata krama pergaulan dalam kehidupan sehari-hari yang di kenal dengan istilah telu sidalinen telu ‘tiga’, sidalinen ‘sejalan’.

Ketiga golongan itu adalah:

a. Kalimbubu, yaitu pihak yang anak perempuannya diambil dan semua teman

semerganya.

b. Senina/seumbuyak, yaitu saudara semarga.

c. Anak Beru, yaitu pihak laki-laki yang mengawini putri pihak pemberi.

Dengan adanya telu sidalinen ini, hubungan antar golongan atau merga sedemikian rupa sehingga tercipta suatu keseimbangan dan keserasian hidup bermasyarakat. Orang yang semerga harus seia sekata, sepenanggungan, dan seperasaan agar tidak sampai terjadi perselisihan dan harus pandai mengambil hati anak beru karena mereka inilah yang diharapkan dapat memberi sumbangan tenaga dan materi, sedangkan kepada kalimbubu harus hormat karena mereka inilah pemberi


(37)

Keturunan Karo bernama me-her-ga, disingkat menjadi merga karena orang-orang berharga dan berkuasa (meherga berarti ‘berharga’ dalam arti berkuasa). Keturunan meherga ada lima orang mana yang sulung dan mana yang bungsu tidak dapat diketahui, masing-masing namanya ialah Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Perangin-angin, dan Tarigan. Masing-masing dari kelima merga ini berkembang menjadi induk merga dan mempunyai cabang-cabang pula sehingga penyebutan suku ini dikenal dengan merga silima tutur siwaluh, yaitu 1) sukut, 2) senina, 3) sipemeren, 4) senina siparibanen, 5) kalimbubu, 6) puang kalimbubu, 7) anak beru, 8) anak beru mentri. Rakut sitelu ialah 1) kalimbubu, 2) senina, 3) anak beru.

4.4 Bahasa

Menurut Tambun (1951:65), kata Karo berasal dari kata ha + ro, artinya pertama datang (ha ‘pertama; ro ‘datang’). Kemudian, perkataan haro berubah menjadi Karo. Pendapatnya ini mungkin disesuaikan dengan tulisan (huruf) Batak. Adapun tulisan (huruf) Batak yang pertama ialah ha artinya ‘awal’.

Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi antar suku Karo disebut cakap Karo (bahasa Karo). Peranan bahasa Karo dalam pergaulan sehari-hari sangat fungsional. Pemakaiannya tidak hanya terbatas pada suku Karo tetapi juga pada suku-suku pendatang. Peranan ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan mereka, seperti di dalam rumah tangga antara sesama anggota keluarga, di luar rumah antar tetangga, di pasar, di ladang atau di sawah, tegur menegur sewaktu bertemu di jalan. Pada waktu kebaktian di gereja, bahasa Karo di gunakan pendeta dalam berkhotbah. Dalam


(38)

berdakwah di mesjid, para ustad menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Karo. Dalam surat-menyurat pribadi terlihat juga pemakaian bahasa Karo.

Meskipun para pejabat pemerintahan menggunakan bahasa Indonesia dalam pertemuan resmi, akan tetapi dalam percakapan sehari-hari di kantor-kantor pemerintah atau swasta dipergunakan juga bahasa Karo. Bahkan, pegawai pemerintah yang memberikan penyuluhan atau menerangkan kebijakan pembangunan nasional dan daerah kepada masyarakat desa biasanya menggunakan bahasa Karo.

Bahasa Karo sangat berperan dalam berbagai upacara adat, misalnya upacara meminang, perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dsb. Di dalam berbagai kegiatan seni-budaya, bahasa Karo digunakan untuk berbagai keperluan, sehingga bahasa Karo dikenal dan digunakan oleh masyarakat yang bukan berasal dari suku Karo, terutama dalam bentuk lagu berbahasa Karo. Hal ini menunjukkan kepedulian yang tinggi pada masyarakat Karo untuk menjaga dan mengembangkan pemakaian bahasa Karo.

4.5 Tradisi Sastra dan Bentuk Sastra Lisan Karo

4.5.1 Tradisi Sastra

Seperti halnya suku-suku lain yang terdapat di Indonesia, masyarakat Karo juga mempunyai sastra lisan. Sastra lisan ini mempunyai peranan dan kedudukan yang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat Karo, terutama dalam upacara adat.


(39)

Menurut Tarigan (1979:9) sastra lisan merupakan suatu tradisi pada masyarakat Karo, mempunyai peranan dan kedudukan yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Sastra lisan itu biasanya di pergunakan pada upacara-upacara adat seperti upacara melamar gadis, perkawinan, kelahiran anak, menghormati orang yang lanjut usia, kematian, penghunian rumah baru, dan pesta tahunan.

4.5.2 Bentuk Sastra Lisan Karo

Mengenai bentuk sastra lisan Karo, Tarigan (1979:9) membaginya sebagai berikut: a). Ndungndungen, sama dengan pantun yang biasanya terdiri atas empat baris,

serta bersajak a b a b. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Setiap baris umumnya terdiri atas tiga atau empat kata dan mempunyai suku kata 7 samapi 10 buah.

b). Bilang-bilang, yang berupa dendang duka, biasanaya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu yang telah meninggal dunia, meratapi kekasih idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang. c). Cakap Lumat, atau bahasa halus yang penuh dengan bahasa kias,

pepatah-petitih, perumpamaan, ndungndungen, teka-teki, dan lain-lain. Cakap Lumat biasanya dipergunakan oleh bujang (pemuda) dan gadis bersahut-sahutan pada masa pacaran di malam terang bulan atau oleh orang-orang tua pemuka adat dalam upacara, misalnya upacara meminang gadis, kepintaran bercakap lumat dapat mengalihkan utang yang menjadi piutang, seharusnya kalah, menjadi menang, seharusnya menolak lamaran, jadinya menerima


(40)

lamaran. Sungguh asyik mendengar pemuka-pemuka adat berbahasa halus bersahut-sahutan dalam upacara adat, terkadang lupa perut lapar dan hari sudah sore atau larut malam.

d). Turi-turin atau cerita yang berbentuk prosa, misalnya mengenai asal-usul merga, asal-usul kampung, cerita binatang, cerita orang-orang sakti, cerita jenaka. Biasanya diceritakan oleh orang tua-tua pada malam hari, menjelang tidur.

e). Tabas atau mantra yang umumnya hanya dukun yang mengetahuinya. Konon kabarnya, kalau mantra itu sudah diketahui oleh orang banyak maka keampuhannya akan hilang.

Dari apa yang dikemukakan oleh Tarigan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut bentuknya sastra lisan Karo itu dapat di bedakan atas tiga bentuk, yaitu (1) bentuk puisi, (2) bentuk prosa liris, (3) bentuk prosa. Yang termasuk dalam bentuk puisi ialah (1) ndungndungen, (2) cakap lumat, (3) tabas. Yang termasuk dalam bentuk prosa liris ialah bilang-bilang, yang termasuk ke dalam bentuk prosa ialah turi-turin.

4.6. Ciri-ciri Ndungndungen Karo

Ciri ndungndungen Karo sama dengan ciri pantun Indonesia. Menurut Tarigan (1979:9) ndungndungen biasanya terdiri atas empat baris sebait, dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Semi (1988:147) tentang pantun yaitu pantun terdiri atas empat


(41)

kepada dua baris berikut yang berupa isi atau maksud. Umumnya pantun mempunyai pola atau bentuk yang tetap, artinya bersusun dalam suatu sistem susunan tertentu yang tidak dapat diubah; bila diubah maka eksistensinya menjadi goyah atau hilang.

Bertitik tolak dari kedua pendapat di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ndungndungen (pantun) terdiri atas empat baris sebait, dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Baris pertama dan kedua tidak mempunyai hubungan makna dengan baris ketiga dan keempat. Ia hanya berfungsi untuk mengantarkan makna pada baris ketiga dan keempat. Ini menunjukkan bahwa pemilik (pengguna) ndungndungen ini tidak suka berterus terang untuk mengungkapkan isi hatinya. Dia selalu mencari pengantarnya, itulah yang disebut sampiran (pengantar maksud).

Menurut Tarigan (1979:9) ndungndungen Karo umumnya bersajak ab ab. Contoh :

1. Bereng-bereng kuidah

Lada jera si tangke langa Nterem jelma kuidah

Sada kena ngenca ateku ngena Artinya :

Kumbang beterbangan Lada jera tangkai lenga Banyak orang kulihat Hanya engkau yang kucintai

2. Kandi-kandindu e Pa Lawi

Page bas para tuhur

Bangku sada anakndu ena mami Sada pe la ertukur


(42)

Artinya :

Tempat airmu itu Pa Lawi Padi di atas para jemuran Untukku satu anakmu itu Mami Satupun tak bermahar

Di samping itu ada juga yang bersajak rata (aa- aa). Contoh :

1. Isuan buluh belin

Tehndu bulung pagi man rabin Adi sereh kam man parang mbelin Kam naring pagi man tami-tamin Artinya :

Ditanam bambu besar

Kamu tahu daun yang harus dibersihkan Kalau kamu kawin dengan duda

Hanya kamu nanti yang dipuja-puja

2. Mehuli page i Sabah Lulang

Ulin denga page i Bekilang Mesui tading melumang Suin denga si kita sirang Artinya :

Bagus padi di Sawah Lulang Lebih bagus padi di Bekilang Sakit hidup yatim piatu Labih sakit lagi kita berpisah

Selanjutnya Tarigan (1979 : 9) mengatakan bahwa jumlah kata pada setiap baris umumnya berkisar antara tiga sampai empat kata.

Contoh :

1. Tabu-tabu si garantang (4 kata) Isarut-sarut bengkala (3 kata) Adi mberalah untung (3 kata) Reh nge kerbo penenggala (4 kata)


(43)

Artinya :

Labu-labu yang tergantung Digigit-gigit kera

Kalau lagi beruntung

Akan datang kerbau pembajak

Jumlah suku kata pada setiap baris umumnya berkisar antara tujuh sampai sepuluh.

Contoh :

1. Bel-gang-ndu, si-bu-lung pa-ku (8 suku kata) Pa-ku la-bo lit bu-nga-na (8 suku kata)

Pan-dang-ndu, tem-pa u-sur a- ku (9 suku kata) a-ku nge a- te- ndu si nge-na-na (10 suku kata) Artinya :

Kau rebus daun pakis Pakis tidak ada buahnya Kau selalu mencaciku

Hanya aku yang paling kau cintai

2. Me-ri-ah na-tap i Pe- ra-pat (9 suku kata) Pa-gi –pa-gi lam-pas me-dak (8 suku kata) Si-ngu-da-ngu-da mba-ru mber-kat (9 suku kata) Nda-hi da-hin ke-ri-na me-jing-kat (10 suku kata) Artinya :

Ramai memandang di Perapat Pagi hari cepat bangun

Anak gadis remaja Semuanya rajin bekerja

Dalam bahasa Indonesia dikenal jenis pantun yang terdiri atas dua baris sebait yang disebut pantun dua kerat (karmina) disebut juga pantun kilat. Baris pertama pantun ini merupakan sampiran dan baris kedua berupa isinya. Rumus persajakannya adalah aa.


(44)

Contoh :

Sudah gaharu cendana pula Sudah tahu bertanya pula

Di dalam bahasa Karo, jenis ndungndungen dua kerat ini juga ditemui. Contoh 1:

Isuan galuh urat-uraten Isuan ngaruh tama perubaten Artinya :

Ditanam pisang berurat-urat Ditanam budi jadi pertengkaran Contoh 2:

Tah kurung tah labang Tah surung tah lahang Artinya :

Entah jangkrik tanah entah jangkrik lalang Entah jadi entah tidak

Contoh 3:

Sere-sere sala gundi Si arah lebe jadi arah pudi Artinya :

Serai-serai sala gundi (sejenis tumbuhan obat ) Yang di depan menjadi belakangan

Contoh 4:

Sikuning-kuningen radu megersing Siageng-agengen radu mbiring Artinya :

Saling mengasihi sama-sama jadi baik Saling menjelekkan sama-sama jadi buruk


(45)

Selain ndungndungen yang terdiri atas dua baris sebait, ada juga ndungndungen yang terdiri atas enam baris sebait. Tiga baris pertama merupakan sampiran dan tiga baris berikutnya merupakan isi.

Contoh 1: ndauh bulung gumba jera

Ndauh bulung gumba sabi

Urat perira sirintek-rintaken

Ndauh kuta kena

Ndauh kuta kami

Berita naring sisungkun-ungkunen

Artinya : Jauh daun gumba jera Jauh daun gumba sabi

Akar petai saling tarik-menarik Jauh kampung kamu

Jauh kampung kami

Hanya dapat saling bertanya berita Contoh 2: Tuhan kap empuna geluhta

Gegehta pe Ia si mberekenca

Dage tetaplah bulat ukurta

Geluhta pe lalap min erguna

Lagu langkah pe la sia-sia

Gelar Tuhanlah ermulia

Artinya : Tuhanlah yang empunya hidup kita Kekuatan kita pun Dia yang memberikan Jadi tetaplah penuhi hati kita

Hidup kita teruslah berguna Kelakuan pun tidak sia-sia Nama Tuhan tetaplah terpuji

4.7. Macam/Ragam Ndungndungen Karo

4.7.1 Ndungndungen Anak-Anak

Contoh : Ari Selasa Tiga Binanga Mate ersepah kambing bajar Tupung kita kitik denga Tutus min ateta erlajar


(46)

Artinya : Hari Selasa Pasar Tiga Binanga Mati berkelahi kambing jantan Pada waktu kita masih kecil Kita harus rajin belajar

Ndungndungen di atas ditujukan kepada anak sekolah agar rajin belajar supaya tidak mendapat malu.

Contoh yang sama dapat juga kita lihat dalam ndungndungen berikut : Cimen si molah-molah

Palu-palu si Kutabuluh Adi kita nggo sekolah Mela malu kita la beluh Artinya : Mentimun yang bergantungan

Pemukul dari Kutabuluh Kalau kita sudah sekolah Malu kalau kita tak pandai

Ndungndungen di atas biasanya dinyanyikan oleh anak sekolah sebelum pelajaran dimulai sebagai peringatan (nasehat) agar rajin belajar lebih-lebih pada waktu masih kecil karena kalau sudah besar baru belajar, kita akan ketinggalan.

4.7.2 Ndungndungen Anak Muda

Contoh : Bereng-bereng kuidah

Lada jera si tangke lenga

Nterem jelma kuidah

Sada kena ateku ngena

Artinya : Kumbang berterbangan Lada jera si tangkai lenga Banyak orang kulihat Hanya engkau yang kucinta


(47)

Dahulu dalam bercinta muda-mudi menggunakan ndungndungen untuk menyatakan isi hatinya. Hal itu dapat di lihat pada ndungndungen di atas yang mana seseorang telah mengungkapkan perasaan cintanya kepada orang lain. Dia menyampaikan perasaan cintanya melebihi dari perasaan apapun, biasanya dalam bercinta ini akan terjadi gayung bersambut. Kadang-kadang ndungndungen ini dinyanyikan berbalas-balasan antara wanita dan pria. Ndungndungen di atas akan dilanjutkan dengan ndungndungen berikut :

Contoh : Cike lambang bungana

Lada jera gula batuna

Ise pe lagunana

Sada kena nomor satuna

Artinya : Pandan tikar tidak berbunga Lada jera gula batunya Siapapun tidak berguna Hanya engkau nomor satunya

Ndungndungen di atas akan dijawab dengan ndungndungen berikut : Contoh : Sudu panta ni gelas

Lau mencirem batu niuras

Adi tuhu kata nibelas

La pe minem la aku muas

Artinya : Batok fanta di gelas

Sungai Mencirem batu dikuras Jika benar kata diucapkan Tidak pun minum aku tak haus Contoh : Matawari si pukul siwah

Deleng sinabung mbun kertahna

Sada wari kena la kuidah

Timbang setahun kuakap dekahna

Artinya : Matahari pukul sembilan


(48)

Satu hari engkau tak kulihat Sudah setahun kurasa lamanya

Setelah selesai bercinta maka akan dilanjutkan ke pernikahan. Selanjutnya laki-laki akan menayakan apakah kekasihnya sudah bersedia dilamar. hal ini akan ditanyakannya dengan ndungndungen.

Contoh : Page megersing kuta Perbulan Tama ku sumpit lesung nutusa Bage dekahna kita enggo erkuan Lenga bo lit ujung tampukna Artinya : Padi kuning kampung Perbulan

Taruh kesumpit lesung menumbuknya Sudah begitu lama kita bercinta Belum ada ujung pangkalnya

Ndungndungen ini akan dijawab oleh wanita sebagai berikut : Contoh : Kuta suah paksana nuan

Maba pia rikutken jambe Suari berngi kena kuinget

Banci min kena si ngumban nande Artinya : Kampung Suah sedang menanam

Membawa bawang merah dengan labu Siang malam abang kuingat

Bolehlah abang yang menggantikan ibu Contoh : Semangat gunung launa melas

Ingan gawah-gawah singuda-nguda anak perana Ula metersa kata ibelas

Erkadiola la lit gunana

Artinya : Gunung Semangat airnya panas Tempat wisata pemuda pemudi

Jangan terlalu cepat mengucapkan kata Menyesal di belakang hari tidak berguna


(49)

Ndungndungen ini akan dijawab pula oleh pria Contoh : Pengukuringku nggome mbages Tektekken ketang di la percaya Palana sirang lau ras beras Maka sirang kita duana

Artinya : Sudah kupikirkan matang-matang Aku bersumpah bila tak percaya Kalau berpisah air dan beras Baru kita berdua berpisah

Ndungndungen ini akan dijawab pula oleh wanita : Contoh : Merga si lima tutur si waluh

Ipeteguh rakutna telu

Tuhu kin ngena ate bas pusuh Baba dagena anak berundu

Artinya : Merga yang lima tutur yang delapan Diperkuat ikatannya tiga

Kalau benar abang cinta Bawalah sanak keluarga 4.7.3 Ndungndungen Orang Tua

Contoh : Pucuk taruk jambe buahna Labo seri ras buah tabu Enggo tumbuk kita bagenda Kai dagena pemindonndu Artinya : Pucuk labu buahnya labu

Tidak sama dengan buah tabu Kita sudah nikah begini Apa pula permintaanmu

Ndungndungen di atas diucapkan oleh suami, lalu dijawab oleh istri sebagai berikut :

Contoh : Batang tebu ngawanna nggedang Batang sere mecur bulung na


(50)

Pemindonku si pemena turang Pasang KB anak cukup dua Artinya : Batang tebu ruasnya panjang

Batang serai kecil daunnya Permintaanku yang pertama bang Pasang KB anak cukup dua

Ndungndungen di atas akan dijawab suami pula sebagai berikut : Contoh : Batang sere telu seranting

Idayaken seh ku Jakarta Soal KB tuhu penting

Sini programken pemerintahta Artinya : Batang serai tiga seikat

Dijual sampai ke Jakarta Soal KB memang penting

Yang diprogramkan oleh pemerintah kita Ndungndungen di atas akan dijawab pula oleh istri : Contoh : Brakbiken si buah rimo

Kenca ridi baba ku tiga Peduaken aku mindo Ula erjudi ula erlua-lua Artinya : Berjatuhan buah jeruk

Setelah mandi bawa ke pasar Kedua yang kuminta

Jangan berjudi jangan main perempuan Akan dijawab pula oleh suami :

Contoh : Bahan cimpa nanamna meketket Legi balutna ku deleng singkut Uga nisura, bage nidapet Asal lanai kena mekutkut Artinya : Buat kue rasanya enak

Ambil bungkusnya ke gunung singkut Keinginanmu akan kulaksanakan


(51)

Ndungndungen di atas akan dijawab pula oleh istri sebagai berikut : Contoh : Ula kita siageng-agengen

Ngerana babah manjar-anjar

Marilah kita sikuning-kuningen

Radu robah kita pekepar

Artinya : Janganlah kita saling menyalahkan Mulut berbicara pelan-pelan Marilah kita berbaik-baikan Masing-masing kita berubah 4.7.4 Ndungndungen yang Berisi Sindiran

1.Sindiran kepada ibu

Contoh : Jambe jemborat

Jering sada baka

Nande la rorat

Ngena ate bapa

Artinya : Labu ke labu Jengkol satu baku Walau ibu tidak baik Ayah mencintainya

Ndungndungen di atas berisi sindiran kepada ibu-ibu yang tidak baik terhadap keluarga sehingga anak-anaknya menyindir ibunya yang menyatakan bahwa walaupun ibunya tidak baik, tetapi ayah mereka mencintainya.

2.Sindiran kepada orang yang egois

Contoh : Gundera salak gundera

Buluh belin kubenteri

Kutera kalak kutera

Beltekku mbelin kubesuri

Artinya : Bawang salak bawang Bambu besar kulempari Bagaimana orang bagaimana Perutku besar kukenyangi


(52)

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada orang yang egois yang tidak memperdulikan orang lain, yang penting dia mendapat keuntungan walaupun orang lain menderita.

3.Sindiran kepada orang yang tidak baik budi pekertinya Contoh : Mejile tuhu bunga ndapndap

Rupa megara la erbau

Mejile tuhu rupandu i tatap

Tapi pacik kena erlagu

Artinya : Sungguh cantik bunga ndapndap Rupa merah tak berbau

Sungguh cantik wajahmu dipandang Tetapi busuk tingkah lakumu

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada orang yang manis tutur sapanya, tetapi buruk budi pekertinya.

4.Sindiran kepada orang yang pemalas

Contoh : Keteng-keteng pengulu Bukit

Nca keteng lanai ngasup muit

Artinya : kenyang-kenyang penghulu Bukit Setelah kenyang tak mampu bergerak

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada orang yang pemalas, maunya hanya makan saja, tetapi bila disuruh bekerja ia enggan bergerak.

5.Sindiran kepada orang yang tidak kawin-kawin Contoh : Erpurih bulung binara

Buluh belin batang buhara

Kumalih gundari nggo bicara

Lakon parang mbelin asangken anak perana


(53)

Artinya : Berlidi daun binara

Bambu besar pohon buhara

Berbalik sekarang sudah zaman Lebih laku duda daripada jejaka

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada anak muda yang tidak kawin-kawin sehingga usianya sudah cukup tua namun tak kawin-kawin sedangkan duda begitu ia lamar wanita terus jadi.

6.Sindiran kepada anak dara

Contoh : Isuan buluh belin

Tehndu bulung pagi marrabin

Adi sereh kita man parang mbelin

Kita naring man tami-tamin

Artinya : Ditanam bambu besar

Daun nanti yang akan dipotong Kalau kita kawin dengan duda Hanya kita yang akan dibelai-belai

Ndungndungen di atas ditujukan kepada anak dara yang kawin dengan duda, pasti ada maksud sehingga mau kawin dengan duda.

7.Sindiran kepada janda/perawan tua Contoh : Suan bulung binara

Bulung-bulung man rabin

Sereh kita man anak perana

Kita naring latihen erdahin

Artinya : Ditanam daun binara Daun-daun yang dipotong Kalau kita kawin dengan jejaka Kita yang akan letih bekerja

Ndungndungen di atas ditujukan kepada janda/perawan tua yang kawin dengan jejaka yang lebih muda dari dia pastilah dia akan bertanggung jawab kepada


(54)

kebutuhan rumah tangga. Sehingga, dia harus bekerja keras sementara suaminya goyang kaki di rumah.

8.Sindiran kepada orang yang tidak memiliki kasih Contoh : Adi turah kayu i deleng

Melala ka nge kayu erduri

Adi labo lit ate keleng

E tambah me ate mesui

Artinya : Kalau tumbuh kayu di bukit Banyak juga kayu yang berduri Kalau tidak ada rasa sayang Bertambahlah rasa sakit

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada orang yang

tidak pernah memperlihatkan kebaikan, atau kasih sayang kepada sesama. Pada suatu saat nanti ia pasti memperoleh kesusahan, setidak-tidaknya ia juga tidak akan diperhatikan orang lain.

9.Sindiran kepada muda-mudi

Contoh : Baba cekala ku Jaranguda

Jelma aron si nuankenca

Singuda-nguda gundari enda

Nina ku salon ngenca dahinna

Artinya : Bawa asam patikala ke Jaranguda Manusia aron yang menanamkannya Anak gadis sekarang ini

Katanya hanya ke salon kerjanya

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada anak gadis yang tidak suka bekerja, kesenangannya hanya berhias. Ndungndungen ini biasanya yang mengucapkannya laki-laki dan akan dibalas oleh perempuan dengan ndungndungen


(55)

Mbelang bulungna batang kembiri

Cinep enggang babo dahanna

Anak perana zaman gundari

Bukna nggedang mbue kutuna

Artinya : Lebar daunnya pohon kemiri Hinggap enggang di atas dahannya Anak muda zaman sekarang Rambutnya panjang banyak kutunya

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada anak muda yang berambut panjang. Ndungndungen ini akan di balas pula oleh pemuda sebagai berikut :

Batang paku i tengah juma

Gulenta ciger ula adumi

Pandangindu pe aku enda

Tapina aku nge atendu jadi

Artinya : Pohon pakis di tengah ladang Gulai kita siang jangan bumbui Kau caci pun aku ini

Tetapi aku yang kau cintai

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada anak gadis yang suka mencaci orang (pemuda) idaman hatinya dan ndungndungen di atas akan di jawab pula oleh anak gadis sebagai berikut :

Page enda mbentar berasna

I negeri Siam nari ilegi

Bagi kena enang anak perana

Tiap jam banci sambari

Artinya : Padi ini putih berasnya Dari negeri Siam diambil Pemuda seperti engkau itu Tiap jam bisa diganti


(56)

Ndungndungen di atas berisi sindiran dari anak gadis yang ditujukan kepada anak muda lawannya berndungndungen lalu dijawab pula oleh anak muda dengan ndungndungen sebagai berikut :

Contoh : Singuda-nguda anak perana

La sipandangen mesui takalna

Ula metuda kam ngerana

Kutadingken kam munuh bana

Artinya : Gadis pemuda

Kalau tak bersindiran sakit kepalanya Kamu jangan sombong bicara Kutinggalkan kau bunuh diri

Ndungndungen di atas berisi sindiran dari anak muda yang ditujukan kepada anak gadis yang sombong agar hati-hati bicara terhadap pacarnya karena kalau ditinggal pacar dia bisa bunuh diri, lalu akan dibalas pula oleh anak gadis sebagai berikut : Contoh : Patikala telu seringgit

Kubuniken i duru sapo

Bicara la kin aku nggit

Asa ndigan pe la kam empo

Artinya : Patikala tiga seringgit Kusimpan di dekat gubuk Kalau aku tak mau

Sampai kapanpun engkau tak kawin

Ndungndungen di atas berisis sindiran dari anak gadis yang ditujukan kepada anak muda lawannya berndungndungen bahwa kalau ia tidak mau kawin dengan pemuda tersebut, dia bisa jadi duda seumur hidup.

10. Sindiran kepada orang yang menyalahgunakan bahasa Contoh : Adi upih perpangan suari


(57)

Nggo canggih jelma gundari

Mamak nina ngataken nande

Artinya : Kalau upih tempat makan siang Jangan lupa menggiling cabai serai Sudah canggih manusia sekarang Mamak katanya memanggil ibu

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada orang yang menyalahgunakan penggunaan bahasa Karo karena menggunakan bahasa yang bukan bahasa Karo pada waktu memanggil ibu.

11. Sindiran kepada orang yang menyalahgunakan adat Contoh : Taneh kendit turah batang pinang

Meledang seh kal bage tunggung na

Singuda-nguda rabit buk gedang

Mela, talu zaman nina erkata bana

Artinya : Tanah rata tumbuh pohon pinang Lurus bukan main indahnya

Anak gadis bersarung, rambut panjang Malu, ketinggalan zaman katanya

Ndungndungen di atas berisi sindiran yang ditujukan kepada orang-orang yang menyalahgunakan adat, karena anak gadis yang rambutnya panjang, memakai sarung pula dia, bukan main manisnya, tetapi sudah banyak anak gadis tidak mau lagi memakai sarung, tak mau lagi berambut panjang. Padahal kalau memakai sarung di depan orang tua, alangkah indah dan sopan dipandang mata.

Ndungndungen yang sejalan dengan ndungndungen di atas sebagai berikut : Contoh : Nai laris madras India

Gundari nterem ndedah film India

Mela rabit adi si nguda-nguda


(58)

Artinya : Dahulu laris madras India

Sekarang banyak menonton film India Malu bersarung kalau anak gadis Ketingggalan zaman kata hatinya Contoh : Remang mekapal erpagi-pagi

Natap ndauh labo teridah

Nini bulang pe lanai beluh ersuri

Paken gundari bagi kalak Eropah

Artinya : Kabut tebal pagi hari

Memandang jauh tidaklah tampak Nenek pun tak tahu lagi bersisisr Pakaian sekarang seperti orang Eropah 4.7.5 Ndungndungen yang Berisi Nasib

Contoh : Kopor-kopor kapias

Tengkulak i babo batu

Nterem jelma perliah

Labo piga si bagi aku

Artinya : Rantang-rantang kapias Topi di atas batu Banyak orang sial Tak seberapa seperti aku

Ndungndungen di atas menggambarkan nasib orang tidak berhasil di dalam hidupnya. Dia membandingkan nasibnya dengan nasib orang lain yang juga tidak beruntung tetapi nasibnya lebih buruk.

Contoh lain: Cuam si kurting-kurting

Urat nu piso-piso

Dat emas megersing

Ulih nu mindo-mindo

Artinya : Cangkol sikurting-kurting Urat piso-piso


(59)

Ndungndungen di atas menggambarkan nasib pengemis. Walaupun orang tersebut memperoleh emas kuning yang mahal harganya, namun hal itu bukan hasil bekerja keras, tetapi hasil mengemis.

Contoh : Sibakut liang kurkuren

Ise ndia beluh nggulesa

Adi serbut perukuren

Ise ndia beluh pejoresa

Artinya : Ikan lele liang dikorek

Siapakah yang pandai menggulainya Kalau susah pikiran

Siapakah pandai menghiburnya

Ndungndungen di atas berisi pertanyaan tentang siapakah yang dapat menghibur hati yang susah.

4.7.6 Ndungndungen yang Berisi Humor

Contoh : Gelat-gelat kelawes

Gembur-gembur Lau Biang

Gelap-gelap kena lawes

Ola tertumbur kotor kucing

Artinya : Potong-potong lengkuas Tidak jernih air Sungai Biang Gelap-gelap kamu pergi Jangan tersepak tahi kucing

Ndungndungen di atas diucapkan sebagai peringatan, tetapi disampaikan dengan cara berseloroh (humor) kepada teman yang mau berangkat pada waktu malam agar hati-hati supaya jangan terpijak kotoran kucing.

Contoh lain : Ampar gedung si capah

Pelin-pelin gadung si arang

Nterem anak perana gajah


(60)

Artinya : Terletak ubi si capah Melulu ubi si arang

Banyak jejaka Kampung Gajah Semuanya tukang keranjang

Ndungndungen di atas ditujukan kepada jejaka kampung gajah sebagai sindiran humor agar jejaka kampung gajah lebih bersemangat bekerja sehingga dapat menaikkan tingkat pekerjaannya dari tukang keranjang ke tukang yang lain.

Contoh lain : Cuan si biluk-biluk

Kucucukken teruh tarum

Tempana aku terpiluk

Kusempul pe nggo malem

Artinya : Cangkul si biluk-biluk Kusimpan di bawah atap Nampaknya mataku tercucuk Kuhembus saja pun sudah sembuh

Ndungndungen di atas menunjukkan kehebatan seseorang dalam mengobati matanya. Hanya dengan menghembuskan nafasnya, matanya dapat sembuh. Biasanya ndungndungen ini disampaikan dengan rasa humor.

4.8 Struktur Linguistik Ndungndungen Karo

Sintaksis adalah bidang tata bahasa yang membicarakan seluk beluk kalimat dan hubungan antar unsur di dalam kalimat (Sibarani 1997 :11). Frase adalah kelompok kata yang secara deskriptif berfungsi sebagai satu unsur sintaksis dalam kalimat (Sibarani 1997 :14). Klausa adalah sebuah konstruksi predikatif yang merupakan bagian kalimat (Sibarani 1997:48) Dalam hal ini penulis akan


(61)

Ndungndungen Karo dibentuk oleh kata-kata dalam bahasa Karo sehingga bentuk ndungndungen itu harus dibahas sesuai dengan bahasa Karo. Maka, pengidentifikasikan frase dan klause dalam setiap baris ndungndungen tidak didasarkan pada penulisan arti kata dalam terjemahan bahasa Indonesia, melainkan pada penulisan kata yang masih dalam bahasa Karo. Frase yang akan diidentifikasi dalam ndungndungen ini adalah frase eksosentris yang terdiri atas frase preposisi serta frase endosentris yang terdiri atas frase modifikatis (frase nominal, frase verbal, frase ajektival, frase adverbial, dan frase numerial) frase koordinatif serta frase apositif.

4.8.1 Frase Dalam Ndungndungen Karo

Frase dalam Ndungndungen Karo itu adalah sebagai-berikut: 1. Erkata gendang ertongtih-tongtih

Sora sarune anggukna medate FN

Persadanta teridah sempa arih FV Pusuh salang, malem ka ate FK

Artinya:

Berkata gendang bertalu-talu Suara seruling mengalun merdu Perkumpulan kita terlihat bersatu padu Hati lapang, bergembira pula


(62)

2. Bola itipak kabang kulebe Siayak-ayaken jelma ndatkenca

Adi ersada penggejapen keguluten pe bene FP FV Baban simbue pe la siakap mberatsa

FAd Artinya:

Bola di sepak terbang ke depan

Berkejar-kejaran orang mendapatkannya Kalau hati bersatu, kesusahan pun hilang Pergumulan yang berat pun jadi ringan 3. Kerbo gunduk tandukna kuteruh

FN

Tatapna lau meciho terinemsa lau megembur FN FN Sijaga gelah perpulungenta tetap meteguh

FP FAd Persadan ukur ola sempat luntur FAd Artinya:

Kerbau gunduk tanduknya ke bawah

Dipandangnya air jernih terminumnya air gembur Kita jaga supaya persatuan kita tetap kuat

Bersatu hati jangan sempat luntur 4. Megersing langsat adi enggo tasak

FAj FP Buah bas-bas melintang dingen piher FN FK Adi kerangapen doni kupusuhta ngasak

FP

Pusuh la dame, tendinta pe keliper FAd FAd Artinya:


(63)

Kalau keserakahan dunia memenuhi hati Hati tidak damai jiwapun tidak tenang. 5. Enda kerakap turah babo batu

FN FP

Ngeluh erpala-pala mate terbiar-biar Adi la lit dame i tengah jabu

FP FP

Latih ras mberat aminna erta doni simpar FK FP

Artinya:

Ini kerakap tumbuh di atas batu Hidup segan mati tidak berani

Kalau tidak ada damai dalam keluarga Capek dan berat walau banyak harta 6. Isuan kentang i juma tuhur

FP Buahna tuhu kebelgahen

FAd

Ate meriah pegedang umur FN

Ate lesek erbahanca ayo kerah-kerahen FN FN Artinya:

Ditanam kentang di ladang tuhur Buahnya benar-benar besar

Hati gembira memperpanjang umur Hati yang susuh membuat muka kusam 7. Itengah peken pajek ije kuburen

FP FN Biang rubati sorana gerupuh

Adi nggeluh enda la sieteh tumburen FP FV FN

Tupung medem pe la banci entabeh tunduh FV FV


(64)

Artinya:

Di tengah ladang ada kuburan Anjing berkelahi suaranya menyalak Kalau hidup ini tidak tahu arah/arti Selagi tidurpun tidak nyenyak 8. Adi ipen kurang mesera nemburi

FP FV

Adi mesui mata ngenen pe mesilo FP

Siman jagan ibas perpulungen ola nggemburi FP FP FV Bagepe la man pelajaren nggit kal mindo-mindo FP FV

Artinya:

Kalau gigi kurang, susah menyembur Kalau mata sakit, melihatpun silau

Yang dijaga dalam perkumpulan jangan membuat kacau/ribut Juga jangan belajar suka meminta-minta

9. Nduldul kepeken mata kepiting FN

Seding jine perdalan sige bas lau anak FP

Adi sibegi kalak ngerana ola min kita kuliting FP FP

Gelah sinuri-nuri pe ngarana ola papak FP FP

Artinya:

Menjolok keluar rupanya mata kepiting Miring jalannya dalam sungai kecil

Kalau orang bicara kita jangan ikut gelisah Supaya yang bicara tidak merasa terganggu 10. Deher kuta turah ije batang nabar

FP FN

Bulungna sikerah ndabuh iembus angin FN


(65)

Pengarana si mereken keriahen desken tambar

FV FP

Pengerana si la erpepah simegisa pa banci magin

FV FP

Artinya:

Dekat kampung tumbuh pohon nabar Daun yang kering jatuh dihembus angin Berbicara yang baik sama seperti obat Berbicara tidak baik bisa membuat sakit 11. Kabang ndukur bulung ibas tubina

FN

Kabang leto rembang la rikur FN

Kai pe si oge buatlah simehulina FV FV

Gelah ola ibas pusuhta lit lalap ertempur FP FAd Artinya :

Terbang tekukur daunnya di mulutnya Terbang Beo tidak berekor

Apapun yang kita baca ambillah yang baiknya Supaya dalam hati kita tidak ada kekacauan 12. Ampar sekin ibabo tungkul

FP

Galang buahna jaung duru embang FAd FP Jumpa ras teman la kita ndul-ndul FP FV

La megelut aminna gia kena pandang FP FN FV Artinya:

Parang terletak di atas tungkul Buahnya besar jagung di tebing

Jumpa sama teman jangan menonjolkan diri Tidak sakit hati walau kita dikritik


(66)

13. Ngikut-ngikut lau ku juma Tanjung FP Ingan perlajangen i Deleng Babo

FP La erguna adi pendahin tanggung FV FP

Patuh ras tutus maka enggo payo FK FAd Artinya :

Mengikuti air ke Kampung Tanjung Tempat merantau di Gunung Babo

Tidak berguna kalau bekerja setengah-setengah Sungguh-sungguh dan serius baru benar

14. Mbelang jaung i kuta Lau Baleng FP

Jaung perik tuhu nanamna melam FN FV

Adi ngerana ula meganjang FP FAj

Adi cian pe ate kalak ula dendam FP FAj Artinya:

Luas jagung di Lau Baleng Jagung burung enak rasanya Kalau bicara jangan tinggi

Kalau cemburupun orang jangan dendam 15. Enda geriten i segerat Lembu

FN FAp

Lembu luah tendengna kembiri FK

Adi encakapken kalak mekelpu FP

Lupa me kita pekena diri FAd


(67)

Kalau menceritakan orang enak rasanya Lupa untuk memperbaiki diri

16. Lawes ndurung ku Paya Galumpang FP

Serap cih, serap nurungna

Sikeleng-kelengen kita ersenina erturang FK

Gelah persadanta ertunggungna FP

Artinya :

Pergi mengail ke Paya Galumpang Sisihkan siput, sisihkan ikan Saling menyayangi kita bersaudara Supaya persatuan kita semakin kuat 17. Lawes aku ku lau ikur-ikur

FP

Kuidah bendoran salih rupana Adi ngidah lagunta kalak ercidur FP

Siobah lagunta maka erguna FV Artinya:

Aku pergi ke sungai ikur-ikur Kulihat bunglon berganti rupa

Kalau melihat tingkah kita orang meludah Kita rubah tingkah kita baru berguna 18. Ula situngkat sapo si la ronde

FP

Mbulan arah ujungna ikur bernawit FAd FN

Mekatep pengatur orang tua jabu anakna murde FP FN

Simehuli orang tua cukup jadi wasit FN FV


(68)

Artinya :

Jangan di tongkat gubuk yang tidak reot Pucat ujungnya ekor kera

Kadang-kadang karena orang tua rumah tangga anak menjadi kacau Yang baik orang tua cukup mengontrol saja.

Frekuensi pemakaian frase yang terkandung dalam setiap baris 18 ndungndungen Karo di atas dapat dibuat dalam bentuk tabel sebagai-berikut:

Tabel 1 : Frekuensi Pemakaian Frase dalam Ndungndungen Karo

Frekuensi Pemakaian

No. Jenis Frase

Singkatan

Frase Jumlah Persentase

1 Frase Preposisi FP 40 55,56

2 Frase Nomina FN 19 26,39

3 Frase Verbal FV 16 22,22

4 Frase Adverbial FAd 10 13,89

5 Frase Koordinatif FK 6 8,33

6 Frase Ajektival FAj 3 4,17

7 Frase Apositif FAp 1 1,39

8 Frase Numerial FN 0 0,00

Sumber : Diolah dari data penelitian Ndungndungen Karo yang mencerminkan nilai-nilai Sosial


(69)

Berdasarkan distribusi frase pada setiap baris ndungndungen di atas, frase preposisi yang paling banyak dipakai oleh penutur ndungndungen Karo. Frase preposisi memiliki frekuensi pemakaian 40 kali dari 18 ndungndungen yang menjadi contoh pembahasan aspek sintaksis ini. Akan tetapi, ndungndungen Karo tidak ada frase numeral.

4.8.2 Klausa dalam Ndungndungen Karo

Klausa yang terkandung dalam ndungndungen Karo adalah klausa berdasarkan jenis predikatnya. Menurut Sibarani (1997:64-70) klausa ini dibagi dua jenis, yaitu klausa verbal dan klausa nonverbal. Klausa verbal terbali lagi menjadi klausa transitif, klausa intransitif, dan klausa semitransitif. Ndungndungen dan klausa yang terkandung di dalamnya adalah sebagai-berikut:

1. Erkata gendang ertongtih-tongtih KT KN

Sora sarune anggukna medate KS

Persadanta teridah sempa arih KI

Pusuh salang, malem ka ate KI Artinya:

Berkata gendang bertalu-talu Suara seruling mengalun merdu Perkumpulan kita terlihat bersatu padu Hati lapang, bergembira pula

2. Bola itipak kabang ku lebe KS KI

Siayak-ayaken jelma ndatkenca KI KT


(1)

6.2 Saran

1. Sebagai generasi penerus bangsa penulis menghimbau untuk melanjutkan penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan dan mendokumentasikan hasil-hasil sastra daerah agar tidak punah dari bumi Indonesia. Karena kita ketahui pentingnya karya sastra itu. Dalam hal ini ndungndungen Karo demi persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Masyarakat Indonesia khususnya Karo seharusnya mengetahui kembali

tentang ndungndungen Karo karena dengan mengetahui ndungndungen Karo bukan berarti menghambat kemajuan jaman dan teknologi kita. Tapi dengan

mengetahui ndungndungen Karo dapat memperkaya khasanah

perbendaharaan kita dalam berbicara dan berbahasa. Juga dapat memperluas wawasan berpikir dan batin kita. Dengan demikian, kita dapat melestarikan sastra lisan kita.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresisasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru

Arikunto, Suharsini. 1996. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Bangun, Teridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan Merga Si Lima.

__________ 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Indayu Press

Danadjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafitipers. Djaka. 1953. Rangkuman Ilmu Mendidik. Jakarta: Mutiara

Fokkema, D.W dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

_________ 2003 (a). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ginting, Herlina 1998. Deskripsi Ndungndungen Karo. Medan: Hasil Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Halim, Amran. 1981. Bahasa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta: Balai Pustaka

Keraf, Gorrys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah

Koentjaraninggrat. 1978. Methode-methode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Levinson, C. Stephen. 1983. Pragmatic. Cambridge University Press. Milner, Max. 1992. Freud dan Interprestasi Sastra. Jakarta: Intermasa.


(3)

Nababan. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Prinst, Darwan dan Darwin Prinst. 1985. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Yogyakarta : CV. Yrama.

Prinst, Darwin. 1996. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________________ 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.

Sibarani, Robert. 1997. Sintaksis Bahasa Batak Toba. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Sitepu, Sempa, dkk. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: ‘Bali’ Scan & Percetakan Surakhmad. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Ternate.

Sukapiring, Peraturen, dkk. 1985. Kamus Karo–Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tambun, P. 1951. Adat Istiadat Karo. Jakarta : Pusat Bahasa

Tarigan, Henry Guntur. 1980. Bahasa Karo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_________ 1979. Sastra Lisan Karo. Jakarta : Pusat Bahasa.

_________ 1990. Seri Turi-turin Karo. Bandung: Yayasan Merga Silima. _________ 1991. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1982. Khasanah Sastra Indonesia. Bandung : Balai Pustaka


(4)

_________ 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Bandung: Karya Nusantara

Temyang, A.M. Arifin, dkk. 1973. Risalah Didaktis. Seri Pertama. Jakarta: Sapta Darma.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Verhaar. 1988. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wellek, Rene dan Warren Austin. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.


(5)

Lampiran 1

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Adil Sembiring

Umur : 56 tahun

Pekerjaan : PNS

Agama : Kristen

Bahasa yang dikuasai : Karo

Pendidikan : BA

Alamat : Desa Perteguhen Kecamatan Simpang Empat

Kabanjahe

2. Nama : Podiati Br. Karo

Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Guru Swasta

Agama : Kristen

Bahasa yang dikuasai : Karo

Pendidikan : SPG

Alamat : Desa Perteguhen Kecamatan Simpang Empat

Kabanjahe

3. Nama : Selamat Tarigan

Umur : 58 tahun

Pekerjaan : Bertani

Agama : Kristen

Bahasa yang dikuasai : Karo

Pendidikan : SMP

Alamat : Desa Surbakti Kecamatan Simpang Empat


(6)

4. Nama : Alim Sembiring

Umur : 57 tahun

Pekerjaan : Guru Swasta

Agama : Kristen

Bahasa yang dikuasai : Karo

Pendidikan : SPG

Alamat : Desa Surbakti Kecamatan Simpang Empat

Kabanjahe

5. Nama : Nganimi Br. Sitepu

Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Bertani

Agama : Kristen

Bahasa yang dikuasai : Karo

Pendidikan : SMP

Alamat : Desa Perteguhen Kecamatan Simpang Empat

Kabanjahe

6. Nama : Kongsi Ginting

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : Bertani

Agama : Kristen

Bahasa yang dikuasai : Karo

Pendidikan : SMP

Alamat : Desa Surbakti Kecamatan Simpang Empat