Analisis Keragaman Genetik Klon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Plasma Nutfah PT. Socfindo Menggunakan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guinneensis Jacq.) merupakan tanaman penghasil
minyak nabati kedua terbanyak di dunia setelah tanaman kedelai, di Indonesia
sendiri kelapa sawit menjadi sumber nabati utama serta menjadi sumber
pendapatan dan devisa Negara Indonesia. Dari tahun ke tahun luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami kenaikan yang disertai dengan
kenaikan nilai produksi CPO (Crude Palm Oil). Pada tahun 2016 luas areal
tanaman kelapa sawit Indonesia mencapai 11.914.449 ha dan produksi
33.229.381 ton. Hingga akhir tahun 2017 sendiri, baik luas areal maupun produksi
total nasional diestimasi akan mengalami kenaikan masing-masing menjadi
12.307.667 ha dan 35.359.384 ton (Ditjenbun, 2016).
Trend positif kenaikan produksi CPO saat ini tidak terlepas dari usaha
produksi bibit unggul kelapa sawit melalui kegiatan pemuliaan, salah satunya
persilangan antar tetua yang teridentifikasi memiliki karakter yang diinginkan.
Disisi lain, persilangan akan menyebabkan terjadinya segregasi gen-gen tetua
sehingga tidak jarang dijumpai bahwa heterogenitas progeni masih cukup tinggi.
Implikasinya adalah karakter yang ada pada tetua mungkin saja tidak dijumpai
lagi pada keturunannya, hal ini juga turut menjadi permasalahan dalam kegiatan
persilangan itu sendiri yaitu dalam mempertahankan koleksi plasma nutfah tetua
yang
telah
teridentifikasi
memiliki
karakter
unggul
yang
diinginkan
(Mgbeze and Iserhienrhien, 2014).
Berdasarkan
permasalahan
tersebut
maka
dikembangkan
metode
perbanyakan kelapa sawit secara in vitro melalui kultur jaringan yang telah
Universitas Sumatera Utara
2
dimulai sejak tahun 1740-an. Namun pada saat itu kurang berkembang karena
diketahui bahwa klon kelapa sawit hasil kultur jaringan mengalami variasi
somaklonal baik yang bersifat genetik (diwariskan) maupun epigenetik (tidak
diwariskan). Perubahan ini meliputi perubahan jumlah kromosom dan stuktur
DNA yang menyebabkan abnormalitas pada buah dan bunga terutama munculnya
buah bersayap (mantled fruit) yang memiliki rendemen minyak rendah. Beberapa
hal yang teridentifikasi sebagai penyebab variasi somaklonal tersebut diantaranya
adalah : genotip bahan tanam (Soh et al., 2011; Eeuwens et al., 2002),
Konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh (Duval et al., 1988; Sogeke, 1998),
lama periode kultur (Corley et al., 1986; Rohani et al., 2003), fase kultur kalus
(Jaligot et al., 2000) dan media yang digunakan (Evans et al., 2003;
Morcillo et al., 2006).
Heterogenitas hasil persilangan maupun variasi somaklonal hasil kultur
jaringan kelapa sawit ini secara fenotipik hanya akan bisa terlihat secara jelas
beberapa tahun setelah tanam, pada saat tanaman mulai berbunga dan berbuah.
Hal ini menjadi permasalahan karena budidaya kelapa sawit merupakan usaha
jangka panjang yang memerlukan modal awal yang cukup besar. Sehingga
perusahaan akan mengalami kerugian yang sangat besar apabila tanaman yang
ditanam di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Artinya,
produsen bibit unggul kelapa sawit memiliki tanggungjawab besar untuk
memberikan jaminan bahwa bibit yang digunakan bermutu tinggi (Pahan, 2006).
Dalam usaha deteksi dini abnormalitas ataupun keberadaan gen pembawa
karakter spesifik yang diinginkan pada bibit kelapa sawit dapat dilakukan
menggunakan marka molekuler DNA. DNA merupakan substansi kimia yang
Universitas Sumatera Utara
3
bertanggungjawab dalam pewarisan sifat yang dapat dijumpai hampir di semua sel
organisme. Marka molekuler ini memiliki keuntungan dibandingkan dengan
penanda morfologi, yaitu stabil dan dapat dideteksi dalam semua jaringan
tanaman, serta tidak dipengaruhi oleh lingkungan (Zulfahmi, 2013).
Salah satu jenis marka molekuler yang umum digunakan untuk mendeteksi
variasi genetik adalah marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Pada
teknik RAPD segmen DNA yang diamplifikasi bersifat acak, hanya menggunakan
primer berantai pendek yang terdiri atas 10-12 nukleotida, tidak diperlu diketahui
sekuens DNA target. Hal ini membuat marka RAPD cukup populer digunakan
untuk mendekteksi polimorfisme pada DNA, pemetaan genetik serta studi
taksonomi dan filogenetik (Kumari dan Takhur, 2014).
Dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan informasi tentang
perubahan genetik pada klon-klon tanaman kelapa sawit hasil perbanyakan
melalui kultur jaringan. Sehingga bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan
seleksi awal bahan tanam yang akan digunakan pada tahap budidaya tanaman
kelapa sawit selanjutnya.
Tujuan Penelitian
Untuk
menganalisis
keragaman
genetik
klon
kelapa
sawit
(Elaeis guineensis jacq.) plasma nutfah PT. Socfindo menggunakan marka RAPD
(Random Amplified Polymorphic DNA).
Kegunaan Penulisan
Sebagai salah satu syarat untuk dapat mendapatkan gelar sarjana di
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai sumber
informasi bagi pihak yang memerlukan.
Universitas Sumatera Utara
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guinneensis Jacq.) merupakan tanaman penghasil
minyak nabati kedua terbanyak di dunia setelah tanaman kedelai, di Indonesia
sendiri kelapa sawit menjadi sumber nabati utama serta menjadi sumber
pendapatan dan devisa Negara Indonesia. Dari tahun ke tahun luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami kenaikan yang disertai dengan
kenaikan nilai produksi CPO (Crude Palm Oil). Pada tahun 2016 luas areal
tanaman kelapa sawit Indonesia mencapai 11.914.449 ha dan produksi
33.229.381 ton. Hingga akhir tahun 2017 sendiri, baik luas areal maupun produksi
total nasional diestimasi akan mengalami kenaikan masing-masing menjadi
12.307.667 ha dan 35.359.384 ton (Ditjenbun, 2016).
Trend positif kenaikan produksi CPO saat ini tidak terlepas dari usaha
produksi bibit unggul kelapa sawit melalui kegiatan pemuliaan, salah satunya
persilangan antar tetua yang teridentifikasi memiliki karakter yang diinginkan.
Disisi lain, persilangan akan menyebabkan terjadinya segregasi gen-gen tetua
sehingga tidak jarang dijumpai bahwa heterogenitas progeni masih cukup tinggi.
Implikasinya adalah karakter yang ada pada tetua mungkin saja tidak dijumpai
lagi pada keturunannya, hal ini juga turut menjadi permasalahan dalam kegiatan
persilangan itu sendiri yaitu dalam mempertahankan koleksi plasma nutfah tetua
yang
telah
teridentifikasi
memiliki
karakter
unggul
yang
diinginkan
(Mgbeze and Iserhienrhien, 2014).
Berdasarkan
permasalahan
tersebut
maka
dikembangkan
metode
perbanyakan kelapa sawit secara in vitro melalui kultur jaringan yang telah
Universitas Sumatera Utara
2
dimulai sejak tahun 1740-an. Namun pada saat itu kurang berkembang karena
diketahui bahwa klon kelapa sawit hasil kultur jaringan mengalami variasi
somaklonal baik yang bersifat genetik (diwariskan) maupun epigenetik (tidak
diwariskan). Perubahan ini meliputi perubahan jumlah kromosom dan stuktur
DNA yang menyebabkan abnormalitas pada buah dan bunga terutama munculnya
buah bersayap (mantled fruit) yang memiliki rendemen minyak rendah. Beberapa
hal yang teridentifikasi sebagai penyebab variasi somaklonal tersebut diantaranya
adalah : genotip bahan tanam (Soh et al., 2011; Eeuwens et al., 2002),
Konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh (Duval et al., 1988; Sogeke, 1998),
lama periode kultur (Corley et al., 1986; Rohani et al., 2003), fase kultur kalus
(Jaligot et al., 2000) dan media yang digunakan (Evans et al., 2003;
Morcillo et al., 2006).
Heterogenitas hasil persilangan maupun variasi somaklonal hasil kultur
jaringan kelapa sawit ini secara fenotipik hanya akan bisa terlihat secara jelas
beberapa tahun setelah tanam, pada saat tanaman mulai berbunga dan berbuah.
Hal ini menjadi permasalahan karena budidaya kelapa sawit merupakan usaha
jangka panjang yang memerlukan modal awal yang cukup besar. Sehingga
perusahaan akan mengalami kerugian yang sangat besar apabila tanaman yang
ditanam di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Artinya,
produsen bibit unggul kelapa sawit memiliki tanggungjawab besar untuk
memberikan jaminan bahwa bibit yang digunakan bermutu tinggi (Pahan, 2006).
Dalam usaha deteksi dini abnormalitas ataupun keberadaan gen pembawa
karakter spesifik yang diinginkan pada bibit kelapa sawit dapat dilakukan
menggunakan marka molekuler DNA. DNA merupakan substansi kimia yang
Universitas Sumatera Utara
3
bertanggungjawab dalam pewarisan sifat yang dapat dijumpai hampir di semua sel
organisme. Marka molekuler ini memiliki keuntungan dibandingkan dengan
penanda morfologi, yaitu stabil dan dapat dideteksi dalam semua jaringan
tanaman, serta tidak dipengaruhi oleh lingkungan (Zulfahmi, 2013).
Salah satu jenis marka molekuler yang umum digunakan untuk mendeteksi
variasi genetik adalah marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Pada
teknik RAPD segmen DNA yang diamplifikasi bersifat acak, hanya menggunakan
primer berantai pendek yang terdiri atas 10-12 nukleotida, tidak diperlu diketahui
sekuens DNA target. Hal ini membuat marka RAPD cukup populer digunakan
untuk mendekteksi polimorfisme pada DNA, pemetaan genetik serta studi
taksonomi dan filogenetik (Kumari dan Takhur, 2014).
Dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan informasi tentang
perubahan genetik pada klon-klon tanaman kelapa sawit hasil perbanyakan
melalui kultur jaringan. Sehingga bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan
seleksi awal bahan tanam yang akan digunakan pada tahap budidaya tanaman
kelapa sawit selanjutnya.
Tujuan Penelitian
Untuk
menganalisis
keragaman
genetik
klon
kelapa
sawit
(Elaeis guineensis jacq.) plasma nutfah PT. Socfindo menggunakan marka RAPD
(Random Amplified Polymorphic DNA).
Kegunaan Penulisan
Sebagai salah satu syarat untuk dapat mendapatkan gelar sarjana di
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai sumber
informasi bagi pihak yang memerlukan.
Universitas Sumatera Utara