Hubungan Obesitas dengan Kejadian Dermatitis Atopik di SD St. Antonius Medan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit yang disertai dengan rasa
gatal, berlangsung kronis dan berulang dan merupakan salah satu penyakit kulit
tersering pada anak. Penyakit ini sering kali muncul bersamaan dengan penyakit
atopik lainnya seperti asma dan rhinitis alergi (Watson et al., 2011, Bieber, 2008).
Gambaran utama penyakit dermatitis atopik adalah gatal, kulit kering, dan
timbulnya eksim. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siang dan malam
sehingga memberikan tanda dan bekas garukan yang diikuti oleh kelainankelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan
terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis (Kariosentono, 2007).
2.1.2 Epidemiologi Dermatitis Atopik
Prevalensi dermatitis atopik dalam tiga dekade telah meningkat tidak hanya
di negara berpendapatan tinggi tetapi juga di negara berpendapatan menengah ke

bawah. Diperkirakan sekitar 10-20 % anak dan 1-3% orang dewasa di negara
berkembang menderita dermatitis atopik (Hamid dkk., 2013, Lawton, 2013).
Berdasarkan laporan morbiditas sepuluh penyakit terbanyak divisi
dermatologi pediatrik se-Indonesia, dermatitis atopik menempati posisi kedua 19,
83% (309 kasus) setelah skabies 20, 98% (327 kasus). Data ini diambil dari lima
rumah sakit di Indonesia antara lain RSHS Bandung, RSUP Haji Adam Malik
Medan, RSU Dr. Soetomo Surabaya, RSCM Jakarta, dan RSUP DR. Kariadi
Semarang pada bulan Januari sampai dengan Desember 2011.
Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awalawal dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik
dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan
85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Sampai dengan 70% dari anak-anak ini

Universitas Sumatera Utara

6

memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat terjadi
pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam
sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda sensitisasi IgE-mediated. Prevalensi
dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah

perkotaan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis," yang
mendalilkan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini
dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik (Bieber, 2008).

2.1.3 Etiopatogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti dermatitis atopik
belum semuanya diketahui tetapi banyak faktor yang berpengaruh antara lain
(Bieber, 2008, Santosa, 2010, Welsh, 2003, Watson, 2011, Sularsito dkk., 2010 ).
2.1.3.1 Genetik
Angka kejadian dermatitis atopik lebih besar pada kembar monozigot yaitu
sekitar (77%) dibandingkan dengan kembar dizigot yaitu sekitar (15%). Ketika
kedua orangtua menderita dermatitis atopik kesempatan anak menderita penyakit
yang sama adalah 81%, jika salah seorang orangtua menderita dermatitis atopik
disertai respiratorik atopik yang lain kemungkinan anak menderita dermatitis
atopik adalah 59%, dan jika salah satu orangtua menderita dermatitis atopik
kemungkinan anak menderita dermatitis atopik adalah 56%. Dermatitis atopik
merupakan penyakit kompleks genetik yang timbul dari interaksi dari gen-gen dan
gen-lingkungan. Gen yang terkait terdiri dari dua kelompok utama yaitu gen yang
mengkodekan epidermis atau struktur protein lain di epidermis, dan gen yang

mengkodekan elemen-elemen utama dalam sistem imun.
Dari pemeriksaan gen dikatakan bahwa lengan kromosom yang mungkin
berkaitan dengan timbulnya dermatitis atopik adalah pada kromosom 3q21, 1q21,
16q, 17q25, 20p,12 and 3p26. Regio genetik yang paling berhubungan yaitu
1q21. Kebanyakan dari regio di atas bertanggung jawab terhadap adanya rasa
gatal di kulit. Pada kromosom 5q31-33 yang mengkodekan sitokin-sitokin yang
meregulasi sintesis IgE, pada kromosom 14q11.2 yang mengontrol mast cell

Universitas Sumatera Utara

7

chymase gene, dan pada kromosom 16p11.2-12 yang memacu aktivitas reseptor.
Seluruh gen diatas terlibat dalam mengkodekan sitokin-sitokin yang meregulasi
sintesis IgE yaitu interleukin-4, interleukin5, interleukin-12, interleukin-13, dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sitokin-sitokin ini
diproduksi oleh dua T limfosit utama, yaitu Type 2 helper T cell (Th2) yang
memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13, yang mana sitokin ini merupakan yang
mempunyai sifat up-regulation dari produksi IgE. Type 1 helper T cell (Th1)
memproduksi IL-12 dan interferon- gamma yang menurunkan produksi dari IgE

dan menstimulasi produksi dari antibodi IgG. Polimorfisme dari gen-gen yang
mengkodekan sitokin-sitokin di atas atau polimorfisme dari gen yang
mengkodekan reseptor sistem imun berkontribusi dalam ketidakseimbangan
antara Th1 dan Th2. Dominasi Th2 pada dermatitis atopik menyebabkan maturasi
dari sel B dan mengubah IgM menjadi IgE. Filagrin gen (FLG) pada kromosom
1q21.3 yang mengkodekan protein kunci pada diferensiasi epidermis juga
berperan dalam munculnya gejala klinis pada dermatitis atopik yaitu kulit kering
dan kulit yang bersisik . Mutasi dari FLG terjadi pada onset awal dermatitis

atopik.

Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 2.1 Paradigma Th1 dan Th2 (Bieber, 2008)
2.1.3.2 Fungsi barrier kulit
Abnormalitas barrier kulit berhubungan dengan mutasi dalam gen filagrin
yang mengkodekan sebuah protein struktural yang penting dalam formasi barrier
kulit. Kulit seseorang yang mengalami dermatitis atopik juga menunjukkan

kekurangan dalam ceramide (molekul lemak) dan cathelicidin (antimikroba) yang
merupakan lini pertama pertahan kulit terhadap agen-agen infeksi. Abnormalitas
ini memicu keluarnya air dari dalam tubuh melalui epidermis ke luar tubuh dan
meningkatkan perlekatan mikroba dan alergen ke dalam kulit. Agen infeksi yang
paling sering terlibat dalam dermatitis atopik adalah Staphylococcus aureus (S.
aureus), yang mana koloni nya terdapat dalam 90% pasien dermatitis atopik.
Gambar 2.2 Proses sensitisasi pada barrier kulit abnormal (Bieber, 2008)

2.1.3.3 Reaksi imunologis pada kulit
Ketidakseimbangan sitokin yang berasal dari Th 1 dan Th2 sangat berperan
pada reaksi inflamasi penderita dermatitis atopik. Pada lesi yang akut yang
ditandai dengan kadar IL-4, IL-5, dan IL-13 yang tinggi sedangkan dermatitis
atopik yang kronis disertai kadar IL-4 dan IL-13 yang lebih rendah, tetapi kadar

Universitas Sumatera Utara

9

IL-5, GM-CSF (granulocyte- macrophage colony- stimulating factor), IL-12 dan
INFγ lebih tinggi dibandingkan pada dermatitis atopik akut.

Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit,
sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFNγ yang dilepaskan sel
T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi
GM-CSF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan
eosinofil. Produksi TNFα dan IFNγ pada dermatitis atopik memicu kronisitas dan
keparahan dermatitis. Stimulasi TNFα dan IFNγ pada dermatitis akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed
and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNFα dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya
peradangan di kulit penderita dermatitis atopik.
IL-4, sel mast dan basofil meningkatkan perkembangan Th2, sedangkan IL12, IFNα dan IFNγ yang diproduksi oleh makrofag, sel dendrit, atau eosinofil,
menginduksi Th1.
Sel mononuklear penderita dermatitis atopik meningkatkan aktivitas cyclic –
adenosine monophospate (CAMP)- phospodiesterase (PDE), yang akan
meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE
dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan dengan penghabat PDE (PDE inhibitor).
Sel Langerhans


(SL) pada kulit penderita dermatitis atopik adalah

abnormal, dapat secara langsung menstimulasi sel Th tanpa adanya antigen.
Secara selektif dapat mengaktivasi sel Th menjadi fenotip Th2. SL yang
mengandung IgE meningkat dan sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau
debu rumah kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap alergen
akan mengaktifkan sel Th2 memori di kulit penderita atopi, juga bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T naive sehingga jumlah
sel Th2 bertambah banyak.
Kadar ceramide pada kulit penderita dermatitis atopik berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss= TEWL) melalui epidermis

Universitas Sumatera Utara

10

dipermudah. Hal ini mempercepat absorpsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana
diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respon Th2
yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang
terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.

2.1.3.4 Reaksi imunologis sistemik
Perubahan sistemik pada dermatitis atopik adalah:
a.

Sintesis IgE meningkat

b.

IgE spesifik antigen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan,
aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen

c.

Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat

d.

Pelepasan histamin dari basofil meningkat


e.

Respon hipersensitivitas tipe lambat terganggu

f.

Eosinofilia

g.

Sekresi IL4, IL5, dan IL13 oleh sel Th2 meningkat

h.

Sekresi IFNγ oleh sel Th1 menurun

i.

Kadar reseptor IL2 yang dapat larut meningkat


j.

Kadar CAMP-PDE monosit meningkat, disertai peningkatan IL10 dan
PGE2.

2.1.4 Faktor Pencetus
Beberapa faktor yang mencetuskan terjadinya dermatitis atopik (Santosa, 2010).
2.1.4.1 Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge,
hampir 40% bayi dan anak dengan dermatitis atopik sedan dan berat mempunyai
riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya
disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai
macam makanan. Diperlukan uji provokasi dan uji eliminasi untuk memastikan
adanya alergi terhadap makanan tersebut.
2.1.4.2 Alergen hirup

Universitas Sumatera Utara

11


Alergen hirup sebagai penyebab dermatitis atopik dapat lewat kontak
langsung, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita
dermatitis atopik, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi
tungau debu rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95%
penderita dermatitis atopik mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR.
Alergen hirup lainnya yang mencetuskan dermatitis atopik seperti bulu binatang
rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara empat musim.
2.1.4.3 Infeksi kulit
Penderita dengan dermatitis atopik mempunyai tendensi untuk disertai
infeksi kulit oleh kuman umumnya Staphilococcus aureus, virus dan jamur.
Akibat infeksi kuman Staphilococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang
bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang
selanjutnya melepaskan histamin.

2.1.5 Gejala Klinis
Umumnya gejala dermatitis atopik timbul sebelum bayi berumur enam
bulan dan jarang terjadi di bawah usia delapan minggu. Dermatitis atopik dapat
sembuh seiring dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan
meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan
makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan
dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit
dermatitis atopik sulit diramalkan (Santosa, 2010).
Gejala klinis dermatitis atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan
timbulnya eksim yang berjalan kronik dan residiv. Rasa gatal yang hebat
menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda bekas
garukan (scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa
papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses
menjadi kronis (Kariosentono, 2007).
Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papules) bersamaan dengan
timbulnya vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi
eksematous. Prurigo papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi

Universitas Sumatera Utara

12

erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi
berkrusta sering didapat pada kelainan yang lanjut.
Gejala klinis berdasarkan usia (Kariosentono, 2007, Santosa, 2010, Sularsito,
2010):


Bentuk infantil
Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah

muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung
sampai usia dua tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih
muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sesudah merangkak.
Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan
yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan
gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang
terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur.
Pada kurang dari setengah kasus kelainan kulit akan menyembuh pada usia 18
bulan, dan sisanya akan berlanjut menjadi bentuk anak.


Bentuk anak
Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun

diantaranya terdapat satu periode remisi. Lesi dermatitis atopik pada anak
berlangsung kronik akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksinya adalah
pada daerah flexura antekubiti, poplitea, tangan, lipat siku, kaki, leher dan
periorbita. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi eksudatif dan kadang-kadang
terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada kulit anak lebih kering
dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit bisa
terjadi

dengan

berlanjutnya

lesi

menjadi

hiperpigmentasi

atau

kadang

hipopigmentasi bahkan depigmentasi.


Bentuk dewasa
Dermatitis atopik bentuk dewasa terjadi padausia sekitar 20 tahun.

Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan
ekstremitas. Lesi bersifat kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi.

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.3 Gejala klinis
(A) Lesi onset dini pada bayi di pipi dan kulit kepala (B) lesi di leher pada
dermatitis atopik bentuk dewasa (C) lesi kronis berupa likenifikasi (Bieber, 2008)

2.1.6 Stigmata pada dermatitis atopik
Terdapat beberapa stigmata yang terjadi pada dermatitis atopik, yaitu (Santosa,
2010):
a.

White dermatographism
Goresan pada kulit penderita dermatitis atopik akan menyebabkan
kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang
menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.

b.

Reaksi vascular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita dermatitis
atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis atopik mendapat pajanan
hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan
pemanasan dibandingkan dengan orang normal.

c.

Lipatan telapak tangan
Terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal
tersebut bukan merupakan tanda khas untuk dermatitis atopik.

d.

Garis Morgan atau Dennie
Terdapat lipatan ekstra di bawah kulit mata

e.

Sindrom ‘buffed-nail’

Universitas Sumatera Utara

14

Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat gatal.
f.

‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan
berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan
peningkatan timbunan melanin.

g.

Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.

h.

Kulit kering atau xerosis
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik, pecah-pecah,
dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air, dan xerosis terutama pada musim panas.

i.

‘Delayed blanch’
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat
dan eritema. Pada penderita atopik akan terjadi eritema ringan dengan
delayed blanch. Hal ini disebakan oleh vasokonstriksi atau peningkatan
permeabilitas kapiler.

j.

Keringat berlebihan
Penderita dermatitis atopik cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.

k.

Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penerita dermatitis
atopik gatal dapat bertahan selama 45 menit.

l.

Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim belum
difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kelembaban nisbi tinggi musim panas berpengaruh buruk, sedangkan
lingkungan sejuk dan kering akan berpengaruh baik pada kulit penderita
dermatitis atopik.

Universitas Sumatera Utara

15

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin
dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja di Inggris yang dikoordinasi oleh
Williams (1994) ( Sularsito dkk., 2010).
Kriteria mayor


Pruritus



Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak



Dermatitis di flexura pada dewasa



Dermatitis kronis atau residif



Riwayat atopuk pada penderita atau keluarganya

Kriteria minor


Xerosis



Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes silpleks)



Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki



Iktiosis/ hiperlinear palmaris/keratosis pilaris



Ptiriasis alba



Dermatitis di papila mame



White dermographism dan delayed blanch response



Keilitis



Lipatan infra orbital Dennie-Morgan



Konjungtivitis berulang



Keratokonus



Katarak subkapsular anterior



Orbita menjadi gelap



Muka pucat atau eritem



Gatal bila berkeringat



Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak



Aksentuasi perifolikular



Hipersensitif terhadap makanan



Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi

Universitas Sumatera Utara

16



Tes kulit alergi tipe dadakan positif



Kadar IgE di dalam serum meningkat



Awitan pada usia dini

Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga
kriteria minor.

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:


Riwayat atopik pada keluarga



Dermatitis di muka atau ekstensor



Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor:


Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris



Aksentuasi perifolikular



Fisura belakang telinga



Skuama di skalp kronis

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh
William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria untuk pedoman diagnosis
dermatitis atopik yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk
orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga
dapat membantu dokter puskesmas membuat diagnosis.

Universitas Sumatera Utara

17

Pedoman diagnosis dermatitis atopik yang diusulkan oleh kelompok
tersebut yaitu:
a.

Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tua
nya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.

b.

Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipatan siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak
usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita ( atau riwayat
penyakit atopik pada keluarga tingkat pertama anak di bawah 4 tahun).
3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan ( atau dermatitis pada pipi/
dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun ( tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun).

Organisasi internasional International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) juga mampu menggambarkan prevalensi dan perburukan
penyakit- penyakit alergi. ISAAC terdiri dari tiga tahap yaitu Tahap 1 untuk
menilai prevalensi penyakit dan tingkat keparahan penyakitnya, Tahap 2 untuk
menyelidiki faktor etiologi, terutama yang disarankan oleh temuan di Tahap 1.
Lalu Tahap 3 merupakan pengulangan Tahap 1 setelah tiga tahun (Asher, et al.,
1995).
ISAAC sendiri didirikan dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai
penelitian epidemiologi dan memfasilitasi kerjasama internasional. Kuesioner
ISAAC juga merupakan eksplorasi dari kriteria mayor pada penelitian Hanifin dan
Rajka pada tahun 1980 (Asher, et al., 1995). Seseorang didiagnosis dermatitis
atopik apabila memenuhi≥ 3 pertanyaan dari 7 pertanyaan (Brenninkmeijer, el
al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

18

2.1.8 Diagnosis Banding
Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Atopik (Correale et al, 1999).
Penyakit
Dermatitis seboroik

Karakter pembeda
Berminyak, lesi bersisik, tidak adanya
riwayat atopik pada keluarga

Psoriasis

Patch

terlokalisasi

di

ekstensor,

permikaan kulit kepala, pantat; kuku
berbintik-bintik
Neurodermatitis

Biasanya terletak satu tempat gatal-gatal,
tidak ada riwayat atopik pada keluarga

Dermatitis Kontak

Riwayat terpapar positif, ruam di daerah
paparan, tidak ada riwayat atopik pada
keluarga

Skabies

Papula, keterlibatan finger wen, scraping
kulit positif

Penyakit sistemik

Penemuan riwayat penyakit yamg lengkap
dan

pemeriksaan

fisik

bervariasi

berdasarkan penyakit
Dermatitis herpetiformis

Vesikel di daerah ekstensor dan enteropati
yang terkait

Infeksi dermatofit

Plak serpiginous dengan bagian tengah
yang bersih, positif pada pemeriksaan
kalium hidroksida

Gangguan imunodefisiensi

Riwayat infeksi berulang

Universitas Sumatera Utara

19

2.2 Obesitas
2.2.1 Defenisi obesitas
Obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau
terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total
lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan
>25% pada wanita karena lemak.
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.
Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.
Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi
lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat
mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009).
2.2.2 Epidemiologi obesitas
Prevalensi obesitas pada anak telah mengalami peningkatan secara cepat
diseluruh dunia dalam dua dekade terakhir, terlebih lagi di negara berpendapatan
menengah ke bawah (Luo, 2013). Hal ini disebabkan oleh karena negara
berpendapatan menengah ke bawah kemungkinan terpapar makanan yang kadar
gula tinggi, kadar lemak tinggi, kadar garam tinggi, makanan padat, dan makanan
rendah asupan mikronutrien, yang mana makan tersebut lebih murah namun
kualitas nutrisinya buruk.
Menurut RISKESDAS 2013, secara nasional prevalensi obesitas pada anak
di Indonesia masih tinggi yakni 11,9 % yang menunjukkan penurunan dari 14,0 %
di tahun 2010. Dan Sumatera Utara menempati urutan kedelapan setelah
Lampung, Sumatera Selatan dan lain-lain.
Obesitas pada masa anak-anak akan memiliki kecenderungan untuk menjadi
obesitas pada masa dewasa muda yang berhubungan dengan masalah kesehatan
(Ariani, dkk, 2007).
Menurut Sartika (2011), hasil penelitian bivariat menunjukkan bahwa anak
laki-laki lebih beresiko mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibanding anak
perempuan. Hal ini disebabkan oleh karena anak perempuan lebih sering
membatasi makan untuk alasan penampilan.

Universitas Sumatera Utara

20

Gambar 2.4 Prevalensi Kegemukan (IMT/U) anak umur 5-12 tahun
menurut provinsi, Indonesia 2013
`
2.2.3 Penilaian Obesitas
Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, ada
berbagai cara yang bisa digunakan. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau
dikenal juga dengan Quetelet Index, merupakan salah satu cara yang sering
2

digunakan. Cara mengukur IMT, yaitu BB/TB , di mana BB adalah berat badan
dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter.
Berdasarkan penelitian di beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan
konsentrasi lemak tubuh, usia, gender yang sama, menunjukkan bahwa IMT di
tiap wilayah berbeda. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk
obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu. Menurut WHO (2000) klasifikasi
obesitas adalah jika IMT≥ 30 kg/m² pada wilayah Eropa dan Amerika. Wilayah
Asia Pasifik mengusulkan kriteria obesitas adalah jika IMT ≥ 25 kg/m² (Sugondo,
2009).
Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan
IMT menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2009) , dapat dilihat pada Tabel 2.2
Sedangkan klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar
perut menurut Kriteria Asia Pasifik (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Sugondo,
2009).

Universitas Sumatera Utara

21

Tabel 2.2 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa
Berdasarkan IMT Menurut WHO (2000)
2

Klasifikasi

IMT(kg/m )

Berat Badan Kurang

25,0

Pre-Obes

25,0-29,9

Obes- Tingkat I

30,0-34,9

Obes- Tingkat II

35,0-39,9

Obes- Tingkat III

>40,0

Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa
Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (2000)
Risiko ko-morbiditas lingkar perut
Klasifikasi

2

IMT (kg/m )
<

Berat Badan Kurang