Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bersama menurut pandangan doktrin, pada asasnya
ketentuan Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum
(ius commune) dan Hukum Pidana Khusus ( ius singulare, ius speciale, atau
bijzonder strafrecht). Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku

secara umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus menurut Pompe1, A.
Nolten, Sudarto, dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang

mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus
(bijzondelijk feiten).

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yag berbeda dengan hukum
pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau
dari materi yang diatur. Karena itu tindak pidana korupsi secara langsung maupun
tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin penyimpangan
tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan

sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya
peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.2

1
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 1
2
Dengan tolak ukur bahwasanya tindak pidana korupsi bersifat tindak pidana yang luar
biasa (extra ordinary crimes) karena bersifat sistemik, endemik yang berdampak luar biasa
(systematic and widespread) yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar
hak sosial dan ekonomi masyarakat luas sehingga penindakannya perlu upaya comprehensive extra

Universitas Sumatera Utara

Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara
“korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolut
power corrupts absolutely”

bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan


kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.3 Artinya, kekuasaan adalah

bagian yang sangat rentan terhadap penyakit korupsi. Secara tidak langsung hal
ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat
mempermudah bagi pemangkunya untuk menjelma menjadi seorang koruptor.
Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum,
sebab melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri
menurut Hamaker dirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak terlepas dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan Roscoe Pound menegaskan “law is a tool of social
engineering” atau hukum sebagai alat mengatur dan mengelola masyarakat.
Dengan kata lain, hukum harus mengarahkan menuju masyarakat yang lebih

ordinary measure sehingga banyak peraturan, lembaga dan komisi yang telah dibentuk oleh
Pemerintah Republik Indonesia seperti Era Presiden Soekarno (1945-1965) adalah Peraturan
Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat
No. Prt/Perpu/013/1958 dan UU No. 24/Prp/1960, kemudian pada Era Presiden Soeharto (Orde
Baru) berupa Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 12 Tahun 1970 tanggal 31 Januari 1970 tentang
Pembentukan Komisi Empat, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Inpres No. 9 Tahun 1977 tentang Pembentuka Tim Operasi Tertib Kewibawaan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 1982, kemudian pada Era Presiden BJ Habibie berupa TAP MPR
No. XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan bebas KKN, Keppres No. 27 Tahun 1998
dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berikutnya pada Era
Presiden Abdurrahman Wahid adalah Keppres No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman dan PP No. 19 Tahun 2000 Pembentukan Tim Gabungan Tindak Pidana
Pemberantasan Korupsi (TGPTPK), pada Era Presiden Megawati Soekarno Putri adalah UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seta pada Era Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9
Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tanggal
2 Mei 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
3
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
halaman 1

Universitas Sumatera Utara

baik.4 Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaedah, mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena

berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya
dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan serta menetukan bagaimana cara
melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.5
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia,
karena telah merebak ke segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara
meluas dan sistematis.6 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hakhak sosial masyarakat mulai endemis dan sistematis. Korupsi juga dilakukan oleh
pejabat

atau

mantan

kepala

pemerintahan

pada

masa


kepemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile
crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.7 Korupsi

juga salah satu akar permasalahan yang memperburuk roda perekonomian yang
menyebabkan krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dan menghambat jalannya
sistem hukum yang dimanfaatkan undang-undang.
Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan
dan/atau perekonomian negara saja, tetapi juga sepatutnya dilihat sebagai sesuatu
yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan yang rasional untuk
mengkatagorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary

4

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penaku berkerjasama dengan
Maharani Pres, Jakarta, 2008, halaman 1
5
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar , Liberti, Jogjakarta, 1995,
halaman 41
6

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Paragraf ke-2
7
Frans H. Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289

Universitas Sumatera Utara

crime) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa

pula (extraordinary instrument).8
Marwan Effendy mengemukakan bahwa korupsi semakin terpola dan
sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh ke seluruh aspek kehidupan
masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara
nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime saja, tetapi juga sebagai
kejahatan transnasional.9
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan
keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputu APBN, APBD,
keuangan negara pada Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. Keuangan negara
dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola
dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.10 Korupsi adalah bagian dari
aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintahan yang

bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibanndingkan
dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat
dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dan menyentuh berbagai
bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat
membahayakan

stabilitas

dan

keamanan

masyarakat,

membahayakan

pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
8

Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT.
Rajagrafindo, Jakarta, 2011, halaman ; 76
9
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Indonesia Lawyers Club (ILC), Surabaya, 2010, halaman 4
10
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara , Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 10

Universitas Sumatera Utara

demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.11
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir dengan maksud untuk
memberantas korupsi telah diterbitkan, namun praktik korupsi masih terus
berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya. Bahkan hal ini diperparah
lagi dengan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum yang seharusnya
bertugas memberantas korupsi dan menegakkan peraturan yang berlaku.
Pasal 32 UU PTPK secara harafiah sudah mengatur bahwa kalau tidak ada
bukti adanya “perbuatan melawan hukum” namun kerugian Negara secara nyata

telah ada maka penyidik harus melimpahkan kepada jaksa Negara untuk
dilakukan gugatan perdata. Sebaliknya dapat dipahami bahwa bila bukti adanya
“perbuatan melawan hukum” telah cukup dan kerugian Negara itu belum terjadi
(tetapi berpotensi terjadi),12 maka seburuk-buruknya bila tidak dituntut dengan
pasal 2 ayat 1 UU PTPK, pelakunya harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK
yaitu “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
Di dalam Tindak Pidana Korupsi, kita mengenal adanya bersama-sama
melakukan atau yang disebut penyertaan (deelneming), yang mana didalam
11

Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan mengakibatkan lembaga peradilan
menjadi tidak independen dan tidak imparsial, sehingga timbul ketidakpastian hukum,
ketidakmandirian lembaga peradilan dan isntitusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat
dan hakim) kemudian selanjutnya inilah yang disebut sebagai judicial corruption, (Frans H.
Winarta, Opcit, halaman 289-290)
12
http://www.bogorplus.com/index.php/artikel/5396-delik-percobaan-cukup-untukmenindak-korupsi.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2013.


Universitas Sumatera Utara

penjatuhan putusan korupsi yang dilakukan bersama-sama itu terkait dengan
adanya perbuatan berkelanjutan. Sehingga sering ditemukan adanya putusan
hakim yang memvonis “bersama-sama melakukan dan perbuatan atau pidana
berkelanjutan” di dalam kasus korupsi. Hal ini dapat kita lihat memalui kasus
pidana kasasi dengan nomer register 996/K/Pid/2006. Doktrin hukum pidana
sudah dahulu mengatur dengan apa yang dinamakan sebagai perbuatan pidana
berlanjut (concursus). Pengertian dari concursus berlanjut adalah suatu perbuatan
yang dilakukan secara berulang-ulang atau berangsur-angsur dimana perbuatan itu
sejenis berhubungan dan dilihat dalam satu perbuatan.
Batasan waktu yang terciri dalam concursus berlanjut adalah dibatasi pada
putusan hakim (in kracht). Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut
menggunakan sistem absorbs, yaitu hanya dikenakan ancaman terberat. Dan
apabila berbeda-beda, maka dikenakan ketentuan pidana pokok yang terberat.
Sebagaimana yang kita ketahui hakim merupakan salah satu aparat
penegak hukum memiliki kewenangan dalam menjatuhkan hukuman atau
pemidaan seadil-adilnya sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di dalam suatu
masyarakat. Tetapi masih saja menjadi pertanyaan besar bagi beberapa orang
mengenai keadilan hakim dari vonis ataupun penjatuhan hukum didalam korupsi

tersebut, misalnya saja penjatuhan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara bersama-sama dan berkelanjutan, mulai timbul pertanyaan apakah sudah
tepat hakim menjatuhkan vonis mengenai perkara tersebut, sesuai sebagaimana
yang diketahui bahwa pidana berkelanjutan (concursus) haruslah dijatuhkan

Universitas Sumatera Utara

hukuman pidana yang terberat dari perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan
khususnya di dalam Tindak Pidana Korupsi.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah konsep tindak pidana yang dilakukan secara
bersama-sama dan konsep tindak pidana berkelanjutan dalam
hukum pidana dan tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimanakah putusan yang dijatuhkam Mahkamah Agung dalam
putusan Nomor 996K/Pid/2006 yang berkaitan dengan Tindak
Pidana Korupsi bersama-sama dan

perbuatan berkelanjutan

(concursus) atas nama terdakwa Hamdani Amin ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai
berikut :
1. Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan tindak pidana
berkelanjutan dalam tindak pidana korupsi korupsi beserta dengan
sanksi pidananya.
2. Menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung Nomor
996K/Pid/2006 mengenai penjatuhan pidana bersama-sama dan
perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut atas
terdakwa yang bernama Hamdani Amin.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan
penjatuhan hukuman percobaan tindak pidana korupsi sehingga kemungkinan
terjadinya kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat dieliminasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan
penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana
penegakan

hukum

dalam

rangka

melaksanakan

tugas-tugas

mulianya

memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul Tindak Pidana Bersama-sama dan
Berkelanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi putusan Mahkamah Agung
Nomor 996K/Pid/2006) berdasarkan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari
keterangan-keterangan yang berkaitan dengan judul baik berupa buku-buku
maupun internet, pertauran perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat

Universitas Sumatera Utara

erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian,
penulisan skripsi ini merupakan penulisan pertama dan asli adanya.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin “corruptio” atau “corruptus” yang bila
diterjemahkan secara harfiah adalah pembusukan, kuburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, katakata atau ucapan yang memfitnah. Pendapat lain bahwa dari istilah “korupsi” yang
berasal dari kata “corrupteia” yang dalam bahasa latin berarti “bribery” atau
“seduction”. Bribery dapat diartikan sebagai memberi kepada seseorang agar
seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sedangkan seduction
berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.13
Sedangkan arti harafiah dari korupsi dapat berupa :14
1. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan, dan
ketidakjujuran;
2. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, peenrimaan uang,
sogok dan sebagainya;
3. perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat
penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang
dikorup seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat
dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup.

13

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindakpidana/#ixzz1aAXOjzOd. Diakses pada tanggal 27 Desember 2012.
14
Juniver Girsang, Abuse of Power, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum
Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit : JG Publishing, Jakarta, 2012, halaman 8

Universitas Sumatera Utara

Beberapa faktor penyebab timbulnya Tindak Pidana Korupsi, antara lain:15
1. lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika;
2. tidak adanya sanksi yang keras terhadap pelaku korupsi;
3. tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang transparan (Good
Governance);

4. faktor ekonomi (di beberapa negara, rendahnya gaji pejabat publik
seringkali menyebabkan korupsi menjadi “budaya”);
5. manajemen yang kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang
efektif dan efisien; serta
6. modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nilai kehidupan yang
berkembang dalam masyarakat.
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu hukum acara
dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHP) dan penyimpangannnya yang diatur secara khusus
dalam UU PTKP.16
UU PTKP tidak membuat pengertian tentang tindak pidana korupsi. Akan
tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil,
maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTKP mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur
pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 UU PTPK, menyatakan
sebagai berikut :
15

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
halaman 15
16
Firman Wijaya Opcit, halaman 2

Universitas Sumatera Utara

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara....
Selanjutnya dalam Pasal 3 UU PTPK, menyatakan :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan

yang

dapat

merugikan

keuangan

negara

atau

perekonomian negara....
Defenisi yuridis dalam UU PTPK tersebut merupakan batasan formal yang
ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu
disuatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit
dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik
suatu negara.17
2. Pengertian Tindak Pidana Berkelanjutan dalam Hukum Pidana
Tindakan yang berkelanjutan (voortgezzette handeling), oleh pembentuk
undang-undang telah diatur di dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP, yang rumusannya
berbunyi :18
“Staan meerdere feiten, ofschoon elk op zich misdrijf of overtreding
opleverende, in zoodaning verband, dat zij moeten worden beschouwd als eene
voortgezette handeling, dan wordt slechts eene straafbepaling toegepast, bij
verschil die waarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”.

17

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081, Opcit
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit : PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011, halaman 706
18

Universitas Sumatera Utara

yang artinya : “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan
yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai
suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu
ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan
adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang
terberat.”
Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van
Toelichting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa
yang disebut voortgezet misdrijf dan voortgezette overtreding , maka di dalam
rumusan ketentuan pidana menurut Pasal 64 ayat 1 KUHP di atas, pembentuk
undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah
berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang
demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai satu
tindakan yang berlanjut.19
Itu berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendirisendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu
dapat mempunyai locus delicti-nya sendiri, tempus delicti-nya sendiri dan dapat
mempunyai verjaringstermijn-nya sendiri.
Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu
ada hubungan sedemikain rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan
berlanjut” adalah :

19

Noyon-Langemeijer, Het Wetboek I , Dalam P.A.F. Lamintang, Ibid, halaman 706

Universitas Sumatera Utara

1. harus ada satu keputusan kehendak;
2. masing-masing perbuatan harus sejenis;
3. tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut sebagaimana yang telah
dikemukakan diatas adalah menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan
satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka dikenaan ketentuan
yang memuat pidana pokok yang terberat.
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan
perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus
dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian
ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang
ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Beberapa orang penulis berpendapat, bahwa di dalam perilaku-perilaku
berkelanjutan/tindak pidana berkelanjutan sebagaimana dimaksud di atas bukan
tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu keturutsertaan atau deelneming.
Mengenai

kemungkinan

adanya

suatu

deelneming

atau

suatu

keturutsertaan di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas, Profesor
Simons berpendapat antara lain :20
“Naar mijne zienswijze is dus bij toepassing van art. 56 slecht van eene
quaestie van straftoemeting sprake en niet van het vormen van een delict,
met al de gevolgen daaraan ten opzichte van de plaats van het strafbare

feit, de deelneming, de verjaring enz. verbonden”.

20

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,Op.Cit, halaman 707

Universitas Sumatera Utara

yang artinya : “Menurut cara pengelihatan saya, pemberlakuan Pasal 64
KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan
dengan masalah pembentukan satu tindak pidana dengan segala akibatnya yakni
yang berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keikutsertaan,
dengan masalah kadaluwarsa dan lain-lain”.
Adapun pendapat yang sama dari Profesor van Hattum yang mengatakan,
anatara lain :21
“Dat art. 56 slechts een voorschrift van straftoemeting bevat en geenzins
een veelheid van delicten wettelijk tot eenheid vormt is van grote betekenis

voor de locus delicti, voor de verjaring, voor de deelneming”.
yang artinya : “Bahwa Pasal 64 KUHP itu hanya memuat suatu peraturan
mengenai penjatuhan hukuman dan bukan mengatur masalah pembentukan
sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan menurut undang-undang, hal
mana mempunyai arti yang sangat penting bagi lembaga-lembaga locus delicti,
kadarluwarsa dan keikutsertaan.”
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 996 K/Pid2006.
Terdakwa Hamdani Amin22 baik bertindak secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama dengan saksi Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (yang berkas
perkaranya diajukan secara terpisah), pada hari dan tanggal yang tidak dapat
dipastikan lagi di dalam bulan Juni 2004 atau setidak-tidaknya sekitar eaktu antara
bulan April 2004 dan Desember 2004 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2004,
bertempat di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jl. Imam Bonjol No. 29
21
22

Ibid
Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2006

Universitas Sumatera Utara

Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain telah menutup perjanjian
asuransi bagi jaminan kematian/kecelakaan petugas penyelenggara Pemilihan
Umum

(PEMILU)

tahun

2004

dalam

bentuk

asuransi

sejumlah

Rp.

14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah); tanpa membentuk
panitia pengadaan jasa penutupan asuransi, tidak mengadakan prakualifikasi, tidak
membuat penentuan harga, dan tidak melakukan penjelasan pekerjaan
(aanwijzing), yang kesemuanya merupakan persyaratan yang harus dipenuhi
menurut ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3
November

2003

tentang

Pedoman

Pelaksanaan

Pengadaan

Barang/Jasa

Pemerintah, dengan demikian penandatanganan surat perjanjian kerjasama
penutupan asuransi adalah bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80
tahun 2003 tanggal 3 November 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Atas penutupan asuransi tersebut terdakwa menerima
sejumlah US$ 566.795 (lima ratus enam puluh enam ribu tujuh ratus sembilan
puluh lima dolar Amerika Serikat) dari perusahaan asuransi, yang kemudian
dibagi-bagikan dan dipergunakan sendiri oleh terdakwa.
Perbuatan terdakwa itu didakwa :
PRIMAIR; Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun
2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
SUBSIDAIR; Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Universitas Sumatera Utara

LEBIH SUBSIDAIR; Pasal 8 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3)
UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KEDUA; Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Putusan kasasi hari Rabu, tanggal 16 Agustus 2006, pada garis besarnya
berisikan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi. Jaksa/Penuntut
Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Terdakwa; Hamdani
Amin tersebut;
Menyatakan batal demi hukum putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 7 Februari 2006 No.
01/Pid/TPK/2006/PT.DKI yang telah memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Desember 2005
No. 05/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.Pst;
MENGADILI SENDIRI :
Menyatakan Terdakwa HAMDANI AMIN tersebut di atas terbukti secara
sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana :
a. KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA;
b. KORUPSI YANG MERUPAKAN BEBERAPA PERBUATAN
YANG DIPANDANG SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT;
Menghukum oleh karena itu Terdakwa dengan pidana penjara selama 6
(enam) tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000-, (tiga ratus juta rupiah) dengan

Universitas Sumatera Utara

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (enam) bulan;
Menghukum pula Terdakwa tersebut untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp. 1.068.092.000-, (satu milyar enam puluh delapan juta sembilan puluh
dua ribu sembilan ratus dua rupiah) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan
ini berkekuatan hukum tetap, apabila setelah lewat 1 (satu) bulan Terdakwa tidak
membayar uang pengganti, maka hatra kekayaan Terdakwa dapat disita oleh Jaksa
dan di ellang untuk membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi, untuk membayar uang
pengganti, maka kan diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan Terdakwa akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa;
Memerintahkan supaya Terdakwa tetap ditahan dalam Rumah Tahanan
Negara;
Menetapkan seluruh barang-barang bukti dikembalikan kepada Penuntut
Umum untuk kepentingan perkara lain;
Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar
baiay perkara dalam semua tingkat pengadilan dan dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp. 2.500-, (dua ribu lima ratus rupiah).
G. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini diarahkan kepada penelitian hukum
normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

tindak pidana bersama-sama dan berkelanjutan dengan menganalisis putusan
Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006.
Penelitian hukum normatif juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian
hukum jenis ini mengkonsepsi hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.23
Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus
sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi
fokus penelitian.24
2. Sumber Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan
pustaka (data sekunder).25 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal
data sekunder saja.26 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer;
bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.27

23
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman 18
24
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika
keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara
kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini
adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerepan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, Teori dan metedeologi penelitian
hukum normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, halaman 321)
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman. 12
26
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Opcit, halaman 18
27
Ibid, halaman 118

Universitas Sumatera Utara

a). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
terdiri dari :
1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Pidana Korupsi;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian;
7. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan

Tindak

Pidana

Pencucian

Uang

(Money

Laundering);
8. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang;
9. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 996/K/Pid/2006:
b). Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, diantaranya ;

Universitas Sumatera Utara

1. Buku-buku yang terkait dengan hukum;
2. Artikel di jurnal hukum;
3. Komentar-komentar atas putusan pengadilan;
4. Skripsi, Tesis, dan Desertasi Hukum;
5. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
c). Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya;
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;
3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana
korupsi khususnya di bidang perbankan.
3. Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian
kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang
meliputu bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.28 Studi kepustakaan
yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan
menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan
penjatuhan hukuman pidana percobaan dalam tindak pidana korupsi , termasuk
juga bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini

28

Ibid, halaman 68

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.29
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber.30 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi
ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan
metode penelitian kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik,
sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka presentase
sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang
diteliti.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4
(empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan
dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama
lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut :
BAB I:

Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai
latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan
pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi
batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai

29
Patton membedakan proses analisis data dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang
signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari pola hubungan antar dimensidimensi uraian. (Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1999, halaman 103)
30
Ibid, halaman 190

Universitas Sumatera Utara

gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir
dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II:

Menguraikan tentang pengaturan pidana bersama-sama dan
berkelanjutan (concursus). Bab ini secara khusus menguraikan
konsep tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama dan
tindak pidana berkelanjutan di dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

BAB III:

Merupakan pembahasan mengenai hukum pidana bersama-sama
dan berkelanjutan di dalam tindak pidana korupsi dengan putusan
Mahkamah Agung Nomor Register 996 K/Pid/2006. Pada bab ini
akan diuraikan bagaimana duduk perkara, dakwaan, pertimbangan
hakim, amar putusan dan selanjutnya akan dianalisa dan dikaji
secara mendalam terhadap putusan yang di berikan majelis hakim
terhadap terdakwa dalam perkara ini.

BAB IV:

Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Peranan Tes Deoxyribonucleic Acid (Dna) Dalam Pembuktian Tindak Pidana(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 626 Pid. B / 2012 / PN. SIM, Putusan Mahkamah Agung No. 704 K / Pid / 2011, Putusan Mahkamah AgungNo. 1967 K/Pid/2007 dan Putusan Mahkamah Agung

2 84 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid//2006)

1 17 91

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 9

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 1

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 34

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 3