Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)
ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN ( Studi Putusan Pengadilan Negeri No.481/K/Pid.B/2006 Pn.Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 Pt.Jkt.Pst
Dengan Terdakwa Darianus Lungguk Sitorus )
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NOMIKA SINAGA 060200165
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN ( STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO.481/K/PID.B/2006 PN.JKT.PST & PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO.2642/K/PID/2006 PT.JKT.PST DENGAN TERDAKWA DARIANUS LUNGGUK SITORUS )
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
Nama : Nomika Sinaga NIM : 060200165
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
H.Abul Khair.SH.Mhum NIP : 196107021989031001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof.Dr.Alvi Syahrin.SH.M.S.
2010
Dr.Mahmud Mulyadi.SH.Mhum NIP : 196303311987031001 NIP : 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ). Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi penulisan skripsi ini.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan perhargaan yang setinggi - tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
1. Bapak Prof.Dr. Runtung ,SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, SH. M.Hum, Bapak Syafuddin Hasibuan, SH. MH. DFM, Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum yang masing – masing adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(4)
3. Bapak Abul Khair,SH.Mhum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada penulis.
4. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.M.S, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan Skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
5. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi.SH.Mhum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan Skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
6. Bapak Prof.Dr.M.Yamin.SH.M.S.CN, selaku Dosen Wali Penulis.
7. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf Adminstrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Untuk Kedua Orang tua Penulis tercinta, Bapakku R.Sinaga dan Mamakku N.Simanjuntak, yang telah mengasuh dan membimbing serta memberikan segenap doa dan semangat kepada penulis hingga saat ini.
9. Untuk semua Abang, Kakak dan kedua adikku, Bang Frengky, Bang Ruben, Bang Titus, Kak Santi , Iche dan Ryan, terima kasih untuk semua cinta dan dukungan yang pernah henti untuk Penulis.
10.Untuk teman satu bimbinganku, Jenny Rotua, dan semua teman – teman se-grup C dan rekan – rekan stambuk 2006, renatha, sriwinda, sonti, eva krisnawati, theresia, ika rahayu, evi novian, mustika, puji, dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu.
11.Serta untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini , yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
(5)
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.
Medan, Februari 2009
(6)
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAKSI iv KATA
PENGANTAR……….. v
DAFTAR ISI………... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang……….. 1
B. Perumusan Masalah………. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 8
1. Tujuan Penulisan………... 8
2. Manfaat Penulisan………. 8
D. Keaslian Penulisan………. 9
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Hutan………... 10
2. Pengertian dan Unsur – Unsur Tindak Pidana……….. 19
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana………. 27
F. Metode Penelitian……… 38
G. Sistematika Penulisan………. 41
BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN. A. Tindak Pidana dalam bidang Kehutanan... 42
B. Pertanggung jawaban Pidana dalam Tindak Pidana Bidang Kehutanan... 56
1. Bentuk – bentuk Pertanggungjawaban Pidana... 56
2. Perbuatan Turut Serta ( Deelneming ) dalam Hukum Pidana Indonesia... 61
3. Perbuatan Berlanjut ( Voorgezette Handeling )... 64
C. Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Kehutanan... 66
BAB III ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA BIDANG KEHUTANAN (STUDI PUTUSAN ) A. Kasus Posisi……….. 81
1. Kronologis Perkara………... 81
2. Dakwaan……… 84
3 Fakta – Fakta Hukum……… 120
4. Amar Putusan Pengadilan Negeri……… 298
5. Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid.B/2006…… 299
B. Analisis Kasus………. 314
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan……….. 346
4.2. Saran………... 348
(7)
ABSTRAKSI
Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dianugerahi hutan sebagai kekayaan alam yang multi fungsi. Namun sangat disayangkan sekali ketika sesuatu yang perlu dilindungi seperti hutan ternyata harus dikelola untuk kepentingan pribadi, tanpa memperhatikan fungsi dari hutan itu sendiri, khususnya sebagai hutan tetap yang dikuasai oleh Negara. Dalam beberapa waktu terakhir tingkat pelanggaran dan kejahatan pidana yang dilakukan dalam bidang kehutanan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Salah satu contoh kasusnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ( D.L.Sitorus ) bersama – sama dengan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit yang didirikannya di kawasan Hutan Negara Register 40. Skripsi ini berjudul “ Analisis Hukum terhadap Tindak Pidana di bidang Kehutanan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri No.481/K/Pid.B/2006PN.Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 PT.Jkt.Pst dengan Terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ) “.
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam sripsi ini adalah : Bagaimanakah pengaturan hukum pidana terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan menurut Undang – Undang Kehutanan dan Bagaimanakah analisis hukum pidana terhadap kasus No. 481/K/Pid.B/2006.PN.Jkt.Pst dan Putusan No.2642/K/Pid/2006.PT.Jkt.Pst. terhadap terdakwa Darianus Lungguk Sitorus. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif ( yuridis normatif ) , yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang – undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi dan pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan ( Liberary Research ).
Hasil analisis atas jawaban dari permasalahan diatas Pertama bahwa segala perbuatan melawan hukum yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan kejahatan terhadap hutan dan kawasan hutan telah diatur dalam Undang – Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 , sehingga tidak sanksi pidana terhadap tindak pidana kehutanan juga telah diatur pada pasal 50 dan 78 Undang – Undang No.41 Tahun 1999. Kedua, fakta menunjukkan ternyata tingkat pelanggaran pidana dalam bidang kehutanan justeru disebabkan oleh lemahnya fungsi hukum itu sendiri. Sebagai contoh kasus yang dilakukan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung akhirnya harus menjerat terdakwa dengan pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,- ( Lima Milyar Rupiah ) berdasarkan rumusan dakwaan telah melanggar pasal 50 ayat (3) dan Pasal 78 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999. Meskipun dalam analisis penulis, bahwa sebenarnya pada pemeriksan kasus perambahan hutan Negara tersebut Majelis Hakim masih kurang cermat dalam menuntut pertangungjawaban pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit yang didirikannya.
(8)
ABSTRAKSI
Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dianugerahi hutan sebagai kekayaan alam yang multi fungsi. Namun sangat disayangkan sekali ketika sesuatu yang perlu dilindungi seperti hutan ternyata harus dikelola untuk kepentingan pribadi, tanpa memperhatikan fungsi dari hutan itu sendiri, khususnya sebagai hutan tetap yang dikuasai oleh Negara. Dalam beberapa waktu terakhir tingkat pelanggaran dan kejahatan pidana yang dilakukan dalam bidang kehutanan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Salah satu contoh kasusnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ( D.L.Sitorus ) bersama – sama dengan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit yang didirikannya di kawasan Hutan Negara Register 40. Skripsi ini berjudul “ Analisis Hukum terhadap Tindak Pidana di bidang Kehutanan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri No.481/K/Pid.B/2006PN.Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 PT.Jkt.Pst dengan Terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ) “.
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam sripsi ini adalah : Bagaimanakah pengaturan hukum pidana terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan menurut Undang – Undang Kehutanan dan Bagaimanakah analisis hukum pidana terhadap kasus No. 481/K/Pid.B/2006.PN.Jkt.Pst dan Putusan No.2642/K/Pid/2006.PT.Jkt.Pst. terhadap terdakwa Darianus Lungguk Sitorus. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif ( yuridis normatif ) , yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang – undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi dan pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan ( Liberary Research ).
Hasil analisis atas jawaban dari permasalahan diatas Pertama bahwa segala perbuatan melawan hukum yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan kejahatan terhadap hutan dan kawasan hutan telah diatur dalam Undang – Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 , sehingga tidak sanksi pidana terhadap tindak pidana kehutanan juga telah diatur pada pasal 50 dan 78 Undang – Undang No.41 Tahun 1999. Kedua, fakta menunjukkan ternyata tingkat pelanggaran pidana dalam bidang kehutanan justeru disebabkan oleh lemahnya fungsi hukum itu sendiri. Sebagai contoh kasus yang dilakukan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung akhirnya harus menjerat terdakwa dengan pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000,- ( Lima Milyar Rupiah ) berdasarkan rumusan dakwaan telah melanggar pasal 50 ayat (3) dan Pasal 78 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999. Meskipun dalam analisis penulis, bahwa sebenarnya pada pemeriksan kasus perambahan hutan Negara tersebut Majelis Hakim masih kurang cermat dalam menuntut pertangungjawaban pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit yang didirikannya.
(9)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara yang kaya adalah negara yang memiliki semua kekayaan dan anugerah dari Sang Pencipta. Kekayaan itu terdiri atas berbagai unsur – unsur, salah satu diantaranya adalah “Hutan”. Hutan merupakan paru – paru dunia, tempat dimana makhluk hidup meneruskan dan melangsungkan hidup, termasuk pohon – pohon dan hasil tambang serta berbagai Sumber Daya Alam lainnya. Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa manfaat Hutan bagi kehidupan manusia, telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya bagi kesejahteraan hidup manusia, baik manfaat secara langsung ( tangible ) dan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung ( intangible ).1
1
Rahmawati.( 2004 ).Hutan : Fungsi dan Peranannya Bagi Masyarakat. Makalah Kuliah Umum Fakultas Pertanian USU. Hal.1
Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung dapat kita lihat seperti tempat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, serta pencegahan erosi.
Secara yuridis definisi “Hutan“ termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.Dari definisi tersebut tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 3 unsur yang menjadi ciri khas hutan, antara lain :
1. Suatu kesatuan ekosistem 2. Berupa hamparan lahan
(10)
3. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Ketiga ciri pokok yang dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan merupakan suatu rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi, eksistensi hutan sebagai paru – paru dunia.2
1. Bahwa ada hutan yang berisi Sumber Daya Alam Hayati merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia adalah merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya, yang dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. ( Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999 )
Dari pengertian tersebut, tampak bahwa ada 2 kepentingan yang terkandung dalam hakikat hutan, yakni :
2. Bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam pesekutuan alam dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Selain memiliki manfaat, hutan juga mempunyai fungsi – fungsi pokok yang menjadi prinsip kelestarian hutan, yang berfungsi antara lain :
a. Fungsi Ekologis b. Fungsi Ekonomi c. Fungsi Sosial
Ini menunjukkan bahwa keberadaan hutan di dunia, khususnya dalam konteks Indonesia ternyata memperoleh tempat yang cukup dilindungi oleh peraturan – peraturan hukum yang ada, meskipun mungkin saja hasilnya belum dapat dibuktikan secara optimal. Keberadaan hutan secara umum dalam hal upaya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan
(11)
sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan dalam pemanfatan dan pengelolaan hutan itu sendiri. Tentunya hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan mahluk hidup lainnya dengan faktor – faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan.3
Laporan World Bank menyebutkan bahwa selama 35 ( tiga puluh lima tahun) terakhir telah terjadi deforestasi seluas 1,6 ( satu koma enam ) – 1,7 ( satu koma tujuh ) juta, bahkan mencapai 2,0 ( dunia koma nol ) juta per tahun. Justeru kondisi tersebut pada era otonomi daerah semakin meningkat jumlahnya, yakni
Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan Sumber Daya Alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan pengembangan Sumber Daya Manusia, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, akan sesuai dengan hasil yang akan dicapai. Pada kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, kemampuan hutan dan lingkungannya untuk menjamin kepentingan hidup manusia seringkali kurang mendapat apresiasi yang kurang baik dari manusia. Manusia sebagai subjek (pelaku) aktivitas kehidupan lalai dan mengabaikan keseimbangan dalam lingkungan hidup. Manusia dengan nafsu keserakahannya selalu terpengaruh oleh kepentingan hidup yang berlebihan porsinya, sementara dalam hal pemeliharaan hutan dan lingkungannya yang menjadi sebuah kewajiban, kerap kali diabaikan.
2
Alam Setia Zain. (1996 ). Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi – Segi Pidana. Rineka Cipta : Jakarta .1996. Hal.2
3
Reksohaadiprojo . ( 2003 ). Ekonomi Lingkungan . BPFE Yogyakarta : Yogyakarta . Hal.12.
(12)
mencapai lebih dari 3,0 ( tiga koma nol ) juta per tahun.4
Tentunya belum cukup itu saja permasalahan yang dihadapi oleh sektor kehutanan Terakhir, arah sektor kehutanan semakin tidak jelas ketika Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No.5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerja sama dengan International Monetary Fund ( IMF ) atau yang popoler disebut dengan
White Paper.
Beberapa organisasi konservasi menyatakan jika hal ini tidak segara dilakukan tindakan nyata, maka diperkirakan hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan akan lenyap pada tahun 2010. Adapun penyebab dari deforestasi ( kehilangan hutan ) kebanyakan terjadi karena praktek industri perkayuan yang berlebihan, pembalakan liar (
Illegal Loging ), ekspansi lahan perkebunan dan pertanian, disamping karena masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan kegagalan penegakan hukum di bidang kehutanan.5
5
4
Khusus untuk permasalahan kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan, sebagai contoh : pembukaan lahan secara besar – besaran untuk perkebunan tanpa dibarengi pengawasan yang ketat. Akibatnya banyak lahan terlantar setelah hutannya dibabat habis. Kemudian adanya ancaman perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi, dimana hutan lindung atas nama kapital akan dijadikan areal pertambangan. Sementara itu, penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku, karena lebih disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum.
di akses pada tanggal 23 Agustus 2009.
5
Abdul Khakim. ( 2005 ). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung..Hal.3.
(13)
Dalam Bab V bagian Ketiga Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini sangat jelas diamatkan tentang Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan tepatnya pada Pasal 23 yang menyatakan Bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pengertian optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat diperjelas dalam penjelasan Pasal 23 yang secara tegas menyatakan hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.
Seperti yang kita ketahui bersama, tidak dapat dipungkiri bahwa selama 32 ( tiga puluh dua tahun ) pemerintahan Orde Baru menempatkan sektor kehutanan sebagai andalan perolehan devisa negara nomor 2 (dua) setelah sektor migas (minyak & gas). Disamping sebagai penghasil devisa, sektor kehutanan juga menyerap banyak tenaga kerja dan mampu mendorong terbentuknya sentra – sentra ekonomi dan berhasil membuka keterisolasian di beberapa daerah terpencil.6
6
Ibid. Hal. 5.
Bertolak dari kondisi ini diperlukan sinergi semua pihak ( stake holders ) untuk berperan aktif dalam mengelola hutan secara optimal dan lestari. Dan untuk itu pula, peran serta rakyat tidak dapat diabaikan, karena prinsip sasaran pemanfaatan hutan dan segala sumber daya yang terkandung didalamnya ditujukan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan hakikat
(14)
dari Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis melalui beberapa informasi yang penulis dapatkan, bahwa tingginya tingkat pelanggaran pidana dalam bidang kehutanan justru disebabkan oleh lemahnya fungsi hukum itu sendiri. Tidak dapat kita pungkiri bahwa prestasi hukum yang ada di negara kita memang belum mampu dibanggakan kepada masyarakat . Perbuatan – perbuatan merusak hutan bahkan mengeksploitasi hasil hutan terus menjadi objek atau lahan pribadi, tanpa memeprhatikan kesejahteraan masyarakat disekitanya. Rata – rata perbuatan tersebut dilakukan oleh para pengusaha. Dari lebih kurang 205 putusan pengadilan yang ada , hanya 17,24% saja putusan yang berhasil menghadirkan pelaku utama (
master mind ) ke meja persidangan, sementara itu sebanyak 66,83% putusan dinyatakan bebas murni dan sebanyak 21,46% putusan menjatuhkan vonis kurang dari 1 tahun dan selebihnya adalah putusan menjatuhkan vonis sampai 2 tahun atau lebih. Jelas sekali ini prestasi yang masih kurang maksimal bagi sistem peradilan Indonesia.7
Berangkat atas kesadaran pentingnya arti hutan bagi manusia di bumi dan sebagai contoh konkrit atas tingginya pelanggaran serta tindak pidana di bidang kehutanan, maka penulis mengambil kasus Lahan Register 40 milik pengusaha asal Sumatera Utara, yakni Darianus Lungguk Sitorus ( D.L.Sitorus ) yang sekaligus merupakan seorang warga negara Indonesia. Kasus yang dikenal dengan “Lahan Register 40“ itu sampai hari ini masih terus menjadi perdebatan yang cukup serius dalam menunjukkan fakta bahwa penanganan hukum terhadap
7
(15)
pelaku kejahatan bidang kehutanan masih jauh dari pemberdayaan fungsi hukum dalam sistem peradilan kita.
Penulis sangat tertarik untuk membahas dan menganalisa lebih jauh, bagaimana peran hukum kita dalam menangani tindak pidana bidang kehutanan ini, khususnya terhadap apa yang telah dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus ( D.L. Sitorus ) tersebut. Perbuatan terdakwa memasuki kawasan hutan Negara kawasan Register 40 serta mengelolanya sehingga merubah fungsi dari hutan tersebut menjadi sebuah lahan perkebunan kelapa sawit yang dibuktikan dengan dibangunnya beberapa pabrik kelapa sawit dan koperasi perkebunan kelapa sawit menjadi sebuah perdebatan dalam tingkatan penegak hukum untuk memutus apakah perbuatan terdakwa termasuk dalam tindak pidana korupsi yang berarti telah merugikan keuangan negara, ataukah hanya sebatas sebuah pelanggaran atas Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 ynag melindungi kawasan hutan Register 40 tersebut. Atas dasar pemikiran inilah penulis menjadi tertarik untuk menganalisis lebih jauh bagaimanakah sebenarnya rumusan yang tepat dalam memutuskan perkara ini secara yuridis. Lagipula seharusnya hukum maupun undang – undang yang diciptakan mampu menciptakan keadilan dan dapat menimbulkan efek jera ( detterence effect ) bagi pelakunya serta bagi masyarakat umum.
(16)
Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan beberapa permasalahan yang menjadi tolak ukur dalam pembahasan yang berkaitan dengan Analisis Hukum atas pelaksanaan eksekusi lahan Register 40, diantaranya adalah :
1. Bagaimana pengaturan Hukum Pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan menurut Undang – Undang Kehutanan.
2. Bagaimana analisis hukum pidana terhadap Putusan Negeri Nomor.481/Pid.B/2006 PN.Jkt.Pst dan Putusan Mahkamah Agung No.2642/k/Pid/2006 PT.Jkt.Pst ( dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ( D.L.Sitorus ).
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN 1. Tujuan Penulisan
Bahwa setiap penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang akan diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang dibahas. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan hukum terhadap pengaturan masalah tindak pidana, khususnya dalam bidang kehutanan. b. Untuk memaparkan dan menjelaskan tindak pidana bidang kehutanan. c. Untuk membahas bagaimanakah pertanggung jawaban pidana korporasi
yang dilakukan oleh individu maupun badan hukum.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
(17)
a. Manfaat Teoritis
Yaitu untuk memberikan kontribusi pemikiran dan memperkaya khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya, dan tentang tindak pidana bidang kehutanan pada khususnya, sehingga diharapkan skripsi ini nantinya dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi mahasiswa fakultas hukum dan fakultas kehutanan.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan kontribusi dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat luas tentang Tindak Pidana bidang Kehutanan yang terjadi dan semakin berkembang saat ini, yang diharapkan akan dapat menimbulkan kesadaran masyarakat dalam mencegah perkembangannya.
2. Sebagai bentuk kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum, mulai dari pihak kepolisian, kejakasaan, kehakiman serta para bagian dari lembaga peradilan di Indonesia, agar dapat meningkatkan profesionalisme kerja dalam upaya penegakan hukum dalam pemberantasan masalah tindak pidana bidang kehutanan.
3. Serta memberikan pemahaman tentang efektivitas pelaksanaan eksekusi keputusan ataupun kebijakan yang dilahirkan oleh lembaga – lembaga swadaya masyarakat ataupun kelompok studi hukum lainnya.
D. KEASLIAN PENULISAN
Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Atas Tindak Pidana di Bidang Kehutanan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri No.481/k/Pid/2006 PN.Jkt.Pst &
(18)
Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 PT.Jkt.Pst dengan Terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ) ini sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat, maka penulis siap untuk mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Setiap karya ilmiah tentunya memerlukan suatu studi kepustakaan atau sering disebut dengan istilah tinjauan kepustakaan. Pada tahapan ini penelitian mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “ trial and error “.
1. Pengertian Hutan
Kata hutan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu dan forrest bos dalam bahasa Inggris. Forrest berarti dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata.8
8 Salim,H.S.( 1993 ). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika: Jakarta. Hal.40 Dalam Hukum Inggris kuno, hutan (forest) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung – burung hutan. Disamping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan, tempat istirahat dan tempat bersenang – senang bagi raja dan pegawai – pegawainya. Namun dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang. Menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ), yang dimaksud dengan hutan adalah tanah luas
(19)
yang ditumbuhi pohon – pohon, ( biasanya tidak dipelihara orang ). Sedangkan Menurut Dengler , yang diartikan dengan hutan adalah :
“ Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh – tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat ( horizontal dan vertikal ) “.9
1. Unsur lapangan yang cukup luas ( minimal ¼ Hektar ) yang disebut tanah hutan.
Sedangkan pengertian hutan secara yuridis, menurut pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa hutan adalah “Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya ,yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ”.
Terdapat empat unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu :
2. Unsur pohon ( kayu, bambu, palem ), flora dan fauna. 3. Unsur Lingkungan.
4. Unsur penetapan pemerintah.
Jika kita bandingkan, ternyata terdapat perbedaan antara pengertian hutan secara umum dengan pengertian hutan secara yuridis. Untuk dapat menyelami pengertian tentang hutan lebih jauh, sebaiknya kita lihat dari penjelasan resmi Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No.41 tahun 1999 .Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang kehutanan, yaitu Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999, pembagian hutan digolongkan atas empat jenis, yaitu :
a. Hutan berdasarkan Statusnya.
9
W.J.S. Poerwardarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ). PT.Balai Pustaka : Jakarta.
(20)
Hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status ( kedudukan ) antara orang, badan hukum atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu
hutan negara dan hutan hak.
1). Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
2). Hutan Negara adalah hutan , yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, yang termasuk dalam kualifikasi hutan negara adalah:Hutan Adat, Hutan Desa Hutan kemasyarakatan. Hutan Adat adalah : Hutan Negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat ( rechtgemeenschap ). Hutan Desa adalah Hutan Negara yang dikelola oleh Desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraaan desa. Hutan Kemasyarakatan adalah Hutan Negara yang pemanfaataanya untuk memberdayakan masyarakat.
b. Hutan Berdasarkan Fungsinya.
Dalam pasal 6 sampai dengan pasal 7 Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hutan berdasarkan fungsinya adalah Penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
1). Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuh –
(21)
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan Konservasi ini terbagi lagi atas tiga macam, antara lain : kawasan hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan kawasan Taman Buru.
2) Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan ) air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
c. Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus.
Menurut Pasal 8 Undang – Undang Kehutanan ( Nomor 41 Tahun 1999 ), penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat, syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan .
d Hutan Berdasarkan Pengaturan Iklim Mikro.
estetika dan resapan air di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Menurut Pasal 9 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang dimaksud dengan hutan kota adalah hutan yang berfungsi untuk pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hal ini dikarenakan hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Menurut Salim, manfaat hutan digolongkan menjadi dua, yakni Manfaat Langsung dan Manfaat Tidak Langsung. Adapun yang dikatakan sebagai manfaat langsung adalah manfaat
(22)
yang dapat dirasakan atau dinikmati secara langsung oleh masyarakat, dimana masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, contoh : kayu, rotan, getah, buah – buahan, madu dan lain – lain. Sementara itu, yang dimaksud dengan manfaat secara tidak langsung adalah manfaat yang secara tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan adanya keberadaan hutan itu sendiri.11
a. untuk mengatur tata air. Contohnya antara lain :
b. untuk menecegah terjadinya erosi.
c. untuk memberikan manfaat terhadap kesehatan. d. Menciptakan lapangan pekerjaan.
e. Memberikan kontribusi dalam bidang pertahanan keamanan. f. Memberikan manfaat dalam bidang pariwisata.
g. dan lain – lain.
Selanjutnya, kegiatan pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam bidang kehutanan. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini merupakan dasar dalam menentukan status hukum hutan. Pengukuhan Hutan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status hukum dan batas kawasan hutan. Perintah pengukuhan hutan diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Pasal 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1967, yang berbunyi “ Penetapan kawasan hutan didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan hutan itu, untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
11
Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan. ( 1990 ). Hukum Kehutanan Suatu Ringkasan untuk Bahan Penyuluhan Hukum Kehutanan. Jakarta.
(23)
penetapan hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata ”.12
1. Penunjukkan Kawasan Hutan.
Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaa Hutan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 339 / Kpts – II / 1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, serta diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 400/ Kpts – II / 1990 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas.
Di dalam Pasal 15 Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, ditentukan empat tahap dalam pengukuhan hutan, yakni :
2. Penataan Batas Kawasan Hutan. 3. Pemetaan Batas Kawasan Hutan. 4. Penetapan Batas Kawasan Hutan.
Ad.1. Tahap Penunjukkan kawasan Hutan.
Penunjukkan hutan pada dasarnya merupakan penetapan awal peruntukkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah hutan. Penunjukkan ini dilakukan oleh Menteri Kehutanan atau pejabat lainnya. Penunjukkan ini dapat didasari pada Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) atau Government Besluit13
12
Yahya Hanaf. (1993). Pengukuhan HUtan dan Aspek – Aspek Hukum Bagian II. Bahan Penataran Tekhnis Yuridis Kawasan Hutan. Jakarta.
13
Govenrment Besluit dalam makna bahasa Indonesia disamakan dengan sebuah surat ketetapan yang diberikan atau di keluarkan oleh pemerintah Belanda ( Kolonial ).
(GB) Pemerintah Hindia Belanda. Disamping itu, penunjukkan kawasan hutan dapat juga dilakukan atas dasar tukar – menukar kawasan hutan dengan hutan milik, hasil kompensasi terhadap pemakaian kawasan hutan di daerah – daerah yang kawasan hutannya sudah berada di bawah batas minimal, dan atau karena perbuatan – perbuatan hukum lainnya.
(24)
Ad.2. Tahap Kegiatan Pengukuhan
Dalam pelaksanaan pengukuhan ini, terdapat delapan kegiatan yang harus dilakukan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Keputusan Meneteri Kehutanan Nomor 339/Kpts-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan.Tahapan – tahapan tersebut antara lain :
a. Penyusunan rencana kerja dan pembuatan peta.
Penyusunan rencana kerja memuat tentang rencana – rencana yang akan dikerjakan. Peta kerja tat batas berisi rancangan batas dibuat berdasarkan kawasan hutan., yakni dengan cara memindahkan batas kawasan pada peta dasar dengan skala 1 : 25.000 atau skala 1 : 50.000. Apabila peta skala itu belum tersedia maka dapat digunakan perta skala 1 : 100.000 atau skala 1 : 250.000.
b. Penyusunan Konsep Trayek Batas.
Konsep Proyek Batas merupakan suatu konsep tentang rencana garis batas dilapangan yang ditandai dengan rintis batas dan patok batas atau tanda – tanda batas lainnya. Biasanya pembuatan trayek bats ini dilakukan dengan memindahkan (plotting) batas kawasan hutan pada peta dasar dengan memperhatikan kaidah – kaidah kartograf ( proyeksi peta, kordinat garis geografis, dan skala peta ).
c. Rapat Panitia Batas.
Dalam rapat Panitia Tata Batas dibahas tentang trayek batas dan inventarisasi adanya hak – hak pihak ketiga dan permasalahan yang terkait. Apabila segala permasalahan telah dapat diselesaikan, selanjutnya Panitia
(25)
Tata Batas mengadakan rapat mengenai persiapan pelaksanaan pengukuran/pemamcangan batas yang dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan.
d. Pemancangan Patok Batas.
Kegiatan pemanconagn patok batas merupakan penegasan batas suatu wilayah yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan sesuai dengan trayek batas. Pemancangan ini meliputi : pemasangan batas sementara, perintisan batas sementara serta pemberian tanda – tanda di alapangan tentang adanya tanah – tanahyang dipertimbangkan akan dimasukkan/dikeluarkan dari wilayah hutan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan. Panitia Tata Batas meninjau hasil pemancangan batas sementara dan membuat pengumuman batas sementara atas wilayah/areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan. e. Inventarisasi & Penyelesaian hak – hak pihak ketiga yang berkaitan dengan
trayek batas.
Tujuan inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas adalah untuk menghimpun tanah – tanah yang dimiliki oleh pihak ketiga yang terdapat dalam kawasan hutan yang akan ditentukan status hukumnya dan memberikan penyelesaiannya.
f. Pengumuman.
Tujuan pengumuman ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat di sekitar hutan tentang pemancangan batas sementara atas wilayah/areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan.
(26)
Apabial tidak ada lagi hak – hak pihak ketiga dalam kawan hutan, dilakukannlah pengukuran secara definitif adn pemasangan pal batas hutan dari beton dengan ukuran 10 x 10 x 139 cm atau pal batas kayu kelas awet I atau awet II dengan ukuran 15 x 15 x 130 cm. Pal batas itu diberi nomor urut dan kode huruf dimulai ari pelebaras rintis batas yang berfungsi untuk jalannya pemeriksaan batas.
h. Membuat dan Menandatangani Berita Acara Tata Batas.
Apabila ketujuh kegiatan diatas telah dilakukan, maka kegiatan selanjutnya adalah membuat Berita Acara Tata Batas, dan kemudian ditandatangi oleh Panitia Tata Batas.
Ad.3. Tahap Penetapan Kawasan Hutan.14
1. Adanya penetapan dari Menteri Kehutanan yang dituangkan dalam Surat Keterangan ( SK ) Menteri Kehutanan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian Berita Acara Tata Batas, Biro Hukum dan Organisasi, Departemen Kehutanan menyiapkan dan memproses penetapan kawasan hutan yang telah ditata batas dan diketahui pasti luasnya dengan suatu produk hukum berupa “keputusan” penetapan kawasan hutan tetap dengan fungsi tertentu atau tanpa fungsi. Selanjutnya, tentang kawasan hutan sendiri diatur dalam Pasal 4 Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) Undang – Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, dengan pengertian bahwa kawasan hutan merupakan wilayah yang sudah berhutan atau yang tidak berhutan, yang telah ditetapkan menjadi hutan. Ada dua ciri khas yang disebut sebagai Kawasan Hutan, diantaranya :
14
Salim H.S. (2005). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan. PT.SInar Grafika : Jakarta. Hal.51.
(27)
2. Telah ada penetapan batas kawasan hutan.
Dalam sistem pengelolaan Sumber Daya Alam terdapat 2 ( dua ) paradigma, yaitu pengelolaan Sumber Daya Alam ( hutan ) yang berpusat pada negara ( state based forest management ) dan pengelolaan Sumber Daya Alam oleh masyarakat ( Community based forest management ). Paradigma pertama menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan, sedangkan masyarakat mendapat peran hanya sebagai perangkap. Sebaliknya, paradigma kedua menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses tersebut.
Sebagian pihak berpendapat bahwa Undang – Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan masih menganut paradigma pertama, khususnya dalam konteks negara menguasai sumber daya hutan, walaupun harus diakui dalam undang – undang ini terdapat banyak klausul dengan semangat paradigma kedua. Hal ini dibuktikan, antara lain dengan adanya pengakuan yang lugas terhadap hutan kemasyarakat ( penjelasan pasal 5 ), hutan adat ( pasal 1 angka 6 ), peranan masyarakat terhadap pengawasan ( pasal 60 ayat 2 ), pasal 62 dan pasal 64, masyarakat hukum adat ( pasal 67 ), peran serta masyarakat ( pasal 68 sampai dengan pasal 70 ) dan gugatan perwakilan atau class action ( pasal 71 ).
2. Pengertian dan Unsur - Unsur Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari Bahasa Belanda, yakni “Strafbaar Feit“, yang apabila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia sama
(28)
artinya dengan “ Peristiwa Pidana “. Banyak sekali pendapat dari para ahli atau sarjana hukum yang menggunakan istilah berbeda – beda, untuk menunjuk kepada Peristiwa Pidana. Moeljatno menggunakan istilah “Perbuatan Pidana“, beliau tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Menurutnya, perbuatan pidana dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.15
Sekarang ini semua undang – undang telah memakai istilah tindak pidana, seperti Undang – Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang – Undang Tindak Pidana Imigrasi, Undang – Undang Tindak Pidana Suap, dan seterusnya. Istilah tindak pidana itupun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain dikatakan bahwa “tindak” sebagai kata “tindak pidana” baik dalam pasal – pasalnya sendiri maupun Hukum pidana Belanda memakai istilah “Strafbaar Feit”,, kadang – kadang juga “Delict” yang berasal dari bahasa Latin “Delictum ”. Hukum Pidana negara – negara Anglo Saxon memakai istilah “offense” atau “criminal act ” untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS (
Wetboek van Strafreht ) Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Selanjutnya timbul masalah dalam menerjemahkan istilah Strafbaar Feit itu ke dalam bahasa Indonesia. Meoljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak untuk menerjemahkan “strafbaar feit” itu. Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana katanya peristiwa pidana itu adalah pengertian yang konket yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, contoh : matinya orang. Artinya hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.
15
(29)
dalam penjelasannya hampir selalu pula memakai kata “perbuatan”. Istilah Feit
digunakan di Negeri Belandadengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi hanya perbuatan ( handelen ), tetapi juga pengabaian ( nalaten ). Pemakaian istilah Feit
pun disana dikritik oleh Van der Hoeven, karena katanya yang dapat dipidana ialah pembuat, bukan feit itu. Senada dengan itu Van Hamel mengusulkan istilah strafwaardigfeit ( strafbaardig ), yang artinya patut dipidana. Oleh karena itulah Hazewinkel Suringa mengatakan istilah “Delict” yang dipersengketakan , hanya karena istilah “ Strafbaar Feit ” itu telah biasa dipakai.
Menurut Simons, Strafbaar Feit ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang mampu bertanggung jawab. Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas, yang meliputi Dollus dan Culpa (kelalaian dan kealpaan). Van Hammel juga menjelaskan bahwa Stafbaar Feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang – undang, melawan hukum dan patut atau bernilai untuk dipidana (strafwaardig) dan dapat dicela karena kesalahan.16
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling kelakuan atau tingkah laku;
Ia merumuskan bahwa strafbaar feit itu adalah kelakuan orang (menseijke gedraging ) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Jika melihat pengertian – pengertian ini maka dalam pokoknya ternyata :
2. Bahwa pengertian Strafbaar Feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.
16
(30)
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatannya saja , yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar – benar dipidana seperti yang sudah dicantumkan tergantung kepada keadaan bathinnya dengan perbuatannya itu yakni dengan kesalahannya jadi perbuatan pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya Strafbaar Feit, disitu dicakup pengertian perbutan pidana dan kesalahan. Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, yaitu “Criminal Act ”. Pertama, karena “Criminal Act” ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain akibat dari suatu kelakuan yang dilarang hukum. Kedua, karena Criminal Act ini juga dipisahkan dari pertanggung jawaban pidana yang dinamakan Criminal Liability atau Responsibility. Untuk adanya Criminal Liability ( jadi untuk dipidananya seseorang ) selain daripada melakukan Criminal Act ( perbuatan pidana ) orang itu juga harus mempunyai kesalahan ( Guilt ). Hal ini dinyatakan dalam kalimat Latin, “ Actus Non facit Reus, nisi Mens Sit Rea “ ( An Act Does not make a person guilt , unless the mind is guilty ).
Sedangkan Sarjana Pompe menguraikan dua macam definisi tentang Strafbaar Feit ini, yaitu :
1. Definisi yang bersifat Teoritis.
Maksudnya ialah berupa pelanggaran terhadap norma ( kaedah atau tata hukum ) yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus dijatuhkan pidana untuk dapat memepertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum yang sesuai dengan Undang – Undang Dasar 1945.
(31)
Memberikan pengertian bahwa Strafbaar Feit adalah suatu peristiwa yang oleh undang – undang ditentukan mengandung perbuatan (Handelling) dan pengabaian (Nelaten), tidak berbuat atau berbuat pasif, biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan bagian dari suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan ikut serta itulah yang disebut sebagai uraian delik.
Lain lagi definisi yang diberikan oleh Sarjana VOS, beliau memberikan pengertian yang singkat bagi Strafbaar Feit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang – undangan diberikan pidana atau sanksi. Pada umumnya, tindak pidana disinonimkan dengan kata “Delict “ atau “Delik”, yang berasal dari Bahasa Latin, yakni “Delictum”, yang jika kitaartikan ke dalam Bahasa Indonesia sendiri yang dimaksud dengan delik ialah “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan terhadap Undang – Undang Tindak Pidana “.17
17
W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka : Jakarta.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa batasan terhadap delik pada umumnya adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik, materil diisyarakatkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan yang kausal dengan perbuatan yang melawan hukum formil dan materil dan tidak adanya dasar yang membenarkan perbuatan itu. Sementara apabila kita melihat dalam KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ), pengertian dari Delik itu sendiri tidak ditemukan. Tiap – tiap pasal hanya menguraikan unsur – unsur delik yang berbeda – beda, sesuai dengan jenis perbuatan yang diaturnya. Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana yang disebut orang dengan delik. Tetapi tidaklah semua perbuatan yang
(32)
melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat diberikan sanksi pidana. Begitu pula, tidaklah dapat kita mengatakan bahwa hanya perbuatan – perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar saja yang dijadikan perbuatan pidana. Adalah kewajiban pemerintah untuk dengan bijaksana menyesuaikan apa – apa yang ditentukan sebagai perbuatan pidana itu.
Penentuan itu juga dipengaruhi oleh pandangan – pandangan apakah ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan – larangan tersebut. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan melawan hukum yang tidak dilarang dan diancam oleh undang – undang dengan pidana, tidaklah merupakan perbuatan yang menderita, yang terkena oleh perbuatan itu. Tentang penentuan perbuatan apa yang dipandang sebagai perbuatan pidana , kita menganut asas bahwa tiap – tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang – undang. Asas demikianlah yang disebut sebagai “ asas legalitas ”.
b.Unsur – Unsur Tindak Pidana
Unsur adalah semua syarat - syarat yang harus dipenuhi bagi suatu perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan atau tindakan yang melawan atau melanggar hukum. Menurut Van Hamel, unsur – unsur dari suatu Tindak Pidana meliputi :
(33)
2. Perbuatan itu harus ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas), yang merupakan perbuatan melawan hukum.
3. Bernilai atau patut dipidana.
Sementara itu, menurut Van Bemellen, yang termasuk dalam unsur – unsur dari Tindak Pidana diantaranya adalah :
1. Adanya unsur – unsur kesalahan. 2. Kemampuan bertanggung jawab
3. Sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.
Simons menyatakan bahwa unsur – unsur dari suatu delik, hampir sama dengan apa yang diuraikan oleh Van Hamel, yakni : 18
1. Merupakan suatu perbuatan manusia.
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 3. Perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, dalam uraian diatas telah dijelaskan tentang pengertian tindak pidana, dan secara khusus dalam hukum pidana dikenal sebuah pengkhususan pada salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum atau dalam istilah kerennya disebut dengan tindak pidana korporasi. Dalam perkembangan hukum Indonesia, penggunaan istilah “korporasi“ merupakan sebutan yang lazim digunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sehingga badan hukum ( rechtpersoon ) atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Legal Entities atau Corporation.19
18
Leden Marpaung. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika .1997. Hal.9
19
Rudy Prasetya. ( 1989 ). Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi. UNDIP Press : Semarang. Hal.2.
(34)
Konsep korporasi pada mulanya dikembangkan pada hukum romawi, lebih dari seribu tahun yang lalu, tetapi sebegitu jauh hingga abad ke XVIII tidak mengalami perkembangan. Dalam sistem hukum perdata Belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, maka subjek hukum yang dikenal di Indonesia ada dua, yaitu :
1. Manusia ( Persoon )
2. Badan Hukum ( Rechtpersoon ).
Dari pembagian subjek hukum tersebut diatas, apabila korporasi ini merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi Badan Hukum ( Rechtpersoon ).20 Ada beberapa pengertian tentang batasan korporasi yang dipaparkan oleh para ahli – ahli hukum, Subekti dan Tjitrosudiro memberi pembatasan bahwa ynag dimaksud dengan “ korporasi “ adalah suatu perseroan yang merupakan Badan Hukum.21
20
Edi Yunara. ( 2005 ). Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi berikut Studi.Kasus. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung. Hal. 9.
21
Muladi & Dwipa Prijatna . ( 1991 ). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana. Bandung Press : Bandung . Hal.14.
Senada dengan pendapat tersebut diatas, sebagaimana dikemukakan oleh Utrecht dan M.Soleh Djindang , yang mengungkapkan bahwa korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama – sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi dapat dibagi berdasarkan macamnya, yakni Badan Hukum ( korporasi ) yang terbagi lagi atas badan Hukum yang Orisinil ( murni / asli ), dan Badan Hukum tidak orisinil. Sedangkan menurut jenisnya badan hukum dapat dibagi menjadi badan Hukum (korporasi) Publik, dan Badan Hukum ( korporasi ) privat.
(35)
Terakhir menurut sifatnya, Badan Hukum terdiri atas Korporasi ( corporatie ) dan yayasan ( stichting ).22
Ada juga pendapat lain yang dipaparkan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP tentang korporasi, yang menyatakan bahwa Korporasi atau badan hukum adalah satu konsep tentang pribadi bayangan dalam hukum modern. Hukum pidana modern mengkonstruksikan bahwa pelaku dari tindak pidana adalah pribadi atau individu (naturalijk person), tetapi dalam perkembangannya, badan hukum (rechts person) atau korporasi dapat juga melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian publik. Korporasi biasa didefinisikan sebagai sekelompok orang yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu person yang memiliki hak dan kewajiban terpisah dari hak dan kewajiban individu yang membentuknya.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Berbicara tentang konsep “liability“ atau pertanggung jawaban pidana, dilihat dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalam bidang hukum pada abad ke – 20 , Roscoue Pound mengemukakan :” …I’ll use the simple word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and other is legaly subjected on the exaction“. Bahwa untuk pertanggung jawaban pidana tidak cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas
(36)
hukum yang tidak tertulis : “ Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan “ ( Geen Straf Zonder Schuld, Ohne Schuld Keine Straf ). 23
Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “ liability “ diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian konsepsi “liability” diartikan sebagai “reparation”, terjadilah perubahan arti konsepsi “liabilty” dari “compotition for vengeance“ menjadi “reparation for injur “ . Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari pertanggungjawaban atau “liability”.
24
1. Strict Liability Crimes
Pertanggungjawaban Pidana atau “Criminal Liability” adalah sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata – mata, melainkan juga menyangkut soal nilai – nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh masyarakat atau kelompok – kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris dikenal dua macam pertanggungjawaban pidana, yakni :
2. Vicarious Liability
23
Moeljatno. ( 2002 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.153. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan Leer van Het Materiele Feit ( Feit Materielle ). Dahulu dijalankan atas pelanggaran Tindak Pidana sejak adanya Arrest Susu Hari H.R.1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik – delik jenis Overtredingen Arrest Susu H.R.14 Februari 1916.
24
Wirjono Projodikoro. ( 1969 ). Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco : Bandung. Hal.67.
(37)
Ad 1. Strict Liability Crimes
Selain menganut asas “actus non facit neum nisi mens sit rea “ ( a harmful act without a blame worthy mental state is not punishable ) hukum pidana juga menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus dibuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejateraan umum.
Ad.2 Vicarious Liability
Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain . Vicarious Liability hanya berlaku terhadap :
1. Delik – delik yang mensyarakatkan kualitas.
2. Delik – delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Jika dibandingkan antara “strict liability“ dan ”vicarious liability“ tampak jelas bahwa persamaan dan perbedaannya . Persamaan yang tampak , bahwa baik “stict liability crimes” maupun “vicarious liability” tidak mensyaratkan adanya “mens rea ” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada pasal 36 Rancangan Undang – Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan
(38)
tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan ( vewijtbaarheid ) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatalan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan secara subjektif kepada pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.25
Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan ( Schuld ) dan melawan hukum ( Wederechtelijk ) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahasan masyarakat untuk pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :26
25
Ibid. Hal.71.
26 Sudarto. (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana . PT. Alumni : Bandung. Hal 33-34. 1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang
2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan 3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab
(39)
Berikut ini penjelasan mengenai syarat – syarat pertanggungjawaban diatas. Ad 1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang
Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan yang sifat tercela atau mana dapat bersumber pada Undang – Undang ( melawan hukum formil atau formelle wedwerechttelijk ), karena bersumber pada masyarakat yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas – asas hukum masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua – duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain ( pasal 338 KUHP ) adalah dilarang baik dalam undang – undang walaupun dalam masyarakat adalah wajar setiap perbuatan yang menurut undang – undang, walaupun kadang kala ada perbuatan yang tercela pula menurut Undang – Undang, misalnya : perbuatan mengemis ( pasal 504 KUHP ) dan bergelandang ( pasal 505 KUHP ), sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakata tetapi tidak menurut Undang – Undang.
Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan (menjadi tindak pidana) tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu atau tidak dalam manusia, maka dengan demikian setiap tindak pidana itu sudah mempunyai unsur melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsr mutlak dari suatu tindak pidana. 27
27
Dalam putusan Mahkamah Agung No.30/K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1960 dinyatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan – perbuatan yang dituduhkan, walaupun ada dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan”.
Perkataan melawan hukum dalam KUHP yang berlaku saat ini kadang – kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana dan kadang tidak. Menurut
(40)
Schaffmeister, ditambahkannya kata melawan hukum sebagai salah satu unusur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruuang lingkup rumusan delik yang ( telah ) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa ditambahkannya perkataan melawan hukum mungkin timbul bahaya, yaitu mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan undang – undang pidana.
Sedangkan alasan tidak dicantumkannya dalam tiap – tiap pasal dalam KUHP adalah bilamana dari rumusan Undang – Undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar perbuatan melawan hukumnya, sehinggga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit. Kedudukan sifat melawan hukum sangat khas di dalam hukum pidana, bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh mengatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya “. Sementara itu Andi A Zainal Abidin mengatakan bahwa salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum (
wederrechtelijkheid ) dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang – undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan tidak melawan hukum“. Dengan demikian untuk dapat dikaitkan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat melawan hukum.28
28
Abidin, Zainal. (1995). Hukum Pidana I. PT.Sinar Grafika: Jakarta . Hal.12.
Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum tindak pidana. Mulanya dalam pasal 15 ayat ( 2 ) Rancangan KUHP tahun 2000, menentukan bahwa untuk dipidanya perbuatan yang dilarang dan diancam
(41)
dengan pidana oleh peraturan perundang – undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum.29
Dengan demikian, kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara pandangan ini justru melihat kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah “character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Kesalahan ( schuld ) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran bathin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena unsur itu selalu melihat pada diri si pelaku dan bersifat subjektif. Unsur kesalahan dan menemui keadaan bathin pelaku.Istilah kesalahan (schuld) dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana (mengandung beban pertangung jawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan (Dollus / Opzet) dan kelalaian (Culpa). Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, perbuatannya dan hubungan keduanya yang dari situ dapat bahwa pembuatnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana. Menurut capasity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice (pilihan) dan
freewill (kehendak) pembuat rindak pidana. Kesalahan merupakan kapasitas pembuatnya untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya. Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat.
(42)
konsekuensi wujud dari kehendak bebasnya, tetapi lebih kepada karakter ( jahat ) yang ada pada dirinya. Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada di sebagian rumusan tindak pidana, yakni kejahatan tertentu dan dicantumkan secara tegas, ( misalnya pasal 104, pasal 179, pasal 204, pasal 205, pasal 362, pasal 372, pasal 378, pasal 406 dan pasal 480 KUHP ) dan disebagian lagi tidak dicantumkan, misal pasal 162, pasal 167, pasal 170, pasal 211, pasal 212, pasal 289, pasal 294 dan pasal 422 KUHP ).30
Suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran Feit Materiel, terdapat dalam teori hukum pidana. Dalam hal ini, penentu adanya kesalahan dan pertangggungjawaban pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh rumusan tindak pidana. Dengan demikian, seseorang dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Peranan Korporasi yang semakin pesat telah memberikan dampak yang pesat dalam kegiatan masyarakat yang harus diikuti dengan perkembangan di bidang hukum pidana, sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran dalam mencapai tujuan korporasi. Dibidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha yang menyandang. Istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat dipertanggung jawabkan.31
30
Adami Chazawi .(2002).Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta . Hal 88.
(43)
Ad.3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.
Menurut Pompe, dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Masalah ada tidaknya pertanggungjawabkan pidana diputuskan oleh Hakim karena hal ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Dapat dipertanggungjawabkan ( toerekenbaarheid ) itu berkaitan dengan kesalahan (schuld).32
1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.
Dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam Pasal 44 KUHP itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum. Van Bemellen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi :
2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya.
3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.
Ad.4. Tidak adanya alasan pemaaf
Alasan pemaaf ( Schuld duitsluitingsgronden ) menurut Moeljatno yaitu merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan.33
31
Ibid. Hal.89.
32 Moeljatno. ( 2002 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.158. Menurut pandangan beberapa sarjana/ahli hukum pidana, dasar peniadaan pidana sebenarnya dapat dibagi dalam 2 ( dua ) bagian, yakni yang tercantum dalam undang – undang dan yang terdapat diluar undang – undang ( yang diperkenalkan oleh doktrin/yurisprudensi). Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai “dasar
(44)
pembenar” dan “dasar pemaaf” . Van Bemellen menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya, alasan pembenar meniadakan unsure melawan hukum ( yang artinya perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana ). Ini berarti bahwa jika terjadi penyertaan, yaitu sesorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, ia tidak dapat dipidana pula. Disini ada unsure obyektif, yaitu perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana.34
33
Ibid. Hal.137.
34
Andi Hamzah. ( 1994 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT.Rineka Cipta : Bandung. Hal. 143-145.
Lain haknya dengan dasar / alasan pemaaf yang meniadakan unsurekesalahan atau unsur subyektif, jika terjadi penyertaan seperti tersebut dimuka, orang itu tetap dapat dipidana (kalau yang ikut serta dapat dipertangungjawabkan). Sementara Memory van Toelichting (MvT) tidak mengadakan pembagian seperti itu, sehingga yang tergolong sebagai alasan pemaaf sekaligus alasan(dasar) pembenar ialah seperti apa yang tercantum dalam
Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 ayat (1) dan (2).
1. Pasal 44 : Perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang “kurang sempurna akal” atau karena “sakit berubah akal”.
2. Pasal 48 : Perbuatan pidana yang dilakukan karena pengaruh / sesuatu kekuasaan.
3. Pasal 49 : Melakukan suatu tindak pidana dalam keadaan terpaksa / darurat (noordweer ) dan ( noordweer exes ) dengan tujuan untuk mempertahankan diri / diri orang lain, mempertahankan kehormatan / harta benda sendiri / kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga.
4. Pasal 50 : Melakukan / melaksanakan suatu perbuatan untuk menjalankan peraturan undang – undang.
5.Pasal 51 (1): Melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perbuatan atas perintah jabatan yang diberikan oleh orang yang berkuasa yang berhak akan itu.
(45)
6. Pasal 51 (2) : Melakukan suatu perbuatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak / tidak sah.
Selanjutnya, membahas tentang pertanggung jawaban atas tindak pidana korporasi, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dikenal 3 ( tiga ) sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab. c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.35
Berkolerasi dengan perkembangan konsep korporasi sebagai subjek tindak pidana, dapat dikemukakan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang masih digunakan sampai saat ini. Indonesia menganut badan mengamini bahwa suatu Delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badan hukum ( rechtpersoon ) yang dipengaruhi pemikiran Von Savigny yang terkenal dengan teori Fiksi ( fiction theory), yang tidak diakui dalam hukum pidana. Sebab,
Dari penjelasan tersebut dapat dikualifisir bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dapat terbagi atas tiga subjek hukum, yaitu:
a. Pengurus korporasi
b. Korporasi dan pengurus korporasi c. Korporasi saja.
35
Mardjono, ( 1989 ). Pertanggungjawaban Korporasi. Penerbit Universitas Diponegoro Press : Semarang. Hal.7.
(46)
pemerintah Belanda pada waktu itu bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana.36
a. Tanggung jawab mutlak ( Stict Liability )
Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, menurut teori hukum terdapat 3 ( tiga ) jenis sistem tanggung jawab, antara lain :
b. Tanggung jawab berdasarkan Kesalahan. c. Tanggung jawab berdasarkan Kelalaian.
F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif ( yuridis normatif ), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang – undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini disebut juga dengan penelitian hukum doctrinal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wigjosoebroto yang membagi penelitian hukum sebagai berikut :
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas – asas dan dasar – dasar falsafah (dogma atau doctrinal ) hukum positif.
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
36
(47)
Menurut Jhony Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normative ( doktinal ) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa : 37
1. Pendekatan Perundang – undangan ( statute approach ) 2. Pendekatan Analisis ( analytical approach )
3. Pendekatan Historis ( Historical approach ) 4. Pendekatan Filasafat ( Philosophical approach ) 5. Pendekatan Kasus ( Case approach)
Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan analisis ( Analytical Approach ) yaitu menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan oleh peraturan perundang – undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam putusan – putusan hukum,38
37
Johnny Ibrahim., ( 2007 ). Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media : Surabaya. Hal.300.
serta menggunakan metode pendekatan kasus ( Case Approach ), yaitu suatu penelitian normatif yang bertujuan untuk mempelajari norma – norma hukum atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Kasus tersebut akan dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormalan suatu aturan hukum dalam prakteknya. Metode pendekatan kasus yang perlu dipahami bahwa alasan – alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya harus memperhatikan fakta – fakta materil berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya. Fakta materil tersebut diperlukan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan pada fakta tersebut. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah – kaidah atau norma – norma dalam hukum positif yang dilakukan dan ditujukan pada peratuan
(48)
perundang – undangan tertulis dari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi dan penerapannya dalam praktek.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung Jakarta Selatan untuk mengetahui sejauh mana implementasi hukum pidana terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dengan tujuan untuk menemukan norma hukum tertentu in concreto.
2. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian skrispsi ini adalah data sekunder . Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak – pihak yang berwenang, yaitu berupa KUHP dan perundang – undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan denan tindak pidana menyangkut perlindungan hutan, seperti seminar hukum, majalah – majalah, karya tulis ilmiah tentang tindak pidana bidang kehutanan dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep – konsep dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.
38
(49)
3. Metode Pengumpulan Data.
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (Penelitian kepustakaan), yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang – undangan, buku – buku, majalah, internet, pendapat sarjana dan bahan lainnya yang dapat menunjang skripsi ini.
4. Analisa Data.
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan, kemudian diorganisir dalam satu pola, kategori dan uraian dasar. Analisa Data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara Kualitatif, yaitu menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan – permasalahan dalam skripsi ini.39
39
Ronny Hanitijo Soemitro. ( 1982 ). Metode Penelitian Hukum. Penerbit PT.Ghalia Indonesia : Jakarta. Hal.93.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : pada Bab I berisi Bab Pendahuluan yang merupakan Latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II tentang pengaturan hukum pidana tentang tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
(50)
Bab III membahas tentang penelitian terhadap studi – studi kasus yang dilampirkan dalam karya tulis penulis serta analisis kasus yang dilampirkan oleh penulis.
Bab IV sebagai Bab terakhir dari karya tulis ini berisi kesimpulan dan saran dari karya tulis penulis.
(51)
BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41
TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
A.TINDAK PIDANA DALAM BIDANG KEHUTANAN.
Tindak Pidana adalah Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang – undangan yang diancam dengan sanksi terhadap pelanggaran tersebut, dimana perbuatan yang melanggar ketentuan perundangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana, sanksi bersifat perdata, ataupun sanksi yang bersifat administrasi.2
1. Tindak Pidana Umum, dimana perundang – undangannya diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3 buku, 49 Bab, serta 569 pasal – pasal yang tercantum dalam KUHP. Dalam isi pasal 103 KUHP, peraturan penghabisan Buku I KUHP disebutkan bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dihukum menurut peraturan perundangan lain, kecuali kalau ada undang – undang (wet) tindakan umum pemerintahan Algemene maatregelen van bastur
atau ordonansi menurut peraturan lain.
Secara umum tindak pidana dapat dikategorikan kedalam 2 bagian, yaitu :
2. Sedangkan bentuk tindak pidana yang kedua adalah bentuk Tindak Pidana diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP, yaitu yang disebut juga
2
Salim,H.S. ( 2002 ). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan ( Edisi Revisi ). Sinar Grafika : Jakarta. Hal.147.
(52)
dengan Tindak Pidana Khusus, dimana undang – undangnya diatur diluar KUHP, seperti :
a. Undang – Undang Kehutanan diatur dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999.
b. Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2001.
c. Undang – Undang Narkotika diatur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 97.
Tindak Pidana Kehutanan tergolong dalam salah satu Tindak Pidana Khusus, dimana pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah undang – undang Umum. Sedikit gambaran tentang Tindak Pidana Khusus menurut hemat penulis adalah sebuah awal yang baik. Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh : UU Nomor 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga undang - undang yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.
(1)
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .
Adapun kesimpulan dari tulisan ini diantaranya adalah :
1. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan menurut Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 50, dan tentang sanksi pidananya diatur dalam Pasal 78. Hal ini bertujuan agar pemerintah dapat meminimalisir segala bentuk tindak pidana dalam bidang kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat dengan menyertakan sanksi pidana dalam Undang – Undang Kehutanan tersebut. Namun tampaknya pengaturan hukum pidana dalam Undang – Undang Kehutanan ini masih perlu dipertegas agar dapat menghilangkan pemahaman multitafsir bagi para pengusaha hutan dan masyarakat luas.
2. Analisis Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 481/K/Pid.B/2006 dan Putusan Mahkamah Agung Jakarta Pusat No.2642/K/Pid/2006 Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, menetapkan bahwa terdakwa Darianus Lungguk Sitorus telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah memenuhi rumusan Dakwaan ke empat, melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf a jo. pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. pasal 64 ayat (1) KUHP, yakni
(2)
Mengerjakan dan Menggunakan kawasan Hutan Secara tidak Sah yang dilakukan secara bersama – sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut, dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebanyak Rp 5.000.000.000,- ( Lima Milyar Rupiah ). Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa selain atas terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ini seharusnya Majelis Hakim juga menuntut pertanggungjawaban para pengurus Koperasi bukit Harapan, KUD PARSUB, PT.Torusganda, PT.Torganda sesuai dengan teori pertanggungjawaban tindak pidana korporasi yang dilakukan oleh korporasi dan pengurusnya diatas. Sehingga kasus ini dapat lebih objektif ketika akan eksekusi dan tidak ada oknum – oknum yang bebas dari jeratan hukum. Jika ketentuan hukum atas bidang kehutanan tidak segera diperbaiki, maka penulis yakin bahwa dalam waktu dekat Indonesia harus rela kehilangan kawasan hutannya yang produktif sebagai pelindung dan sebagai Sumber Daya Alam Alami.
B. Saran .
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis juga ingin memberikan beberapa saran kepada para pembaca dan seluruh masyarakat, diantaranya :
1. Perlunya merumuskan konsep peraturan perundangan – undangan yang lebih jelas maksud dan sasaran ( objeknya ) serta mensosialisasikannya kepada masyarakat, contohnya dalam bidang kehutanan agar tidak terdapat lagi celah – celah yang dapat menguntungkan pihak tertentu dan tidak bersifat multi tafsir
(3)
2. Perlunya peningkatkan kinerja oleh para aparat penegak hukum, yakni Kehakiman, Kejaksaan, Menteri – menteri, Kepolisian, serta instansi – instansi pemerintahan dalam menerapkan hukum dan dalam mengeksekusi para pelaku – pelaku kejahatan, serta dalam penerapan hukum sebaiknya memenuhi syarat yang berlandaskan hukum yang menganut asas “ Lex Cetra “ ( bersifat Jelas, Pasti dan tidak Meragukan ) bagi pelaku tindak pidana.
3. Perlunya para pengusaha hutan memperhatikan segala ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam bidang kehutanan demi terciptanya kenyamanan dalam melakukan usaha serta meminimalisir segala pelanggaran yang dilakukan.
4. Perlu adanya sumbangan pemikiran – pemikiran yang lebih dari para akademisi dan mahasiswa – mahasiswa fakultas hukum dalam menganalisis suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, agar teori dan praktek dapat berjalan dengan seimbang dalam penerapan ilmu hukum dalam perkembangan masyarakat.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku – Buku :
Abidin, Zainal. (1995). Hukum Pidana I. PT.Sinar Grafika: Jakarta .
Ali, Ahmad. (1996). Menguak Tabir Hukum ( Suatu Kajian Fhilosofis dan Sosiologis ) . PT.Chandra Pratama : Jakarta .
Arief, Baarda Nawawi. (1996). Batas – batas kemampuan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana. CV.Mandar Maju. ---(2004 ). Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional. CV.Mandar Maju: Bandung.
Chazawi, Adami.(2002).Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta .
Hamzah, Andi.(1994). Asas – Asas Hukum Pidana. PT.Rineka Cipta Jakarta .
Hatrik, Hamzah.(1996). Asas – Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta . H.S,Salim.(2005). Dasar- Dasar Hukum Kehutanan Indonesia (edisi
revisi). PT.Sinar Grafika : Jakarta.
KartaNegara, Satochid. Kumpulan Kuliah & Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka Bagian Kedua. PT.Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta. Khakim, Abdul.(2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. PT.Citra
Aditya bakti : Bandung.
Marpaung, Leden . (1997). Tindak Pidana Lingkungan Hidup , Masalah & Prevensinya.PT. Sinar Grafika : Jakarta.
Moeljatno. 1983. Asas – Asas Hukum Pidana. PT.Sinar Grafika : Jakarta. Muladi. (1992).Teori – teori Kebijakan Pidana. PT.Alumni : Bandung. Mulyadi, Lilik.(2007). Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ( Normatif ,
Teoritis , Praktik & Masalahnya ). PT.Alumni : Bandung.
Prasetyo, Rudhy.(1991). Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi. Unpad Press : Bandung.
(5)
Prijatna, Dwipa & Muladi. (1991).Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. PT.Bandung Press : Bandung.
Prodjodikoro,Wirjono. (1969). Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco : Bandung.
Saleh, Roeslan. (1983).Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana. PT.Aksara Baru : Jakarta .
Satia Alam, Zein. (1997). Hukum Lingkunngan Konversasi Hutan. PT. Ardi Mahasatya : Jakarta.
Sholehuddin.(2002). Sistem sanski dalam Hukum Pidana ( Ide dasar Double Track System & Implementasinya) . PT.Rajawali Press : Jakarta .
Soepardja, Komariah Emong. (2002). Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. PT.Alumni : Bandung.
Sudarto. (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana . PT. Alumni : Bandung. Syahrin, Alvi. ( 2009 ). Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. PT.Softmedia : Medan.
Syariah, Rabiatul. (2009). Tanggung Jawab Korpoasi dalam Melestarikan Hutan Kayu. PT. Pustaka Bangsa Press : Medan.
Yunara, Edy. (2007). Korupsi & Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi Kasus
2. Undang –Undang :
. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung.
Undang – Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Undang – Undang No. 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.
Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah dirubah dan ditambah menjadi Undang – Undang No.20 Tahun 2001.
3. Peraturan Pemerintah :
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 Tentang Perencanaan Hutan. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan.
(6)
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 Tentang Tata hutan & Penyusunan Hutan , Pemanfataan Hutan , Penggunanan Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 Tentang perencanaan Kehutanan.
Peraturan Pemerintah No.6 Thaun 2007 Tentang Tata Hutan & Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
4. Kitab – Kitab :
KUHP( Kitab Undang – Undag Hukum Pidana ) karangan R.Soesilo. KUHP Khusus ( Kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang – Undang Pidana Khusus ) karangan Ermansjah Djaja. PT.Sinar Grafika : Jakarta. 2009.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT.Balai Pustaka : Jakarta karangan , W.J.S. Poerwardarminta.
5. Putusan – Putusan :
Putusan No.481/K/Pid.B/2006.PN.JKT.PST.
Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid.B/2006. PT JKT.PST.
6. Internet :
diakses pada tanggal 23 Agustus 2009. www. APHI.com
7. Surat Kabar/ Majalah :
, diakses pada tanggal 01 September 2009.
Harian SIB ( Sinar Indonesia Baru ). Diwarnai Unjuk rasa : Kejati Sumut Eksekusi 47 Ribu Ha Lahan Sawit di Register 40. Edisi: 4 Agustus 2009. Harian Medan Bisnis . Sawit Eks DL Sitorus Dikelola BPS Dephut.Edisi: Selasa, 25 Agustus 2009.