Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

BAB II
KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMASAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM
PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
1. Penyertaan (deelneming)
Penyertaan (deelneming)31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk
turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik
dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak
pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak
pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian
juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak
pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang
ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa
eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang
smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.
Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal
55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para
peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat
pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :

1.

Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :

31

Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit:
Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73

Universitas Sumatera Utara

a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut
seta melakukan perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau pemyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 merumuskan sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut
KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :32
1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam
Pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat
(mededader), adalah mereka :
a. yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat
pelaksanaan (pleger);
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut
dengan pembuat penyuruh (doen pleger);
c. yang turut serta melakukan (mede plegen), orangnya disebut
dengan pembuat peserta (mede pleger); dan
d. yang disengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut
dengan pembuat penganjur (uitlokker).
2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu

(medeplichtige) kejahtan, yang dibedakan menjadi :
a. pemberibantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming)
adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,

32

Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Op.Cit, halaman

81

Universitas Sumatera Utara

ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik
dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi
pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana,
kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan
melakukan tindak pidana korupsi.
Yang dihukum sebagai orang yang melakukan dapat dibagi atas (empat)

macam, yaitu sebagai berikut :
1. Orang yang melakukan (pleger).33 Orang ini ialah seseorang yang
sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari
peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam
jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai
pegawai negeri.
Kedudukan pleger dalam Pasal 55 KUHP: janggal karena pelaku
bertanggung jawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat
dipahami:34
a. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi
pleger masuk di dalamnya (Hazewinkel Suringa).
b. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan
sebagai pembuat (pompe).
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger).35 Di sini sedikitnya
ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh

33

Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 84
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012,

halaman 206
35
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 87
34

Universitas Sumatera Utara

(pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa
pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia
dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau
melakukan peristiwa pidana. Disuruh (pleger) itu harus hanya
merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat
dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
misalnya dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP,
umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak
berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila) untuk
melemparkan granat kepada B, bila C betul-betul telah
melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat
dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan

yang dihukum sebagai pembunuh ialah A.
b. Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan
yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48,
umpamanya A berniat membakar rumah B dan dengabn menodong
memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C
membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa,
sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai
pembakar.
c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah
menurut Pasal 51, misalnya seorang Isnpektur Polisi mau

Universitas Sumatera Utara

membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan
orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi
di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan dalam
tahanan orang tersebut, ia tidak dapat dihukum atas merampas
kemerdekaan orang karena ia menyangka perintah itu sah,
sedangkan yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah
tetap si Inspektur Polisi.

d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama
sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang
ditaruh di muka kantor pajak. Ia tidak berani menjalankan sendiri,
tetapi ia menunggu di tempat yang agak jauh minta tolong kepada
B untuk mengambil sepeda itu dengan mengatakan bahwa sepeda
itu miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak
dipersalahkan mencuri, karena dengan elemen sengaja tidak ada.
Yang dihukum sebagai pencuri tetap A.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger).36 Turut melakukan dalam
arti kata, bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua
orang, ialah orang yang melakukan pleger dan orang yang turut serta
melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta, bahwa
kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi
melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh
misalnya hanya melakukan perbautan persiapan saja atau perbuatan

36

Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 99


Universitas Sumatera Utara

yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang
menolong itu tidak masuk medepleger, tetapi dihukum sebagai
membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56.
4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai
kekerasan, dan sebagainya. Dengan sengaja membujuk melakukan
perbuatan itu (uitlokker).37 Orang itu harus sengaja membujuk orang
lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari jalanjalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan
sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu, artinya tidak boleh
memakai jalan lain. Disini sama halnya dengan suruh melakukan
sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah orang yang membujuk dan
yang dibujuk, hanya bedanya pada membujuk melakukan, orang yang
dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada suruh
melakukan, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.
Penganjuran

(uitloken)

mirip


dengan

menyuruh

melakukan

(doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.
Namun perbedaannya terletak pada :38
a. pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu
(limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan
menyuruhlakukan menggerakannya dengan sarana yang tidak
ditentukan;
b. pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan,
sedang dalam menyuruh pembuat materiil tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

37
38


Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 112
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 209

Universitas Sumatera Utara

2. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop) dan
Perbuatan Berlanjut (voortgezette Handeling)
Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua
atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan
pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan
tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.39 Pada
penggulangannya juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada penggulangan tindak pidana
yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan
memidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau
seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada penggulangan
tidaklah diperlukan, karena syarat perbarengan adalah bahwa perbuatan yang
pertama dan perbuatan pidana yang dilakukan kemudian belum dijatuhi
vonis/hukuman oleh hakim.
Sebagaimana yang kita ketahui, perbarengan merupakan permasalahan

yang berkaitan dengan pemberian pidana. Dalam ajaran umum

tentang

pembarengan dibicarakan maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan
dalam hal :40
1. Beberapa pembuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada
waktu yang sama atau secara bertahap. Bentuk berbarengan jangan
dicampur aduk dengan residif. Ada perbarengan dimana dilakukan
beberapa perbuatan pidana sebelum salah satu perbuatan pidana itu

39

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit ,halaman 109
D.Shcaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,
halaman 175
40

Universitas Sumatera Utara

diajukan ke pengadilan. Tidaklah penting apakah perbuatanperbuatan pidana itu diajukan ke pengadilan pada waktu yang sama
atau bertahap (Pasal 71 KUHP) .
Residif memiliki kesamaan dengan perberengan karena dalam
residif dilakukan beberapa perbuatan pidana. Yang khusus dari
residif, yaitu setelah si pelaku diadili karena melakukan perbuatan
pidana, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan pidana lagi.
Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana
yang dilakukan dan di antara beberapa perbuatan pidana itu si
pembuat tidak diadili bertalian dengan salah satu perbuatan
pidana yang dilakuakan itu. Adanya residif apabila ada beberapa
perbuatan pidana. Setelah si epmbuat diadili karena ia melakukan
perbuatan pidana lagi.
2. Ada (beberapa) perbuatan yang dalam kehidupan sehari-hari
dipandang sebagai satu kesatuan, tetapi termasuk ke dalam
beberapa

perbuatan

pidana

sehingga

merupakan

beberapa

perbuatan yang diancam dengan pidana. Sebagai contoh, di
indonesia mengendarai kendaraan di sebelah kanan jalan (catatan:
di belanda orang berkendaraan di sebelah kanan jalan), dan karena
kealpaan bisa mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Universitas Sumatera Utara

Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh saru
orang ini, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan
yang terjadi, yaitu :41
a. Terjadinya perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara
dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana
karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana
itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan
diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan
satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan
pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa
tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total
yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa
memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan
pada masing-masing tindak pidana.
b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan memidana
pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap,
maka di sini terdapat penggulangan. Pada pemidanaan si pembuat
karena tindak pidana yang kedua ini terjadi penggulangan, dan di sini
terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan
pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai
kekuatan hukum pasti, maka di sini tidak terjadi perbarengan maupun
penggulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendirisendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang
diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.
Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi perbarengan dan
disana tidak terjadi pemberatan tetapi justru terdapat adanya peringanan terhadap
pemidanaan atau penjatuhan pidananya. Akan tetapi pemberlakuan terdapat halhal yang demikian tersebut tidaklah mencakup keseluruhan tindak pidana, hanya
dapat diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja atau biasa dijatuhkan
terhadap tindak pidana sejenis. Apabila sudah berlainan tindak pidana yang
dilakukan, maka dapat menjadi pemberat terhadap penjatuhan pidananya. Hal ini

41

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar
Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas,
Penerbit : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 110

Universitas Sumatera Utara

dikarenakan akan dipilih pidana yang paling berat ancaman hukumannya dari
perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku.
Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar pemberat pidana atau
peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya
terhadap peristiwa konkret tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian.
Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana
kemudian dapat diperberat dengan sepertiga ancaman pidana yang terberat, tanpa
melihat di sana ada beberapa tindak pidana, maka di sini perbarengan dapat
dianggap sebagai alasan pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat sematamata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni
terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dapat
ditambah sepertiga dari yang terberat (seperti Pasal 65) maka tampaknya pada
perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Contoh orang yang dua kali melakukan
pembunuhan yang masing-masing diancam pidana penjara maksimum 15 (lima
belas) tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana
penjara dua kali masing-masing 15 (lima belas) tahun, sehingga berjumlah 30
(tiga puluh) tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana
penjara dua kali sehingga berjumlah 30 (tiga puluh) tahun, tapi satu kali
maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiga).
Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan
umumnya, hal perbarengan dimuat ketentuan umumnya yakni dalam Bab VI
(Pasal 63-71) KUHP. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu
ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan

Universitas Sumatera Utara

pidana (sistem panjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan
lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan
diputus oleh pengadilan. Konkretnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan
menentukan mengenai : (a). cara menyidangkan atau memeriksa (menyelesaikan)
perkara; dan (b) cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang
pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya
belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan.
KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63-71.
Dalam rumusan pasal maupun dalam Bab IX,

KUHP tidak memberikan

defenisi/pengertian perberengan tindak pidana (concursus) ini. Namun demikian,
dari rumusan pasal-pasalnya, dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian
pidana bagi concursus sebagai berikut :
A. Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis atau Eendaadse
Samenloop)
Apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau
samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah
diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berbunyi :42
“Valt een in meer dan eene strafbepaling, dan wordt slechts eene dier
bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is
gesteld”.

42

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 667

Universitas Sumatera Utara

yang artinya : “Apabila suatu prilaku itu termasuk ke dalam lebih dari pada
satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana
tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang
diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok
yang terberat”.
Tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut dengan
rumusan yang berbunyi :
“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat”.
Rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP di atas tampaknya sangat sederhana, akan
tetapi dari hal-hal yang dituliskan di atas akan diketahui, bahwa pemberian arti
kepada ketentuan yang telah diatur di dalamnya itu tidaklah semudah yang
diperkirakan orang.
Kesulitan mengenai pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di
dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP itu justru terletak pada penafsiran perkataan feit
yang terdapat di dalam rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP itu sendiri.
Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah
sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat,43 sedangkan
keetntuan-ketentuan yang lain tidak diperhatikan. Misalnya terjadi pemerkosaan

43

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 179

Universitas Sumatera Utara

di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara selama 12
tahun menurut Pasal 285, dan pidana penajara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281.
Dengan menggunakan sistem absorbsi, maka akan diambil pidana yang terberat,
yaitu 12 tahun penjara.
Dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi
generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum).
Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka
dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara
15 tahun. Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak
pidana ibu yang membunuh anaknya (aborsi), maka dalam hal ini tidak berlaku
sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 disebabkan
pengaturan yang lebih khusus tersebut.
B. Meerdaadse Samenloop Atau Concursus Realis
Apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus Realis ataupun
apa yang oleh Profesor van Hamel44 juga telah disebut sebagai samenloop van
delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-Pasal 65
sampai dengan 71 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tim penerjemah Wetboek van Strafrecht dari Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1
KUHP di atas dengan perkataan-perkataan :45
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan,
44

van HAMEL dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit,
halaman 696
45
P.A.F. Lamintang, Ibid, halaamn 696

Universitas Sumatera Utara

yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya
satu pidana.”
Rumusan Pasal 66 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu
antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal perbarengan bebrapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan
beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka
dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.”
Dari terjemahan-terjemahan mengenai bunyi rumusan Pasal-Pasal 65 ayat
1 dan Pasal 66 ayat 1 KUHP oleh tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman di atas dapat diketahui bahwa tim penerjemah
telah menafsirkan perkataan-perkataan meerdaadse feiten di dalam Pasal-Pasal 65
dan 66 KUHP itu sebagai beberapa perbuatan (dalam arti material).
Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut
jenis-jenis perbarengan perbuatan. Mengenai pebarengan perbuatan undangundang telah membedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :46
1. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang
masing-masing diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya
(Pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem
bisapan yang diperberat (verscherpte absorbsi stelsel), yaitu
dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dan maksimum pidana yang
dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan
terhadap tindak pidana itu, tetapi tidak boleh blebih dari
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 2).
2. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66),
penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi
terbatas (het gematigde cumulatie stelsel), artinya masing-masing
kejahatan itu diterapkan; yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana
sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya,
tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana
46

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2,Op.Cit, halaman 142

Universitas Sumatera Utara

yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 1). Apabila kejahatan
yang satu diancam dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang
lain dengan pidana hilang kemerdekaan (penjara atau kurungan),
maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan
pengganti denda.
3. perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan
pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi
murni (het zuivere cumulatie stelsel), demikian juga;
4. perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan
pelanggaran, menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua
kejahatan maupun pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri
dengan menjatuhkan pidana pada si pembuat sesuai dengan
ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran itu tanpa
adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu.

Untuk menentukan lamanya hukuman yang terberat, sebagaimana yang
dimaksudkan di dalam bunyi Pasal 66 ayat 1 KUHP , maka perbandingan berat
antara hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis itu ditentukan oleh urutan
hukuman-hukuman pokok seperti yang telah diatur di dalam Pasal 10 KUHP.
Mengenai concursus realis ini telah diatur didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dimulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 71. Di dalam
Pasal 70 diatur mengenai penjatuhan pidana atau hukuman.
Rumusan ketentuan pidana di dalam Pasal 70 KUHP itu berbunyi :
1. Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 65
dan 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan, maupun
pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap
pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
2. Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan
pidana kurungan pengganti paling banyak atu tahun empat bulan,
sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti, paling
banyak delapan bulan.
Dari ketentuan pidana seperti yang telah di atur di dalam Pasal 70 KUHP
di aats dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang telah menghendaki
dijatuhkannya hukuman dalam bentuk suatu penumpukan hukuman-hukuman

Universitas Sumatera Utara

yang besifat murni di dalam suatu pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan
pelaku.
C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezzete Handeling)
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada
hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut.47
Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
1. jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette
bandeling), maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.
2. demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang
dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang,
dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut
dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 407 ayat 1, sebagai perbuatan
berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari
tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana
ersebut dalam Pasal 362, 378, dan 406.
Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana,
bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi
unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di
belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggraan
maupun kejahatan”. Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ
diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani

47

Ibid, halaman 180

Universitas Sumatera Utara

itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini
lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan
dijelaskan.
Bila dilihat dari bunyi pasal di atas, dapat dipahami bahwa perbuatan
berlanjut di sini, yaitu adanya suatu perbuatan pidana sejenis yang dilakukan
berulang kali oleh si pelaku atau bisa merupakan suatu perbuatan yang mirip atau
dapat dikategorikan masuk dalam kategori perbuatan tersebut. Misalnya saja
seperti, korupsi dengan grativikasi dan juga penyuapan merupakan perbuatan
pidana yang termasuk ke dalam suatu golongan pidana, sehingga apabila
melakukan dua diantaranya dapat dikatakan berkelanjutan.
Mengenai unsur kedua, yaitu antara perbuatan yang satu dengan perbuatan
yang lain harus ada hubungan yang sedemikian rupa tidak ada keterangan lebih
lanjut dalam undang-undang. Namun, demikian ada sedikit keterangan di dalam
Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda mengenai pembentukan pasal ini
yaitu : “bahwa berbagai perilaku harus merupakan pelaksanaan satu keputusan
yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi
dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.”
Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge
Raad menarik kesimpulan tentang 3 (tiga) syarat adanya voortgezette handeling
yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada
hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah :48
1. harus adanya satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;

48

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Op.Cit, halaman 131

Universitas Sumatera Utara

2. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis;
3. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang saru dengan
yang berikutnya (berurutan) tidak boleh terlalu lama.
Mengenai yang pertama, yaitu adanya suatu keputusan kehendak
(Wilbesluit). Dalam hal perbuatan berlanjut, keadaan batin kelalaian tidaklah
mungkin, berhubung karena syarat pertama perbuatan ialah adanya satu keputusan
kehendak, satu keputusan kehendak mana ditujukan pada suatu tindak pidana, dan
bukan sekedar pada perbuatan, oleh sebab itu itu pastilah perbuatan yang wujud
nyatanya berupa suatu tindak pidana itu dilakukan dengan kesengajaan.49
Dengan adanya satu kehendak untuk melakukan tindak pidana, karena
telah sekali direalisasikan dalam suatu perbuatan pidana, maka di lain hari juga
terdapat niat dari si pelaku apabila terdapat kesempatan-kesempatan yang ada.
Dengan kata lain, niat yang terbentuk yang ditujukan untuk melakukan satu tindak
pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi
pada kesempatan yang lain.
Kedua, Agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan maka syarat kedua
yaitu Tindak Pidana yang sejenis haruslah terpenuhi. Sebagaimana yang ditulis
oleh Lamintang50 “perilaku-perilaku yang menyebabkan telah terjadinya tindak
pidana yang sejenis”. Menggunakan istilah perbuatan dalam syarat kedua masih
dapat menimbulkan persoalan, tetapi dengan menyebut tindak pidana sudahlah
jelas bahwa yang harus berulang kali itu adalah tindak pidana, bukan perbuatan
semata.
49
50

Adami Chazawi, Ibid, halaman 132
Ibid, halaman 135

Universitas Sumatera Utara

Ketiga ialah jarak waktu antara tindak pidana yang satu dengan tindak
pidana yang berikutnya tidak boleh terlalu lama.Maksudnya ialah, bahwa
perbuatan berlanjut ini boleh saja berlangsung sampai dengan bertahun-tahun
lamanya, tetapi jarak antara satu dengan yang berikutnya tidaklah boleh terlalu
lama temponya51. Jika waktu itu telah terlalu lama akan terdapat kesulitan untuk
mencari suatu hubungan antara tindak pidana yang dilakukan itu dengan tindak
pidana (sejenis) sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya
maka tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut. Hal tersebut
akan berubah maknanya yang semulanya bisa merupakan perbuatan berkelanjutan
akan tetapi karena jarak dengan perbuatan pidana pertama dengan seterusnya yang
terlalu jauh maka dikategorikan sebagai suatu perbuatan berulang.
Di dalam putusan kasasi tanggal 5 Maret 1963 No. 162 K/Kr./196252,
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain :
“penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang
pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu
keputusan kehendak (wilsbesluit), maka perbuatan itu tidak dapat
dipandang sebagai satu perbuatan daan tidak dapat semua perkaranya itu
diberikan satu putusan.”
Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No.
156/K/Kr./196353, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah emmutuskan
anatar lain :

51

Adami Chazawi, Ibid, halaman 136
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 709
53
Ibid
52

Universitas Sumatera Utara

“masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah
mengenai masalah pejatuhan hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai
pembatasan dari tuntutan”.
Menurut Profesor van Bemmelen,54 untuk menetukan apakah beberapa
perilaku itu dapat dianggap sebagai satu tindakan berlanjut atau bukan, biasanya
tidak begitu mudah, oleh karena semua perilaku itu biasanya juga terdiri dari
sejumlah besar tindakan kecil.
Di dalam memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 ayat 1
KUHP itu antara lain telah dikatakan, bahwa suatu voortgezet misdrijf itu hanya
dapat terjadi apabila di situ terdapat sekumpulan tindak pidana yang sejenis.
Tindakan-tindakan ysng telah dilakukan oleh orang itu telah memenuhi kriteria
seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni :55
a. bahwa perbuatan berulang kali mengambil sejumlah kecil batu dengan
mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan
keputusannya yang terlarang menurut undang-undang;
b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan
beberapa tindak pidana ysng sejenis, yaitu tindak-tindak pidaan
pencurian;
c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain
tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.
B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak
Pidana Korupsi
1. Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi
Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan
penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersamasama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya,
54
55

Ibid, halaman 710
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 711

Universitas Sumatera Utara

sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada
negara.
Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai
berikut :
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.”
Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 tersebut, sebenarnya terdiri dari
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :56
a. setiap orang yang melakukan Percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP)
untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan
pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14;
b. setiap orang yang melakukan pembantuan (Pasal 56 KUHP) untuk
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana
yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14;
c. Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP)
untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan
pidana yang saam dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 15
sampai dengan Pasal 14.
Bila melihat isi Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
atas, maka adapun yang dikatakan pembantuan, yaitu adalah hal-hal yang telah
56

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 121

Universitas Sumatera Utara

diatur sebelumnya pada Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yang berbunyi sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsurunsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi
tersebut telah ikut bersama-sama melakukan pembantuan kejahatan khususnya
dalam Tindak Pidana Korupsi.
Bila melihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 56 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) di atas, dapat dilihat bahwa pembantuan merupakan suatu
bagian dari penyertaan tindak pidana. Maka akan berkaitan dengan Pasal 55
KUHP yang mengatur mengenai penyertaan di dalam tindak pidana, dan berlaku
pula dalam Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan :
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta
melakukan tindak pidana;
2. mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan
kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan, ancaman atau tipu
daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menggerakkan orang lain agar melakukan tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 55 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa orang yang
dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas:57

57

Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan Penyertaan, penerbit:
USUpress, Medan, 2009, halaman 43

Universitas Sumatera Utara

a. mereka yang melakukan;
b. yang menyuruh melakukan;
c. dan yang turut serta melakukan;
d. serta penganjur;
e. mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
f. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Dalam hal melakukan tindak pidana korupsi, maka akan lebih mendalam
pembahasan mengenai ikut serta dalam tindak pidana korupsi. Ikut serta
(medeplegen) merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
penyertaan (deelneming). Dengan kata lain, ikut serta adalah merupakan
penyertaan. Menurut MvT pelaku dalam ikut serta (medeplegen)58 adalah orang
yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh
undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan
perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari
sesuatu pidana.
Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya terkait dengan masalah
pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta ini, antara lain
sebagai berikut :
1. Menurut Pompe,59 dalam mewujudkan tindak pidana itu ada tiga
kemungkinan, yaitu :

58

P.A.F. Lamintang Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Ibid, halaman 55
Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Surakarta: Program
Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 1987), halaman
40-41
59

Universitas Sumatera Utara

a. mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam
rumusan delik. Mereka ini masing-masing dapat juga
disebut melakukan delik.
b. salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan
ada orang lain ikut serta.
c. tidak seorangpun yang melakukan perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetap mereka
bersama-sama mewujudkan delik itu.
2. Menurut Simons dalam Loebby Loqman,60 bahwa dalam ikut serta
semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana
yang dilakukan.
3. Menurut van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,61 bahwa
dianggap ada persoalan ikut serta (medeplegen) jika setiap pelaku
yang ikut serta harus memenuhi semua unsur delik. Jadi mereka
satu sama lain menjadi pelaku peserta. Di luar hal-hal itu maka
adalah bentuk penyertaan yang berupa pembantuan.
4. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam
penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memnuhi semua unsur
tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang harus
memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak pidana
yang dilakukan. Yang terpenting menurut Hoge Raad adalah
dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula Mahkamah Agung
Republik Indonesia juga berpendapat bahwa dalam ikut serta
peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam tindak pidana.62

60
Loebby Loqman Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan
Penyertaan,Op.Cit, halaman 56
61
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair,
Percobaan dan Penyertaan,Ibid
62
Ibid, halaman 57

Universitas Sumatera Utara

Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming)
adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,
ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik
dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi
pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana,
kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan
melakukan tindak pidana korupsi.
Bila dilihat lebih jauh, maka dalam tindak pidana korupsi yang lebih
banyak terjadi adalah seseorang yang turut serta melakukan atau bersama-sama
melakukan tindak pidana korupsi sebagimana yang telah diatur di dalam Pasal 55
ayat 1 KUHP.
Adapun perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori,
antara lain:63
1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)
Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat
dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila
seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah
merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang
tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila
orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia
dianggap melakukan “pembantuan”.
2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)
Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu
penyertaan. Di dalam turut serta pelaku memang mempunyai
kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam
pembantuan kehendak ditujukan kearah memberi bantuan kepada
orang yang melakukan tindak pidana.
Disamping perbedaan kehendak, dalam turut serta pelaku
mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau
tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana.
63

http://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-proflobby-luqman. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam pembantuan tidak mempunyai tujuan yang
berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan si pelaku
utama. Artinya pembantu hanya memberikan bantuan apabila ia
mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana.
Dalam hal kepentingan, peserta dalam turut serta mempunyai
kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan pembantuan
kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana
itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.
3. Teori Gabungan (verenigings theorie)
Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif.
Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat
apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan
teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undangundang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat
kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.
Dalam membedakan antara turut serta dengan pembantuan di dalam
praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk turut serta
yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila
memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai
turut serta. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta
diklasifikasikan sebagai pembantuan.
Selanjutnya, dalam hal pemberian kesempatan, sarana atau keterangan di
dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP yang terjadinya Tindak Pidana Korupsi diluar
wilayah Indonesia bahwa pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan adapun pencantuman dari hal ini
adalah untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi yang bersifat
transional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer
keuangan/harta kekayaan hasil Tindak Pidana Korupsi antarnegara dapat dicegah
secara optimal dan efektif.

Universitas Sumatera Utara

Bila berbicara permasalahan ikut serta/penyertaan dalam Tindak Pidana
Korupsi, maka juga akan dijabarkan adanya ancaman Pidana Korupsi bagi
seseorang yang turut serta melakukan perbuatan korupsi tersebut. Ancaman ikut
seta dalam tindak pidana korupsi adalah sama dengan yang melakukan Tindak
Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukuman yang diberikan yaitu :
Ancaman pidana penjara berupa :64
a. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 2 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999);
b. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 3 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999);
c. pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) (Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1999); dan
d. pidana penjara dan atau pidana denda sebagaimna diatur dalam
ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31
tahun 1999.
Pidana tambahan, dapat berupa :65
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
Tindak Pidana Korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat
Tindak Pidana Kmorupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang ganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya saama
dengan harta benda yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi;
c. pentutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1 (satu) tahun; dan

64

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di indonesia, Normatif, Teoritis, Parktik dan
Masalahnya, penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 99
65
Ibid

Universitas Sumatera Utara

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Bila dilihat dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, maka dapat terlihat adanya
pengaturan mengenai keikutsertaan, atau dengan kata lain terdapat pengaturan
mengenai penyertaan (deelneming).
Sebagaimana yang diketahui, bahwa Tindak Pidana Khusus yang
mengatur adanya penyertaan tidak hanya terdapat pada Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja. Tetapi, terdapat juga Undang-Undang
Tindak Pidana Khusus yang lain yang juga mengatur penyertaan dalam tindak
pidananya.
Undang-Undang yang mempunyai pengaturan yang sama mengenai ikut
serta dalam penyertaan, yaitu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
terdapat pada Pasal 10 yang berbunyi :
“Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan,
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5.”
Selain Undang-undang Tindak Pencucian Uang (money laundering) juga
terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur penyertaan,
yaitu

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Traffic King).

Universitas Sumatera Utara

Adapun Pasal 10 berbunyi :
“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.”
Selain dua Undang-Undang diatas, terdapat juga Undang-Undang Tindak
Pidana Khusus yang juga mengatur mengenai ikut serta dalam penyertaan
(deelneming) di dalam tindak pidananya, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Adapun bunyi Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang Narkotika yaitu sebagai
berikut :
“Pemufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang
bersengkongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,
membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan,
memfasilitasi, memberi konsultasi, atau mengorganisasikan suatu Tindak
Pidana Narkotika.”
Melihat bunyi Pasal Undang-Undang di atas, maka dapat dilihat bahwa
tidak hanya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan
pengaturan mengenai ikut serta dalam penyertaan. Ada juga undang-undang
Tindak Pidana Khusus yang mengatur permasalahan penyertaan.
Dari bunyi Undang-Undang di atas, dapat kita lihat bahkan dalam
penjatuhan pidananya, orang yang ikut serta melakukan kejahatan dalam
Pencucian Uang, Perdagangan Orang dan Narkotika juga mendapatkan ancaman
hukuman yang sama dengan orang yang melakukan. Sehingga, tidak hanya
Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan ancaman yang sama orang yang
melakukan penyertaan seperti pelaku yang melakukan kejahatan, tetapi tindak

Universitas Sumatera Utara

pidana yang lain juga mengatur hal yang sama mengenai ikutserta dalam
penyertaan (deelneming), khususnya dalam penjatuhan pidananya.
3. Pidana Berkelanjutan dalam Tindak Pidana Korupsi
Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) pada dasarnya adalah
beberapa tindak pidana yang satu sama lain saling berhubungan sehingga
dipandang sebagai satu tindak pidana yang terjadi secara berlajut. Untuk dapat
dikatakan ada perbuatan berlanjut beberapa tindak pidana tersebut harus terjadi
karena satu keputusan kehendak, waktu antara perbuatan yang satu dan yang lain
tidak boleh lama, dan perbuatan-perbuatan tersebut sama atau sama jenisnya.
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan beberapa tindak
pidana yang dilakukan dengan tempus dan locus delicti sendiri-sendiri, tetapi
karena lahir dari satu keputusan kehendak dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Dilihat dari segi pemidanaan, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan
apakah perbuatan itu dipandang sebagai delik tunggal, ataupun dipandang sebagai
gabungan delik (samenloop), terutama dalam hal perbuatan berlanjut (voortgezette
handeling). Mengingat hanya dijatuhkan satu pidana saja dari serangakain pidana
sejenis, atau jika berbeda-berbeda diterapkan ancaman pidana yang paling berat ,
sedangkan ketentuan yang lain tidak diperhatikan (absobsi). Dalam yurisprudensi
dan ilmu pengetahuan perbuatan berlanjut dipandang jika bermacam-macam
perbuatan yang dilakukan, jarak perbuatan antara perbuatan yang satu dengan
perbuatan seterusnya tidak terlalu jauh dan diakibatkan oleh satu kehendak.

Universitas Sumatera Utara

Adapun

pengaturan

mengenai

perbuatan

berlanjut

(voortgezzette

handeling) diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1. Jika antara beberapa perb

Dokumen yang terkait

Peranan Tes Deoxyribonucleic Acid (Dna) Dalam Pembuktian Tindak Pidana(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 626 Pid. B / 2012 / PN. SIM, Putusan Mahkamah Agung No. 704 K / Pid / 2011, Putusan Mahkamah AgungNo. 1967 K/Pid/2007 dan Putusan Mahkamah Agung

2 84 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Analisis Hukum Terhadap Pidana di Bidang Kehutanan (Studi Putusan No.481/K/Pid.B/2006 PN Jkt.Pst & Putusan Mahkamah Agung No. 2462/K/Pid/2006 dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus)

6 90 359

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid//2006)

1 17 91

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 9

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 1

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 22

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

0 0 3