Fenomena Pencitraan Politik Dalam Perspe

Fenomena Pencitraan Politik dalam Perspektif Psikologi
Sosial Herbert Mead

Disusun oleh:
Arriftonah Handayani A
Allrizky stefanus
Dwi Ariyantoni N

Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Menjelang pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2014,
panggung perpolitikan Indonesia mulai bergemuruh dengan warna juga pesona. Dari
mulai sudut-sudut kampung sampai perkotaan, jalan-jalan dihiasi sesak oleh gambar,
spanduk, dan baligo partai atau kandidat anggota dewan. Seolah tak ada tempat dan
ruang kosong, semuanya nyaris terisi oleh janji dan niat menjadi partai atau wakil
rakyat yang terbaik. Menjelang pemilu 2014, Indonesia berubah menjadi arena pacu

penuh gairah yang menampilkan wajah partai dan politisi yang tiba-tiba murah
senyum, klimis, necis, pandai bersolek, gemar berderma dan sudi mengunjungi
tempat-tempat terpencil untuk menyapa dan hadir di tengah-tengah rakyat.
Seluruh tindakan itu, jika dilihat dari upaya untuk memperoleh simpati rakyat
dan mendulang suara sebanyak mungkin amat sah untuk dilakukan. Bisa dikatakan
tindakan-tindakan tadi merupakan sebuah ―senjata politik‖ yang berpotensi
menggiring dan merayu rakyat terhadap pemilihan wakil politiknya. Tindakan tadi
itulah yang dianamakan sebagai pembentukan citra diri (self image).
Pembentukan citra diri atau pencritaan memang kerap digunakan untuk
memperlihatkan citra diri agar terlihat baik. Pencitraan dalam teori interaksionalisme
simbolik Hrebert Mead termasuk dalam kasus psikologi sosial. Dalam Psikologis
sosial yang dikemukakan Mead, Pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan
benda-benda dan kejadian yang dialami, menerangkan asal-muasal dan meramalkan
mereka.

1.1 Rumusan Masalah
1.1.1

Apa yang dimaksud dengan Pencitraan dalam dunia Politik?


1.1.2

Bagaimana teori interaksionalisme simbolik yang dikemukakan Herbert
Mead tentang psikologi sosial?

1.1.3

Bagaimana Psikologi Sosial Mead memandang fenomena Pencitraan
dalam dunia politik?

BAB II
PEMBAHASAN

2

Pengertian Pencitraan dalam Demokrasi Politik
Citra adalah dunia menurut persepsi kita, atau pictures in our head (Water
Lippman, 1965), yang merupakan gambaran tentang realitas, mungkin saja—tidak
sesuai dengan realitas. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui
berbagai media, utamanya media massa cetak dan elektronik, yang bekerja

membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Dari sudut pandang ilmu
sosial, salah satu pendekatan teoritik tentang penciptaan citra adalah impression
management -manajemen kesan- dimana citra dipandang sebagai kesan seseorang
atau suatu organisasi terhadap orang atau organisasi lain.
Menurut Nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi
keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya
terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Teori image building menyebutkan bahwa, citra akan terlihat atau terbentuk melalui
proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian (attention
filter), dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti (perseived
message), yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra.
(M. Wayne De Lozier, 1976:44). Lebih jauh, Nimmo (2000:6-7) menyebutkan bahwa,
citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesucian
subjektif akan memberi kepuasan baginya, yang paling tidak memiliki tiga kegunaan,
yaitu: 1. Betapapun benar atau salah, lengkap atau tidak lengkap, pengetahuan orang
tentang politik, memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa
politik tertentu. 2. Kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang
politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. 3. Citra diri seseorang
memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. Sebagai bagian dari
komunikasi politik, pencitraan politik memang dilakukan secara persuasif untuk

memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih. Corner dan Pels
mencatat baik figur-figur yang bersih maupun bermasalah (notorious) sama-sama

secara substansial bekerja keras membangun citra politik untuk mempengaruhi
pemilih, karena citra telah menjadi faktor paling menentukan sukses tidaknya sebuah
perjalanan kampanye
Dalam politik (pemilu), pencitraan selalu identik dengan ―show off‖ pamer,
menonjolkan diri maupun partai dengan mengedepankan ideologi, visi, berbagai
macam perubahan hingga simbol-simbol tertentu yang akan memudahkan massa
pemilih dalam mengingat partai maupun calon legislatifnya.

Politik pencitraan

intinya ingin membuat orang lain (pemilih) terpesona, kagum, memunculkan rasa
ingin tahu, memunculkan kedekatan yang memang sengaja dibangun demi popularitas
(hendrastomo, 2009:5)
Pencitraan juga identik dengan selebriti, pejabat yang menginginkan
penampilan terbaik (positif) yang akan selalu diingat dan mengubah citra negatifnya.
Dalam demokrasi, pencitraan menjadi penting karena adanya reprsentasi suara yang
disematkan ketika seseorng berlomba-lomba menjadi ―wakil rakyat‖. Seseorng yang

ingin menjadi wakil rkyat paling tidak harus dikenal oleh massa pemilih dan
kepentingan untuk menampilkan sosok dirinya dengan harapan massa pemilih akan
memilih dirinya. Konteks wakil rakyat , sendiri bisa diperdebatkan. Idealnya, semua
orang memiliki kans yang sama untuk menjadi wakil rakyat. Masyrakat sebagai
warga negara biasa mempunyai akses yang sama ke dunia politik.
kenyataanya, akses ini dibagi secara tidak merata.

Dalam

Pembagian itu ditentukan

berasarkan tingkat pendidikan , kepemilihan kelompok/agama dan posisi geografis.
Ketiga faktor itu mencerminkan besarnya kapital yang dimiliki (kapital budaya, sosial
ekonomi, dan simbolik). Kepemilikan kapital menentukan hubungan kekuasaan yaitu
daya tahan terhadap hak-hak mereka (Haryatmoko, 2008).
Bagi calon wakil rakyat, pencitraan akan membantu mereka menampakkan
sisi baik dan mempopulerkan diri mereka pada calon pemilih. Bagi politisi yang
sekarang menikmati empuknya kekuasaan, pencitraan penting untuk menyebarkan
capaian hasil dan perubahan, janji-janji yang akan dilakukan, mengubah citra negatif
menjadi positif demi untuk melanggengkan kekuasannya, karena obsesi politisi adalah

kekuasaan (dipilih kembali) bukan dalam rangka mengupayakan kesejahteraan bangsa
melainkan sebagai akses ke fasilitas dan kenikmatan sosial.
Pemilu menjadi proyek besar untuk mulai perjuangan saling mengalahkan
demi kursi kepresidenan, legislative maupun kepala daerah. Politis berlomba-lomba
membentuk citra diri yang baik dengan menggunakan berbagai macam cara.

Pencitraan bukan lagi sekedar memoles sisi negatif politisi yang secara manusiawi
memiliki kekurangan, melainkan sudah menjadi lampu aladin yang diharapkan dapat
mengubah hitam menjadi putih (Kristiadi, 2008). Dalam sebuah demokrasi, tidak ada
satu kelompokpun yang yakin bahwa kepentingannya akan menang, bahkan
kelompok yang paling kuat, semua harus siap menghadapi kemungkinan bahwa
mereka bisa saja kalah dalam pertarungan dengan kelompok lain yang berarti
keinginannya tidak terpenuhi (Sorensen, 2003).
Pencitraan dalam demokrasi menjadi sesuatu hal yang wajar dan logis, dimana
semua memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih.

Citra seseorang akan

menambah maraknya demokrasi dan membantu tercapainya demokrasi masyrakat
sipil ketika janji-janji yang dicitrakan dan ditampilka benar-benar mampu membawa

perubahan dan kesejahteraan masyarakat.
Biasanya bentuk pencitraan politik yang dilakukan terbagi dalam dua strategi,
yaitu Incumbent Vs Challenger . Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga
perlu untuk diteruskan. Adapun yang kedua menunjukkan kegagalan-kegagalan
kebijakan pemerintah sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk
digantikan secara konstitusional. Dua strategi itulah, pencitraan politik dilakukan
untuk meraih simpati dan kepercayaan publik, melalui aneka ragam aksi. Strategi
challenger, terlihat dari apa yang dilakukan Megawati Soekarno Putri yang dulu
terkenal jarang berkomentar, apalagi mengkritik, saat ini justru lebih banyak
mengkritik pemerintah, dalam ungkapan-ungkapannya seperti, "tebar kerja bukan
tebar pesona" atau "bagaikan penari poco-poco". Selain melontarkan kritik, Megawati
juga giat melakukan berbagai safari politik, dengan mengunjungi desa terpencil,
tempat pelelangan ikan, pasar, untuk mengukuhkan citra politiknya sebagai figur yang
peduli terhadap wong cilik (Hasan, 2009:23).
Sementara bagi incumbent, dapat dilihat pada pencitraan SBY – tercermin
dalam setiap iklan Demokrat – yang menunjukkan hasil positif seperti penurunan
harga bahan bakar minyak (BBM), BLT, beras untuk masyarakat miskin (raskin),
penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan anggaran
pendidikan. Begitupun JK dengan tagline ―Beri Bukti Bukan Janji‖ dan ‖lebih cepat
lebih baik‖, mengklaim keberhasilan swasembada beras dan pencapaian pembangunan

infrastruktur yang merupakan kontribusi partai Golkar, yang dipimpinnya. Dalam
proses tersebut, tingkat popularitas dan elektabilitas calon presiden yang
dipublikasikan oleh berbagai lembaga survei sepanjang tahun 2007, 2008 dan 2009,

menambah gemuruh kontestasi Pilpres 2009, diantaranya: Indo Barometer, Lembaga
Survei Indonesia (LSI), Lembaga Riset Indonesia (LRI), Lembaga Survei Nasional
(LSN), National Leadership Centre (NLC), Reform Institute, Indonesian RDI, dan
lain-lain (Hasan, 2009:24)

3

Teori Interaksionalisme Simbolik Herbert Mead (Psikologi Sosial)
Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas social
sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat
dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di
dalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah ―barang jadi‖ melainkan barang
yang ―akanjadi‖ karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai
―diri‖ (self) yang tumbuh berdasarkan suatu ―negosiasi‖ makna dengan orang lain.
Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri
berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self)

menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain.
Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya
dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami
apa yang diharapkan orang itu
1) Mind (Akal Budi atau Pikiran)
Pikiran bagi Mead tidak dipandang sebagai objek, namun lebih ke proses
sosial. Mead juga mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan
simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Menurut Mead, manusia harus
mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Pikiran manusia sangat
berbeda dengan binatang. Namun, juga ada interaksi dan perilaku manusia yang tidak
dijembatani oleh pikiran, sehingga terdapat persamaan dengan binatang.

Pikiran

dalam analisis Mead adalah suatu proses internal individu yang menimbang-nimbang
tentang kebaikan-keburukan, keuntungan-kerugian sebuah tindakan sebelum individu
melakukannya. Pikiran sangat dipengaruhi pengalaman-pengalaman dan memorimemori masa lalu, ini juga yang membedakan antara manusia dengan binatang, yaitu
mengambil pelajaran dari suatu pengalaman. Misalnya interaksi antara dua anjing,
pada dasarnya hanya pertukaran isyarat yang menimbulkan reaksi, singkatnya proses


aksi-reaksi. Dan, tidak ada pemakaian akal budi dalam proses itu. Pada manusia
dalam proses aksi-reaksi secara umum melibatkan akal budi, manusia mengerti makna
dari isyarat atau simbol dari manusia lain, lalu menafsirkannya dengan akal budi, dan
di sinilah terjadi proses sosial yang dimkasud oleh Mead di atas.Pikiran manusia
berorientasi pada rasionalitas. Dengan pikiran itulah manusia bisa melakukan proses
refleksi yang disebabkan pemakaian simbol-simbol oleh manusia yang berinteraksi,
sebut saja sebagai aktor. Simbol-simbol yang digunakan adalah berbentuk gestur dan
bahasa yang bagi Mead dianggap sebagai simbol-simbol signifikan yang akan dibahas
selanjutnya. Ciri khas dari pikiran adalah kemampuan individu untuk tidak sekedar
membangkitkan respons orang lain dari dalam dirinya sendiri, namun juga respons
dari komunitas keseluruhan.
2) Aksi (Tindakan) dan Interaksi
Fokus dari interaksionisme simbolik adalah dampak dari makna-makna dan
simbol-simbol yang digunakan dalam aksi dan interaksi manusia dalam tindakan
sosial yang covert dan overt. Melalui aksi dan interaksi ini pula manusia membentuk
suatu makna dari simbol yang dikonstruksikan secara bersama. Suatu makna dari
simbol dapat berbeda menurut situasi.Aksi atau tindakan sosial pada dasarnya adalah
sebuah tindakan seseorang yang bertindak melalui suatu pertimbangan menjadi orang
lain dalam pikirannya. Atau, dalam melakukan tindakan sosial, manusia dapat
mengukur dampaknya terhadap orang lain yang terlibat dalam serangkaian tindakan

itu.
Berbeda dengan manusia sebagai individu yang berinteraksi dengan manusia
yang lain, perbedaannya dalam interaksi antarmanusia sebagai individu terdapat
tempat atau momentum di mana pikiran mengambil tempat dalam proses stimulusrespon tersebut. Manusia sebagai individu memiliki pikiran yang mempengaruhi
setiap tindakan yang akan dilakukan olehnya.
Tindakan menurut Mead menurut analisisnya melalui empat tahapan, yaitu
impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumasi. Keempat tahap ini menurut Mead
menjadi suatu rangkaian dalam melakukan suatu tindakan yang tidak dapat dilepaskan
satu per satu. Impuls, sama seperti stimulus atau rangsangan yang didapatkan ataupun
muncul tiba-tiba pada seorang individu. Dalam kehidupan sosial, impuls bukan hanya
sekedar rasa lapar saja, melainkan juga berbagai masalah dapat menjadi impuls bagi

individu yang menyebabkan individu harus dapat mencari pemecahan terhadap
masalah tersebut.
Persepsi adalah proses tanggapan dan respon terhadap impuls (permasalahan)
yang dihadapi individu. Pikiran (Mind) dalam tahap ini sangat berperan penting dalam
menyikapi impuls tersebut. Pada tahap persepsi yang memerankan pikiran dalam
prosesnya, individu memberi ruang untuk memikirkan dan mempetimbangkan segala
sesuatu untuk bertindak, mana yang akan diambil dan dibuang dari pikirannya.
Manipulasi menjadi tahap ketiga dari serangkaian tahap tindakan. Tahap ini
menjadi proses tentang pengambilan keputusan setelah melalui tahap persepsi tadi.
Konsumasi adalah suatu proses di mana individu untuk menentukan melakukan
sebuah tindakan atau tidak untuk memenuhi kebuthan yang diciptakan dari impuls
tadi. Disini terdapat perbedaan antara manusia dan binatang, dalam tahap ini dan
manipulasi, pengalaman masa lalu dilibatkan oleh individu yaitu manusia, berbeda
dengan binatang yang dalam dua tahap ini bersifat coba-coba.
Keempat tahap tersebut di atas dapat dianalogikan seperti ini. Kebutuhan akan
pemenuhan pengumpulan tugas mata kuliah Teori Sosial Politik pada hari Rabu
minggu depan membuat mahasiswa Sosiologi bingung dalam kebutuhan tersebut.
Dengan belajar kelompok dipikirkan sebagai suatu jalan keluar bagi permasalahan
tersebut, belajar kelompok pun harus memilih seorang mahasiswa yang mempunyai
kompetensi untuk membantu mahasiswa-mahasiswa yang menghadapi permasalahan
itu dan Joko adalah mahasiswa yang berkompeten. Keputusannya adalah belajar
kelompok di kostnya Joko. Sehingga, pada hari Kamis malam beberapa mahasiswa
Sosiologi pun belajar kelompok di kostnya Joko.
3) Self (Diri)
Diri menurut Mead juga bukan merupakan sebuah objek, namun sebagai
subjek sebagaimana pikiran. Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri
dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan
peran, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Diri adalah suatu proses
sosial yang mempunyai kemampuan:
1. memberikan jawaban atau tanggapan kepada diri sendiri seperti orang lain
memberi tanggapan atau jawaban,

2. memberikan jawaban atau tanggapan seperti norma umum memberikan
jawaban kepadanya (Generalized Others),
3. mengambil bagian dalam percakapannya sendiri dengan orang lain,
4. menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang dan kesadaran untuk
melakukan tindakan pada tahap selanjutnya.
Menurut Mead, diri itu mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi.
Ada tiga tahap dalam proses sosialisasi ini, yaitu tahap bermain (Play stage), tahap
permainan (Game stage), dan tahap orang lain pada umumnya (Generalized Others).
Tahap bermain (play stage) penuh dengan kepura-puraan, maksudnya dalam
tahap ini, anak-anak mengambil peran atau mengandaikan dirinya sebagai orang lain.
Atau ―pura-pura menjadi orang lain‖. Dalam perkembangan yang ‗pura-pura‖ ini,
proses pemahaman diri sebagai peran pengandaiannya kurang mapan, tidak tertata,
dan tidak pada umumnya. Misalnya, seorang anak kecil yang bermain ―pasaran‖
dalam konteks masyarakat Jawa, maka anak itu akan mengandaikan dirinya sebagai
seorang pedagang karena bapak ibunya adalah pedagang, namun pemahaman sebagai
pedagang hanya dipahami sebagai proses jual beli saja.
Tahap permainan (game stage) menuntut seorang individu memerankan peran
dengan utuh. Kesadaran menempati posisi membawa konsekuensi untuk memenuhi
semua hak dan kewajiban yang dibebankan pada posisi itu. Sehingga pada tahap ini
kepribadian yang kokoh mulai dibentuk. Misalnya, anak-anak yang tadi hanya
bermain pasaran saja, sekarang mulai menempatkan posisinya sebagai pedagang yang
bukan pura-pura lagi. Anak kecil tadi yang sudah beranjak dewasa mulai memahami
posisi sebagai pedagang dengan segala konsekuensinya.
Tahap yang ketiga adalah generalized other atau orang lain pada umumnya.
Pada tahap ini, setelah kepribadian yang kokoh sudah mulai terbentuk maka
kemampuan mengevaluasi diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain atau
masyarakat pada umumnya, tidak sekedar dari sudut pandang individu-individu yang
tersegmentasi. Disini norma sosial yang berlaku memilki pengaruh yang kuat dalam
penentuan tindakan.Dalam tahap ini menuntut seorang anak kecil yang sudah
beranjak dewasa tadi untuk memiliki kemampuan berpikir serta berempati seperti

pedagang lain pada umumnya untuk melakukan suatu tindakan atau mengambil
keputusan dalam menentukan harga jualannya.
Diri menurut Mead adalah kemampuan khas manusia untuk menjadi subjek
dan objek (I dan Me). Tahap-tahap perkembangan diri manusia yang telah disebutkan
di atas harus mengalami proses komunikasi antarmanusia, aktivitas, serta relasi sosial.
I dalam analisis Mead menempatkan diri sebagai individu yang sangat subjektif. Oleh

karena itu, I akan memberikan reaksi yang berbeda-beda tiap individu akan suatu
rangsangan atau stimulus. Nilai yang dianut oleh tiap individu menyebabkan
beragamnya penafsiran dan intepretasi akan sesuatu. I juga membuat kehidupan baik
individu dan sosial menjadi sangat dinamis. Pada taraf subjektivitas, perilaku individu
akan menjadi spontan dan tidak teramalkan. Misalnya saja, untuk penafsiran arti
kecantikan akan berbeda dari tiap individu bahkan yang berada di suatu masyarakat
yang sama.
Me lebih stabil daripada I, karena Me adalah kristalisasi dari serangkaian

norma yang dibuat secara umum. Artinya, diri sebagai objek akan memberi ruang
untuk pengaruh norma sosial atau dengan kata lain, konsep generalized other akan
sangat mempengaruhi diri. Me membuat individu dalam bertindak penuh dengan
kontrol, sehingga setiap tindakannya akan normatif.
I dalam diri seorang seniman akan lebih kuat daripada pengaruh Me, karena

nilai kreativitas yang menghancurkan nilai-nilai konservatif dalam diri seseorang.
Lain halnya dengan seseorang yang berjiwa konservatif, orang desa misalnya, mereka
akan tetap bertahan hidup di lingkungan pedesaan dengan gaya hidup yang cenderung
sama dari waktu ke waktu.
Dapat disimpulkan bahwa, faktor I dalam kehidupan individu sangat
menentukan proses perubahan baik di level individu dan masyarakat pada umumnya.
Diri sebagai subjek adalah kemampuan diri untuk memberikan tanggapan terhadap
apa yang ia keluarkan atau tujukan kepada orang lain, dan tanggapan yang diberikan
tadi juga termasuk dalam serangkaian dari tindakan. Sedangkan diri sebagai objek
maksudnya adalah diri tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri namun juga
merespon tindakan yang telah dilakukan seperti individu lain merespon.

4) Society (Masyarakat)
Fokus Mead adalah psikologi, maka tidak heran jika pembahasannya tentang
masyarakat dapat dikatakan lemah. Mead melihat masyarakat tidak seperti Durkheim
dan Marx yang makro, Mead tidak berbicara tentang masyarakat dalam skala besar
beserta struktur di dalamnya. Menurut Mead, masyarakat adalah sekedar organisasi
sosial yang memunculkan pikiran dan diri yang dibentuk dari pola-pola interaksi antar
individu. Dan norma-norma dalam masyarakat adalah sebagai respon.
Analisis Mead tentang masyarakat, menggabungkan kajian fenomena mikro
dan makro dari masyarakat. Mead mengatakan ada tiga unsur dalam masyarakat yaitu
individu biologis, masyarakat mikro, dan masyarakat makro.
ada awalnya, konsep individu biologis dimaknai oleh Mead sebagai individu
yang polos dan belum mendapatkan pengaruh apa-apa dari lingkungannya. Dan ketika
individu itu mulai memasuki wilayah masyarakat yang mikro, maka individu itu akan
terpengaruh dalam perilakunya. Dan masyarakat makro itu sendiri terbentuk dari
serangkaian kompleks dari perilaku individu yang dipengaruhi oleh lingkungan mikro
dari individu itu sendiri, seperti keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh
antara perilaku individu dan masyarakat baik mikro dan makro berhubungan timbal
balik.
4

Analisis Pencitraan dalam Demokrasi Politik dalam perspektif Psikologi Sosial
Mead
Pencitraan dalam demokrasi memang sering digunakan oleh para calon
kandidat legislatif maupun presiden. Masing-masing individu diantara kandidat tadi
saling beromba-lomba menunjukkan citra diri yang bernilai positif di depan
masyrakat umum. Teori Interaksionalisme Simbolik Mead khususnya Psikologi sosial
dalam menyoroti fenomena pencitraan politik mengistilahkan adanya konsep
―pengambilan peran‖ (role taking). Konsep ―role taking‖ mempunyai peranan yang
amat penting dalam fenomena pencitraan politik.
menggambrkan

bahwa

sebelum

sebelum

seseorang

Konsep ―role taking‖
―diri‖

bertindak,

ia

membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dan mencoba untuk memahami apa
yang diharapkan oleh pihak itu dari seorang elite politik dalam fenomena demokrasi
politik. Kandidat calon legislatif menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang

lain sehingga interaksi akan menjadi mungkin. Disini seorang calon legislatif
menjadikan dirinya sesuai dengan harapan –harapan seorang pemilih atau rakyat.
Sebelum bertindak menjadi seorang Wakil rakyat, orang yang bersangkutan harus
mengambil alih peran Wakil rakyat itu dari orang-orang lain. Pola kelakuannya harus
diserasikan dengan apa yang diandaikan oleh masyarakat menjadi wakil rakyat.
Semakin orang yang bersangkutan mengambil alih atau membatinkan
peranan-peranan sosisal, maka semakin terbentuk pula identitas dirinya, maka
identitas seorang wakil rakyat semakin terbentuk apabila individu yang bersangkutan
semakin mengambil alih peranan sosial yang diharapkan oleh masyarakat. Mead
menjelaskan bahwa proses pengambilan peranan-peranan yang berhubungan erat
dengan pembentukan ―diri‖, diuraikan oleh Mead dengan panjang lebar.

Mead

menjelaskan pada pada akhir proses ini orang yang bersangkutan memiliki suatu
gambaran tentang generalized other , yaitu ―orang lain pada umumnya‖. Jadi peranan
wakil rakyat tadi tidak lagi membentuk gambaran itu, melainkan peranan wakil rakyat
pada umumnya menjadi lebih abstrak.
Konsep Generalized other ini akan menjadi sangat bahaya jika dikaitkan
dengan fenomena pencitraan politik. Konsep tadi hanya memandang bahwa wakil
rakyat hanya dipandang dari segi sosialitasnya dan disamakan dengan perananya yang
telah dipelajari dalam simbol-simbol dan norma-norma. Mead membedakan di dalam
―diri‖ antara dua unsur konstitutif. Yang satu disebut me atau ―daku‖, yang lain I atau
―aku‖. Me tadi adalah unsur yang mencakup generalized other, yaitu semua sikap,
simbol, norma dan pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu dan
dipakai olehnya dalam menentukan kelakuannya. Dalam Fenomena Pencitraan
politik, Me tadi adalah bentuk citra diri seorang wakil rakyat yang diharapkan oleh
masyrakat umum sehingga individu atau calon wakil rakyat tadi, menentukan
kelakuannya lewat pengharapan dari masyrakat umum tentang sosok wakil rakyat
yang ideal itu seperti apa.

Sedangkan unsur I adalah mewakili individualitas

seseorang, disini unsur I mempunyai peranan mengungkapkan ketunggalannya dan
bersifat spontan dan orisinil. Unsur I ini merupakan sosok orisinil seorang calon
wakil rakyat tadi sebelum ia mengambil alih peran wakil rakyat.

Kesimpulan
Pencitraan dalam demokrasi menjadi sesuatu hal yang wajar dan logis, dimana
semua memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih.

Citra seseorang akan

menambah maraknya demokrasi dan membantu tercapainya demokrasi masyrakat
sipil ketika janji-janji yang dicitrakan dan ditampilka benar-benar mampu membawa
perubahan dan kesejahteraan masyarakat.
Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas social
sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat
dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di
dalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah ―barang jadi‖ melainkan barang
yang ―akanjadi‖ karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai
―diri‖ (self) yang tumbuh berdasarkan suatu ―negosiasi‖ makna dengan orang lain.
Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri
berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self)
menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain.
Teori Interaksionalisme Simbolik Mead khususnya Psikologi sosial dalam
menyoroti fenomena pencitraan politik mengistilahkan adanya konsep ―pengambilan
peran‖ (role taking). Konsep ―role taking‖ mempunyai peranan yang amat penting
dalam fenomena pencitraan politik. Konsep ―role taking‖ menggambrkan bahwa
sebelum sebelum seseorang ―diri‖ bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi
orang lain dan mencoba untuk memahami apa yang diharapkan oleh pihak itu dari
seorang elite politik dalam fenomena demokrasi politik.

Daftar pustaka
Haryatmoko, 2008, Demokrasi Dikoresksi
http//www.kompas.com/kompascetakphp/read/xml/2008/04/23/00263239/demokrasi.dikorek
si>
Kristiadi, 2008, kampanye dan Demokrasi prosedural
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/22/00232282/kampanye.dan.demokrasi>
Hendrastomo, Grendi 2009, Demokrasi dan politik pencitraan
Lippman, Water, 1965, public opinion,