PROGRAM STUDI HUKUM PERDATA ISLAM FAKULT

SYARAT dan MACAM-MACAM MAUQUF ‘ALAIH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Hukum Wakaf
Dosen Pengampu: Bpk. Ahmad Furqon, Lc., MA.

Disusun oleh:
Suko Rianto

(1502016008)

PROGRAM STUDI HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH dan HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asal mula disyariatkannya wakaf, tidak lain, agar wakaf tersebut tetap menjadi sedekah
yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal itu dapat ditempuh dengan cara
memberikan infak untuk misi-misi kebajikan dalam bentuk sedekah jariyah.

Selanjutnya, kemanakah pewakaf akan menyalurkan harta wakafnya agar benar-benar
menjadikannya sebagai nilai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertanyaan
tersebut tentunya akan terjawab ketika telah mengetahui macam dan syarat peruntukan harta
yang hendak diwakafkan secara mendalam.
Peruntukan wakaf atau dalam istilah fiqih dikenal sebagai Mauquf ‘alaih merupakan salah
satu rukun dalam kegiatan perwakafan. Yang didalamnya memberikan penjelasan siapa yang
berhak menerima wakaf, bagaimanakah tujuan yang diperbolehkan untuk berwakaf sesuai dengan
syariat Islam.

Melalui makalah ini, penyusun berusaha memberikan penjelasan terkait apa saja
persyaratan tujuan wakaf, peruntukan wakaf, pengelolaan harta wakaf serta bentuk-bentuknya.
Makalah ini disusun dari hasil pengumpulan bahan materi dari beberapa sumber referensi pilihan.
Dengan demikian, makalah ini dapat memberikan pemahaman terhadap pembaca dalam
memahami apa saja yang perlu diketahui tentang mauquf ‘alaih.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, guna memperoleh pemahaman secara total,
pemakalah merumuskan beberapa rumusan masalah yang diharapkan menjadi target pemahaman
dari materi ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa saja syarat-syarat mauquf ‘alaih.
2. Bagaimanakah macam-macam mauquf ‘alaih yang sah dan tidak sah dalam pelaksanaan

wakaf.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Mauquf ‘alaih
Secara umum, orang atau obyek yang menikmati manfaat dari harta wakaf berlaku
beberapa ketentuan yaitu; orang yang ahli memiliki. Ia berakal(tidak gila), balig, dan tidak
mubazir (boros).[1] Namun secara gamblang, syarat sasaran wakaf dijelaskan sebagai berikut:
1. Sasaran wakaf berorientasi pada kebajikan.
Asal mula disyariatkannya wakaf, tidak lain, agar wakaf tersebut tetap menjadi sedekah
yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal itu dapat ditempuh dengan cara
memberikan infak untuk misi-misi kebajikan dalam bentuk sedekah jariyah. Wakaf harus
diberikan kepada pihak yang dipercaya dapat mengemban amanat kebajikan.[2]
2. Tidak terputus dalam pengelolaan barang wakaf.
Wakaf yang tidak diperdebatkan lagi keabsahannya adalah yang pada permulaan dan
akhirnya tidak terputus. Misalnya, wakaf itu diberikan kepada kaum miskin atau pada
sekelompok orang yang tidak mungkin, dalam adat kebiasaan mengalami keterputusan yaitu
seperti kelompok orang yang membaca Al Quran
Adapun apabila wakaf jelas akan berakhir, yaitu seperti kalau wakaf diberikan kepada
suatu kelompok orang yang menurut kebiasaan mengalami keterputusan pengelolaan, dan

akhirnya nanti tidak berlanjut pada kelompok kaum miskin atau untuk kelompok yang tidak
putus pemakaiannya.[3]
3. Harta wakaf tidak dapat dikembalikan kepada pewakaf.
4. Harta wakaf diserahkan kepada pihak yang berhak memiliki.

Mayoritas ulama, termasuk Mazhaaibul Arba’ah sepkat bahwa wakaf harus diberikan
kepada pihak yang berhak memilikinya. Kepemilikan atas fisik harta yang telah diwakafkan itu
berpindah secara hukum menjadi milik Allah, atau tetap menjadi milik pewakaf, atau berpindah
menjadi milik pihak penerima wakaf.
Dalam kaitan ini, ulama yang berpendapat tentang pindahnya kepemilikan harta wakaf
secara hukum kepada Allah dan ulama yang berpendapat tetapnya kepemilikan harta wakaf
secara hukum pada tangan pewakaf, keduanya menyandarkan pendapatnya pada tujuan akhir
wakaf, yaitu pendistribusian manfaat yang dihasilkan oleh harta wakaf. Dalam hal ini, pemilik
manfaat yang dihasilkan oleh harta wakaf adalah pihak penerima. Mengingat, manfaat yang
dihasilkan merupakan barang milik, maka wakaf tidak sah kecuali berkenaan dengan barang yang
bisa dimiliki.[4]

B. Macam-macam Mauquf ‘alaih
Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf) orang atau
sekelompok orang yang menerima manfaat dari pengeloaan mauquf (barang yang diwakafkan),

wakaf harus dimanfaatkan dalam batasan-batasan yang sesuai dan diperbolehkan oleh syariat
Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada
Tuhannya. Karena itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para fuqaha
sepakat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang
mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Namun terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha mengenai jenis ibadah yang
dimaksudkan

di

sini,

apakah

ibadah

menurut

pandangan


Islam

ataukah

menurut

keyakinan wakif, atau keduanya , yaitu menuurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.
[5] Terkait hal ini, pemakalah menjadiknnya sebagai salah satu macam-macam mauquf ‘alaih.
Adapan penjelasannya sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) ditujukan untuk ibadah
menurut pandangan islam dan mernurut keyakinan wakif.
Jadi;
-

Sah wakaf seorang muslim untuk menunjang kegiatan syiar-syiar Islam.

-

Tidak sah jika seorang musim berwakaf yang diperuntukan untuk selain kegiatan syiar-syiar


Islam.
-

Sah wakaf non muslim kepada muslim yang nantinya muslim tersebut akan menggunakan

pemberian itu untuk tempat ibadahnya (membangun masjid, pesantren, lembaga pendidikan
Islam, dan lain sebagainya).
Tidak sah, jika wakaf dari non muslim pemberiannya diperuntukkan menunjang kegiatan
agamanya sendiri, seperti membangun gereja, biaya pengurusan gereja.[6]

2. Mazhab Maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih (peruntukan wakaf) untuk ibadah menurut
pandangan keyakinan wakif sendiri. Jadi, berbeda dengan mazhab Hanafi, mazhab Maliki
menganggap wakaf dari orang non msulim untuk kepentingan keyakinan / agamanya sendiri tetap
sah sebagai wakaf. Namun, tetap tidak sah, apabila tujuan diberikannya wakaf bukan untuk
keyakinan / agamanya sendiri. Seperti halnya wakaf seorang non muslim untuk pembangunan
masjid[7].
3. Mazhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf ‘alaih adalah ibadat menurut
pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan / agama si wakif. Jadi pendapat ini adalah
lawan dari pendapat mazhab Maliki yang telah diuraikan sebelumnya. Maka, sah apabila wakaf
dari muslim maupun non muslim untuk pembangunan masjid dan kegiatan badan-badan sosial

lainnya. Dan sebaliknya, tidak sah apabila wakaf muslim maupun non muslim tersebut
diperuntukkan selain kegiatan badan-badan sosial Islam dan pembangunan masjid.[8]
Menurut tempat penyalurannya, wakaf dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wakaf untuk
orang tertentu (satu orang atau kelompok dengan jumlah tertentu) dan untuk orang dengan
jumlah tidak tertentu. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Kepada orang tertentu (satu orang atau kelompok dengan jumlah tertentu).
a. Wakaf kepada diri sendiri.
Diantara para ulama ada yang berpendapat sahnya waqaf kepada diri sendiri adalah Abu
Yusuf, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubramah, mazhab Hanafi, sebagian ulama’ Syafi’I dan Hambali.
Alasannya adalah penetapan hak terhadap sesuatu sebagai wakaf tidak sama dengan
penetapannya sebagai milik. Contoh: wakif mewakafkan hartanya kepada para fakir miskin
dengan syarat ia ikut mendapat hasil wakafnya. Selain berdasarkan alasan tersebut, pendapat ini
juga dikuatkan dengan hadis berikut:
“Sesungguhnya aku mempunyai satu dinar. Maka kata Rasulullah SAW kepadanya:
‘Sedekahkanlah kepada dirimu sendiri’.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)[9]
Dan oleh sebab maksud dari wakaf itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah,
sedang bertasharruf (menafkahi) kepada diri sendiri itu juga merupakan pendekatan kepada Allah
SWT.
Adapun golongan ulama yang berpendapat tidak diperbolehkannya wakaf kepada diri
sendiri adalah mazhab Maliki, mayoritas mazhab Syafi’I dan Hambali. Menurut mereka,

seseorang pemilik harta tidak dapat memilikkan apa yang telah dmilikinya kepada dirinya sendiri,
karena ia telah memilikinya. Atau dengan kata lain, menurut pendapat yang shahih, karena orang
tidak akan bisa mengalihkan kepemiikannya pada benda untuk dirinya sendiri.[10]
b. Wakaf kepada sesama muslim.
Wakaf yang dilaksanakan antar sesama umat muslimin dan muslimat.
c.

Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu.



Kepada kafir dzimmi dari muslim.
Kafir dzimmi diperbolehkan menjadi peneria wakaf dikarenakan mereka bukanlah pelaku

maksiat, mereka adalah hamba-hamba Allah dan merupakan anak cucu Adam yang dihormati.

[11]
Menurut pendapat Imam Nawawi, seorang muslim yang berwakaf kepada kafir dzimmi
tetap dihukumi sah, sebagaimana diperbolehkannya sedekah kepada mereka, begitu juga
sebaliknya. Dalilnya adalah karena karena kafir dzimmi secara umum dapat memiliki harta yang

diwakafkan kepadanya pada saat pemberian wakaf [12] sekalipun bukan kalangan dari ahli kitab.

[13] Keabsahan kafir dzimmi menerima wakaf dari kaum muslim telah disepakati oleh para
ulama’, dengan dasar firman Allah surah Al Mumtahana ayat 8, yang redaksinya sebagai berikut:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."[14]
Selain atas dasar dalil dalam al Quran tersebut, terdapat pula hadits yang diriwayatkan
bahwasannya Shafi’yyah binti Hayy, istri Rasulullah SAW mewakafkan untuk saudara laki-lakinya
yang Yahudi.[15]
Namun terdapat dua batasan terkait pemberian wakaf kepada kafir dzimmi. Batasan yang
dimaksud, yaitu:
-

Hendaklah obyek wakafnya teridiri dari benda yang dapat dimiliki oleh non muslim. Maka

dari itu terdapat larangan mewakafkan Kitab Suci al Quran (mushaf), buku-buku agama Islam
yang mengandung ayat-ayat suci al Qur’an dan Sunnah, serta budak Islam kepada non muslim,
termasuk kepada kafir dzimmi.

-

Hendaklah tidak mengandung unsur maksiat atau melanggar ajaran syara’ seperti berwakaf

untuk mendirikan sarana perjudian, mendirikan gereja, sarana hiburan malam, dan sebagainya.
 Kepada kafir dzimmi dari kafir dzimmi.
Terkait hal ini, Imam Nawawi menjelaskan sah hukumnya, berwakaf kepada kafir dzimmi,
baik dari muslim maupun dari kafir dzimmi juga. Hal ini sebagaimana sedekah sunnah.
 Kepada kafir harbi & orang murtad dari muslim.
Berwakaf kepada kafir harbi dan orang Islam yang murtad hukumnya tidak sah. Karena
harta-harta mereka, -kafir harbi- pada dasarnya mubah, boleh diambil dari mereka dengan
paksaan atau penaklukan. Oleh karena itu harta yang baru bagi mereka lebih semestinya untuk
diambil. [16] Atau dengan kata lain, Muhammad Abid Abdullah beralasan mereka adalah pelaku
maksiat yang seharusnya dilarang, bukannya diberikan bantuan. Kaum kafir harbi dan murtad
tidak bisa konsekuen karena kekufurannya. Sedangkan wakaf adalah sedekah jariyah.[17]

d. Wakaf kepada pihak yang tidak memiliki harta wakaf.
Penerapan syarat wakaf tertentu di atas menimbulkan pembahasn-pembahasan tentang
wakaf kepada orang yang tidak mempunyai kecakapan dalam memiliki, seperti:
-


Wakaf kepada janin / anak yang masih berada dalam kandungan.

Berwakaf kepada janin / anak yang berada dalam kandungan menurut kalangan Syafi’i,
Imamiyah dan Hambali tidak sah.[18] Karena janin / anak yang berada dalam kandungan belum
memiliki kelayakan untuk memiliki, kecuali sesudah dilahirkan dalam keadaan hidup. Selain itu
dikhawatirkan wakaf tersebut akan menjadi hal yang menyulitkan ketika pembagian waris.
Kecuali jika memang sebelumnya terdapat wasiat atau pemisahan harta warisan hal itu memang
dibenarkan karena ada dalil khusus untuk itu.[19]
-

Wakaf kepada mayat (orang yang sudah mati) tidak sah, karena tidak berhak memiliki.

-

Wakaf kepada hewan.
Para fuqaha Syafi’iyyah sepakat bahwa tidak sah apabila seseorang berwakaf kepada

hewan yang tidak dimiliki orang tertentu, seperti burung yang masih hidup bebas di udara, karena
hewan tidak dapat menjadi pemiliknya. Namun apabila hewan tersebut ada pemiliknya, maka
wakafnya sah. Walaupun ada juga yang berpendapat tidak sah. Wakif dapat menyatakan dalam
pernyataan wakafnya bahwa Ia memberikan wakaf kepada pemiliknya.
-

Wakaf kepada hewan wakaf, dalam hal ini, Asy Syarbini berpendapat sah. Dicontohkannya

adalah seperti seseorang berwakaf untuk makanan kuda wakaf.
2. Kepada orang dengan jumlah tidak tertentu.
a. Wakaf umum yang mengandung unsur maksiat.
Wakaf yang dimaksudkan disini adalah berwakaf dengan tujuan untuk mendukung
kelangsungan kegiatan-kegiatan maksiat. Hal ini dapat dicontohkan seperti wakaf untuk gereja
yang digunakan untuk tempat ibadah, berwakaf untuk melancarkan aksi kriminal.
b. Wakaf umum yang tidak mengandung unsur maksiat.
Wakaf ini terbagi kepada dua segi, yaitu:
1. Tampak padanya tujuan ibadah, dan hukumnya sah. Contohnya adalah wakaf kepada kaum
fakir miskin, fii sabilillah, ulama-ulama, pelajar-pelajar, mujahidin, masjid-masjid, dan lain
sebagainya.
2. Tidak tampak padanya tujuan ibadah, seperti wakaf kepada orang kaya, kafir dzimmi, dan
orang yang melakukan maksiat.
Mengingat, bahwa wakaf adalah memberikan kepemilikan, wakaf semuanya adalah ibadah.
Wakaf untuk kafir dzimmah disepakati sah. Sebab, sedekah boleh untuk orang-orang kaya. Batas
fakir dan kaya adalah sesuai dengan yang ditentukan dalam zakat. Orang yang sah mendapatkan
zakat karena kefakirannya sah juga mendapatkan wakaf karena kefakirannya. Kalau tidak, maka
tidak. Orang kaya adalah orang yang terhalang mendapatkan zakat. Adakalanya karena

kepemilikannya, kekuatannya, pekerjaannya, atau kemampuannya member nafkah kepada orang
lain.[20]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syarat-syarat Mauquf ‘alaih
Secara umum, orang atau obyek yang menikmati manfaat dari harta wakaf berlaku
beberapa ketentuan yaitu; orang yang ahli memiliki. Ia berakal(tidak gila), balig, dan tidak
mubazir (boros).[21]
1. Sasaran wakaf berorientasi pada kebajikan.
2. Tidak terputus dalam pengelolaan barang wakaf.
3. Harta wakaf tidak dapat dikembalikan kepada pewakaf.
4. Harta wakaf diserahkan kepada pihak yang berhak memiliki.
Macam-macam Mauquf ‘alaih
Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf) orang atau
sekelompok orang yang menerima manfaat dari pengeloaan mauquf (barang yang diwakafkan),
wakaf harus dimanfaatkan dalam batasan-batasan yang sesuai dan diperbolehkan oleh syariat
Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada
Tuhannya. Karena itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para fuqaha
sepakat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang
mendekatkan diri kepada Tuhannya.
1. Kepada orang tertentu (satu orang atau kelompok dengan jumlah tertentu).
a.

Wakaf kepada diri sendiri.

b. Wakaf kepada sesama muslim.
c.


Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu.
Kepada kafir dzimmi dari muslim.



Kepada kafir dzimmi dari kafir dzimmi.



Kepada kafir harbi & orang murtad dari muslim.

d. Wakaf kepada pihak yang tidak memiliki harta wakaf.
-

Wakaf kepada janin / anak yang masih berada dalam kandungan.

-

Wakaf kepada mayat (orang yang sudah mati) Wakaf kepada hewan.

3. Kepada orang dengan jumlah tidak tertentu.
4. Wakaf umum yang mengandung unsur maksiat.
5. Wakaf umum yang tidak mengandung unsur maksiat.
B. KRITIK dan SARAN

Dalam hal ini, pemakalah berusaha menyajikan materi dengan mencari relevansi dari
beberapa sumber bacaan yang tentunya sangat terbatas. Terbatas dalam hal pemahaman kami,
maupun terbatas dalam hal jumlah buku yang kami jadikan referensi penyusunan.
Dengan demikian, pemakalah menyadari tentunya terdapat kekurangan baik yang tersurat
maupun yang tidak tersurat dalam penyajian materi ini. Banyak hal yang memungkinkan untuk
perlu diperbaiki, dibetulkan atau bahkan dihilangkan.
Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif atas apresiasi makalah ini selalu kami
nantikan dari para pembaca. Sehingga, dapat menjadi bahan evaluasi bagi penyusun khususnya
dan bagi pemakalah lain pada umumnya. Terimakasih.

[1] Adijani al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),

1997, hlm. 31.
[2] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer…,(Depok: Iiman
Press), 2004, hlm.284.
[3] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hlm.301.
[4] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer…,(Depok: Iiman
Press), 2004, hlm 340
[5] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyaratkat Islam, FIQIH WAKAF, (Jakarata: Kementrian
Agama Republik Indonesia), t.th., hlm. 46
[6] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyaratkat Islam, hlm. 46-47.
[7] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer…,(Depok: Iiman
Press), 2004, hlm.297.
[8] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyaratkat Islam, hlm. 47-48.
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, (Bandung: PT. Al-Ma’araif),1988,hlm.159.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, (Depok: Gema Insani), 2011, hlm.302.
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hambali, (Jakarta: Lentera), 2003, hlm. 648.
[12] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyaratkat Islam, hlm. 50.
[13] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), 2001,
hlm. 1907.
[14] Muhammad Jawad Mughniyah, hlm. 647.
[15] Wahbah az Zuhaili, hlm. 303.
[16] Wahbah az Zuhaili, hlm. 302-303.
[17] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hlm. 286.
[18] Adijani al Alabij, hlm. 31.
[19] Muhammad Jawad Mughniyah, hlm. 647.
[20] Wahbah az Zuhaili, hlm. 305.
[21] Adijani al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),
1997, hlm. 31.

DAFTAR PUSTAKA
Abid Abdullah Al
Kabisi
,
Muhammad, Hukum
Kontemporer…, (Depok: Iiman Press), 2004.

Wakaf:

Kajian

al Alabij , Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 1997.
Aziz Dahlan , Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve), 2001.
az-Zuhaili , Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 10, (Depok: Gema Insani),
2011.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyaratkat Islam, FIQIH WAKAF, (Jakarata:
Kementrian Agama Republik Indonesia), t.th.
Jawad Mughniyah , Muhammad, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki,
Syafi’I, Hambali, (Jakarta: Lentera), 2003.

Sabiq , Sayyid, Fikih Sunnah 14, (Bandung: PT. AlMa’araif),1988.

Dokumen yang terkait

STUDI KANDUNGAN BORAKS DALAM BAKSO DAGING SAPI DI SEKOLAH DASAR KECAMATAN BANGIL – PASURUAN

15 183 17

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA EMPIRIS PADA PASIEN RAWAT INAP PATAH TULANG TERTUTUP (Closed Fracture) (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

11 138 24

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

STUDI PENGGUNAAN ACE-INHIBITOR PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan)

15 136 28

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

AN ANALYSIS OF LANGUAGE CONTENT IN THE SYLLABUS FOR ESP COURSE USING ESP APPROACH THE SECRETARY AND MANAGEMENT PROGRAM BUSINESS TRAINING CENTER (BTC) JEMBER IN ACADEMIC YEAR OF 2000 2001

3 95 76

EFEKTIVITAS PENGAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI MEDIA LAGU BAGI SISWA PROGRAM EARLY LEARNERS DI EF ENGLISH FIRST NUSANTARA JEMBER

10 152 10

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22