Kemenangan Hollande Agenda Politik Sosia

Untuk keperluan pengutipan, silahkan merujuk pada:
Novianto, Arif. (2014) Kemenangan Hollande, Agenda Politik Sosialis dan
Massa Depan Sosialisme di Dunia. In: Pramusinto, Agus. Ed. Mozaik
Kebijakan Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp 299 - 320

298

Kemenangan Hollande, Agenda Politik
Sosialis dan Massa Depan Sosialisme di
Dunia
Arif Noviantoi

Pendahuluan
Pada 6 mei 2012 sebuah sejarah baru telah terbentuk di Negara yang terkenal dengan
menara Eifelnya yaitu Prancis. Hal tersebut terjadi dikarenakan kemenangan yang
berhasil ditorehkan oleh Francois Hollande didalam pemilihan presiden Prancis mei itu.
Hollande yang didukung oleh kubu sosialis berhasil menggulingkan incumbent dari
kubu konservatif yaitu Nicolas Sarkozy dengan raihan 51,56 persen suara untuk
Hollande dan hanya 48,44 persen bagi Sarkozy (Koran Jakarta, 09/05/12).
Kemenangan dari Hollande tersebut juga telah mencatatkan dirinya sebagai presiden
kedua dari sayap partai kiri yang pernah memimpin Prancis, setelah pendahulunya

yaitu Francois Mitterrand yang memimpin pada periode 1981 sampai 1995.

299

Kemenangan Hollande tersebut diyakini banyak kalangan didasari atas semakin
meningginya sentiment anti-sarkozy dan merebaknya rasa kekecewaan dari sebagian
besar masyarakat Prancis (terutama kelas pekerja & kaum muda) akibat tak kunjung
berhentinya badai krisis ekonomi yang menerpa berbagai sudut dunia dan termasuk
Prancis didalamnya. Respon yang dilakukan oleh incumbent Sarkozy yang lebih
mengutamakan kebijakan-kebijakan pemotongan subsidi, pengetatan anggaran dan
pemotongan dana pensiun didalam upayanya untuk menyikapi krisis ekonomi tersebut,
telah menimbulkan semakin meningginya kekecewaan dari rakyat Prancis. Karena
kebijakan tersebut dianggap hanya bagian dari politik Sarkozy untuk menyelematkan
para

konglomerat-konglomerat

kapitalis

didalam


kehancurannya.

Sedangkan

dampaknya adalah mengorbankan kehidupan rakyat kelas menengah-kebawah
semakin larut didalam kesengsaraan dan kemiskinan.
Disaat itulah Hollande datang pada kondisi yang tepat, sebagaimana
digambarkan oleh Marx dan Engels, yang mengungkapkan bahwa munculnya sifat krisis
dari kapitalisme telah menciptakan keharusan akan sosialisme. Sehingga dengan
segudang solusi alternatif sosialis yang ditawarkan oleh Hollande bersama Partai
Sosialis (PS) yang menyokongnya yaitu antara lain dengan kebijakan 75 persen pajak
bagi siapa saja yang memiliki pendapatan di atas 1 juta euro per tahun, menaikan upah
minimum, mempekerjakan lebih dari 60 ribu guru, menurunkan usia pensiun dari 62
menjadi 60 tahun dan menekan angka pengangguran. Merupakan Agenda yang
ditawarkannya untuk menyelamatkan Prancis didalam badai krisis ekonomi yang
berkepanjangan, dan telah berhasil menyita perhatian dari masyarakat Prancis. Hingga
berhasil membuatnya memenangkan ajang pemilihan Presiden Prancis pada mei 2012
itu.
Selain itu harapan akan keberhasilan sosialisme di Prancis nantinya yang

kemudian akan menciptakan efek domino dan dapat menyebar di seluruh penjuru
dunia untuk mengikuti kesuksesan sosialisme ini, pasti akan dapat membuat Karl Marx
tersenyum lebar didalam kuburnya. Karena itulah yang pernah dicita-citakan oleh Marx
semasa hidupnya, bahwa rakyat Prancislah yang akan menjadi tonggak awal dari
revolusi sosial didunia, yang kemudian diteruskan oleh Rakyat Jerman dan rakyat
Inggris yang akan menyelesaikannya (Trotsky, 1939/2010: 55).

300

Akan Tetapi jalan terjal didepan sana belumlah berakhir. Setelah hampir dua
tahun masa kepemimpinannya bersama dengan Jean-Marc Ayrault yang merupakan
Perdana Menteri yang mendapinginya, harapan besar yang tersemat dari rakyat Prancis
kepada pundaknya untuk dapat menyelesaikan problematika yang mendera Prancis itu
mulai semakin memudar. Seperti halnya kekecewaan rakyat Prancis terhadap Sarkozy
pendahulunya, kini kekecewaan tersebut juga mulai menyebar luas terhadap
kepemimpinan dari Francois Hollande tersebut. Kebijakan-kebijakan reformis, moderat
dan reaksioner yang terkesan bertolak belakang dengan keinginan rakyat dan belum
terealisasinya janji-janji politik pada massa kampanyenya telah menumbuhkan rasa
ketidakpercayaan tersendiri di benak massa rakyat.
Tabel 01. Hasil Pemilu 2012 di Perancis:


Sumber: dailymail.co.uk 2012

Itu dapat terlihat bagaimana sejak 10 bulan dalam masa kepemimpinannya,
Hollande yang digadang-gadang sebagai simbol dari perubahan, malahan tidak
memberikan dampak perubahan yang berarti bagi rakyat. Malahan sejak masa
pemerintahannya tersebut, Hollande malahan melakukan pemotongan anggaran senilai
puluhan miliar euro yang merupakan subsidi untuk rakyat, pemecatan massal di
industri otomotif, termasuk penutupan pabrik Aulnay yang turut disetujui oleh Serikat
Birokrasi, dan dilakukannya invasi ke Mali, akibatnya ekonomi Prancis pun terus
mengalami stagnasi, dengan pengangguran melonjak melewati angka 10 persen
(WSWS, 29/03/13). Keadaan tersebutlah yang membuat semakin melebar dan
meningginya sikap kekecewaan dari sebagian besar rakyat.

301

Menurunnya kepercayaan terhadap Francois Hollande dan Jean-Marc Ayrault ini
dapat terlihat dari polling yang dilakukan oleh BVA (18/01/13). Dimana 59%
responden menganggap kebijakan yang diambil oleh Hollande adalah keliru sedangkan
hanya 25% responden yang menganggap kebijakan tersebut Konstruktif. Popularitas

dari Hollande pun menurun ke angka 43% , penurunan yang sama juga terjadi pada
popularitas Jean-Marc Ayrault yang hanya 38%. Sedangkan menurut Word Socialist Web
Site (29/03/13) popularitas Hollande bahkan saat ini telah tenggelam ke angka 30
persen, rekor terendah antara presiden Perancis sejak jajak pendapat tersebut pernah
dilakukan. Bahkan Hollande kehilangan dukungan di antara basis pemilih PS yang
merupakan partai utama yang menyokongnya. Akibatnya hanya 30 persen remaja dan
32 persen dari pekerja manual yang sekarang ini masih mendukung tampuk
kepemimpinannya. Keadaan tersebut memberikan tantangan tersendiri bagi Hollande
dan Ayrault didalam mendapatkan legitimasi dari rakyat Prancis dari setiap kebijakan
yang diambil nantinya.
Keadaan yang dialami oleh Hollande dan Partai Sosialis (PS) tersebut selaras
dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Kagarlitsky (1999). Bagaimana politik
sosialis mengalami kemunduran justru ketika golongan kiri berhasil mendominasi
pemilihan suara di parlemen dan sekaligus menduduki pemerintahan. Hal tersebut
terjadi karena lemahnya dukungan dari basis rakyat pemilih didalam mendukung
gerakan dari pemerintah yang di satu sisi didalam tekanan oleh hegemoni dari rezim
Kapitalisme global1 yang bersilang idiologis dengan pemerintahan sosialis tersebut.
Itulah yang dialami oleh Hollande dan PS di Prancis sekarang ini. Bagaimana
dukungan yang kuat dari rakyat akibat badai krisis ekonomi yang telah menistakan
mereka (terutama rakyat pekerja dan anak muda Prancis) menjadikan sosok Hollande

dikaitkan erat sebagai seorang juru selamat. Dengan perkakas ide-ide dan agendaagenda sosialis yang digengam oleh Hollande yang dianggap oleh pemilihnya

1

Rezim Kapitalisme global ini adalah perwujudan dari negara kapitalis terutama Amerika Serikat dengan
lembaga-lembaga Internasional yang sudah dibentuk (WTO, IMF & Word Bank) yang selalu melakukan
intervensi dan tekanan-tekanan terhadap benih-benih munculnya negara sosialis di dunia. Itu karena dengan
berdirinya pemerintahan sosialis tersebut dirasa dapat mengancam hegemoni dari rezim kapitalisme global ini.
Untuk penjelasan lebih detailnya dapat dilihat dari pe apara Noa Cho sky dala Neo-Imperialisme
A erika “erikat 2008 .

302

merupakan alternatif ampuh dari kebuntuan krisis Kapitalisme, ternyata yang terjadi
sekarang adalah sebuah angin lalu.
Ide dan gagasan sosialisme ilmiah yang diabaikan oleh Hollande bersama PS dan
sekutunya, seperti PCF (Paratai Komunis Prancis) dan Partai Anti-Kapitalis Baru (NPA)
merupakan pemicu dari kegagalan Hollande didalam menjinakan Krisis ekonomi ini,
selain juga karena adanya dominasi dan intimidasi yang kuat dari rezim neoliberal.
Hollande bersama sekutunya malahan semakin terjerembak didalam kungkungan

kebijakan-kebijakan yang bersifat reformis dan reaksioner, dengan menanggalkan
kebijakan radikal didalam merubah struktur ekonomi-politik masyarakat sebagaimana
yang merupakan bagian dari politik sosialisme.
Sebelum kita melangkah lebih jauh didalam pembahasan ini, agar tidak terjadi
kekaburan dari apa itu maksud agenda politik sosialis. Maka yang dimaksud dengan
agenda politik sosialis didalam pembahasan ini nantinya adalah merupakan suatu
program yang bertujuan untuk mencapai pembangunan kemanusian, redistribusi
kekayaan, penciptaan keadilan, kesejahtraan serta kamakmuran masyarakat dan
dengan tujuan akhirnya adalah penciptaan Negara Sosialisme. Sehingga didalam
menjalankan agendanya harus meninggalkan Neoliberalisme dan juga sistem nan
kapitalistik didalamnya.

Tersingkirnya Agenda Politik Sosialis
Kemenangan yang berhasil diraih oleh Hollande sering dikaitkan dengan kemenangan
dari pendahulunya yang sama-sama diusung oleh koalisi partai kiri yaitu Francois
Mitterrand. Kemenangan yang diraih oleh Mitterrand pada Pemilu 1981 juga didalam
sebuah euphoria yang sama, yaitu harapan akan adanya perubahan besar untuk mencari
sistem alternatif lain dari kapitalisme. Namun kebijakan-kebijakan yang bersifat
moderat dan terkesan terbuka dengan neoliberalisme atau pasar bebas, membuat
Mitterrand tidak mampu membuat perubahan-perubahan yang berarti bagi rakyat

Prancis.
Kini hollande mengalami sebuah dilematika yang sama, karakter dari Hollande
yang merupakan seorang sosialis moderat, tidak revolusioner, dan terbuka terhadap
neoliberalisme, membuatnya memiliki tendensi akan mengalami hal yang sama dengan

303

pendahulunya tersebut. Harapan yang membumbung tinggi dari para masyarakat
tertindas di dunia terhadap terciptanya Negara sosialis di Prancis hanya akan menjadi
harapan semu, ketika melihat apa yang telah dilakukan oleh Hollande selama sekitar
dua tahun massa kepemimpinannya. Karena sosialisme tak akan pernah bisa dibentuk
hanya dengan melalui penataan-penataan ulang secara gradual sistem Kapitalisme atau
lewat kelembagaan antagonisme kelas (Gorz, 2005: 115). Kebijakan radikal dengan
menghancurkan sistem Kapitalisme yang bersifat kanibalistik ini menjadi sangat
penting didalam menjadi tonggak berdirinya negara sosialis ini.
Mungkin

hollande masih mempunyai

tiga tahun


lagi

secara

normal

mengemudikan gerbong Negara Prancis ini. Dan boleh saja orang akan mengatakan
bahwa Hollande pasti akan dapat menjalankan janji-janji pada masa kampanyenya dan
membentuk Negara Sosialis Prancis. Tetapi bila melihat landasan pijakan awal yang
dilakukan oleh Hollande setahunan ini2, maka anggapan dari orang-orang itu akan
benar-benar sulit dicapai. Itu karena di tinggalkannya agenda-agenda politik sosialis
yang merupakan sebuah permasalahan yang menjerat bukan hanya Hollande tetapi juga
para politisi-politisi sosialis di dunia setelah mereka berhasil duduk di pemerintahan.
Seperti apa yang telah dilakukan oleh Tony Blair ketika ia memimpin partai New
Labour yang berkuasa di Inggris. Energi baru yang telah ia gelorakan membuat sebuah
dinamika baru dalam politik kiri di Inggris. Tony blair juga berhasil mempengaruhi
massa kelas pekerja serta serikat buruh untuk kembali bergabung dalam Partai New
Labour ini dan harapan besar akan datangnya perubahan yang diperjuangkan oleh
partai New Labour ini menyeruak di benak massa anggota dengan agenda-agenda

politik sosialis yang di bawanya.
Akan tetapi, setelah Tony Blair berhasil meraih kekuasaan sebagai Perdana
Menteri di Inggris pada tahun 1997 sampai 2007, agenda-agenda sosialis tersebut
seolah dia singkirkan. Basis masa pekerja dan serikat pekerja yang mendukungnya pun
sedikit demi sedikit dia tinggalkan. Hasil pemerintahan pun berjalan semakin mundur
2

Tidak berhasil dijalankannya janji politik Hollande saat kampanye setelah hampir dua tahun memimpin yaitu
kebijakan 75 persen pajak bagi siapa saja yang memiliki pendapatan di atas 1 juta euro per tahun, menaikan
upah minimum, mempekerjakan lebih dari 60 ribu guru, menurunkan usia pensiun dari 62 menjadi 60 tahun
dan menekan angka pengangguran, adalah sebuah gambaran bagaimana ketidakmampuan Hollande didalam
menciptakan negara sosialis di Perancis ini.

304

kebelakang dan semakin lebih buruk dari pada rezim neoliberal sebelumnya. Seperti
yang digambarkan oleh Alex Callinicos, bahwa:
Dibawah pemerintahan New Labour itu, ketimpangan terus meluas, koifisien gini
naik dari 33% pada tahun 1996-1997 menjadi 35% pada tahun 1998-1999,
sebagai tingkat tertinggi sejak masa pemerintahan Thatcher… selama dua tahun

pertama masa kepemimpinan Blair jumlah penduduk dalam rumah tangga yang

tergolong miskin naik dari 16,7 menjadi 17,7 persen dari jumlah penduduk.
Pendapatan dari 10% orang terkaya meningkat 7,1% dibandingkan hanya 1,9%
peningkatan pendapatan dari 10% penduduk termiskin (2011: 91-92)

Data diatas memperlihatkan bagaimana keberpihakan kebijakan kepada rakyat
pekerja yang merupakan basis utama dari Partai New Labour ini sama sekali tidak
berjalan di bawah pemerintahan Blair bersama Partai New Labour yang mengusungnya
ini. Frame Kebijakan dari Blair yang lebih dipandu oleh ekonomi neolib dan usahanya
untuk memanusiakan kapitalisme itulah yang membuat pemerintahan yang
dipimpinnya mengalami kemunduran seperti itu.
Menurut Kagarlitsky (1999) memandang bahwa pemasalahan mendasar dari
kemunduran tersebut lebih terletak pada mode berpolitik dari golongan kiri yang tidak

meyakini agenda-agenda program yang mereka buat sendiri ketika mereka justru
memegang pemerintahan. Sehingga yang terjadi para politiksi kiri tersebut
meninggalkan agenda-agenda politik sosialis yang pernah mereka tawarkan untuk
dapat mencapai sesuatu perubahan.
Ditinggalkannya agenda politik sosialis oleh para politiksi kiri ketika mereka
telah berhasil menduduki kursi parlemen dan pemerintahan ini dikarenakan ada dua
hal yang saling berkaitan melatarbelakanginya. Pertama, adalah adanya dominasi kuat

dari neoliberalisme baik di Internal maupun eksternal pemerintahan yang diduduki.
Dominasi yang kuat dari neolib ini, secara langsung telah membuat para politiksi
sosialis tidak memiliki ruang gerak dan hanya diberi pilihan-pilihan yang bertentangan
dengan agenda-agenda sosialis yang pernah mereka tawarkan. Sehingga ketika mereka
tidak memiliki jiwa radikal dan revolusioner yang didukung oleh basis massa yang kuat,
maka yang terjadi mereka akan meninggalkan agenda-agenda sosialis tersebut.

305

Dominasi neoliberalisme di lingkungan eksternal pemeritahan sebuah Negara
terbentuk lewat dorongan yang kuat dari lembaga-lembaga atau institusi-institusi
Internasional, seperti Word Bank, WTO, IMF, Kesepakatan-kesepakatan antar kawasan
dan kekuatan Negara Neoliberal3 -seperti national endowment for Democracy nya AS
dan kekuatan Kapitalis Negara lainnya- (Harvey, 2009: 107-117). Sedangkan dominasi
neolib di Internal pemerintahan Negara mendapat sokongan dari para konglomeratkonglomerat Kapitalis, lewat berbagai intervensi yang mereka lakukan dan juga
sokongan dari lembaga-lembaga Negara yang belum dikuasai oleh para politiksi sosialis.
Keadaan seperti inilah yang dialami oleh Hollande saat ini. Usulannya tentang
kebijakan 75 persen pajak bagi siapa saja yang memiliki pendapatan di atas 1 juta euro
per tahun, segera ditolak oleh Dewan Konstitusi Prancis pada 29 Deseber 2012.
Kebijakan tersebut dianggap oleh Dewan Konstitusi Prancis Inkonstitusional, karena
alasan teknis bahwa pajak 75 persen tersebut diterapkan pada individu, dan karena itu
tidak sesuai dengan hukum yang mengatur pajak penghasilan yang dikenakan pada
rumah tangga dan juga karena dianggap melanggar prinsip kesetaraan kontribusi

4

(WSWS, 03/01/13). Padahal kebijakan tersebut dapat memberikan sumbangsih yang
besar bagi rakyat pekerja dan kelas menengah-kebawah yang merupakan pihak yang
paling menderita akibat krisis ekonomi. Kebijakan tersebut juga akan membuat para
konglomerat yang memiliki andil besar dalam dalam menciptakan krisis tersebut, agar
dapat menyumbangkan bagian yang adil mereka kepada rakyat. Tetapi penolakan dari
Dewan Konstitusi Prancis tersebut telah membuat kebijakan revolusioner dan radikal
Hollande pasti akan sulit terlaksana.
Kedua, adanya ilusi demokrasi borjuis terhadap kesadaran massa. Kemenangan
yang diraih oleh para politisi sosialis didalam bingkai ajang kontestasi politik dibawah
naungan Demokrasi borjuis, dapat disebut kemenangan yang bersifat semu. Seperti apa
yang pernah diungkapkan oleh Marx dan Engels dalam kata pengantar Communist
3

Secara teoritis Harvey mengartikulasikan Negara neoliberal sebagai Negara yang lebih mementingkan hak
milik pribadi individu, aturan hukum dan pranata-pranata pasar bebas dan perdagangan bebas. Tapi pada
perjalanannya Negara neoliberal ini sering menyimpang dari ortodoksi neoliberal itu sendiri demi tujuan
pragmatis dan oportunis.
4

Prinsip kesataraan kontribusi ini adalah tidak adanya separasi antara yang miskin dan yang kaya, keduanya
dianggap sama dimata pemerintahan negara. Sehingga ketika terjadi pembedaan penerikan besaran pajak
yang lebih besar kepada si-kaya dianggap melanggar prinsip tersebut.

306

Manifesto mereka pada tahun 1872 (Gorz, 2005: 120-121), bahwa pemilihan umum
memang memberikan suara untuk memerintah, namun bukan untuk menjalankan
pemerintahan dan pemilihan umum hanya menghasilkan jumlah perhitungan kertas
surat suara yang dianggap aspirasi individual dari pemilih. Ini artinya, tak peduli
bagaimanapun tunggalnya aspirasi pemilihan para pemilih, mereka tetap tidak akan
terorganisir dan menjadi satu kesatuan dalam perjuangan bersama.
Menurut Daniel Schugurensky (2004) itu terjadi karena adanya deficit democracy
didalam demokrasi bojuis itu. Yang membuat proses dari demokrasi perwakilan
berjalan tidak berkelanjutan. Hal tersebut terjadi karena demokrasi perwakilan yang
diselenggarakan lima tahunan sekali hanya benar-benar terjadi ketika pemilih berada
didalam kotak suara untuk memberikan hak pilih mereka, dan setelah itu para pemilih
melakukan kegiatan mereka seperti hari-hari biasa. Keadaan tersebutlah yang
merupakan problematika didalam demokrasi borjuis tersebut, yang menurut Andre
Gorz mengungkapkan bahwa:
Jadi Pemilu tak lebih dari miftifikasi yang diciptakan oleh demokrasi borjuis.
Pemilihan umum dirancang sedemikian rupa untuk melanggengkan tercerai
berainya dan terpisah-pisahnya individu-individu serta mencegah kekuasaan
kolektif dari masyarakat…….. Ringkasnya kemenangan dalam Pemilu tidaklah

membuahkan kekuatan….. Ketidakberdayaan inilah yang merupakan salah satu
sebab terbentuknya mayoritas konserfatif ditubuh kekuasaan, kecuali pada
massa krisis yang cukup parah (2005: 121)

Melihat kenyataan dari demokrasi borjuis yang demikian, membuat para
politiksi sosialis seolah berjalan sendirian. Sokongan dan dorongan massa pemilih
mereka agar para politiksi ini dapat menjalankan agenda-agenda atau programprogram sosialis mereka seperti sebuah ilusi semata. Para basis massa pemilih tidak
melakukan tindakan lebih lanjut setelah proses Pemilu selesai sebagai akibat adanya
defisit democracy. Mereka seolah membiarkan para politiksi sosialis ini bertarung
sendiri melawan kekuatan besar oligarki borjuis yang terbentuk sebelumnya. Harusnya
dukungan, dorongan maupun mobilisasi massa ke jalan-jalan untuk mendukung
kebijakan radikal seperti yang terjadi di Venezuela ketika pemerintahan Hugo Chavez
berusaha dikudeta oleh pihak militer pada tahun 2002 menjadi sangat penting didalam
menyokong pemerintahan sosialis itu sendiri.

307

Itu karena seperti yang diungkapkan oleh Alex Callinicos (2011: 194-195) bahwa
untuk dapat melampaui kapitalisme sangat memerlukan perubahan masyarakat secara
revolusioner. Dan perubahan masyararakat secara revolusioner didalam banyak kasus5
sangat sulit terbentuk didalam dinamika pemilihan umum dibawah sistem demokrasi
borjuis ini. Karena untuk dapat menciptakan masyarakat yang revolusioner ini
diperlukan transformasi masyarakat secara sadar, sistematis dan teroganisir.
Sedangkan didalam kerangka demokrasi borjuis, transformasi tersebut hanyalah bagian
dari ilusi dan sulit untuk terjadi.
Akibatnya para politiksi sosialis seperti halnya Hollande ini mengalami sebuah
dilematika ketika dihadapkan dengan dominasi yang kuat dari neoliberalisme di
lingkungan pemerintahannya. Keadaan tersebutlah yang membuat adanya tendensi
ditinggalkannya agenda-agenda politik sosialis tersebut. Untuk kemudian berganti
wujud menjadi kebijakan-kebijakan kompromis yang bersifat reformis, moderat dan
reaksioner, yang dalam hal ini tidak akan membahayakan kelompok borjuasi di Negara
tersebut dan mudah sekali untuk ditundukan.

Kebijakan Reformis, Moderat dan Reaksioner
Ditinggalkannya agenda-agenda politik sosialis oleh para Politiksi kiri yang sudah
berhasil memasuki pemerintahan didalam kontek Demokrasi Pemilihan Umum, telah
menjadikan terjeratnya para Politiksi kiri tersebut didalam dinamika kebijakan yang
lebih condong kearah kebijakan reformis, moderat dan reaksioner. Beralih haluannya
orientasi kebijakan tersebut, bersinggungan dengan desakan besar dari rezim neoliberalis yang tidak mau kekuasaannya diruntuhkan oleh agenda-egenda politik dari
sosialisme. Itu terjadi karena bertentangannya dua arus besar idiologi neoliberalisme
dan sosialisme ini.

5

Seperti yang terjadi di Chili ketika Allande dikudeta oleh Pinochet (Chomsky, 2010) ataupun di Indonesia
ketika lahirnya peristiwa G30S yang membuat gerakan kiri ditumpas habis. Disana dapat terlihat bagaimana
gerakan revolusioner rakyat sulit untuk terbentuk didalam melindungi pemerintahan. Begitu juga yang terjadi
di Inggris melalui Tony Blair serta Perancis sekarang ini dibawah Hollande, gerakan secara berkesadaran rakyat
sulit terbentuk didalam menyokong dan meluruskan setiap kekeliruan kebijakan yang telah diambil oleh
pemerintahan yang didukungny diajang kontestasi politik.

308

Artinya membiarkan Politik Sosialisme dengan tegak berdiri sama artinya
dengan mengubur sistem neoliberalisme dan kapitalisme dari dunia ini. Sehingga
organ-organ berdirinya kapitalisme dan neo-liberalisme tersebut tidak mungkin
menyerahkan begitu saja kekuasaan dan sumber daya yang mereka miliki. Berbagai
bentuk perlawanan, intervensi, dan pukulan demi pukulan pasti akan terus mereka
layangkan untuk menggagalkan berdirinya Negara Sosialisme tersebut. Karena ketika
Negara Sosialisme tersebut berhasil berdiri dengan pencapaian-pencapaian kemajuan
yang luar biasa membanggakan, maka efek dominonya pasti akan memukul balik
kekuatan kapitalisme dan neoliberalisme itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan
ketika ada suatu pengkucilan atau bahkan embargo dan intervensi terhadap Negaranegara seperti kuba dan Venezuela yang berusaha tetap menerapkan agenda-agenda
sosialisme di bawah bayang-bayang kekuatan besar kapitalisme yang menguasai dunia
sekarang ini.
Kita dapat berkaca dari apa yang terjadi di Chili pada 11 September (little
September 11 th) tahun 1973. Bagaimana pemerintahan Salvador Allende yang terpilih
secara demokratis dikudeta oleh Pinochet

yang mendapatkan dukungan dari

korporasi-korporasi AS, CIA dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger (Harvey,
2009: 14-17). Kudeta tersebut dilatarbelakangi gerakan dari pemerintahan Allende
yang mengarah menuju penciptaan Negara sosialis yang telah membuat para elit bisnis
dan Negara neoliberal menjadi terancam. Dengan sangat kejam, kudeta tersebut
merepresi gerakan kiri, gerakan sosial dan membubarkan semua bentuk organisasi
rakyat di Chili. Setelah kudeta berhasil dijalankan oleh Pinochet, maka kereta Negara
Chili pun diarahkan untuk berjalan ke rel Negara neoliberal. Dengan cara membatalkan
semua proses nasionalisasi yang sebelumnya dilakukan oleh Allende, melakukan
privatisasi atas aset-aset publik, derugalasi peraturan yang tak mendukung proses
neoliberalisme, memberi kemudahan arus investasi, dan memperbolehkan sumbersumber daya alam untuk dieksploitasi swasta tanpa harus mengikuti regulasi (Harvey,
2009: 15-16).
Sedangkan disisi yang lain, bagi para penganut sosialisme – marxisme murni,

ketika mereka tetap membiarkan sistem kapitalisme dan neoliberalisme berdiri teguh

didunia ini, maka sama artinya membiarkan jerit penindasan, tangis penderitaan dan
rengekan kesengsaraan terus membahana dimuka bumi ini. Itu terjadi karena

309

kapitalisme tak akan pernah ada tanpa adanya ketimpangan demi ketimpangan akibat
berbagai eksploitasi dan penindasan yang mengiringinya. Dan lewat ketimpangan itulah
kemiskinan, penderitaan dan kesengsaraan tumbuh subur. Sehingga pendirian Negara
Sosialis menjadi suatu hal yang mutlak untuk dilakukan, untuk kemudian menurut Marx
menuju tahapan akhir dari revolusi sosial yaitu komunisme. Karena hanya dengan
itulah berbagai masalah kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan tersebut dapat
teratasi. Maka bagi Trotsky di dalam bukunya Revolusi Permanen (2009), pendirian
Negara sosialisme secara Internasional menjadi hal yang penting, tanpa hal tersebut
rezim kapitalisme dan neoliberalisme akan terus melakukan pukulan demi pukulannya.
Tidak mungkin kelas berkuasa membiarkan kekuasannya diambil oleh kelas lain,
itulah yang dihadapi oleh para politiksi kiri didalam upaya menjalankan agenda-agenda
politik sosialisnya dinegara yang dimana hegemoni dari rezim kapitalis sangat begitu
besar. Dengan adanya tekanan yang besar dari dominasi rezim neoliberalis dan disatu
sisi lemahnya mode berpolitik dari politiksi sosialis serta kurangnya dukungan yang
besar dari basis massa pemilih, telah membuat ditukarnya agenda politik sosialis
menjadi agenda yang lebih condong bersifat ke-tengah. Yaitu agenda yang berusaha
berkompromi dengan dua kekuatan yang saling berlawanan untuk bagaimana dapat
mengamankan kekuasaannya.
Kecendrungan tersebut telah mengarahkan frame kebijakan lebih condong ke
kebijakan yang bersifat reformis, moderat dan reaksioner. Dimana kebijakan-kebijakan
yang dijalankan hanya bersifat relatif dan parsial. Perubahan yang ditimbulkan oleh
kebijakan tersebut hanya menyentuh sisi luar dari masalah yang mengekang para kelas
pekerja selama ini. Akibatnya kebijakan tersebut pun mudah sekali untuk dicerai
beraikan dan diserap oleh sistem kapitalisme yang menindas untuk kemudian
dilakukan konter-reformasi yaitu dengan mengembalikan keadaan seperti semula
kembali. Yaitu keadaan dimana sistem ekonomi kapitalis kembali dijalankan walaupun
didalam keadaan terlonta-lonta. Padahal seperti yang diungkapkan oleh Lennin bahwa
tidak akan ada akhir krisis dari kapitalisme, karena sejak kelahirannya kapitalisme telah
dibayangi oleh berbagai krisis yang menghantuinya. Artinya badai krisis kapan saja
akan pasti terjadi didalam sistem kapitalisme tersebut dan kehidupan dari rakyat
pekerja kapan saja pun harus bersiap dijadikan tumbal dari krisis yang akut tersebut.

310

Berdiri dan dominannya para politiksi sosialis di dalam pemerintahan yang
didahului oleh krisis ekonomi yang parah didalam sistem ekonomi kapitalis pada akhirakhir ini, sebenarnya memberikan peluang besar untuk menciptakan trasformasi
sosialis secara mutlak dan menyeluruh. Diterapkannya agenda politik sosialis secara
konsisten dan menyeluruh merupakan salah satu alternatif ampuh untuk menangkal
berbagai krisis ekonomi. Dan hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan dengan
kebijakan reformis dan reaksioner. Karena kebijakan reformis, moderat dan reaksioner
tersebut pada kenyataannya sering ditunggangi oleh kelompok borjuis-kanan. Seperti
apa yang pernah diungkapkan oleh IMT (International Marxist Tendency), bahwa:
Mereka telah mencampakkan perspektif transformasi sosialis. Perbedaannya
adalah bahwa kaum sayap kanan melayani Kapital dengan antusias dan tanpa
ragu-ragu, sementara kaum reformis percaya bahwa kita bisa memanusiawikan
kapitalisme. Mereka ingin menambahkan sesendok gula ke obat yang pahit.
Tetapi kehidupan telah mempersiapkan pelajaran yang pahit bagi reformisme
kiri. Apapun maksud mereka, kaum reformis kiri pada kenyataannya menjadi
perisai bagi kaum reformis sayap kanan (Militan, 01/10/12).

Artinya ditengah badai krisis ekonomi yang begitu parah dan ditengah pasangsurutnya kondisi kekecewaan dari sebagian besar rakyat. Tanpa diterapkannya agendaagenda politik sosialis secara menyeluruh dan konsisten oleh para Politiksi kiri di dalam
pemerintahan, seperti halnya Hollande dan PS. Maka para politiksi kiri tersebut dapat
diibaratkan sedang merangkai bom waktu dengan peralatan kebijakan reformis,
moderat dan reaksioner yang digunakannya. Bom waktu tersebut pun sudah siap
meledak kapan saja untuk menghancurkan mereka sendiri bersama sekutunya.
Ditengah sulutan kekecewaan masa rakyat atas keterpurukan keadaan yang mereka
alami akibat tak kunjung usainya krisis ekonomi, sosial dan politik yan dirasakannya.

Krisis Ekonomi & Keharusan Sosialisme
Berbicara tentang sosialisme ditengah era dominasi dari kapitalisme sekarang ini
banyak dianggap berbagai kalangan sudah tidak lagi relevan. Sosialisme sering
dianggap hanyalah coretan sejarah yang telah usang. Apalagi setelah runtuhnya Uni
Sovet pada 1989 dan 1991.

311

Beberapa negara yang sering dianggap beraliran sosialis saat ini juga tengah
pada masa sulit. China dan Vietnam, negara dengan partai tunggal yang terus bertahan
namun sistem ekonomi malahan menjadi semakin berdasarkan pada pasar kapitalis; di
Korea Utara tetap terjadi pengkultusan personalitas yang totalitarian namun banyak
penduduknya yang hidup dalam kemiskinan dan di kuba muncul keragu-raguan apakah
rezim akan bisa tetap bertahan hidup setelah Castro meninggal (Newman, 2006: 209209), sedangkan di Venezuela yang tengah menuju ke sosialisme abad-21 kini pun
tengah berada pada konflik akibat serangan dari kaum kanan yang disokong kekuatan
negara neoliberal.
Namun tak dapat dipungkiri gagasan dari sosialisme akan terus hidup dan terus
dicari-cari karena kekuatan analitiknya didalam membongkar kapitalisme. Apalagi
ditengah berbagai simultansi krisis yang menerpa kapitalisme. Mungkin kita tak bisa
membayangkan bagaimana keadaan dunia sekarang ini, ketika gagasan marxisme yang
mengamanatkan sosialisme ilmiah tak pernah muncul. Penderitaan dan kesengsaraan
pasti sangat merajalela dengan menafikan hak-hak dasar dari buruh.
Maka sosialisme kapanpun dan dimanapun tetap relevan dan menjadi bagian
terpenting didalam dinamika perkembangan dunia ini. Karena sosialisme menawarkan
solusi ilmiah yang gemilang (anti-thesis) dari kapitalisme. Sehingga sosialisme akan
tetap menjadi hantu bagi kapitalisme, seperti yang digambarkan Marx dalam kata
penutup didalam karyanya Das Kapital 1 bahwa Lonceng kematian hak milik pribadi
kapitalis berdentang, Para penjarah akan dijarah . Walaupun thesis Marx bahwa

kapitalisme akan hancur karena kontradiksi internal yang dialaminya tidak terbukti
sampai saat ini, namun kita dapat terus menyaksikan bagaimana krisis didalam
kapitalisme yang sampai sekarang terus terjadi, yang membuat Marxisme dan
sosialisme akan terus menjadi relevan.

Persaudaraan Kapitalisme dan Krisis
Kapitalisme kini telah mencapai suatu titik terendah dalam masa-masa yang
pernah dihadapinya. Badai krisis ekonomi yang menghantam sebagian besar Negaranegara di Dunia pada pertengahan 2007, terutama di eropa dan juga Amerika Serikat

312

telah menimbulkan pergolakan-pergolakan tersendiri didalamnya. Resep-resep dari
para ekonom kapitalis kelas wahit didalam upaya untuk membendung krisis ekonomi
ini yaitu lewat pemotongan anggaran publik, di satu sisi telah menciptakan
meningginya tingkat kesengsaraan dari para rakyat kecil sehingga menimbulkan
pertentangan dan perlawanan yang hebat dari para buruh serta rakyat kecil sebagai
pihak yang paling dirugikan.
Krisis kapitalisme ini memiliki kemiripan dengan situasi yang ditulis oleh
Trotsky pada tahun 1938. Bahwa yang kita alami sekarang bukanlah siklus krisis
kapitalisme yang biasanya terjadi, tetapi krisis ini merupakan yang lebih dalam dan
lebih serius, sebuah krisis organik sistem kapitalis, yang tidak ada jalan keluar. Kecuali
lebih banyak krisis-krisis lagi di masa depan dan pemotongan yang tajam terhadap
standar kehidupan rakyat.
Pondasi dari sistem kapitalisme memang tak akan pernah dapat dipisahkan dari
adanya krisis. Itu terjadi karena sejak kelahirannya kapitalisme telah membawa cacad
yang serius akibat kontradiksi internal didalamnya, sehingga krisis dan kapitalisme
seolah menjadi dua saudara yang mustahil untuk diseparasikan. Ketidakmampuan
kapitalisme didalam mengekstrasi nilai lebih6 yang cukup dan ketidakmampuan untuk
merealisasikan nilai lebih tersebutlah yang telah menciptakan krisis atau yang menurut
marx disebut sebagai kecenderungan melorotnya tingkat keuntungan .

Sedangkan merujuk pendapat dari Andre Gorz (2005: 35-47) ada dua hal utama

yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi didalam sistem kapitalisme ini. Pertama,
krisis

overakumulasi.

Krisis

ini

terjadi

ketika

pada

tahap

lanjut,

dalam

perkembangannya kapitalisme mulai mengganti tenaga kerja dengan mesin-mesin.
Namun mesin-mesin tersebut memerlukan biaya yang tinggi untuk tetap berproduksi
(membeli, merawat dan memperbarui), sehingga untuk dapat menjaga sirkulasi kapital
maka diperlukan keuntungan yang besar.
Sistem kompetisi didalam gelanggang pasar yang diciptakan oleh kapitalisme,
membuat para kapitalis saling bersaing untuk dapat terus menjual produksinya. Dengan
logika anarkinya, mereka saling merusaha untuk terus menggenjot produksi dengan
6

Nilai lebih ini merupakan sumber keuntungan dari kapitalis yang didasarkan pada eksploitasi buruh. Yaitu
nilai yang dimiliki oleh para buruh didalam aras produksi namun dirampas oleh kapitalis.

313

cara terus membeli mesin-mesin baru yang semakin canggih dengan pembiayaan
semakin mahal pula yang hanya dioperasikan oleh sedikit buruh dengan ketrampilan
semakin rendah.
Hal tersebutlah yang kemudian menciptakan under consumsion semurninya,
yaitu terjadinya kesenjangan yang semakin tajam antara kapasitas produksi (hasil
produksi) dengan daya beli (konsumsi) dari para buruh. Dinamika tersebut yang terus
berlanjut tak pelak menciptakan sebuah over-akumulasi sebagai akibat penumpukan
hasil produksi. Akibatnya produktifitas modal mengalami penyusutan dan keuntungan
semakin menurun. Disitulah krisis terjadi, karena sistem telah lumuh, sirkulasi kapital
porak-poranda, dan kejenuhan pasar semakin meninggi.
Kedua, Krisis Reproduksi. Terjadinya krisis reproduksi didalam kapitalisme ini
terjadi disaat munculnya berbagai kelangkaan akibat bahan baku produksi atau sumber
daya alam yang tak dapat terus diperbaharui. Itu terjadi karena terus dieksplorasi
bahan-bahan baku (sumber daya alam) tersebut untuk terus meningkatkan kapasitas
produksi hingga membuatnya semakin menipis dan akhirnya menciptakan kelangkaan
yaitu guna dapat terhindar dari krisis over-akumulasi.
Akibat kelangkaan yang semakin parah, bukannya keuntungan yang didapatkan
karena menjual hasil produksi yang langka tersebut, namun malahan membuat semakin
terguncangnya kapitalisme itu sendiri. Itu terjadi sebagai akibat dari semakin
meningkatnya biaya untuk proses produksi, karena roda industri mengkonsumsi lebih
banyak untuk kebutuhannya sendiri terhadap barang langka tersebut dari peningkatan
kapasistas produksinya. Maka efisiensi semakin musnah, keseimbangan produksi dan
konsumsi semakin hancur dan produksi semakin tidak berguna.
Bila didanalisis secara mendalam, krisis Eropa pada 2008 lalu adalah bagian dari
krisis over-akumulasi yang dampaknya bersifat multidimensional. Lahirnya krisis
tersebutlah yang mengakibatkan kejatuhan tingkat laba yang berujung pada kenaikan

tingkat produksi dan terus melemahkan tingkat keuntungan. Kenyataan tersebutlah
yang membuat para kapitalis berupaya menghindari kebangkrutan dengan cara
mencari ruang-ruang baru didalam menjalakan akumulasi kapital. Krisis kapitalisme di
tahun 2008 ini juga tak bisa dilepaskan dari krisis sebelumnya, yaitu krisis pada tahun
1970an. Hal tersebut terjadi lantaran kegagalan kapitalisme didalam melakukan

314

penghancuran kapital. Menurut Kliman (2011) cara untuk dapat menghindari timbunan
krisis dimasa depan tersebut adalah dengan cara penghancuran kapital melalui siklus hidup
dari kapitalisme itu sendiri. Cara melakukan penghancuran kapital ini salah satunya dapat
dilakukan dengan jalan perang.
Kemiskinan, pengangguran, kesengsaraan dan penderitaan merupakan luapan
yang tak akan pernah terpisahkan dari kehadirian krisis ekonomi yang disebabkan oleh
kapitalisme ini. Semakin parah dan besar krisis ekonomi yang terjadi, maka efeknya
juga akan semakin menyakitkan dan menciptakan guncangan besar terhadap krisiskrisis dimensional lainnya. Guncangan yang maha besar tersebut sering diciptakan oleh
para kelas-kelas proletar (pekerja atau buruh). Karena penderitaan yang seribu kali
lebih sakit yang mereka rasakan membuatnya tertekan dan memiliki tendensi untuk
melakukan gerakan protes dan perlawanan. Namun bentuk-bentuk tuntutan dari
gerakan protes dan perlawanan tersebut memiliki ketergantungan terhadap seberapa
besaran kesadaran kelas yang telah mereka miliki dan juga seberapa kuat basis massa

serta serikat atau organisasi yang mengorganisirnya.

Lemahnya tingkat kesadaran kelas (proletar), kepemimpinan yang revolusioner
dan juga basis massa didalam organisasi, juga turut membuat lemahnya tuntutantuntutan yang mereka lakukan. Tuntutan-tuntutannya pun hanya sebatas bersifat
reformis dan reaksioner seperti yang dijelaskan diatas. Sedangkan sebaliknya, ketika
kesadaran kelas itu cukup tinggi yang dibarengi dengan kuatnya organisasi dan serikatserikat buruh serta adanya kepemimpinan yang revolusioner yang menaunginya, maka
tuntutan-tuntunnya pun akan lebih bersifat revolusioner dan menyeluruh. Mereka tidak
hanya berhenti didalam kebijakan reformis semata, tetapi akan terus berusaha untuk
mencapai tujuan yang radikal dan revolusioner yang menjadi acuan utamanya, yaitu
dengan cara menghancurkan sistem kapitalisme yang terbukti penuh kontradiksi di
dalamnya dengan sosialisme. Itu terjadi karena mereka sudah tidak lagi percaya dengan
sistem kapitalisme yang menindas dan mengekang, sehingga kemudian mereka
berusaha untuk mengubur sistem itu dalam-dalam dengan cara revolusioner dan
radikal.
Krisis ekonomi yang mulai meletup sejak 2008 lalu, juga telah menciptakan
ketidakstabilan di dalam Pemerintahan dari Negara-negara yang tersambar badai krisis
tersebut. Terguncangnya stabilitas politik di dalam Negara terjadi akibat dari maraknya

315

rasa ketidak percayaan dan kekecewaan yang terlontar dari rakyat. Timbulnya rasa
kekecewaan tersebut juga telah menimbulkan berbagai protes dan perlawanan yang
kapan saja dapat menjungkalkan pemerintahan dari sebuah Negara.
Didalam konteks ajang kontestasi politik, meledaknya rasa kekecewaan dari
rakyat juga telah menyudutkan para incumbent yang dianggap tidak mampu lagi untuk
menahkodai negaranya mencapai keselamatan di tengah badai krisis ekonomi yang
melanda. Keadaan tersebutlah yang kemudian memberikan kesempatan besar bagi
para politiksi sosialis untuk meraup dukungan massa. Karena agenda-agenda yang
mereka tawarkan mewujudkan tentang alternatif yang gemilang dari Kapitalisme, yaitu
Sosialisme. Dan dengan alternatif tersebutlah dukungan rakyat pasti akan begitu besar.
Akibat dari menggunungnya kekecewaan mereka terhadap kemandulan dari sistem
kapitalisme, yang juga telah menciptakan badai krisis yang mengerikan bagi mereka
terutamanya rakyat kelas pekerja dan kelas menengah-bawah.
Mereka juga mulai tidak percaya lagi terhadap solusi-solusi yang berusaha
ditawarkan oleh para kapitalis. Itu karena dalamnya krisis yang sekarang ini terjadi,
membuat solusi tersebut hanya seperti sesendok gula di lautan pahitnya kopi. Usaha
tersebut pun hanya akan menuai kesia-sian. Dan hanya akan menciptakan badai krisis
yang lebih besar dan besar lagi. Sebagai akibat dari timbunan kontradiksi-kontradiksi
relasi sistem kapitalis yang menumpuk dari tahun ke tahunnya. Hal tersebut pun mulai
diketahui oleh sebagian besar rakyat, sehingga mereka mencoba mencari-cari alternatif
yang ampuh selain dari kapitalisme ini.
Keadaan tersebutlah yang menjadikan adanya peluang yang besar bagi para
politiksi dan juga partai Sosialis untuk merebut kekuasaan di Pemerintahan. Disini yang
lebih penulis maksudkan adalah dalam konteks demokrasi pemilihan umum. Kita dapat
melihat bagaimana keberhasilan Hollande bersama PS yang telah berhasil menguasai
pemerintahan di Prancis. Keberhasilan dari Hollande dan PS tersebut tak dapat
dipungkiri dikarenakan adanya kekecewaan yang besar dari rezim incumbent
sebelumnya yaitu Sarkozy. Kertidak berpihakan kebijakan yang diambil oleh rezim
konservatif tersebut kepada rakyat telah menimbulkan semakin besarnya keksewaan
terhadapnya. Sehingga mereka kemudian menjatuhkan pilihannya kepada Hollande
yang dirasa mampu untuk menangani krisis dengan solusi-solusi sosialisnya.

316

Hal tersebut juga pasti akan terjadi pula dinegara-negara lain di dunia ini. Ketika
krisis ekonomi datang, yang kemudian turut berimbas pada ketidakstabilan sosialpolitik, saat itulah sebagian besar dari masyarakat akan mencari alternatif-alternatif
lain untuk dapat memperbaiki kehidupannya. Dan krisis tersebut sebagian besar terjadi
di Negara-negara dengan pondasi Kapitalisme, sehingga alternatif yang dituju tak lain
adalah sosialisme. Disitulah peluang besar bagi kekuatan politik kiri untuk dapat
berkuasa dipemerintahan dan menjalankan agenda-agenda politik sosialisnya. Karena
krisis tersebut menggambarkan sebuah kehancuran yang paling ditakutkan, sehingga
kemudian menurut Marx dan Engels mengatakan bahwa sifat krisis dari kapitalisme
telah menciptakan keharusan akan sosialisme, tidak hanya untuk menghapus
kemiskinan dan ketimpangan, tetapi juga untuk menyingkirkan bencana ekonomi dan
sosial yang endemik dalam sistem kapitalisme.

Belajar dari Sosialisme Abad-21
Akhir sejarah dari sosialisme dan gerakan kiri sebagaimana klaim Francis
Fukuyama (1992) setelah runtuhnya tembok berlin dan bubarnya Uni Soviet pada
kenyataannya bersifat ahistoris bahkan utopis. Perjuangan dibawah panji-panji
Sosialisme abad-21 yang diusung oleh Hugo Chavez di Venezuela dengan revolusi
bolivariannya telah membuktikan kepada dunia bahwa sosialisme masih tetap relevan
tidak hanya dilevel teoritis tetapi juga didalam ranah praksis. Selain itu semakin
memperlihatkan bahwa ada sebuah alternatif lain dari sistem kapitalisme ini yaitu
sosialisme.
Semenjak Chavez memimpin di tahun 1999 setelah memenangkan pemilu
elektoral secara demokratis, Chavez telah berhasil menciptakan pencapaian-pencapaian
pembangunan kemanusiaan dan solidaritas kebersamaan yang begitu penting di
Venezuela. Sebagaimana dipaparkan oleh Salim Lamrani (Venezuelanalysis, 9/03/13) 7
dengan kampanye melek huruf yang dinamai dengan Mission Robinson I, telah membuat
sekitar 1,5 juta penduduk Venezuela dapat belajar membaca & menulis serta berhasil
meningkatkan angka partisipasi peserta didik menjadi 93,2% ditahun 2011. Angka
kemiskinan pun berkurang dari 42,8% di tahun 1999 menjadi 26,5% ditahun 2011
7

Dalam pemaparan tentang pencapaian-pencapaian yang berhasil dicapai oleh Venezuela dibawah
pemerintahan Hugo Chavez, penulis banyak mengikuti Salim Lamrani ini.

317

sedangkan angka kemiskinan ekstrim ditahun yang sama juga menurun dari 16,6%
menjadi 7%.
Angka indeks Gini atau indeks ketimpangan kepemilikan di Venezuela selama
diperintah oleh Chavez pun menurun menjadi 0,39 ditahun 2011 setelah sebelumnya
ditahun 1999 mencapai 0,46 dan menurut data dari UNDP merupakan terendah di
Amerika latin. Didalam ranah pertanian, dengan kebijakan reformasi agraria yang di
implementasikan telah berhasil mendistribusikan 3 juta hektar tanah kepada para
petani kecil dan buruh tani. Alhasil pemerintah Venezuela berhasil meningkatkan
produksi pangan hingga 71% serta tingkat konsumsi hingga 81% sejak 1999.
Sementara dibidang ekonomi dan energi, pemerintah Venezuela sejak tahun
1999 berhasil membentuk 50 ribu koperasi disemua sektor ekonomi sebagai topangan
kehidupan rakyat. Tingkat pengangguran pun menurun dari 15,2% pada tahun 1998
hingga 6,4% pada tahun 2012, dengan penciptaan lebih dari 4 juta lapangan kerja.
Nasionalisasi perusahaan minyak PDVSA serta sektor listrik dan telekomunikasi yaitu
CANTV & Electricidad de Caracas telah berhasil mengakhiri monopoli dari pihak swasta
dan memungkinkan mencapai kedaulatan energi.
Pada tahun 2012 tingkat pertumbuhan ekonomi Venezuela mencapai 5,5%
dengan GDP per kapita meningkat dari 4,100 dollar pada tahun 1999 menjadi 10,81%
pada tahun 2011. Selain itu menurut laporan tahunan Word Happiness di tahun 2012,
Venezuela menjadi negara terbahagia diseluruh benua Amerika Selatan setelah Costa
Rica.

Setelah keluar dari keanggotaan IMF dan Word Bank karena telah berhasil

melunasi hutang-hutangnya, Venezuela kemudian membentuk Petrocaribe pada tahun
2005 yang memungkinkan 18 negara di Amerika Latin & Caribia atau 90 juta orang
untuk menikmati pasokan energi melalui subsidi 40% – 60%. Melalui kerjasamanya
dengan Kuba pada tahun 2004 dibentuklah ALBA (Alliance for the People of Our
America) yang merupakan aliansi inklusif yang saling menguntungkan yang terdiri dari
8 negara. Selain itu juga membentuk CELAC (Komunitas negara-negara amerika latin &
karibia) pada tahun 2011 untuk melawan pendiktean dari Amerika Serikat dan juga
sebagai lembaga tandingan IMF serta Word Bank.
Berbagai pencapaian yang telah berhasil dicapai oleh Venezuela melalui proyek
Sosialisme abad-21 yang diusungnya tersebut bukanlah proses yang mudah. Berbagai

318

intervensi bahkan kudeta pun dilancarkan oleh rezim Kapitalisme global seperti yang
telah dipaparkan diatas untuk menumbangkan negara sosialis Venezuela ini. Seperti
kudeta pada tahun 2002 yang berhasil digagalkan oleh Chavez dengan gerakan
kesadaran rakyat Venezuela. Menurut Eva Golinger (2007, hal. 23), kudeta tersebut
merupakan upaya yang sistematis yang mencakup setidaknya sejumlah strategi berikut
ini:




Isolasi Chávez dari komunitas internasional
Meningkatkan ketegangan antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat
sipil





Membentuk, mengembangkan dan mendanai gerakan anti-Chávez
Manipulasi media massa untuk mengembangkan narasi yang konfrontatif dan
terhadap Revolusi Bolivarian dan merusak citranya



Ancaman langsung terhadap pemerintah Venezuela
Kebijakan radikal yang telah dijalankan oleh rezim Bolivarian di Venezuela dan

melalui dukungan basis massa yang kuat, terbukti telah mampu untuk menciptakan
transformasi pencapaian yang begitu penting didalam pembangunan kemanusian.
Artinya terciptanya negara sosialis tersebut bukanlah sebuah proses yang dapat
dibangun dengan perkakas kebijakan reformis, moderat dan reaksioner. Dan para
eksponen gerakan kiri diseluruh penjuru dunia termasuk Perancis dan Indonesia
harusnya dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh Venezuela didalam upaya
mencapai Sosialisme abad-21 dengan meninggalkan sistem Kapitalisme yang secara
imanen erat dengan krisis didalamnya.

Kesimpulan
Tidak terlaksananya agenda-agenda politik sosialis yang pernah ditawarkannya
pada saat masa kampanye dan semakin memburuknya kondisi ekonomi, sosial dan
politik di Prancis merupakan penyebab hilangnya kepercayaan rakyat terhadap
Hollande ini. Kebijakan-kebijakan dari Hollande yang lebih bersifat reformis, moderat

319

dan reaksioner yang berarti telah di singkirkannya agenda-agenda sosialis yang pernah
ditawarkannya membuat Hollande semakin tidak berdaya menghadapi guncangan
krisis dan dampak akibatnya, seperti pengangguran dan kemiskinan. Dominasi yang
kuat dari neoliberalisme secara langsung juga telah membuat Hollande tidak berdaya.
Apalagi ditambah dengan lemahnya dukungan yang kuat dari basis masa dan karakter
hollande yang memang bersifat moderat dan tidak revolusioner.
Setelah dua-tahun masa kepemimpinannya kini, Hollande dan PS beserta
sekutunya dapat diibaratkan telah merangkai bom waktu dibalik kebijakan-kebijakan
yang diambilnya. Bom waktu tersebut telah siap kapan saja untuk meledak dan
menghancurkan pemerintahan hollande serta hanya tinggal menunggu pemicu
utamanya saja. Melihat kenyataan awal pada masa kepemimpinan Hollande tersebut,
harapan yang besar akan berdirinya Negara Sosialis Prancis hanya menjadi harapan
yang semu.
Tetapi sosialisme tidak akan pernah hancur hanya karena kegagalan yang
pernah dilakukan oleh para Politiksi sosialis di dalam menjalankan pemerintahan.
Kegagalan yang dilakukan oleh para Politiksi Sosialis yang memegang kekuasaan
tersebut adalah kegagalan akibat tidak dijalankannya agenda politik sosialis secara
menyeluruh dan konsisten. Dan bukan merupakan kegagalan dari sosialisme sebagai
sebuah Idiologi anti-thesis dari Kapitalisme. Para kamerad sosialis pun harus dapat
belajar dari sejarah kegagalan yang pernah dilakukan oleh para politiksi sosialis di
pemerintahan tersebut untuk menciptakan tatanan dunia yang egaliter.
Kelahiran kapitalisme yang tak bisa dihindarkan dari bayangan hantu krisis,
membuat kapitalisme seperti sedang berada dipinggiran jurang kehancuran. Sehingga
selama pasang surut krisis sistem kapitalis yang semakin terus membesar setiap
kemunculannya terjadi, maka selama itu pulalah gagasan sosialisme akan terus mencuat
dan tumbuh. Dengan demikian, maka masa depan sosialisme masih terang benderang
disana ketika kekuatan-kekuatan kiri dengan cita-cita sosialisnya mampu untuk
bergerak dan mengabil alih kekuasaan Pemerintahan. Untuk kemudian menerapkan
agenda-agenda politik sosialis secara menyeluruh dan konsisten.
Bagi Indonesia, seluruh eksponen gerakan kiri yang mencita-citakan sosialisme
harus dapat belajar dari dinamika yang dialami oleh Hollande di Perancis ini serta yang

320

terpenting adalah belajar dari keberhasilan Hugo Chavez di Venezuela. Sistem
Kapitalisme yang dikembangkan oleh Indonesia selama berdirinya pemerintahan orde
baru sampai sekarang ini telah terbukti menistakan rakyat. Angka ketimpangan yan