PERCOBAAN 3 PEMISAHAN SENYAWA ORGANIK EK

PERCOBAAN 3
PEMISAHAN SENYAWA ORGANIK
EKSTRAKSI : ISOLASI KAFEIN dari TEH dan UJI ALKALOID
I.

Tujuan Percobaan
1. Mengisolasi kafein dari daun teh dengan cara menggunakan ekstraksi
padat-cair, dekoktasi, dan ekstraksi cair-cair.
2. Pemurnian hasil isolasi kafein dengan cara rekristalisasi.
3. Indentifikasi kafein hasil isolasi dengan cara uji KLT, uji alkaloid
dengan pereaksi meyer dan dragendorff dan uji titik leleh.

II.

Prinsip Percobaan
1. Ekstraksi : Pemisahan berdasarkan perbedaan kepolaran.
2. KLT : Pemisahan berdasarkan perbedaan kepolaran dan kecepatan
migrasi.
3. Uji Alkaloid : Reaksi pengendapan antara senyawa golongan alkaloid,
pereaksi meyer, pereaksi drangendorf
4. Uji Titik Leleh : Perubahan wujud dari padat menjadi cair berdasarkan

titik leleh.

III. Teori Dasar
3.1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur
untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain.
Seringkali campuran bahan padat dan cair (misalnya bahan alami) tidak
dapat atau sukar sekali dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis.
Misalnya saja, karena komponennya saling bercampur dengan sangat erat,
peka terhadap panas, beda sifat-sifat fisiknya terlalu kecil, atau tersedia
dalam konsentrasi yang terlalu rendah (Suparni, 2009).
Jenis-jenis ekstraksi yang sering dilakukan adalah :
a.

Ekstraksi Cara Dingin
Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses

ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa


yang dimaksud rusak karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah
maserasi dan perkolasi.
b.

Ekstraksi Cara Panas
Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan

adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian
dibandingkan cara dingin. Metodanya adalah refluks, ekstraksi dengan alat
soxhlet dan infusa.
Ekstraksi cair-cair adalah suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya
dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang tidak dapat
saling bercampur dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut
(solute) kedalam fase yang kedua. Pemisahan yang dapat dilakukan, bersifat
sederhana, cepat dan mudah (Basset, 1994).
Pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses ekstraksi adalah
pelarut cair, karena tidak mahal, tidak reaktif dan setelah melarutkan zat
padat organik bila dilakukan penguapan akan lebih mudah memperolehnya
kembali. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut yang
sesuai adalah sebagai berikut:

1. Pelarut tidak hanya bereaksi dengan zat yang akan dilarutkan.
2. Pelarut hanya dapat melarutkan zat yang akan dimurnikan dan tidak
melarutkan zat pencemarnya.
3. Titik didh pelarut harus rendah, hal ini akan mempermudah pengeringan
kristal yang terbentuk.
4. Titik didih harus lebih rendah dari titik leleh zat yang akan dimurnikan
agar zat tersebut tidak terurai (Svehla, 1979).
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk memperlakukan
sampel atau clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen
matrix yang mungkin menggangu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit.
Disamping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit

yang ada didalam sampel dalam jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan
atau menyulitkan untuk deteksi dan kuantifikasinya (Rohman, 2009).
Pemisahan zat-zat terlarut antara dua cairan yang tidak saling
mencampur antara lain menggunakan corong pisah. Ada suatu jenis
pemisahan lainnya dimana pada satu fase dapat berulang-ulang dikontakkan
dengan fase yang lain, misalnya ekstraksi berulang-ulang suatu larutan
dalam pelarut air dan pelarut organik dalam hal ini digunakan suatu alat
yaitu ekstraktor sokshlet. Metode sokshlet ini merupakan metode ekstraksi

dari padatan dengan pelarut cair secara continu (Estien, 2005).
Ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan, tergantung
pada dua faktor penting yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju
pertumbuhan kristal. Jika laju pembentukan inti tinggi, banyak sekali kristal
akan terbentuk, tetapi tak satupun dari ini akan tumbuh menjadi terlalu
besar, jadi terbentuk endapan yang terdiri dari partikel-partikel kecil. Laju
pembentukan inti tergantung pada derajat lewat jenuh dari larutan (Svehla,
1979).

III.2. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan
komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan
adsorben inert. KLT merupakan salah satu jenis kromatografi analitik. KLT
sering digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak keuntungan
menggunakan KLT, di antaranya adalah sederhana dan murah. Kromatografi
juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik
penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga
dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis

fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara
kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil (Fessenden, 2003).

Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi
dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun
selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang
digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen
didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran
beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan
tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen
sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh. Nilai Rf
sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa
dalam sampe lewat jenuh dari larutan (Svehla, 1979).
III.3. Alkaloid dan Kafein
Kafein merupakan jenis alkaloid yang secara alamiah terdapat
dalam biji kopi, daun teh, daun mete, biji kola, biji coklat, dan beberapa
minuman penyegar. Kafein memiliki berat molekul 194.19 dengan rumus
kimia C8H10N8O2 dan pH 6.9 (larutan kafein 1% dalam air). Kafein
bersifat basa lemah, berbentuk serbuk putih yaitu kristal-kristal panjang,

rasanya pahit, Bila tidak mengandung air, kafein meleleh pada suhu 234 oC239 oC. Kafein mudah larut dalam air panas dan diklorometana, tetapi
sedikit larut dalam air dingin dan alkohol. Kafein bersifat basa lemah dan
hanya dapat membentuk garam dengan basa kuat. Dalam teh kering terdapat
kira-kira 3% caffeine. Bahan inilah yang menimbulkan rasa nikmat dari air
teh. Pada kadar caffeine tidak dimana-mana bagian dari tanaman sama.
Daun yang termuda misalnya mengandung caffeine yang terbanyak, yaitu 34%, daun kelima dan keenam 1½%, sedang dalam tangkai hanya terdapat
0,5% caffeine. Dalam bulu daun peko terdapat 2% caffeine, sedangkan
dalam daun keringnya 2-3% (Adisewojo, 1964).
Kafein adalah stimulan dari sistem saraf pusat dan metabolisme,
digunakan secara baik untuk pengobatan dalam mengurangi keletihan fisik
dan juga dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan sehingga rasa ngantuk

dapat ditekan. Konsumsi kafein secara rutin dapat menyebabkan terjadinya
toleransi. Tanda-tanda dan gejala-gejala dari konsumsi kafein secara
berlebihan antara lain kecemasan, insomnia, wajah memerah, diuresis,
gangguan saluran cerna, kejang otot, takikardia, aritmia, peningkatan energi
dan agitasi psikomotor. Kafein dapat berinteraksi dengan siprofloksasin
dimana mengakibatkan terjadinya penurunan metabolism hepatic kafein
sehingga efek farmakologi kafein dapat meningkat (Sukandar dkk, 2008).


IV.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah labu erlenmeyer, gelas
kimia, corong pisah, penangas air, pipet tetes, penyaring isap/vakum, alat
dekantasi, dan batu didih.
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah daun teh kering,
natrium karbonat, air, diklorometana, kalsium klorida anhidrat, aseton, Nheksan, kloroform, pelat TLC, etil asetat, metanol, pereaksi samprot
dragendorff, dan pereaksi meyer.

V.
5.1

Prosuder Kerja
Ekstraksi cair cair
Disiapkan air dan dimasukan kedalam labu elenmeyer sebanyak
250 ml dan dipanaskan di penangas air. Ditimbang 25 g daun teh kering, dan
20 g natrium karbonat (Na2CO3). Setelah air mendidih, dimasukan teh
kering dan ditambahkan natrium karbonat (Na2CO3) dan dibiarkan sampai
dingin. Hasil ekstraksi kemudian disaring dengan kain kasa. Larutan

ekstraksi dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahkan 30 ml
diklorometan (CH2Cl2), kemudian dikocok konstan dengan sesekali
mengeluarkan gas melalui kran corong.

Pengocokan dilakukan sampai

terjadi pemisahan antara larutan menjadi 2 fase. Fase yang berisi
diklorometan dan kafein dikeluarkan melalui kran corong pisah ke dalam

labu Elenmeyer. Untuk pengocokan kedua kalinya, dimasukan diklorometan
30 ml ( sebaiknya berlebih) dan dilakukan prosedur yang sama dalam hal
pengocokan. Ke dalam labu Elenmeyer yang berisi kafein dari diklorometan
ditambahkan 1-2 sendok kalsium kristal anhidrat (CaCl2), dikocok. Larutan
kemudian dipisahkan dengan penyaring isap / vakum ( corong buchner ).
Kemudian dilakukan penguapan larutan dengan rotatory evaporator. Kristal
kafein hasil penguapan kemudian direkristalisasi dengan cara melarutkan
kristal dengan aseton panas serta ditambahkan dengan ligroin ( n-heksan)
dan disaring menggunakan kertas saring ke dalam beaker glass ( harus
dalam keadaan panas ). Setelah tersaring semua kemudian beaker glass
dimasukan kedalam air berisi es. Larutan yang berisi kristal disaring

menggunakan penyaring isap. Sebelum penyaringan, kertas saring
ditimbang terlebih dahulu. Kristal ditimbang dan dilakukan uji titik leleh
menggunakan alat melting block. Diamati titik leleh yang terjadi.
5.2. Kromatografi lapis tipis
Sampel Kristal kafein hasil rekristalsisai daun teh dilarutkan sedikit
demi sedikit dengan diklorometana atau kloroform. Kemudian, dilarutkan
sampel dan ditotolkan diatas pelat TLC sampai nodanya cukup tebal. Lalu
dilakukan elusi TLC menggunakan eluen etil asetat : metanol (3:1).
Dilakukan elusi sampai tanda batas lalu, dikeluarkan dan dikeringkan di
udara. Disemprot plat dengan senyawa Dragendorff dan setelah itu
dipanaskan dan dikeringkan. Adanya alkaloid akan ditunjukan dengan noda
pelat berwarna jingga. Ditentukan nilai Rf masing masing noda,
dibandingkan!
5.3. Uji Alkaloid
Dilarutkan kristal kafein dalam air. Diteteskan 1-2 tetes pereaksi
Meyer. Apabila larutan tersebut mengandung alkaloid, makan akan terjadi
endapan kuning muda. Kedalam larutan kafein lainnya dimasukkan 1-2 tetes
pereaksi Gragendroff ; pengujian positif akan ditunjukan dengan terjadinya
endapan jingga.
VI.


Hasil Pengamatan dan Perhitungan

6.1

Data Pengamatan
Hasil dari ekstraksi berat kertas saring kosong adalah 0,53 g, berat
kertas saring + kristal adalah

0,7 g, berat kristal adalah 0,17 g.

Kromatografi Lapis Tipis etil asetat : metanol (3:1) etil asetat adalah 7,5 ml
metanol adalah 2,5 ml. Klorofoam : metanol (9:1) klorofoam adalah 9 ml
metanoladalah 1 ml. Rf Etil asetat : metanol (3:1) adalah 0,58 cm. Rf
klorofoam : metanol (9:1) adalah 0,78 cm. Uji alkaloid pereaksi meyer
larutan kristal kafein + pereaksi meyer menjadi endapan berwarna kuning,
pereaksi dragendroff larutan kafein + pereaksi dragendroff menjadi endapan
berwarna putih. Uji titik leleh hasil yang didapat 244oC.
6.2. Perhitungan
6.2.1. Ekstraksi Cair-Cair

Dik
:
Bobot kertas saring kosong = 0,53 g
Berat kertas saring + kristal = 0,7 g
Berat kristal = 0,7 g – 0,53g = 0,17 g
Dit
: % rendemen kafein ?
bobot yang didapat
x 100
Jawab : % rendemen kafein ¿
bobot awal
=

0,17 g
x 100
25 g

= 0,68 %
6.2.2. Kromatografi Lapis Tipis
a. Pembuatan eluen etil asetat : metanol (3:1)
etil asetat

=

3
x 10 ml = 7,5 ml
4

1
x 10 ml = 2,5 ml
4
b. Klorofoam : metanol (9:1)
9
x 10 ml = 9 ml
kloroform
=
10
1
x 10 ml = 1 ml
metanol
=
10
c. Nilai Rf etil asetat : metanol
Dik
: Jarak spot = 2,7cm
metanol

=

Jarak pelarut = 4,6 cm
Dit
: Rf ?
Jawab :Rf

= Jarak tempuh spot
Jarak pelarut
= 2,7 cm
4,6 cm
= 0,58 cm
d. Nilai Rf kloroform: metanol
Dik
: Jarak spot = 3,5 cm
Jarak pelarut = 4,5 cm
Dit
: Rf ?
Jawab :Rf
= Jarak tempuh spot
Jarak pelarut
= 3,5 cm
4,6 cm
= 0,78 cm

VII. Pembahasan
7.1. Ekstraksi Cair – Cair
Pada percobaan kali dilakukan percobaan Ekstraksi cair – cair
untuk kafein dari daun teh kering dengan menggunakan teknik kristalisasi.
Ekstraksi cair – cair adalah pemisahan zat terlarut didalam 2 pelarut yang
tidak saling bercampur dengan kata lain perbandingan konsentrasi zat
terlarut dalam pelarut organik, dan pelarut air atau berdasarkan perbedaan
kepolaran. Hal ini dikarenakan sifat senyawa yang berbeda seperti halnya
ada senyawa yang terlarut dalam air dan senyawa yang terlarut dalam
pelarut organik.
Dalam percoban ini mula mula disiapkan alat dan bahan yang
diperlukan. Air direbus sebanyak 225 ml atau berlebih sampai mendidih.
Ditimbang daun teh kering sekitar 25 g serta 20 g natrium karbonat
(Na2CO3). Dalam penimbangan harus dilakukan secara tepat tetapi dalam
penambah air boleh dilebihkan karena air lebih banyak bisa lebih cepat
menarik kafein. Ketika air yang telah didihkan telah mendidih, dimasukan
daun teh kering dan natrium karbonat (Na2CO3) sampai mendidih sekitar 7
menit atau lebih. Fungsi dari penambahan natrium karbonat (Na2CO3)
untuk memisahkan senyawa kafein dengan senyawa lainnya karena dapat

menarik Tannin dan senyawa lain selain kafein dari teh. Karena tannin
merupakan senyawa fenolik yang bersifat asam, maka tannin dapat diubah
menjadi garam menggunakan natrium karbonat(Na2CO3) yang bersifat
basa. Setelah mendidih antara daun teh kering dengan natrium karbonat
(Na2CO3) menghasilkan filtrat.
Larutan filtrat dimasukan kedalam corong pisah yang kemudian
ditambahkan 30 ml diklorometan

(CH2Cl2). Corong pisah adalah suatu

alat yang meiliki fungsi untuk memisahkan dua cairan yang tidak bercampur
karena kepolarannya yang berbeda. Pemisahan dengan corong pisah hanya
bisa digunakan untuk pemisahan cair dengan cair. Fungsi ditambahkannya
diklorometan adalah untuk mengikat kafein dari larutan, agar kafein benarbenar terpisah dari zat-zat lain dalam larutan. Diklorometan bersifat non
polar dan dapat melarutkan kafein. Diklorometan akan bercampur menjadi
salute yang akan menyebarkan diri antara kafein dengan air. Kemudian
dilakukan pengocokan secara seimbang dan konstan serta sesekali kran
dibuka. Pengocokan ini dilakukan agar larutan dapat bercampur secara
sempurna dan merata sehingga ketika didiamkan akan menghasilkan 2 fase,
fase air dan fase diklrometan dengan kafein. Tujuan dibukanya kran pada
saat pengocokan adalah untuk mengeluarkan gas yang ada didalam agar
tidak dapat merusak filtrat dan menekan corong pisah karena tekanan,
karena jika tidak dikeluarkan gasnya dapat memberikan tekanan kepada
penutup corong pisah sehingga dapat menekan penutup dengan sendirinya
dan larutan dapat keluar seketika. Setelah didiamkan corong pisah terbagi
menjadi dua fasa yaitu fase air dan fase diklorometan
kemudian dikeluarkan fase

diklometan kafein

dengan kafein

dengan cara ditampung

dengan labu elenmeyer. Setelah itu corong pisah ditambahkan lagi dengan
diklorometan sebanyak 40 ml dan dilakukan pengocokan kembali dengan
pengocokan yang sama. Dilakukannya pengocokan kembali untuk
mendapatkan hasil diklorometan yang banyak karena semakin sering
dilakukan pengcokan maka semakin baik dan semakin banyak hasil yang
didapatkan. Ditambahkannya diklorometan berlebih ini bertujuan agar

diklorometan secara cepat dan banyak dapat mengikat kafein sehingga
hasilnya pun akan banyak, karena kelebihan diklorometan tidak dapat
menimbulkan masalah dalam ekstraksi.
Setelah diklorometan ditampung dalam labu elenmeyer kemudian
ditambahkan dengan

1-2 sendok kalsium kristal anhidrat (CaCl2) dan

dikocok. Tujuan ditambahkannya kalsium kristal anhidrat (CaCl2) adalah
pengikatan fasa air yang ikut serta pada saat pemisahan fasa diklorometana.
Karena air dapat larut di diklorometana sehingga menyerap air yang masih
terkandung di dalam larutan kafein diklorometana sehingga setelah
dilakukan penyaringan, filtrat yang diperoleh adalah murni larutan kafein
diklorometana. Pengocokan akan menghasilkan pembentukan kristal yang
ada didalam larutan diklorometan kafein. Larutan kemudian dipisahkan
dengan penyaring isap / vakum ( corong buchner ). Hasil kristal dimasukan
kedalam corong buchner dengan proses suction (pengisapan) berupa
aspirator. Fungsi dari aspirator adalah memisahkan antara kalsium kristal
anhidrat (CaCl2) dengan larutan diklorometan kafein. Didapatkan hasil
berupa larutan kafein murni. Kemudian dilakukan penguapan larutan
dengan rotatory evaporator. Fungsi dari rotatory evaporator adalah alat
yang berfungsi mengubah sebagian atau keseluruhan sebuah pelarut dari
sebuah larutan dari bentuk cair menjadi uap. Didapatkan hasil dari proses
evaporasi kristal kafein padat berwarna kekuningan.
Kristal kafein hasil dari evaporasi kemudian di rekristalisasi
dengan cara dilarutkan dengan aseton panas serta ditambahkan dengan
ligroin ( n-heksan) dan kemudian disaring menggunakan kertas saring,
corong dan beaker glass ( corong dan beaker glass harus dalam keadaan
panas). Fungsi ditambahkan dengan aseton panas adalah melarutkan kafein
dan pengotor yang masih tertinggal, dalam pemanasan akan membantu
mempercepat kelarutan. Fungsi ditambahkan ligroin aadalah untuk
menghilangkan zat pengotor yang masih ada.

Setelah tersaring semua,

beaker glass yang berisi kafein murni dimasukan kedalam beaker glass yang
berisi es batu yang akan mengubah larutan kafein murni menjadi kristal
kafein murni. Hasil yang kristal yang sedikit karna kesalahan pada saat

memasukan n-heksana kedalam breaker glass tidak di simpan di atas hot
plate sehingga kristal yang didapat sedikit.
Kristal yang kering tersebut dimasukan kedalam alat melting
block. Fungsi dari alat melting block tersebut adalah untuk mengetahui titik
leleh dari kafein yang telah dimurnikan apakah sesuai dengan litelature
sebenarnya atau tidak. Menurut literatur dari Adisewojo, 1964 “kafein
memiliki titik leleh yaitu 234oC - 239oC”. Hasil yang didapat bahwa kafein
mengalami titik leleh sekitar 224oC, jadi hasil yang didapat sesuai dengan
literatur.
Hasil kristalisasi dari kafein dari 25 g daun teh kering didapatkan
0,17 g, dengan % rendemen kafeinnya adalah 0,68 %. Seharusnya menurut
literatur Adisewojo,1964 “dalam daun teh kering mengandung 2-3 %”.
Hasil yang didapat tidak sesuai dengan literatur karna daun teh sudah
kadaluarsa, seharusnya daun teh yang akan diuji dalam keadaan segar.
7.2. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah pemisahan sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan, dimana
sampel dengan kepolaran yang sama akan bermigrasi dengan sampel yang
memiliki kepolaran yang mirip. Dalam kromatografi lapis tipis terdapat 2
fase yaitu fase diam da fase gerak. Fase diamnya berupa lapisan tipis yang
melekat pada gelas kaca/plastik, allumunium. Sedangkan fase gerak, berupa
cairan atau campuran cairan yang biasanya merupakan pelarut organik.
Pada percobaan ini sedikit sampel kristal kafein dilarutkan dengan
diklorometan atau klorofoam. Fungsi ditambahkannya diklorometan atau
klorofoam adalah untuk melarutkan kristal kafein agar menjadi suatu cairan.
Karena kristal kafein bersifat non polar dan klorofoam atau diklorometan
bersifat non polar maka akan bereaksi. Setelah itu dilakukan elusi pertama
dengan kristal kafein yang belum direkristalisasi dengan eluen etil asetat :
metanol (3:1). Fungsi dari eluen etil asetat : metanol adalah sebagai medium
fasa bergerak pada larutan organik yang bersifat non polar. sedangkan.
Larutan organik akan bereaksi dengan pelarut organik seperti etil asetat,

sedangkan larutan yang polar maka akan bereksi dengan pelarut polar
seperti metanol.
Setelah dilakukan elusi, sampel dikeringkan dan disemprot dengan
pereaksi Dragendroff. Tujuan disemprotkannya pereaksi Dragendroff adalah
memberi warna pada zat organik yang kita dapat pada sampel dalam proses
penentuan nilai Rf. Nilai Rf merupakan nilai perbandingan antara jarak
tempuh zat dan jarak tempuh pelarut. Perhitungan nilai Rf didsarkan atas
jarak bercak dibagi dengan jarak eluen(jarak pelarut). Jarak eluen ketika
mendekati lempengan, lempengan dipindahkan dari gelas kimia dan posisi
pelarut ditandai dengan sebuah garis. Semakin polar senyawa yang
terkandung pada larutan, semakin kuat interaksinya dengan fasa diam yang
digunakan, semakin kecil nilai Rf yang dihasilkannya.
Dari percobaan, diperoleh Rf kafein uji pertama dengan eluen etil
asetat-metanol (3:1) = 2,7 cm dan 4,6 cm dengan hasil 0,58 cm. Sedangkan
Rf kafein uji kedua kloroform : metanol 3,5 cm dan 4,5 cm dengan hasil
0,78 cm. Pada uji pertama diperoleh nilai Rf 0,58 , menurut literatur dari
Gandjar 2007 “Nilai Rf yang bagus berkisar 0,2 – 0,8 cm ”. Hasil yang
didapat sesuai dengan literatur.
7.3.

Uji Alkaloid
Pada percobaan ini dilakukan uji alkaloid. Uji alkaloid memiliki
tujuan untuk melihat ada atau tidaknya alkaloid dalam suatu sampel dengan
menggunakan suatu pereaksi. Biasanya pereaksi yang digunakan uji alkaloid
adalah pereaksi meyer dan pereaksi dragendroff. Pereaksi meyer
mengandung logam berat Bi (bismut). Sedangkan perekasi dragendoff
mengandung logam berat Pb (timbal). Alkaloid dalam pereaksi meyer
dikatakan positif jika sampel berubah menjadi endapan kuning. Sedangkan
dalam pereaksi dragendroff dikatakan positif jika sample berubah menjadi
endapan jingga.
Pada percobaan ini didapatkan hasil dari perekasi meyer yaitu
endapan berwarna kuning. Endapan berwarna kuning ini berasal dari
bereksinya Bi (bismut) dengan alkaloid sehingga akan mengakibatkan
gumpalan berupa endapan. Sedangkan dalam pereaksi dragendroff

didapatkan hasil yaitu endapan berwarna putih. Endapan berwarna putih.
Dikarnakan daun teh kadaluarsa. Hasil dari pereaksi tersebut menunjukkan
sampel kristal tersebut mengandung senyawa alkaloid yang artinya kristal
tersebut benar merupakan kristal kafein.
VIII. Kesimpulan
1. % rendemen didapatkan dari percobaan ekstraksi cair-cair adalah 0,68%
2. Nilai Rf yang didapat pada uji KLT adalah etil asetat : metanol 0,58 cm,
kloroform : metanol 0,78 cm.
3. Uji alkaloid menggunakan pereaksi meyer endapan kuning berarti hasil
yang didapat positif. Pada pereaksi pereaksi drangendroff terdapat endapan
IX.

putih berarti hasil uji negatif.
Daftar pustaka
 Adisewojo, R.S. 1964. Bertjotjok Tanam Teh. Sumur Bandung,


Bandung.
Basset dkk. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif



Anorganik .
Jakarta: EGC. Hal 165
Estien Yazid.2005. Kimia Fisika Untuk Paramedis.Yogyakarta.Hal



181
Rohman,. A,. 2009. Kromatografi untuk Analisis Obat. Graha Ilmu.



Yogyakarta
Fessenden R.J dan J.S Fessenden., 2003, Dasar-dasar kimia organik.



Jakarta, Erlangga
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis.



Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukandar, Elin Yulinah dkk. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT.



ISFI
Svehla, 1979, Buku Ajar Vogel: Analisis Anorganik Kuantitatif
Makro dan Semimikro, PT Kalman Media Pusaka, Jakarta.

Dokumen yang terkait

EVALUASI IN VITRO ANTIOKSIDAN SENYAWA FENOL BIJI MELINJO (Gnetum gnemon L.) SELAMA PROSES PENGOLAHAN EMPING MELINJO BERDASARKAN SNI 01-3712-1995

4 111 16

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Modul TK J 147 edit rizkiM 3 mei PenambahanN

18 338 152

Pembangunan aplikasi e-learning sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar di SMA Negeri 3 Karawang

8 89 291

Topik hari ini minggu 3 Topik hari ini m

1 47 73

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN DAN SIKAP SISWA KELAS VII SMP NEGERI 3 BATANGHARI NUBAN LAMPUNG TIMUR

25 130 93

EFEK KEMOPREVENTIF PEMBERIAN INFUSA DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) PADA EPITEL DUKTUS JARINGAN PAYUDARA TIKUS BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI SENYAWA 7,12-DIMETHYLBENZ[A]ANTHRACENE (DMBA)

1 60 56

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU ANTARA PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN AUDIO-VISUAL DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN GRAFIS KELAS VII SMP NEGERI 3 TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015

3 51 68

HUBUNGAN PERHATIAN ORANGTUA DAN MANAJEMEN WAKTU BELAJAR DI RUMAH DENGAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI SISWA KELAS X IPS SMA NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

11 108 89