Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh dan berkembang
secara maksimal sesuai potensinya. Secara berlapis, dimulai dari lingkar keluarga
dan kerabat, masyarakat sekitar, pemerintah lokal sampai pusat, hingga masyarakat
internasional berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mengupayakan
pemenuhan atas hak dasar anak. Hanya jika setiap lapisan pemangku kewajiban
dapat

berfungsi

dengan

baik

serta

mampu


menjalankan

kewajiban

dan

tanggungjawabnya, anak akan dapat memiliki kehidupan yang berkualitas dan
memungkinkan untuk tumbuh serta berkembang secara optimal sesuai potensinya.
Anak memiliki hak azasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di
dunia dan merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian
diseluruh dunia. Hak-hak anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi
manusia yang wajib dilindungi, dihormati dan ditegakkan oleh negara baik sebelum
maupun sesudah lahir. Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi
PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sejak tahun 1990.
Dengan demikian, Indonesia wajib mengimplementasikan hak-hak anak dalam
program aksi, kebijakan, regulasi hukum yang berpihak dan menjamin hak-hak anak.
Realita bahwa masih banyak anak yang terbaikan haknya, dan menjadi korban dari
berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, bahkan
tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak menunjukkan kurang memadainya
perlindungan terhadap anak. Padahal, anak belum mampu melindungi dirinya


1
Universitas Sumatera Utara

sendiri. Anak membutuhkan perlindungan yang memadai dari keluarga, masyarakat
dan pemerintah.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2009), jumlah anak Indonesia di bawah
18 tahun mencapai 85.146.600 jiwa dan mengalami penurunan menjadi 79.729.824
jiwa pada tahun 2010. Ditinjau dari derajat kesehatan, gizi, dan kesiapan belajar
pendidikan pra sekolah terutama pada anak balita yang berasal dari keluarga miskin
atau sangat miskin, belum tersentuh sistem layanan dan perlindungan yang memadai.
Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial mencatat jumlah
anak jalanan tahun 2007 sebanyak 230.000 jiwa. Adapun Badan Pusat Statistik
bersama ILO mengestimasi jumlah anak jalanan sebanyak 320.000 pada tahun 2009
(Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).
Fenomena yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah maraknya anak-anak
terlantar. Meningkatnya angka penduduk miskin telah mendorong meningkatnya
angka anak putus sekolah dan meningkatnya anak-anak terlantar. Pada umumnya
anak-anak terlantar mengalami masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, menderita
gizi buruk, kurang perhatian dan kasih sayang orang tua, tidak bisa mendapat

layanan pendidikan secara maksimal, dan lain sebagainya.
Menurut Departemen Sosial RI (2006:1), ketelantaran pada anak secara garis
besar disebabkan oleh dua faktor yakni (1) factor ketidaksengajaan atau dengan kata
lain karena kondisi yang tidak memungkinkan dari orang tua atau keluarga untuk
memenuhi kebutuhan anaknya, (2) faktor kesengajaan untuk menelantarkan anaknya
karena rendahnya tanggung jawab sebagai orang tua atau keluarga terhadap anaknya.
Pada dekade terakhir, permasalahan anak terlantar menjadi salah satu
permasalahan krusial baik dilihat dari kompleksitas masalah maupun kuantitas dari
anak terlantar yang semakin meningkat. Kondisi ini didasari karena kondisi makro
2
Universitas Sumatera Utara

sosial ekonomi yang belum kondusif. Pada sisi lain ternyata masih terdapat
pemahaman yang rendah mengenai arti penting anak oleh masyarakat, serta
komitmen dan tanggung jawab orang tua atau keluarga yang cukup rendah, sehingga
menyebabkan ketelantaran pada anak. Anak terlantar merupakan salah satu masalah
kesejahteraan sosial yang membutuhkan perhatian secara khusus. Selain karena
jumlah yang cukup besar, masalah anak terlantar memiliki lingkup dan cakupan yang
tidak bias berdiri sendiri namun saling terkait dan saling memengaruhi bila
kebutuhan dan hak mereka tidak terpenuhi.

Seperti yang tercantum dalam Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar
(Departemen Sosial RI, 2008:1), permasalahan anak terlantar dapat kita lihat dari
berbagai perspektif, diantaranya; 1) anak terlantar yang mengalami masalah dalam
sistem pengasuhan seperti yang dialami anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu,
anak dari orang tua tunggal, anak dengan ayah/ibu tiri, anak dari keluarga yang
kawin muda, dan anak yang tidak diketahui asal-usulnya (anak yang dibuang orang
tuanya); 2) anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan seperti anak yang
mengalami tindak kekerasan baik secara fisik, sosial maupun psikologis, anak yang
mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual serta anak yang diperdagangkan; 3) dan
anak yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi seperti anak yang kurang gizi dan
anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Hal inilah yang terjadi pada anak
jalanan.
Anak jalanan merupakan salah satu bagian dari anak terlantar. Anak jalanan
adalah contoh dari anak-anak yang terlantar, baik dari pengasuhan maupun
pendidikannya. Keberadaan dan berkembangnya anak jalanan merupakan persoalan
yang perlu mendapat perhatian. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik
3
Universitas Sumatera Utara


untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalan dan tempat-tempat umum lainnya
(Departemen Sosial RI, 2005: 5).
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun,
melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam
dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Masalah anak jalanan masih
merupakan masalah kesejarteraan social yang serius dan perlu mendapat perhatian.
Hal ini mengingat bahwa anak-anak yang hidup di jalan sangatlah rentan terhadap
situasi buruk, perlakuan yang salah dan eksploitasi baik itu secara fisik maupun
mental. Hal ini akan sangat mengganggu perkembangan anak secara mental, fisik,
sosial, maupun kognitif, serta anak tidak mendapatkan hak dalam memperoleh
pendidikan dan penghidupan yang layak. Kondisi yang tidak kondusif di jalanan
dengan berbagai permasalahan yang dihadapi anak akan berpengaruh pula pada
kehidupan anak di masa mendatang.
Anak jalanan seperti halnya anak-anak lain, memiliki hak yang sama. Yakni
mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang layak. Namun fenomena-fenomena
keterlantaran yang terjadi di masyarakat tersebut membuat anak jalanan harus hidup
di jalanan yang jauh dari kesejahteraan yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam
perkembangannya menuju kedewasan, tiap anak masih sangat membutuhkan
dukungan dan pendampingan dari orang tua dan orang-orang sekitar agar mereka
dapat melalui proses tumbuh kembang secara optimal. Begitu halnya dalam proses

perkembangan menuju kedewasaaan.
Keberadaan anak-anak jalanan tampaknya telah menjadi fenomena di kotakota besar Indonesia. Fenomena ini, selain dampak dari derasnya arus urbanisasi dan
perkembangan lingkungan perkotaan yang menawarkan mimpi kepada masyarakat
terutama masyarakat miskin atau ekonomi lemah, juga dipicu oleh krisis ekonomi
4
Universitas Sumatera Utara

yang menjadikan jumlah anak jalanan yang melonjak drastis. Aktivitas anak jalanan
beraneka ragam, diantaranya pengamen, pedagang koran, pedagang rokok,
pembersih kaca mobil, pengemis, sampai kepada pengedar “kotak amal”. Mereka
terutama beroperasi di perempatan jalan (traffic light), dengan sasarannya adalah
pengemudi dan penumpang kendaraan roda empat. Kehadiran anak-anak di jalanan
adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan
pendapatan (income), yang membuatnya bisa bertahan hidup (survival) dan dapat
menopang kehidupa keluarga. Namun, di sisi lain mereka bermasalah, karena
seringkali tindakannya merugikan orang lain. Mereka acapkali melakukan tindakan
tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan misalnya :
memaksa pengemudi kendaraan bermotor memberi uang (walaupun tidak seberapa),
merusak body mobil dengan goresan, dan melakukan tindakan kriminal lainnya.
Disamping itu, masalah anak-anak jalanan lainnya yaitu seringkali menjadi obyek

kekerasan. Mereka merupakan kelompok sosial yang rawan dari berbagai tindak
kekerasan, baik kekerasan fisik, emosional, seksual, maupun kekerasan sosial.
Mereka menjadi obyek kekerasan fisik orang dewasa, yang sama-sama
bekerja di jalanan, seperti : dipukul, ditendang, dijewer, dan lain-lain. Diantara
mereka juga seringkali menjadi obyek kekerasan fisik petugas ketertiban umum.
Kekerasan dalam bentuk emosional, misalnya dimarahi, dibentak, dicacimaki, dan
lain-lain. Kekerasan seksual, seperti pelecahan seksual, bahkan diperkosa (anak
jalanan wanita) dan disodomi (anak jalanan pria disodomi orang dewasa). Sedangkan
kekerasan sosial, bisa dalam bentuk eksploitasi anak yaitu mereka dipaksa oleh orang
tuanya atau pihak lain (sindikat) untuk bekerja dijalanan maupun dalam bentuk
penelantaran anak, yaitu anak dibiarkan dan tidak penuhi kebutuhan hidupnya,

5
Universitas Sumatera Utara

seperti makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, air bersih, kesempatan untuk
bermain da waktu luang.
Anak-anak jalanan ditantang oleh resiko yang mau tidak mau harus dihadapi
saat mereka berada di jalanan. Dengan mengacu pada International Conference on
Street Children yang diselenggarakan di Yogyakarta, 10-11 September 1996, resikoresiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan,

penganiayaan, eksploitasi seksual, penangkapan, dan perampasan modal kerja);
kelangsungan hidup terancam, kurang/salah gizi ; stagnasi perkembangan (mental);
internalisasi

perilaku/sikap

yang menyimpang (meminum

minuman

keras,

penyalahgunaan obat, tindakan kriminal, destruktif, dan seks bebas); ancaman tidak
langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilkan dan
stigmatisasi sosial.
Disamping itu, karena masa anak dan remaja (usia 10-21 tahun) ini dianggap
sebagai masa persiapan untuk mencapai cita-cita pada masa dewasanya, maka anak
jalanan menjadi berkurang kesempatannya untuk membekali diri dengan pendidikan
formal dan keterampilan khusus lainnya. Padahal di sisi lain, mereka kelak harus
bersaing dengan anak-anak lain seusianya, yang memang tidak memiliki hambatan

dalam hal materi, fasilitas yang dibutuhakan, maupun kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang secara wajar. Resiko-resiko tersebut akan tetap “menempel” pada diri
anak, meskipun mereka tidak meneruskan keberadaannya di jalanan. Pada periode
pasca jalanan, anak menjadi tidak mempunyai keterampilan di sektor lain (non
jalanan), tidak memiliki identitas diri yang sempurna, internalisasi perilaku/sub
kultur jalanan, traumatized dan stigmatized, serta reproduksi kekerasan.
Anak jalanan merupakan potret kehidupan anak-anak yang kesehariannya
sudah akrab di jalanan. Kota-kota besar yang menjadi magnet atau daya tarik bagi
6
Universitas Sumatera Utara

para pendatang telah membentuk beragam lapisan kehidupan sosial. Diantaranya
bagi golongan yang tidak memiliki skils atau keahlian menyebabkan tumbuhnya
kantong-kantong kemiskinan para pendatang. Seperti di ibukota Republik Indonesia
yaitu Jakarta, kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di ibukota telah melahirkan
generasi anak-anak jalanan. Mereka mengais rejeki di tengah kerasnya kehidupan
metropolitan seperti mengamen, menc ari barang-barang bekas, menarik gerobak air,
mengemis, dan lain-lain
(http://www.fotokita.net/cerita/131964158300_0000181/potret-anak-jalanan


oleh

Arie Basuki, diakses pada tanggal 03 Februari 2016 pukul 15.00 WIB).
Menteri Sosial Khofifah mengatakan Jakarta harus bebas dari anak Jalanan.
Karena melihat rentan kejahatan dan bahaya yang didapat saat anak-anak berada
dijalan. Keberadaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah salah
satu persoalan klasik yang dialami Indonesia saat ini. Menurutnya, tentu banyak
harapan oleh seluruh masyarakat agar Ibu Kota dapat bebas dari anak jalanan.
Karena melih at kehidupan di Jakarta, anak jalanan ini rentan menjadi korban
tindakan kriminal atau resiko lainnya. Keberadaan mereka meminta-minta di jalan
bisa menjadi korban kecelakaan, mereka juga membuat para pengendara merasa
tidak nyaman. Anak-anak jalanan juga menjadi generasi penerus bangsa, tentunya
mereka harus dibina, dirawat dan diperhatikan agar dapat menjadi tabungan bangsa
yang lebih baik (www.metro.sindonews.com/read/2013/07/25/31/765344/mensoskeselamatan-anak-jalanan-sangat-rentan diakses pada tanggal 03 Februari 2016
pukul 15.00 WIB).
Munculnya anak jalanan umumnya dipengaruhi oleh keluarga ekonomi yang
rendah. Rendahnya pendapatan keluarga tersebut mendorong anak masuk dalam
dunia kerja. Keadaan ini diperburuk dengan besarnya jumlah anggota keluarga anak
7
Universitas Sumatera Utara


jalanan seringkali mendorong anak untuk bekerja. Mereka mempunyai kewajiban
untuk ikut membantu orang tua yang mempunyai pendapatan rendah. Selain itu
adanya kakak yang bekerja dapat mendorong adik laki-laki/perempuan untuk ikut
bekerja, terutama kakak yang bekerja sebagai anak jalanan.
Di Sumatera Utara, tercatat sebanyak 2.867 anak jalanan yang tersebar di 5
kota, yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias
Selatan (224 anak), dan Tanah Karo (157 anak). Sisanya tersebar di 25
Kabupaten/Kota lainnya. Survei yang pernah dilakukan oleh PKPA Kota Medan
tahun 2011, terdapat 7 kecamatan yang memiliki populasi anak jalanan di atas 50
anak dalam satu kecamatan. Ketujuh kecamatan tersebut yakni Medan Johor (57
anak), Medan Amplas (81 anak), Medan Kota (94 anak), Medan Maimun (103 anak),
Medan Sunggal (75 anak), Medan Petisah (60 anak), dan Medan Barat (53 anak).
(PKPA. 2011).
Sejak 2009 rancangan kebijakan, strategi dan program terobosan yang telah
lama digagas mulai diaktualisasikan sehingga gap yang ada mampu diperkecil. Sejak
itu Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) mulai dikembangkan dan
diujicobakan untuk penanganan anak jalanan di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI
Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. Belajar dari pengalaman
implementasi awal tersebut, mulai 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan
target sasaran maupun wilayahnya meliputi anak balita terlantar, anak jalanan dan
anak terlantar, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan, serta
anak yang membutuhakan perlindungan khusus lainnya seperti anak yang berada
dalam situasi darurat, anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang,
korban

kekerasan

dan

eksploitasi

seksual,

eksploitasi

ekonomi,

korban

8
Universitas Sumatera Utara

penyalahgunaan narkoba/zat adiktif, penderita HIV/AIDS, dan anak dari kelompok
minoritas atau komunitas adat terpencil.
PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk
menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya
mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak. PKSA ini juga perwujudan
dari kesungguhan Kementerian Sosial mendorong perubahan paradigma dalam
pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orang
tua/keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat,
serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon
keberagaman kebutuhan melalui tabungan.
Salah s atu lembaga yang menangani permasalahan anak untuk kota Medan
adalah Lembaga Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI). Lembaga
yang beralamat di Jalan Sei Arakundo Gang Tula Nomor 14 Kecamatan Medan
petisah ini telah memenuhi persyaratan oleh Kementerian Sosial RI untuk
menyelenggarakan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Pinggiran rel kereta
Gaperta merupakan salah satu wilayah yang menjadi sasaran Program Kesejahteraan
Sosial Anak (PKSA). Dimana daerah ini merupakan daerah pemukiman yang
kumuh, yang rata-rata hidup dengan penghasilan yang rendah.
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, maka
penulis merasa tertarik untuk meneliti Bagaimana respon anak jalanan terhadap
Program Kesejahteraan Sosial Anak di pinggiran rel kereta api Gaperta Kecamatan
Medan Helvetia. Maka penulis menyusun penelitian ini dengan judul “Respon
penerima bantuan program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh
Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) di daerah Pinggiran Rel
Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia kota Medan”.
9
Universitas Sumatera Utara

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana
Respon penerima bantuan program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) di daerah Pinggiran
Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia kota Medan”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Respon penerima
bantuan program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga
Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) di daerah Pinggiran Rel Kereta Api
Gaperta Kecamatan Medan Helvetia kota Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka :
a. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan anak
jalanan.
b. Pengembangan kebijakan dan model pelayanan Program Kesejahteraan
Sosial Anak.

10
Universitas Sumatera Utara

1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB 1

: Pendahuluan
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
penulisan.

BAB II

: Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan
objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi
operasional.

BAB III

: Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi,
teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV

: Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis
melakukan penelitian.

BAB V

: Analisis Data
Bab ini berisikan tentang uraian data yang dioeroleh dari hasil
penelitian di lapangan.

BAB VI

: Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan
dengan penelitian yang dilakukan.

11
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 61 83

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 8 97

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 10

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 2

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 27

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 2

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 5

Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 0 31

1 BAB I PENDAHULUAN - Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 0 11

Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 0 12