Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon
Respon berasal dari kata response yang berarti jawaban, balasan, atau
tanggapan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, respon adalah berupa tanggapan,
reaksi, dan jawaban. Respon atau tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami ketika
perangsang tidak ada. Respon juga diartikan sebagai tingkah laku atau sikap yang
berwujud baik ,sebelum pemahaman mendetil,penilaian, pengaruh atau penolakan,
suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Steven M.Caffe, respon dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu :
1. Respon Kognitif
Yaitu respon yang berkaitan dengan pengetahuan keterampilan dan informasi dan
informasi seseorang mengenai sesuatu. Teori ini berusaha menjelaskan proses
perubahan sikap dengan mencoba memahami pikiran seseorang dalam merespon
komunikasi persuasif atau bujukan. Teori respon kognitif memperkirkan bahwa
perubahan sikap akan bergantung pada seberapa besar dan apa jenis argumen yang
berlawanan yang muncul. Jika pesan ini menimbulkan argumen kontra yang kuat dan
efektif, maka kemungkinan besar tidak akan terjadi perubahan sikap. Sebaliknya
persuasi dapat dilakukan dengan mengitervensi proses kontra argumen tersebut. Jika

seseorang tidak menemukan argumen yang cukup kuat untuk menentang pesan dan
dia tidak bisa fokus pada pesan saat mendengarkannya, maka kemungkinan besar dia
akan menerima dan mendukung pesan itu (Taylor.Dkk, 2009).

12
Universitas Sumatera Utara

2. Respon Afektif
Yaitu respon yang berhubungan dengan emosi, sikap, dan menilai seseorang
terhadap sesuatu. Respon ini timbul apabila ada perubahan yang disenangi oleh
khalayak terhadap sesuatu.
3. Respon Konatif
Yaitu respon yang berhubungan dengan perilaku nyata yang meliputi
tindakan atau perbuatan. Secara keseluruhan respon individu atau kelompok dapat
dilihat dari tiga tingkatan yaitu persepsi, sikap, dan partisipasi. Jadi berbicara
mengenai respon tidak terlepas dari pembahasan persepsi, sikap, dan partisipasi.
A. Persepsi merupakan tindakan penilaian terhadap baik buruknya objek
berdasarkan faktor keuntungan dan kerugian yang akan diterima dari adanya
objek tersebut. Menurut Morgan, King dan Robinson adalah suatu proses
diterimanya suatu rangsangan dengan cara melihat dan mendengar dunia

disekitar kita. Dengan kata lain persepsi dapat juga didefenisikan sebagai
sesuatu yang dialami manusia (Adi, 2000:105).
B. Sikap merupakan ucapan secara lisan atau pendapat untuk menerima atau
menolak objek yang dipersiapkan. Sikap merupakan kecenderungan atau
kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika ia menghadapi
rangsangan. Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon
seseorang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atas
situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi,
mendekati, mengaharapkan suatu objek, atau muncul sikap negatif yakni
menghindari, membenci suatu objek vb(Adi, 2000:178).
C. Partisipasi merupakan kegiatan nyata untuk peran serta atau tindakan
terhadap suatu kegiatan yang terkait dengan objek tersebut. Partisipasi adalah
13
Universitas Sumatera Utara

keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh
tahapan pembangunan, sejak tahap sosialisasi, persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, pemahaman, pengendalian, evaluasi. Pendekatan partisipasi
bertumpu pada kekuatan masyarakat untuk secara aktif berperan serta dalam
pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi atau keikutsertaan para pelaku

dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan ini akan
membawa manfaat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi didaerah
(Suprapto, 2007:8).

2.2 Anak
2.2.1 Pengertian Anak
Menurut

Peraturan

Perundang-Undangan

tentang

Perlindungan

dan

Kesejahteraan Anak dalam BAB I bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi

Hak Anak (KHA) mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang
umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap
batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan sosial.
Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh Negara. Ini merupakan suatu kebijaksanaan pemerintah
dan Negara yang dirumuskan kedalam pengertian bahwa usaha mensejahterahkan
anak didahulukan dari kebijaksanaan kesejahteraan masyarakat lain.Pengertian anak
menurut UUD 1945 memiliki makna bahwa hak-hak yang harus diperoleh anak dari
masyarakat bangsa dan Negara harus diprioritaskan karena kepentingan-kepentingan
pembangunan bangsa dan Negara harus mendasarkan anak sebagai sumber aspirasi
untuk lahirnya generasi-generasi baru pewaris bangsa yang besar bagi perkembangan
14
Universitas Sumatera Utara

bangsa yang kemudian dapat mensejahterahkan masyrakat Indonesia. Kedudukan
pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengandung kekhususan bahwa pengelompokan anakanak yang terkategori sebagai anak terlantar dan kemudian dijadikan objek
pembangunan, pembinaan, pemeliharaan dengan tujuan anak-anak Indonesia akan
dapat menjalani kehidupan yang layak dari suatu kehidupan yang layak dari suatu
kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan (Wadong,2000:18).
2.2.2 Kebutuhan Anak
Sebagaimana manusia lainnya, setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan

dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat dan wajar. Menurut Katz bahwa kebutuhan dasar yang sagat penting
bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan
anak, seperti perhatian dan kasih sayang yang berkelanjutan, perlindungan,
dorongan, dan pemeliharaaan harus dipenuhi oleh orang tua. Sedangkan Brown dan
Swanson mengatakan bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan
(keamanan), kasih saying, pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam
pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan
mental yang sehat. Sementara itu, Huttman dalam Muhifin(Huraera,2003:3) merinci
kebutuhan anak adalah :
1. Kasih sayang orang tua
2. Stabilitas emosional
3. Pengertian dan perhatian
4. Pertumbuhan da kepribadian
5. Dorongan kreatif
6. Pembinaan kemampuan intektual dan keterampilan dasar
7. Pemeliharaan kesehatan
15
Universitas Sumatera Utara


8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan
memadai
9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif
10. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan
Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang
bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka
memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan
dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan
kasih sayang, pemahaman, suasana kreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan
pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar,
pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran sosial, dan keterampilan dasar agar
menjadi warga masyarakat yang bermanfaat.
Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan
berdampak negative pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental,
dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan
kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga mengalami hambatan mental, lemah
daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku maladaptive, seperti : autis, nakal, sukar
diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia”tidak normal, dan perilaku
kriminal. Pertumbuhan dan kesejateraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak
akan mengalami hambatan jika :

1. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak
2. Tanpa bimbingan dan asuhan
3. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat
4. Diperlakukan salah secara fisik
5. Diperlakukan salah dan diekssploitasi secara seksual
16
Universitas Sumatera Utara

6. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan
dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat
7. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus
menerus,

perceraian

dan

mempunyai

orang


tua

yang

menderita

gangguan/sakit jiwa.
8. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat
dan demoralisasi.
2.2.3 Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak
Model kesejahteraan sosial bagi anak secara umun meliputi tiga bagian :
mikro, messo, dan makro. Pada model pelayanan mikro anak dijadikan sasaran
utama pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis segera
diberikan pertolongan yang bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau
dalam keadaaan yang sangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluarga dari
lingkungan yag mengancam kehidupannya.
Sistem pelayanan yang diberikan, baik pada mikro, messo da makro dapat
berbentuk pelayanan kelembagaan di mana anak mengalami masalah ditempatkan
dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial

diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan bersifat non
kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas
dimana anak menetap.
Belakang ini cukup populer sistem pelayanan semi panti yang lebih terbuka
dan tidak kaku. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan,
dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah, seperti : rumah terbuka untuk
berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan, rumah keluarga pengganti
atau tempat anak mengembangkan sub kultur tertentu. Selain itu, untuk anak jalanan
17
Universitas Sumatera Utara

dan pekerja anak terdapat sistem pelayanan yang dikenal dengan nama locational
based services. Pekerja sosial mendatangi pabrik atau lokasi dimana anak berada dan

memanfaatkan sarana yang ada di sekitarnya sebagai media dan sarana
pertolongannya. Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak,
yaitu :
1. Child Based Services(Layanan berbasis anak).
Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerimaan pelayanan. Anakanak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis perlu segera diberikan
pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling, atau dalam

keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan
membahayakan kehidupannya.
2. Institusional Based Services(Layanan berbasis lembaga)
Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti. Pelayanan
yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta program
rehabilitasi sosial lainnya.
3. Family Based Services(Layanan berbasis keluarga)
Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan ini
diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki
kemampuan ekonomi, psikologis, dan sosial dalam menumbuhkembangkan
anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak
pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai
satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi
kebutuhan anak.

18
Universitas Sumatera Utara

4. Community Based Service (Layanan berbasis masyarakat)

Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat
agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial
datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang da melaksanakan
program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi
sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta penyediaan sarana rekreatif dan
pengisian waktu luang.
5. Location Based Services(layanan berbasis lokasi)
Pelayanan yang diberikan di lokasi anak mengalami masalah. Strategi ini
biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja di jalan dan
pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik atau tempat-tempat
dimana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai
fasilitas da media pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di
jalan, strategi ini sering disebut sebagai street based servces (Pelayanan
berbasiskan jalanan).
6. Half Way House Services.(layanan semi panti)
Strategi ini disebut juga strategi semi panti yang lebih terbuka dan tidak kaku.
Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai
akivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah
keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan subkultur
tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan,
dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah.

19
Universitas Sumatera Utara

7. State Based Services.(layanan berbasis Negara)
Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and
indirect services). Para pekerja social mengusahakan situasi dan kondisi yang
kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak.
Perumusan kebijakan kesejahteraan social dan perangkat hukum untuk
perlindungan merupakan bentuk program dalam strategi ini.
2.2.4 Anak Jalanan
Defenisi anak jalanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah anak
yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari
nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Sebagian besar
dari anak jalanan bertempat tinggal di pinggiran jalan, dan kolong jembatan, karena
tidak mampu menyewa tempat tinggal. Bagitu juga banyak yang membangun rumah
kumuh di pinggiran kota untuk dijadikan tempat pemukiman bagi mereka namun
tetap mencari penghasilan dari jalanan.
Departemen Sosial Republik Indonesia mendefenisikan, anak jalanan adalah
anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalanan dan ditempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Berusia antara 5-18 tahun.
2. Melakukan kegiatan atau berkliaran di jalanan.
3. Penampilannya kebanyakan kusam.
4. Pakaiannya tidak terurus.
5. Mobilitasnya tinggi
Pada awalnya ada dua kategori pengelompokan anak jalanan berdasarkan
hubungan mereka dengan keluarga, yaitu children on the street dan children of the
20
Universitas Sumatera Utara

street. Pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street

atau sering pula disebut dengan children from families of the street .
1. Children on the street yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan yang kuat
dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan pada
kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung
tidak dapat diselesaikan oleh kedua orang tuanya.
2. Children of the street yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan,
baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih
mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi petemuan
mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang
karena suatu sebab, biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan
terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.
3. Children in the street atau children from the families of the street yakni anakanak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak
ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka
terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala
resikonya (http://rumahsinggah-ku.blogspot.com/diakses pada tanggal 04
Februari 2016 pukul 09.00 WIB).
Berdasarkan

hasil

survei

dari

Departemen

Sosial

anak

jalanan

dikelompokkan kedalam 3 kategori yakni :
1. Anak jalanan yang hidup di jalan dengan kriteria :
a. Putus hubungan atau tidak bertemu dengan orang tuanya.

21
Universitas Sumatera Utara

b. Berada di jalan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja. Sisanya
untuk menggelandang dan tidur.
c. Tidak bersekolah lagi.
d. Rata-rata berusia dibawah 14 tahun.
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan dengan kriteria :
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya.
b. Berada di jalan 8-16 jam.
c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman,
orangtua/saudaranya, umunya tinggal didaerah kumuh.
d. Tidak bersekolah lagi.
e. Pekerjaan, penjual koran, pemulung sampah, penyemir sepatu, dan lain-lain.
f. Rata-rata usianya di bawah 16 tahun.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan dengan kriteria :
a. Setiap hari bertemu dengan orang tuanya.
b. Berada di jalan 4-6 jam.
c. Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali.
d. Masih bersekolah.
e. Usianya rata-rata dibawah 14 tahun.
2.2.5 Indikator Anak Jalanan
Adapun Indikator anak jalanan yakni :
1. Usia berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun.
2.

Intensitas hubungan dengan keluarga yaitu:
a. berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari.
b. Frekuensi berkomunikasi dengan keluarga sangat kurang
c. Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
22
Universitas Sumatera Utara

3. Waktu yang dihabiskan dijalanan lebih dari 4 jam setiap hari.
4. Tempat tinggal :
a. Tinggal bersama orang tua
b. Tinggal berkelompok dengan teman-temannya
c. Tidak mempunyai tempat tinggal
5. Tempat anak jalanan sering dijumpai di : pasar, terminal bus, stasiun kereta
api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan
raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat
pembuangan sampah.
6. Aktifitas anak jalanan : menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo,
menjajakan koran / majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi
pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi
penghubung atau penjual jasa.
7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok,
modal majikan / patron, stimulant / bantuan.
8. Permasalahan : korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas,
ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal,
ditolak masyarakat lingkungannya.
9. Kebutuhan anak jalanan : aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan usaha,
pendidikan, bimbingan keterampilan, gizi dan kesehatan,hubungan harmonis
dengan orang tua keluarga dan masyarakat (Nurdin: 1989).
2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Anak Jalanan
Secara umum ada 3 penyebab munculnya anak jalanan yaitu :
1. Tingkat Mikro (Immediate Causes)

23
Universitas Sumatera Utara

Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan
keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada
tingkat mikro sebab yang bias diidentifikasi dari anak dan keluarga yang
berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:
a. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau
sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
b. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua
menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan
atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga
atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah
terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak
menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi
pula oleh meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh
kemiskinan pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun
kekerasan dalam keluarga.
c. Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu
lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan
oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan
pemerintah.
d. Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang
tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anakanak, telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan
2. Tingkat Messo (Underlying Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini yaitu
faktor yang ada di masyarakat. Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang
24
Universitas Sumatera Utara

dapat diidentifikasi meliputi:
a. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan
pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang menyebabkan drop
out dari sekolah.

b. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anak-anak
mengikuti kebiasaan itu.
c. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.
3. Tingkat Makro (Basic Causes)
Faktor-faktor pen yebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu
faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Pada tingkat makro (struktur
masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:
a. Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan
meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong
urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang diakibatkan
kesenjangan pembangunan desakota, kemudahan transportasi dan ajakan
kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian dari
mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke
jalanan.
b. Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka
dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya dengan
kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih memguntungkan segelintir
orang.
c. Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang
diskriminatif,

dan

ketentuan-ketentuan

teknis

dan

birokratis

yang
25

Universitas Sumatera Utara

mengalahkan kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus sekolah
karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk menjadi
pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat untuk
mendapatkan uang.
d. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara
sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan)
dam pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau
pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan).
e. Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring
pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anakmenghadapi kesulitan.
f. Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan,
taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerahdaerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai
ajang bermain dan bekerja.
2.2.7 Penanggulangan Anak Jalanan dalam Perspektif Pekerjaan Sosial
Salah satu pemecahan masalah anak jalanan yang logis untuk diterapkan
ketika pemerintah dalam kesulitan secara ekonomi, sosial maupun politik, adalah
dengan pendekatan masyarakat kesejahteraan (welfare society) yang dikembangkan
di dalam suatu jaringan “social safety net”. Pendekatan ini merupakan pilihan yang
paling tepat.
Pendekatan masyarakat kesejahteraan menganggap bahwa sumber utama
pelayanan bagi anggota masyarakat adalah masyarakat itu sendiri di mana mereka
hidup. Kekuatan “self-help” adalah unsur utama dalam pendekatan ini. Program
diarahkan terutama pada kelompok-kelompok keluarga yang memiliki hubungan
kekeluargaan dalam lingkup masyarakat lokal. Kemampuan “self-help” atau
26
Universitas Sumatera Utara

kegotongroyongan untuk menolong diri mereka sendiri, pada setiap unit kelompok
keluarga diperkuat dengan cara meningkatkan “coping capacities” (kemampuan
untuk menghadapi dan mengatasi masalah) dari masing-masing anggota,
memperkuat relasi social di antara keluarga, dan memperkuat sumber yang dimiliki.
Memperkuat akses mereka terhadap sumber-sumber kesempatan yang dimiliki dan
memperkuat akses mereka terhadap kesempatan sumber-sumber serta sumber
pelayanan yang ada di dalam masyarakat (khususnya yang di masyarakat lokal).
Struktur

ekonomi

“self-subsistem”

menjadi

perhatian

utama

bagi

model

pengembangan masyarakat dengan pendekatan ini. Program ini dilakukan dengan
mengutamakan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Pendekatan ini
dilaksanakan di dalam model penanganan yang dikenal dengan model penanganan
“community based” (penanganan berbasis masyarakat) atau “home based treatment”
(penanganan yang dilakukan di rumah/keluarga masing-masing).
Walaupun demikian, pendekatan-pendekatan klinis pun tidak bisa di
tinggalkan karena selain persoalan mikro, juga banyak persoalan-persoalan yang
perlu ditangani secara khusus. Karenanya, pelayanan-pelayanan kelompok dan
perorangan juga masih perlu mendapatkan porsi yang seimbang. Pendekatan klinis
seperti ini diterapkan dalam model-model penanganan “street based” yang
dilaksanakan di jalanan, pendampingan anak, dan sebagainya. Model “halfway
houses” yang kemudian banyak dikenal dengan istilah pelayanan rumah singgah, dan
model penanganan “institusional based/center based” atau lebih dikenal dengan
pelayanan panti.
Pada model penanganan yang bersifat street based, biasanya lebih banyak
diarahkan pada pelayanan advokasi dan pendampingan anak. Sedangkan model
penanganan “institusional based” diarahkan pada pelayanan pemeliharaan, provisi
27
Universitas Sumatera Utara

sosial, dan pelayanan konseling maupun pelayanan kelompok dalam rangka
membantu anak keluar dari kesulita-kesulitan psikososial. Sementara penanganan
model rumah singgah, lebih merupakan suatu penanganan pengalihan dari
penanganan yang bersifat street based kepada penanganan institusional based atau
pelayanan transisi dari institusional based ke model penanganan yang bersifat home
based.

2.3 Program Kesejahteraan Sosial Anak
2.3.1 Pengertian Program
Program adalah cara tersendiri dan khusus dirancang demi pencapaian suatu
tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan lebih
teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program adalah
unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena
dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti :
1. Adanya tujuan yang mau dicapai.
2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan
tersebut.
3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan
dengan prosedur yang harus dilewati.
4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan.
5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas
2.3.2 Pengertian Program Kesejahteraan Sosial Anak
Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani, maupun social. Sementara usaha kesejahteraan anak adalah
28
Universitas Sumatera Utara

kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak
terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak (Undang-Undang Kesejahteraan Anak
No.6 Tahun 1974).

Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan
sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang
tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak.
2.3.3 Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak
Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah terwujudnya pemenuhan
hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan,
eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan
partisipasi anak dapat terwujud.
2.3.4 Sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak
Sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak yang akan dicapai dalam periode
RPJM II(Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional tahun 2010-2014 adalah
:
1. Meningkatnya presentase anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan dan anak yang
membutuhkan perlindungan khusus untuk memperoleh akses pelayanan
sosial dasar.
2. Meningkatnya presentase orang tua/keluarga yang bertanggung jawab dalam
pengasuhan dan perlindungan anak.
3. Menurunya presentase anak yang mengalami masalah sosial.
29
Universitas Sumatera Utara

4. Meningkatnya lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan perlindungan
terhadap anak.
5. Meningkatnya Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan
Relawan Sosial terlatih, yang memberikan pendampingan dibidang pelayanan
kesejahteraan sosial anak.
6. Meningkatnya peranan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dalam
mensinergiskan PKSA dengan program kesejahteraan dan perlindungan anak
yang bersumber dari APBD.
7. Meningkatnya produk hukum pengasuhan dan perlindungan anak sebagai
landasan hokum pelaksanaan PKSA.
2.3.5 Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak
1. Mengedepankan kemitraan dengan berbagai pihak dalam mewujudkan sistem
kesejahteraan sosial anak yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan,
2. Mengupayakan perluasan jangkauan layanan untuk seluruh anak yang
mengalami masalah sosial,
3. Mengedepankan pengembangan sistem pelayanan dan program kesejahteraan
sosial yang melembaga dan professional,
4. Menempatkan keluarga sebagai pusat pelayanan dalam rangka memperkuat
tanggung jawab orang tua/keluarga dalam memberikan pengasuhan dan
perlindungan bagi anak,
5. Mendorong peningkatan kemampuan dan keterlibatan masyarakat dalam
upaya mensejahterahkan dan melindungi anak.
2.3.6 Persyaratan dan Kewajiban Penerima Layanan PKSA

30
Universitas Sumatera Utara

Sasaran penerima layanan PKSA : anak,orang tua/keluarga maupun lembaga
kesejahteraan sosial yang menjadi mitra pendamping, harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Adanya perubahan sikap dan perilaku social anak ke arah positif.
2. Intensitas kehadiran anak dalam layanan sosial dasar dari berbagai
organisasi/lembaga semakin meningkat.
3. Intensitas

kehadiran

anak

dalam

kegiatan

pengembangan

potensi

diri/kreativitas anak semakin meningkat.
4. Tanggung jawab orang tua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan
anak semakin meningkat.
5. Peran Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang bermitra dengan Kementrian
Sosial semakin efektif dalam mendampingi anak sehingga anak dapat
terhindar dari penelantaran, eksploitasi, kekerasan dam diskriminasi.
2.3.7 Pendamping Program Kesejahteraan Sosial Anak
Pendamping Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah pekerja sosial
professional, tenaga kesejahteraan sosial anak, atau relawan sosial yang direkrut oleh
dan bekerja untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), yang fungsinya
adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan
khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta
lingkungan komunitas/masyarakat.
Tugas-tugas

Pekerja

Sosial

Profesional

pendamping

merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil

PKSA

adalah

pemberian pelayanan

kesejahteraan sosial, antara lain :
1. Pendampingan terhadap anak, orang tua/keluarga dan komunitas yang
menjadi saasaran/berada dalam jangkauan PKSA.
31
Universitas Sumatera Utara

2. Layanan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan akses terhadap
pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak,
penguatan tanggung jawab orang tua/keluarga dan penguatan dan penguatan
peran LKSA.
3. Melakukan verifikasi komitmen penerima manfaat PKSA sesuai persyaratan
dan kewajiban yang telah ditetapkan pada setiap sub-program/klaster.
4. Melaksanankan tugas-tugas professional dalam mendampingi sasaran PKSA.
5. Melakukan advokasi social dalam rangka peningkatan kinerja PKSA kepada
jaringan mitra kerja PKSA, pemerintah, pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan
lembaga lembaga Nnegara lainnya.
6. Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus.
7. Membuat laporan pelaksanaan pendampingan pertriwulan, dan akhir tahun
kontrak kerja, selain laporan penanganan kasus.
Pekerja Sosial Profesional yang menjadi pendamping antara lain Satuan Bakti
Pekerja Sosial (Sakti Peksos) yang merupakan petugas kemanusiaan di bidang
pekerjaan social yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial atau Dinas/Instansi Sosial
yang memiliki status kerja kontrak karya dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA Pusat) atau Dinas/Instansi Sosial Provinsi (PKSA Dekon). Kontrak
karya dilakukan pertahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
Persyaratan Satuan Bakti Pekeja Sosial yang menjadi pendamping PKSA, adalah:
1. Pendidikan Diploma IV/Sarjana Pekerja Sosial/Kesejahteraan Sosial.
2. Berusia maksimal 40 tahun pada 31 Desember.
3. Warga Negara Republik Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, setia dan taat kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
32
Universitas Sumatera Utara

4. Tidak berkedudukan sebagai CPNS/PNS/TNI/POLRI.
5. Tidak berkedudukan sebagai anggota atau pengurus Partai Politik.
6. Bebas dari narkotika dan zat adiktif lain.
7. Mengisi formulir pendaftaran
8. Sehat Jasmani dan Rohani dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter
pemerintah.
9. Tidak sedang terikat kontrak kerja dengan pihak lain.
10. Bersedia bekerja penuh waktu.
Pelaksanaan seleksi dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Satuan Bakti Pekerja
Sosial bekerja sama dengan Biro Organisasi Kepegawaian, Sekretariat Jenderal
Rehabilitasi Sosial, Perguruan Tinggi Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Ikatan
Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI).Seleksi didasarkan pada hasil Test
Potensi Akademik dan Kompetensi Pekerjaan Sosial di bidang kesejahteraan social
anak.

2.4 Kesejahteraan Sosial
Walter A.Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah
sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang
ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar
hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan
sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan
mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan
kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat (Wibhawa, dkk. 2010:24)
Bahkan karena begitu pentingnya upaya mewujudkan kesejahteraan sosial,
maka negara kita pun memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur hal
33
Universitas Sumatera Utara

ini, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang “Kesejahteraan Sosial”
yang memaparkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kubutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Beberapa hal dapat disimpulkan dari defenisi tersebut, antara lain :
1. Kesejahteraan sosial dipandang sebagai suatu tatanan masyarakat.
2. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga negara untuk
melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka.
3. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung diantara
setiap individu warga masyarakat dengan masyarakatnya.
4. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar sosial budaya
masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat Indonesia, dirumuskan dalam silasila Pancasila) (Wibhawa, dkk. 2010:28)
Berdasarkan pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut diatas, maka
tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya sejahtera, dan bahkan salah
satu tujuan penyelenggaraan negara adalah ingin menyejahterahkan rakyatnya.
Dengan melihat kondisi tersebut, maka upaya untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial dilakukan oleh semua pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil
society, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui
kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan sosial,
perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.

2.5 Kerangka Pemikiran
Anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun
34
Universitas Sumatera Utara

di tempat-tempat umum. Sebagian besar dari anak jalanan bertempat tinggal di
pinggiran jalan, dan kolong jembatan, karena tidak mampu menyewa tempat tinggal.
Hal ini mengidentikkan bahwa anak jalanan kurang mendapat perhatian yang
melahirkan anggapan-anggapan negative terhadap mereka.
Disamping mereka sebagai pemicu masalah di jalanan, tidak menutup
kemungkinan pula bahwa mereka nantinya kelak menjadi generasi penerus bangsa ke
arah yang lebih baik. Untuk itu Program Kesejahteraan Sosial Anak hadir untuk
menjawab persoalan anak-anak jalanan khususnya. Program Kesejahteraan Sosial
Anak merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna
memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi
diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak.
Dalam pelaksanaan program ini perlu dilihat bagaimana respon anak jalanan
yang merupakan sasaran dari program ini. Respon tersebut dapat dilihat dari wujud
persepsi, sikap, dan partisipasi. Harapan melalui program ini fungsi sosial anak
jalanan dapat meningkat diketahui dari perubahan sikap dan perilaku ke arah positif.
Anak tidak melakukan aktivitas ekonomi lagi di jalanan, karena telah memiliki
aktivitas yang lebih positif. Orang tua/keluarga melakukan pengasuhan secara
bertanggung jawab. Orang tua/keluarga mengurus berbagai kebutuhan dasar anak
dan memperjuangkn akses pelayanan sosial dasar.

35
Universitas Sumatera Utara

Bagan Alur Pikir

Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
oleh YAKMI
Anak Jalanan di Daerah Pinggir Rel Gaperta
Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan
RESPON

Persepsi :
Pengetahuan

dan

pemahaman

Sikap :

Partisipasi :

Penilaian,

Keterlibatan

harapan

dan

masyarakat

tentang

apa,

tanggapan

terhadap

bagaimana,

dan

masyarakat

program

Respon Positif

Respon Negatif

36
Universitas Sumatera Utara

2.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.6.1 Defenisi Konsep
Menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan
obyek penelitian, maka seorang ahli peneliti harus menegaskan dan membatasi
makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan
makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep (Siagian,
2011;138). Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil
penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diingankan dan
dimaksudkan si peneliti.
Defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang
konsep-konsep,baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti. Untuk
memfokuskan penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep yang akan digunakan
sebagai berikut :
1. Respon adalah jawaban, balasan, atau tanggapan terhadap suatu fenomena
tertentu.
2. Anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan
maupun di tempat-tempat umum.
3. Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan social guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas
pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak,
penguatan orang tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial
anak.

37
Universitas Sumatera Utara

2.6.2 Defenisi Operasional
Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan
bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari defenisi konsep.
Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman
tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti,
maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia
nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011;141).
Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini dapat diukur melalui
indikator sebagai berikut :
1.

Persepsi penerima bantuan yaitu meliputi pengetahuan dan pemahaman

tentang apa, bagaimana, dan manfaat program PKSA.
2.

Sikap penerima bantuan yaitu meliputi penilaian, tanggapan, harapan

penerima bantuan terhadap program PKSA.
3.

Partisipasi penerima bantuan yaitu meliputi keterlibatan penerima bantuan

terhadap program PKSA.

38
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 61 83

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 8 97

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 10

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 2

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 11

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 2

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

0 0 5

Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 0 31

1 BAB I PENDAHULUAN - Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 0 11

Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

0 0 12