Respon Anak Jalanan Terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak Oleh Yakmi Di Pinggiran Rel Kereta Api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon Respon berasal dari kata response yang berarti jawaban, balasan, atau tanggapan.

  Dalam kamus besar bahasa Indonesia, respon adalah berupa tanggapan, raksi, dan jawaban. Respon atau tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami ketika perangsang tidak ada. Respon juga diartikan sebagai tingkah laku atau sikap yang berwujud baik ,sebelum pemahaman mendetil, penilaian, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu.

  Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Steven M.Caffe, respon dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

  1.Respon Kognitif Yaitu respon yang berkaitan dengan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi dan informasi seseorang mengenai sesuatu. Teori ini berusaha menjelaskan proses perubahan sikap dengan mencoba memahami pikiran seseorang dalam merespon komunikasi persuasif atau bujukan. Teori respon kognitif memperkirkan bahwa perubahan sikap akan bergantung pada seberapa besar dan apa jenis argumen yang berlawanan yang muncul. Jika pesan ini menimbulkan argumen kontra yang kuat dan efektif, maka kemungkinan besar tidak akan terjadi perubahan sikap. Sebaliknya persuasi dapat dilakukan dengan mengitervensi proses kontra argumen tersebut. Jika seseorang tidak menemukan argumen yang cukup kuat untuk menentang pesan dan dia tidak bisa fokus pada pesan saat mendengarkannya, maka kemungkinan besar dia akan menerima dan mendukung pesan itu (Taylor.Dkk, 2009).

  2. Respon Afektif Yaitu respon yang berhubungan dengan emosi, sikap, dan menilai seseorang terhadap sesuatu. Respon ini timbul apabila ada perubahan yang disenangi oleh khalayak terhadap sesuatu.

  3. Respon Konatif Yaitu respon yang berhubungan dengan perilaku nyata yang meliputi tindakan atau perbuatan.

  Secara keseluruhan respon individu atau kelompok dapat dilihat dari tiga tingkatan yaitu persepsi, sikap, dan partisipasi. Jadi berbicara mengenai respon tidak terlepas dari pembahasan persepsi, sikap, dan partisipasi.

  Persepsi merupakan tindakan penilaian terhadap baik buruknya objek berdasarkan faktor keuntungan dan kerugian yang akan diterima dari adanya objek tersebut. Menurut Morgan, King dan Robinson adalah suatu proses diterimanya suatu rangsangan dengan cara melihat dan mendengar dunia disekitar kita. Dengan kata lain persepsi dapat juga didefenisikan sebagai sesuatu yang dialami manusia (Adi, 2000:105).

  Sikap merupakan ucapan secara lisan atau pendapat untuk menerima atau menolak objek yang dipersiapkan. Sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika ia menghadapi rangsangan. Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atas situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati, mengaharapkan suatu objek, atau muncul sikap negatif yakni menghindari, membenci suatu objek (Adi, 2000:178).

  Partisipasi merupakan kegiatan nyata untuk peran serta atau tindakan terhadap suatu kegiatan yang terkait dengan objek tersebut. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh tahapan pembangunan, sejak tahap sosialisasi, persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pemahaman, pengendalian, evaluasi. Pendekatan partisipasi bertumpu pada kekuatan masyarakat untuk secara aktif berperan serta dalam pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi atau keikutsertaan para pelaku dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan ini akan membawa manfaat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi didaerah (Suprapto, 2007:8).

2.2 Anak

2.2.1 Pengertian Anak

  Menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak dalam BAB I bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi Hak Anak (KHA) mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan sosial.

  Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Ini merupakan suatu kebijaksanaan pemerintah dan Negara yang dirumuskan kedalam pengertian bahwa usaha mensejahterahkan anak didahulukan dari kebijaksanaan kesejahteraan masyarakat lain.Pengertian anak menurut bangsa dan Negara harus diprioritaskan karena kepentingan-kepentingan pembangunan bangsa dan Negara harus mendasarkan anak sebagai sumber aspirasi untuk lahirnya generasi-generasi baru pewaris bangsa yang besar bagi perkembangan bangsa yang kemudian dapat mensejahterahkan masyrakat Indonesia. Kedudukan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengandung kekhususan bahwa pengelompokan anak-anak yang terkategori sebagai anak terlantar dan kemudian dijadikan objek pembangunan, pembinaan, pemeliharaan dengan tujuan anak-anak Indonesia akan dapat menjalani kehidupan yang layak dari suatu kehidupan yang layak dari suatu kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan (Wadong,2000:18).

2.2.2 Kebutuhan Anak

  Sebagaimana manusia lainnya, setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Katz bahwa kebutuhan dasar yang sagat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak, seperti perhatian dan kasih saying yang kontinu, perlindungan, dorongan, dan pemeliharaaan harus dipenuhi oleh orang tua. Sedangkan Brown dan Swanson mengatakan bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih saying, pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dang mengembangkan kehidupan mental yang sehat. Sementara itu, Huttman merinci kebutuhan anak adalah :

  1) Kasih saying orang tua

  2) Stabilitas emosional

  3) Pengertian dan perhatian

  4) Pertumbuhan da kepribadian

  5) Dorongan kreatif

  6) Pembinaan kemampuan intektual dan keterampilan dasar

  7) Pemeliharaan kesehatan

  8) Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai

  9) Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif

  10) Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan

  Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih saying, pemahaman, suasana kreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran social, dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat.

  Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan berdampak negative pada pertumbuhan fisik dan perkembangan inteltual, mental, dan sosial anak.

  Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga mengalami hambata mental, lemah daya nalar, dan bahkan mereka menjadi manusia”tidak normal, dan perilaku criminal.

  Pertumbuhan dan kesejateraan fisik, inteltual, emosional, dan social anak akan mengalami hambatan jika : 1)

  Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak 2)

  Tanpa bimbingan dan asuhan 3)

  Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat 4)

  Diperlakukan salah secara fisik 5)

  Diperlakukan salah dan diekssploitasi secara seksual 6)

  Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat 7)

  Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan/sakit jiwa.

  8) Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi.

2.2.3 Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak

  Model kesejahteraan sosial bagi anak secara umun meliputi tiga bagian : mikro, messo, dan makro. Pada model pelayanan mikro anak dijadikan sasaran utama pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis segera diberikan pertolongan yang bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam keadaaan yang sangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluarga da lingkungan yag mengancam kehidupan nya.

  Sistem pelayanan yang diberikan, baik pada mikro, messo da makro dapat berbentuk pelayanan kelembagaan di mana anak mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan bersifat non kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas dimana anak menetap.

  Belakang ini cukup populer sistem pelayanan semi panti yang lebih terbuka dan tidak kaku. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah, seperti : rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan, rumah keluarga pengganti atau tempat anak mengembangkan sub kultur tertentu. Selain itu, untuk anak jalanan dan pekerja anak terdapat sistem pelayanan yang dikenal dengan nama locational based services.

  Pekerja sosial mendatangi pabrik atau lokasi dimana anak berada dan memanfaatkan sarana yang ada di sekitarnya sebagai media dan sarana pertolongannya.

  Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, yaitu : 1. Child Based Services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerimaan pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis perlu segera diberikan pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling, atau dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya.

  2. Institusional Based Services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti. Pelayanan yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.

  3. Family Based Services. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis, dan sosial dalam menumbuhkembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak.

  4. Community Based Service. Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang da melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi social, kampanye sosial, aksi social, serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.

  5. Location Based Services. Pelayanan yang diberikan di lokasi anak mengalami masalah. Strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja di dimana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai fasilitas da media pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di jalan, strategi ini sering disebut sebagai street based servces (Pelayanan berbasiskan jalanan).

  6. Half Way House Services. Strategi ini disebut juga strategi semi panti yang lebih terbuka dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai akivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan subkultur tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah.

  7. State Based Services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and indirect services). Para pekerja social mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan social dan perangkat hukum untuk perlindungan merupakan bentuk program dalam strategi ini.

2.2.4 Anak Jalanan

  Defenisi anak jalanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Sebagian besar dari anak jalanan bertempat tinggal di pinggiran jalan, dan kolong jembatan, karena tidak mampu menyewa tempat tinggal. Bagitu juga banyak yang membangun rumah kumuh di pinggiran kota untuk dijadikan tempat pemukiman bagi mereka namun tetap mencari penghasilan dari jalanan.

  Departemen Sosial Republik Indonesia mendefenisikan, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan ditempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Berusia antara 5-18 tahun.

  2. Melakukan kegiatan atau berkliaran di jalanan.

  3. Penampilannya kebanyakan kusam.

  4. Pakaiannya tidak terurus.

  5. Dan mobilitasnya tinggi Pada awalnya ada dua kategori pengelompokan anak jalanan berdasarkan hubungan mereka dengan keluarga, yaitu children on the street dan children of the

  

street . Pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street atau

sering pula disebut dengan children from families of the street.

  1. anak-anak yang mempunyai kegiatan yang kuat Children on the street yakni

  dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan

  2. Children of the street yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan, baik

  secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi petemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

  3. Children in the street atau children from the families of the street yakni

  anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya akses pada tanggal 17 September).

  Berdasarkan hasil survei dari Departemen Sosial anak jalanan dikelompokkan kedalam 3 kategori yakni :

1. Anak jalanan yang hidup di jalan dengan kriteria :

a) Putus hubungan atau tidak bertemu dengan orang tuanya.

  b) Berada di jalan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja. Sisanya untuk menggelandang dan tidur.

  c) Tidak bersekolah lagi.

  d) Rata-rata berusia dibawah 14 tahun. Anak jalanan yang bekerja di jalanan dengan kriteria :

  a) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya.

  b) Berada di jalan 8-16 jam.

  c) Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, orangtua/saudaranya, umunya tinggal didaerah kumuh.

  d) Tidak bersekolah lagi.

  e) Pekerjaan : penjual koran, pemulung sampah, penyemir sepatu, dan lain-lain.

  f) Rata-rata usianya di bawah 16 tahun.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan dengan kriteria :

  a) Setiap hari bertemu dengan orang tuanya.

  b) Berada di jalan 4-6 jam.

  c) Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali.

  d) Masih bersekolah.

  e) Usianya rata-rata dibawah 14 tahun.

2.2.5 Indikator Anak Jalanan

  Adapun Indikator anak jalanan yakni : 1. Usia berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun.

  2. Intensitas hubungan dengan keluarga : berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari b) Frekuensi berkomunikasi dengan keluarga sangat kurang c) Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga

  3. Waktu yang dihabiskan dijalanan lebih dari 4 jam setiap hari.

  4. Tempat tinggal :

  a) Tinggal bersama orang tua b) Tinggal berkelompok dengan teman-temannya c) Tidak mempunyai tempat tinggal

  5. Tempat anak jalanan sering dijumpai di : pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat pembuangan sampah.

  6. Aktifitas anak jalanan : menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran / majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.

  7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok, modal majikan / patron, stimulant / bantuan.

  8. Permasalahan : korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas, ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal, ditolak masyarakat lingkungannya.

  9. Kebutuhan anak jalanan : aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan usaha, dengan orang tua keluarga dan masyaraka (Nurdin: 1989)

2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Anak Jalanan

  Secara umum ada 3 penyebab munculnya anak jalanan yaitu : 1.

  Tingkat Mikro (Immediate Causes) Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada tingkat mikro sebab yang bias diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:

  1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.

  2) Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga.

  3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan pemerintah. 4) Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua sudah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.

  2. Tingkat Messo (Underlying Causes) Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini yaitu faktor yang ada di masyarakat. Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi:

  1) Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang menyebabkan drop

  out dari sekolah.

  2) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.

  3) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.

  3. Tingkat Makro (Basic Causes) Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:

  1) Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang diakibatkan kesenjangan pembangunan desakota, kemudahan transportasi dan ajakan kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian dari mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke jalanan. alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih memguntungkan segelintir orang.

  3) Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk menjadi pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat untuk mendapatkan uang. 4) Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dam pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan).

  5) Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anakmenghadapi kesulitan.

  6) Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah- daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja.

2.2.7 Penanggulangan Anak Jalanan dalam Perspektif Pekerjaan Sosial

  Salah satu pemecahan masalah anak jalanan yang logis untuk diterapkan ketika pemerintah dalam kesulitan secara ekonomi, sosial maupun politik, adalah dengan pendekatan masyarakat kesejahteraan (welfare society) yang dikembangkan di dalam

  Pendekatan masyarakat kesejahteraan menganggap bahwa sumber utama pelayanan bagi anggota masyarakat adalah masyarakat itu sendiri di mana mereka hidup.

  Kekuata “self-help” adalah unsur utama dalam pendekatan ini. Program diarahkan terutama pada kelompok-kelompok keluarga yang memiliki hubungan kekeluargaan dalam lingkup masyarakat lokal. Kemampuan “self-help” atau kegotongroyongan untuk menolong diri mereka sendiri, pada setiap unit kelompok keluarga diperkuat dengan cara meningkatkan “coping capacities” (kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi masalah) dari masing-masing anggota, memperkuat relasi social di antara keluarga, dan memperkuat sumber yang dimiliki. Memperkuat akses mereka terhadap sumber-sumber kesempatan yang dimiliki dan memperkuat akses mereka terhadap kesempatan sumber- sumber serta sumber pelayanan yang ada di dalam masyarakat (khususnya yang di masyarakat lokal).

  Struktur ekonomi “self-subsistem” menjadi perhatian utama bagi model pengembangan masyarakat dengan pendekatan ini. Program ini dilakukan dengan mengutamakan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Pendekatan ini dilaksanakan di dalam model penanganan yang dikenal dengan model penanganan “community based” (penanganan berbasis masyarakat) atau “home based treatment” (penanganan yang dilakukan di rumah/keluarga masing-masing).

  Walaupun demikian, pendekatan-pendekatan klinis pun tidak bisa di tinggalkan karena selain persoalan mikro, juga banyak persoalan-persoalan yang perlu ditangani secara khusus. Karenanya, pelayanan-pelayanan kelompok dan perorangan juga masih perlu mendapatkan porsi yang seimbang. Pendekatan klinis seperti ini diterapkan dalam anak, dan sebagainya. Model “halfway houses” yang kemudian banyak dikenal dengan istilah pelayanan rumah singgah, dan model penanganan “institusional based/center based” atau lebih dikenal dengan pelayanan panti.

  Pada model penanganan yang bersifat street based, biasanya lebih banyak diarahkan pada pelayanan advokasi dan pendampingan anak. Sedangkan model penanganan “institusional based” diarahkan pada pelayanan pemeliharaan, provisi social, dan pelayanan konseling maupun pelayanan kelompok dalam rangka membantu anak keluar dari kesulita-kesulitan psikososial. Sementara penanganan model rumah singgah, lebih merupakan suatu penanganan pengalihan dari penanganan yang bersifat

  

street based kepada penanganan institusional based atau pelayanan transisi dari

institusional based ke model penanganan yang bersifat home based.

2.3 Program Kesejahteraan Sosial Anak

2.3.1 Pengertian Program

  Program adalah cara tersendiri dan khusus dirancang demi pencapaian suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program adalah unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti : 1.

  Adanya tujuan yang mau dicapai.

  2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan tersebut.

  3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan dengan prosedur yang harus dilewati.

  4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan.

  5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas

2.3.2 Pengertian Program Kesejahteraan Sosial Anak

  Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun social. Sementara usaha kesejahteraan anak adalah kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak (Undang-Undang Kesejahteraan Anak No.6 Tahun 1974).

  Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan

  2.3.3 Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak

  Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah terwujudnya pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud.

  2.3.4 Sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak

  Sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak yang akan dicapai dalam periode RPJM II (tahun 2010-2014) adalah : 1.

  Meningkatnya presentase anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk memperoleh akses pelayanan sosial dasar.

  2. Meningkatnya presentase orang tua/keluarga yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan perlindungan anak.

  3. Menurunya presentase anak yang mengalami masalah sosial.

  4. Meningkatnya lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan perlindungan terhadap anak.

  5. Meningkatnya Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan Sosial terlatih, yang memberikan pendampingan dibidang pelayanan 6.

  Meningkatnya peranan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dalam mensinergiskan PKSA dengan program kesejahteraan dan perlindungan anak yang bersumber dari APBD.

  7. Meningkatnya produk hukum pengasuhan dan perlindungan anak sebagai landasan hokum pelaksanaan PKSA.

2.3.5 Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak 1.

  Mengedepankan kemitraan dengan berbagai pihak dalam mewujudkan sistem kesejahteraan sosial anak yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan,

  2. Mengupayakan perluasan jangkauan layanan untuk seluruh anak yang mengalami masalah sosial,

  3. Mengedepankan pengembangan sistem pelayanan dan program kesejahteraan sosial yang melembaga dan professional,

  4. Menempatkan keluarga sebagai pusat pelayanan dalam rangka memperkuat tanggung jawab orang tua/keluarga dalam memberikan pengasuhan dan perlindungan bagi anak,

5. Mendorong peningkatan kemampuan dan keterlibatan masyarakat dalam upaya mensejahterahkan dan melindungi anak.

2.3.6 Persyaratan dan Kewajiban Penerima Layanan PKSA

  Sasaran penerima layanan PKSA : anak,orang tua/keluarga maupun lembaga kesejahteraan sosial yang menjadi mitra pendamping, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1.

  Adanya perubahan sikap dan perilaku social anak ke arah positif.

  2. Intensitas kehadiran anak dalam layanan sosial dasar dari berbagai organisasi/lembaga semakin meningkat.

  3. Intensitas kehadiran anak dalam kegiatan pengembangan potensi diri/kreativitas anak semakin meningkat.

  4. Tanggung jawab orang tua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak semakin meningkat.

  5. Peran Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang bermitra dengan Kementrian Sosial semakin efektif dalam mendampingi anak sehingga anak dapat terhindar dari penelantaran, eksploitasi, kekerasan dam diskriminasi.

2.3.7 Pendamping Program Kesejahteraan Sosial Anak

  Pendamping Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah pekerja sosial professional, tenaga kesejahteraan sosial anak, atau relawan sosial yang direkrut oleh dan bekerja untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), yang fungsinya adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta lingkungan komunitas/masyarakat.

  Tugas-tugas Pekerja Sosial Profesional pendamping PKSA adalah merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil pemberian pelayanan kesejahteraan sosial, antara lain : 1.

  Pendampingan terhadap anak, orang tua/keluarga dan komunitas yang menjadi saasaran/berada dalam jangkauan PKSA.

  2. Layanan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan tanggung jawab orang tua/keluarga dan penguatan dan penguatan peran LKSA.

  3. Melakukan verifikasi komitmen penerima manfaat PKSA sesuai persyaratan dan kewajiban yang telah ditetapkan pada setiap sub-program/klaster.

  4. Melaksanankan tugas-tugas professional dalam mendampingi sasaran PKSA.

  5. Melakukan advokasi social dalam rangka peningkatan kinerja PKSA kepada jaringan mitra kerja PKSA, pemerintah, pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan lembaga lembaga Nnegara lainnya.

  6. Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus.

  7. Membuat laporan pelaksanaan pendampingan pertriwulan, dan akhir tahun kontrak kerja, selain laporan penanganan kasus.

  Pekerja Sosial Profesional yang menjadi pendamping antara lain Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) yang merupakan petugas kemanusiaan di bidang pekerjaan social yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial atau Dinas/Instansi Sosial yang memiliki status kerja kontrak karya dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA Pusat) atau Dinas/Instansi Sosial Provinsi (PKSA Dekon). Kontrak karya dilakukan pertahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

  Persyaratan Satuan Bakti Pekeja Sosial yang menjadi pendamping PKSA, adalah 1. Pendidikan Diploma IV/Sarjana Pekerja Sosial/Kesejahteraan Sosial.

  2. Berusia maksimal 40 tahun pada 31 Desember.

  3. Warga Negara Republik Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan taat kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  4. Tidak berkedudukan sebagai CPNS/PNS/TNI/POLRI.

  5. Tidak berkedudukan sebagai anggota atau pengurus Partai Politik.

  6. Bebas dari narkotika dan zat adiktif lain.

  7. Mengisi formulir pendaftaran 8.

  Sehat Jasmani dan Rohani dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter pemerintah.

  9. Tidak sedang terikat kontrak kerja dengan pihak lain.

  10. Bersedia bekerja penuh waktu.

  Pelaksanaan seleksi dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Satuan Bakti Pekerja Sosial bekerja sama dengan Biro Organisasi Kepegawaian, Sekretariat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Perguruan Tinggi Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI).Seleksi didasarkan pada hasil Test Potensi

2.4 Kesejahteraan Sosial

  Walter A.Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan- kebutuhan keluarga dan masyarakat (Wibhawa, dkk. 2010:24)

  Bahkan karena begitu pentingnya upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, maka negara kita pun memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang “Kesejahteraan Sosial” yang memaparkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kubutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Beberapa hal dapat disimpulkan dari defenisi tersebut, antara lain : 1.

  Kesejahteraan sosial dipandang sebagai suatu tatanan masyarakat.

  2. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga negara untuk melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka.

  3. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung diantara setiap individu warga masyarakat dengan masyarakatnya.

  4. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar sosial budaya masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat Indonesia, dirumuskan dalam sila-sila Pancasila) (Wibhawa, dkk. 2010:28) Berdasarkan pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut diatas, maka tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya sejahtera, dan bahkan salah satu tujuan penyelenggaraan negara adalah ingin menyejahterahkan rakyatnya.

  Dengan melihat kondisi tersebut, maka upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dilakukan oleh semua pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.

2.5 Kerangka Pemikiran

  Anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat- tempat umum. Sebagian besar dari anak jalanan bertempat tinggal di pinggiran jalan, dan kolong jembatan, karena tidak mampu menyewa tempat tinggal. Hal ini mengidentikkan bahwa anak jalanan kurang mendapat perhatian yang melahirkan anggapan-anggapan negative terhadap mereka.

  Disamping mereka sebagai pemicu masalah di jalanan, tidak menutup kemungkinan pula bahwa mereka nantinya kelak menjadi generasi penerus bangsa ke arah yang lebih baik. Untuk itu Program Kesejahteraan Sosial Anak hadir untuk menjawab persoalan anak-anak jalanan khususnya. Program Kesejahteraan Sosial Anak merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak.

  Dalam pelaksanaan program ini perlu dilihat bagaimana respon anak jalanan yang merupakan sasaran dari program ini. Respon tersebut dapat dilihat dari wujud persepsi, sikap, dan partisipasi.

  Harapan melalui program ini fungsi sosial anak jalanan dapat meningkat diketahui dari perubahan sikap dan perilaku ke arah positif. Anak tidak melakukan aktivitas ekonomi lagi di jalanan, karena telah memiliki aktivitas yang lebih positif. Orang tua/keluarga melakukan pengasuhan secara bertanggung jawab. Orang tua/keluarga mengurus berbagai kebutuhan dasar anak dan memperjuangkn akses pelayanan sosial dasar.

  Bagan Alur Pikir Program Kesejahteraan Sosial Anak Anak Jalanan

  Respon Sikap Partisipasi Persepsi

  1. Pengertian

  2.Pengetahuan

  3.Pemahaman

  1. Penilaian

  2.Penolakan/penerima an

  

3.Mengharapkan/

menghindari

  1. Frekuensi Keterlibatan

  2. Peran serta

  3. Hasil yang diperoleh

2.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional

2.6.1 Defenisi Konsep

  Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang ahli peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep (Siagian, 2011;138). Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diingankan dan dimaksudkan si peneliti.

  Defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep,baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti. Untuk memfokuskan penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep yang akan digunakan sebagai berikut :

1. Respon adalah jawaban, balasan, atau tanggapan terhadap suatu fenomena tertentu.

  2. Anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum.

  3. Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan social guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak.

2.6.2 Defenisi Operasional

  Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari defenisi konsep. Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011;141).

  Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini dapat diukur melalui indikator sebagai berikut :

1. Persepsi masyarakat mengenai program PKSA yaitu :

  a. Pengetahuan masyarakat mengenai PKSA

  b. Pengertian masyarakat mengenai tujuan dan sasaran PKSA c. Pemahaman masyarakat tentang manfaat dari PKSA.

2. Sikap masyarakat terhadap program PKSA, yaitu :

  a. Penilaian masyarakat terhadap program PKSA

  b. Penilaian masyarakat tentang kelanjutan PKSA

  c. Penolakan atau penerimaan dari masyarakat terhadap program PKSA d. Mengharapkan atau menghindari kehadiran program PKSA.

3. Partisipasi masyarakat terhadap program PKSA, yaitu :

  a. Frekuensi keterlibatan dalam pelaksanaan

  b. Peran serta dalam kegiatan yang diselenggarakan lembaga penyelenggara PKSA c. Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan PKSA.