Pemanfaatan Tepung Ampas Kelapa (Cocos nucifera L.) Fermentasi Terhadap Performans Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih

TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Ampas Kelapa Sebagai Pakan Ternak
Kelapa (Cocos nucifera Lin) adalah komoditas sosial yang mudah tumbuh
di daerah tropis dan merupakan tanaman yang penting dan melibatkan jutaan
masyarakat tani di negara - negara Asia Pasifik. Pertanaman kelapa di Indonesia
mencapai luas 3.759.397 ha. Sekitar 92,40% diantaranya berupa kelapa dalam
yang diusahakan sebagai perkebunan rakyat, sedangkan kelapa hibrida baru
sekitar 4%. Oleh karena itu Indonesia disebut sebagai negara produsen kelapa
kedua setelah Philipina, tentu dilihat dari segi total areal maupun potensi
produksinya (Putri, 2010).
Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut 30 %, air 25 % daging buah 30 %
dan tempurung 15 % (Suhardiman, 1999).

Gambar 1. Komposisi Buah Kelapa

Usaha budidaya tanamam kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan
untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan
hasil samping berupa ampas kelapa (Miskiyah et al.,2006).
Ampas kelapa merupakan hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging
buah kelapa segar atau kering. Ampas kelapa pada umumnya digunakan sebagai
bahan campuran makanan ternak. Potensi ampas kelapa dapat mencapai 34-42 %


Universitas Sumatera Utara

dari keseluruhan buah kelapa. Ampas kelapa mengandung protein dan lemak
(SNl, 1996).
Santan adalah cairan yang diperoleh dengan melakukan pemerasan
terhadap daging buah kelapa parutan yang digunakan untuk mengolah berbagai
masakan. Dengan cara perasan, diperoleh santan sedikit lebih daripada 50% berat
daging buah kelapa parutan mula-mula (Suhardikono, 1995).

Santan
kelapa

Daging
Buah

Ampas
kelapa
Tempurung
Kelapa

Gambar 2. Buah kelapa

Parutan daging buah

Ditambah Air

Diperas hingga
keluar santan

Santan

Ampas

Gambar 3. Alur perolehan ampas kelapa (Putri, 2010)

Ampas kelapa merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang
sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak termasuk kelinci,
karena ampas kelapa masih mudah didapatkan dari sisa pembuatan minyak kelapa
tradisional dan limbah pembuatan virgin coconut oil (VCO). Menurut


Universitas Sumatera Utara

Purawisastra (2001), menyatakan bahwa ampas kelapa mengandung serat
galaktomanan sebesar 61 %. Galaktomanan adalah polisakarida yang terdiri dari
rantai mannose dan galaktosa, senyawa ini bermanfaat bagi kesehatan karena
mengandung serat dan polisakarida, juga berperan memicu pertumbuhan bakteri
usus yang membantu pencernaan (Winarno, 1992).
Untuk pengolahan minyak kelapa cara basah, dari 100 butir kelapa
diperoleh ampas 19,50 kg. Ampas kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan tepung. Tepung kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menghaluskan daging ampas kelapa (Yulvianti et al., 2015).
Balasubramaniam (1976), menyatakan bahwa analisis ampas kelapa kering
(bebas

lemak)

mengandung 93% karbohidrat

yang


terdiri

atas:

61%

galaktomanan, 26% manosa dan 13% selulosa. Sedangkan Bonzon andVelasco
(1982), menyatakan bahwa tepung ampas kelapa mengandung lemak 12,2%,
protein 18,2%, serat kasar 20%, abu 4,9%, dan kadar air 6,2%.
Hasil analisa yang dilakukan oleh Miskiyah et al.(2006), menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan kadar protein ampas kelapa setelah fermentasi dari
11,35% menjadi 26,09% atau sebesar 130% dan penurunan kadar lemak sebesar
11,39%. Kecernaan bahan kering dan bahan organik meningkat masing-masing
dari 78,99% dan 98,19% menjadi 95,1% dan 98,82%.
Tepung ampas kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menghaluskan ampas kelapa yang telah dikeringkan. Tepung ampas kelapa dapat
dibuat dari kelapa parut kering yang dikeluarkan sebagian kandungan lemaknya
melalui proses pressing. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari proses ini selain
diperoleh tepung kelapa juga diperoleh minyak yang bemutu tinggi (Rony, 1993).


Universitas Sumatera Utara

Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Taksonomi kelinci yaitukingdom: Animalia, filum : Chordata, subfilum:
Vertebrata,

kelas:

Mamalia,

subfamili:

Leporine,

genus:

ordo:
Lepus,

Lagomorpha,

Oritolagus,

famili:
spesies:

Leporidae,
Lepus

spp,

Orictolagus spp, Cuniculus (Susiloriniet al., 2007).

Gambar 4. Kelinci Rex

Kelinci di Indonesia dapat diternakkan atau dikembangkan dengan baik
didaerah ketinggian 500 meter dari permukaan laut dan suhu udara sejuk, berkisar
antara 15-180C (60-850F). Temperatur yang ideal pada pemeliharaan kelinci
adalah 15-160C tetapi pada temperatur antara 10-300C ternak masih dapat hidup
dan berkembang biak dengan baik (Rukmana, 2005)
Kelinci merupakan ternak yang cocok dipelihara di negara berkembang

dan mulai memanfaatkan kelinci sebagai sumber daging. Selain itu, kelinci juga
memiliki potensi: 1) ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak
ruang, 2) tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang,
3) umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang
tinggi, 5) masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih)
(El-Raffa, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis rex
pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari
negara Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919.
Cheeke et al, (1987), menambahkan bahwa bulu kelinci rex sifatnya halus,
panjangnya seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan
beragam sehingga sangat cocok untuk dijadikan kulit bulu (fur). Kelinci rex juga
baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh
medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula
untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Umur dewasa kelamin kelinci rex 4-6
bulan (Sarwono, 2007).
Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang mempunyai

kandungan nutrisi yang cukup tinggi.Daging kelinci mempunyai serat yang halus
dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat digolongkan kedalam
golongan daging berwarna putih.Daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih
baik (Rokhmani, 2005).
Jika dibandingkan dengan daging ternak lainnya, daging kelinci
mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah, tetapi proteinnya lebih tinggi.
Kandungan lemak kelinci hanya sebesar 8%, sedangkan daging ayam 12%,
daging sapi 24%, daging domba atau kambing 14%, dan daging babi 21%. Kadar
kolestrol daging kelinci sekitar 164 mg/100 g, sedangkan daging ayam, daging
sapi, daging domba, dan daging babi berkisar 220-250 mg/g daging. Kandungan
protein daging kelinci mencapai 21% sementara ternak lain hanya 17-20%
(Masanto dan Agus, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Sistem Pencernaan Kelinci
Ternak kelinci dikenal sebagai ternak herbivora non ruminansia
(pseudoruminansia) yang memiliki saluran pencernaan yang dapat memfermentasi
pakan yang dikonsumsi sehingga dapat memanfaatkan hijauan dan limbah
pertanian secara efisien namun demikian perlu dilakukan pengawasan dalam

pemberian pakan terhadap dampak akhirnya. Kualitas pakan tergantung pada
komposisi nutrisi yang terkandung didalamnya terutama terhadap bahan kering,
protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan tingkat kecernaan sedangkan kuantitas
pakan dilihat dari mudah didapat dan bersifat ekonomis (Fiberty, 2002).
Kemampuan kelinci mencerna serat kasar dan lemak bertambah setelah
kelinci berumur 5-12 minggu. Kelinci menfermentasikan pakan diusus
belakangnya. Fermentasi hanya terjadi di caecum (bagian pertama usus besar),
yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaanya
(Sarwono, 2001).

Gambar 5. Sistem Pencernaan Kelinci

Kelinci adalah ternak herbivora nonruminansiayang mempunyai lambung
tunggaldengan pembesaran unik di bagian caecum. Bagian alat pencernaan ini
berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai

hewan

ruminansia semu (pseudo-ruminant). Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy,


Universitas Sumatera Utara

yaitu kelinci membuang feses dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses
kering keras dan juga feses lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan
pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci
langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar
tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan
berlendir mengandung

banyak

vitamin,

dan

nutrien

seperti

riboflavin,


sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin. Dengan memakan
kembali fesesnya, kelinci tidak akan kekurangan vitamin dan nutrien karena isi
saluran pencernaan berdaur ulang kembali (Anon, 2011).

Kebutuhan Nutrisi Kelinci(Oryctolagus cuniculus)
Menurut Cheeke et al. (1987), kebutuhan protein kelinci berkisar antara
12-18%, tertinggi pada fase menyusui (18%) dan terendah pada dewasa (12%),
kebutuhan serat kasar induk menyusui, bunting dan muda (10-12%), kebutuhan
serat kasar kelinci dewasa (14%) sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode
pemeliharaan tidak berbeda (2%) yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Nutrient
Digestible
energy
(kcal/kg)
TDN (%)
Serat Kasar (%)
Protein Kasar (%)
Lemak (%)
Ca (%)
P (%)
Metionin + Cystine
Lysin
Sumber : NRC (1977)

Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Pertumbuhan Hidup Pokok
Bunting

Laktasi

2500

2100

2500

2500

65
10-12
16
2
0,45
0,55
0,6
0,65

55
14
12
2
-

58
10-12
15
2
0,40

70
10-12
17
2
0,75
0,5
0,6
0,75

Universitas Sumatera Utara

NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500
kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat kasar (SK) berkisar
antara 10-12 %, calsium (Ca) 0,4% dan posfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong.
Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan
oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian
pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan
bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci yang
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Status
Muda
Dewasa
Bunting
Menyusui dengan
anak 7 ekor

Bobot Badan (BB)
(kg)
1,8-3,2
2,3-6,8
2,3-6,8
4,5

Kebutuhan Bahan Kering
(% BB)
(g/ekor/hari)
6,2-5,4
112-173
4,0-3,0
92-204
5,0-3,7
115-251
11,5

520

Sumber : NRC (1977) dalam Ensminger et al., (1991).

Pakan kelinci pada umumnya berupa umbi-umbian dan sayur-mayur serta
tumbuhan lain. Kelinci merupakan hewan herbivora yang rakus. Meskipun
demikian, tetap harus memberi makanan kelinci secara teratur sesuai pola
pemberian pakan. Pakan yang diberikan pun harus dipilih dan diperhitungkan agar
kelinci tidak mengalami gangguan pencernaan. Untuk peningkatan bobot kelinci
pedaging dapat sesuai dengan yang diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar
seimbang pakan hijauan dan konsentrat. Biasanya pada peternakan kelinci
intensif, hijauan diberikan sebanyak60-80% sedangkan konsentrat sebanyak
20-40% dari total jumlah pakan yang diberikan (Priyatna, 2011).
Konsentrat juga diperlukan dalam pemeliharaan kelinci. Dimana berfungsi
untuk meningkatkan nilai gizi yang diberikan dan mempermudah penyediaan

Universitas Sumatera Utara

makanan. Konsentrat sebagai ransum diberikan sebagai pakan penguat, kalau
makanan pokoknya hijauan. Konsentrat untuk pakan kelinci dapat berupa pelet
(makanan buatan dari pabrik), bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah,
ampas tahu dan gaplek (Prasetyo, 2002).

Teknologi Pengolahan Pakan Kualitas Rendah
Pada

umumnya

limbah

pertanian

mempunyai

sifat

sebagai

berikut : 1) nilai nutrisi rendah terutama protein dan kecernaannya, 2) bersifat
bulky sehingga biaya angkutan menjadi mahal karena membutuhkan tempat yang
lebih banyak untuk satuan berat tertentu, 3) kelembabannya tinggi dan
menyulitkan penyimpanan, 4) sering terdapat komponen yang kurang disukai
ternak dan mengandung racun, 5) selain itu merupakan polusi yang potensial dan
penampilannya kurang menyenangkan (Devendra, 1978).
Perlakuan yang paling umum dilakukan terhadap limbah yang dapat
digunakan untuk bahan pakan ternak diantaranya berupa perlakuan fisik, kimia,
biologis dan atau kombinasi perlakuan fisik-kimia atau fisik-biologis. Perlakuan
secara fisik berupa pengeringan, penggilingan dan pemotongan, pengukusan,
perendaman dan pembuatan pelet. Perlakuan secara kimia umumnya dilakukan
meningkatkan kecernaan dan konsumsi pakan. Perlakuan kimiawi dikelompokkan
menjadi tiga yaitu secara alkali, asam dan oksidas (Marzuki, 2013).
Aplikasi perlakuan secara biologis dalam pengolahan pakan bertujuan
untuk mengubah struktur fisik bahan, pengawetan dan mengurangi antinutrisi.
Enzim yang digunakan seperti selulase, hemiselulase dan enzim pemecah lignin,
jamur ligninolitik, bakteri dan jamur rumen. Biokonversi lignoselulosa dapat

Universitas Sumatera Utara

dikelompokkan dalam dua model yaitu fermentasi media padat dan cair
(Marzuki, 2013).
Enzim selulase termasuk sistem multienzim yang terdiri dari tiga
komponen yaitu endoglukanase, yang mengurai polimer selulosa secara random
untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi,
eksoglukanase yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non-pereduksi
untuk menghasilkan selulosa ikatan pendek atau selobiosa, dan β-glukosidase
yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Ikram et al., 2005).

Gambar 6. Proses pemecahan selulosa

Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam
hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghasilkan asam lemak
bebas dan gliserol. Enzim lipase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis
rantai panjang trigliserida. Enzim ini memiliki potensi untuk digunakan
memproduksi asam lemak (Dali et al., 2009).

Gambar 7. Pemecahan trigliserida oleh enzim lipase

Universitas Sumatera Utara

Fermentasi.
Dalam proses fermentasi, mikroorganisme harus mempunyai 3 (tiga)
karakteristik penting yaitu: 1) mikroorganisme harus mampu tumbuh dengan
cepat dalam suatu substrat dan lingkungan yang cocok untuk memperbanyak diri.
2) mikroorganisme harus memiliki kemampuan untuk mengatur ketahanan
fisiologi dan memilki enzim-enzim esensial yang mudah dan banyak. 3) kondisi
lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhan harus sesuai. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah
didapat, sifat fermentasi dan faktor harga (Suprihatin, 2010).
Pakan tanpa fermentasi yang diberikan pada ternak akan menghasilkan
daya cerna protein yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang
difermentasikan terlebih dahulu. Pakan yang difermentasi cukup palatabel dan
disukai ternak. Fermentasi menghasilkan produk dengan rasa, aroma dan tekstur
yang lebih disukai oleh ternak (Rasyaf, 1997).
Peningkatkan kualitas zat makanan dan daya cerna pada ampas kelapa
maka dilakukan proses fermentasi. Dalam melakukan proses fermentasi aktifitas
mikroorganisme dipengaruhi oleh pH, suhu, komposisi zat makanan dan adanya
zat inhibitor (Raudati et al., 2001).
Tabel 3. Kandungan kimiawi ampas kelapa tanpa fermentasi
fermentasi kapang Aspergillus niger dan Ragi Tape
Zat Nutrisi
BK (%)
PK (%)
SK (%)
LK (%)
ME (kkal/kg)

Tanpa Fermentasi
90,12
2,10
26,31
40,12
4696

Kandungan (%)
Fermentasi
A.niger
94,74
5,59
23,74
16,07
2953

dan dengan

Fermentasi
Ragi Tape
94,05
4,54
24,17
18,34
4548

Sumber : Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Loka Penelitian Kambing Potong (2016)

Universitas Sumatera Utara

Aspergillus niger
Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia
dan efisien penggunaannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan
substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah didapat, sifat fermentasi,
harga dan faktor harga (Suprihatin, 2010).
Aspergillus niger salah satu spesies yang paling umum dan mudah
diidentifikasi dari genus Aspergillus, family Moniliaceae, ordo Monoliales dan
kelas fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat diantaranya
digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan
pembuatan beberapa enzim seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan
sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 350C-370C (optimum),
60C-80C (minimum), 450C-470C (maksimum) dan memerlukan oksigen yang
cukup (aerobik) (Media Komunikasi Permi Malang, 2007).
Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim-enzim yang dapat membantu
pencernaan seperti selulase, amilase, protease, fitase, dan mananase yang dapat
membantu mencerna makanan ternak. Dengan demikian maka Aspergillus niger
merupakan organisme proteolitik yang dapat mendegradasi serat kasar dan
menghasilkan enzim protease (Erika, 2010).
Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa penggunaan Aspergillus
niger dalam proses fermentasi adalah yang terbaik. Hasil penelitian Mirwandhono
dan Siregar (2004),tentang pemanfaatan mikroba Aspergillus niger dalam
prosesfermentasi limbah sawit (bungkil inti dan limbah sawit) mampu
meningkatkan kadar protein dari 15,40%menjadi 23,30%.Miskiyahet al.

Universitas Sumatera Utara

(2006),melakukan penelitian ampas kelapa dengan Aspergillus niger dapat
meningkatkan protein sebanyak 130% dan lemak turun 11,39%.
Bahan pakan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai
nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya antara lain meningkat protein
kasarnya dan menurun kandungan serat kasarnya. Hal ini disebabkan karena
mikrobia bersifat memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat
yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi juga mensintesa beberapa
vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A (Winarno et al., 1980).

Ragi Tape
Menurut Merican dan Queeland (2004), ragi tape merupakan kultur starter
kering yang terbuat dari campuran tepung beras, ramuan bumbu, air dan ekstrak
gula tebu.
3x106-3x107
Kofli

dan

Ragi

tape mengandung sekitar 8x107-3x108

sel/g
Dayaon

yeast
(2010),

103

sel/g

mengatakan

bahwa

dan

sel/g kapang,

bakteri.
ragi

tape

Selanjutnya
merupakan

kultur kering yang terdiri konsorsium mikroba berupa yeast atau khamir, kapang
(Mucor, Rhizopus dan Amylomyces) dan bakteri dengan jenis cocci.
Ragi terdiri dari sejumlah kecil enzim, termasuk protease, lipase, invertase,
maltase dan zymase. Enzim yang penting dalam ragi adalah invertase, maltase dan
zymase.Enzim invertase dalam ragi bertanggung jawab terhadap awal aktivitas
fermentasi. Enzim ini mengubah gula (sukrosa) yang terlarut dalam air menjadi gula
sederhana yang terdiri atas glukosa dan fruktosa. Gula sederhana kemudian dipecah
menjadi karbondioksida dan alkohol. Enzim amilase yang terdapat dalam tepung
mampu memproduksi maltose yang dapat dikonsumsi oleh ragi sehingga fermentasi
terus berlangsung (Waluyo, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri
dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein
yakni sekitar 40-50%, jumlah protein dari ragi tersebut tergantung dari jenis bahan
penyusunnya (Susanto dan Saneto, 1994).

Teknologi Pakan Berbentuk Pelet
Pemberian pakan bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi
pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001).
Kualitas pelet dapat diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan
daya tahan pelet dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat
fisik dan kimia bahan pakan (Thomas dan Van, 1997).
Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan
dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan
ternak tidak mempunyai kemampuan untuk menyortir pakan. Pelet bersifat keras
dan kuat, sehingga lebih disukai oleh kelinci, dibandingkan dengan pakan yang
berukuran partikel halus. Selain itu, pakan yang berukuran partikel halus akan
meningkatkan retensi makanan dalam saluran pencernaan dan dapat menyebabkan
radang usus (Cheeke,1994).
Hasil penelitian Nugroho et al. (2012),mengatakan bahwa kelinci lebih
menyukai konsentrat dalam bentuk pelet daripada mash. Pertumbuhan kelinci
yang diberi konsentrat lebih baik daripada yang diberikan pakan mash.

Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan

sejumlah

ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan

Universitas Sumatera Utara

jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum
dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara
pemberian (Anggorodi, 1995).
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin,
temperatur

lingkungan,

keseimbangan

hormonal

dan

fase

pertumbuhan

(Piliang dan Djojosoebagio, 2000).
Menurut Blakely dan Bade (1992), jumlah pakan kelinci tiap harinya
bervariasi berdasarkan ukuran atau besarnya kelinci serta tahapan atau tingkatan
produksinya. Tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor eksternal
yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi ternak sendiri yang meliputi
temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis kelamin dan
kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan produksi
(Kartadisastra, 1994).
Dari hasil penelitian Bamikole dan Osemwenkhoe (2004), yang
menggunakan objek kelinci jenis dwarf wallet dan tanpa pemilihan jenis kelamin
dengan pemberian tepung semak putih (Chromolaena odorata) menghasilkan
tingkat

konsumsi

yang

semakin

menurun

yaitu

dari

41,42

sampai

26,72 g/ekor/hari.

Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan (PBB) dapat diketahui dengan pengukuran
kenaikan berat badan yang dengan mudah dapat dilakukan lewat penimbangan
berulang-ulang serta dicatat pertambahan bobot badan tiap hari, minggu, bulan,
dan sebagainya. Kenaikan bobot badan pertumbuhan biasanya diketengahkan

Universitas Sumatera Utara

sebagai

pertambahan

bobot

badan

harian

atau

Average

Daily

Gain

(Tillman, 1998).
Menurut Rizqiani (2011) menyatakan bobot awal kelinci mempengaruhi
bobot hidup kelinci, karena ketika bobot awalnya lebih tinggi maka
memungkinkan

hasil

bobot

akhirnya

lebih

tinggi

juga.

Menurut

Ali dan Badriyah (2010) kebutuhan nutrien bagi ternak tergantung dari jenis
ternak, umur, bobot badan, fase tumbuh, produksi serta lingkungan pemeliharaan.
Semakin besar bobot badan, produksi dan pertumbuhan cepat maka kebutuhan
nutrien lebih banyak.
Bobot badan ternak berbanding lurus dengan tingkat dari konsumsi
pakannya. Hal itu berarti bahwa konsumsi pakan akan memberikan gambaran
nutrient yang didapat oleh ternak sehingga mempengaruhi pertambahan bobot
badan ternak (Kartadisastra, 1997).
Dari hasil penelitian Sari (2010), dengan menggunakan kulit nenas dalam
ransum serta menggunakan objek kelinci jenis new zealand white jantan
menghasilkan rataan pertambahan bobot badan sebesar 11,69 g/ekor/hari.

Konversi Ransum
Konversi ransum sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna, jenis
kelamin, bangsa, kualitas dan kuantitas ransum dan faktor lingkungan. Efisiensi
pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit yang dihasilkan
(pertambahan bobot badan) dengan jumlah unit konsumsi ransum persatuan waktu
yang sama (Lubis, 1993).
Konversi

ransum

tergantung

kepada

:

(1)

kemampuan

ternak

untukmencerna zat makanan, (2) kebutuhan ternak akan energi dan protein

Universitas Sumatera Utara

untukpertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh lainnya, (3) jumlah makanan
yanghilang melalui metabolisme dan kerja yang tidak produktif dan (4) tipe
makananyang dikonsumsi, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
ransumadalah

genetik, umur, berat badan, tingkat konsumsi makanan,

pertambahan bobotbadan perhari, palatabilitas dan hormon (Campbell dan Lasley,
1985).
Keseimbangan zat gizi pada pakan dengan yang dibutuhkan oleh ternak
menentukan baik atau tidak mutu pakan. Baik tidaknya mutu pakan ditentukan
oleh keseimbangan zat gizi pada pakan yang dibutuhkan oleh tubuh ternak.
Ternak akan mengkonsumsi pakan secara berlebihan untuk mencukupi
kekurangan zat yang diperlukan apabila pakan kekurangan salah satu zat gizinya
(Sarwono, 1996).
Menurut Rasyid (2009), megatakan bahwa rataan konversi yang tinggi
disebabkan oleh rataan konsumsi yang rendah yang menyebabkan bobot badan
yang rendah. Dalam penelitian Sari (2010) dengan menggunakan kelinci new
zealand white menghasilkan rataan konversi sebesar 8,53.

Universitas Sumatera Utara