Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Adas Manis (Foeniculum vulgare Mill.) Pada Mencit

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Habitat
Tumbuhan adas manis (Foeniculum vulgare Mill.) berasal dari Eropa
Selatan dan Asia, karena manfaatnya kemudian banyak di tanam di Indonesia,
India, Argentina, Eropa dan Jepang. Tanaman ini dibudidayakan untuk diambil
buahnya. Di Indonesia tanaman adas digunakan untuk bumbu atau tanaman obat.
Tumbuhan adas banyak ditemukan di daerah tropika, tumbuh di dataran rendah
sampai ketinggian 1800 m di atas permukaan laut, tetapi akan tumbuh lebih baik
pada dataran tinggi (Dalimartha, 1999).
2.1.2 Morfologi
Tumbuhan adas manis merupakan tumbuhan perdu, tahunan dan ketinggian
lebih kurang 2 m, batang beralur, tumbuh tegak dan merumpun. Satu rumpun
biasanya terdiri dari 3-5 batang. Batang hijau keputih-putihan, beralur, beruas,
berlubang, bila memar baunya wangi. Daun berseling, majemuk menyirip ganda
dua dengan sirip-sirip yang sempit. Bentuk daun seperti jarum, ujung dan pangkal
runcing, tepi rata. Bunga kecil berwarna kuning, tersusun sebagai bunga payung
majemuk. Perbungaan terdiri dari 6-40 gagang bunga, panjang ibu gagang bunga
5-10 cm, panjang gagang bunga 2-5 mm, mahkota berwarna kuning, keluar dari

ujung batang. Buah lonjong, berusuk, panjang 6-10 mm, lebar 3-4 mm, masih
muda berwarna hijau setelah tua berwarna cokelat agak hijau atau cokelat agak
kuning sampai sepenuhnya berwarna cokelat. Warna buah adas berbeda-beda
tergantung negara asalnya. Buah yang sudah matang mempunyai bau khas

Universitas Sumatera Utara

aromatik. Biji adas bentuknya bulat dan keras, warna cokelat kekuningan dan
dalam jumlah yang banyak (Depkes RI, 2001).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Tumbuhan adas manis memiliki sistematika sebagai berikut (Depkes RI,
2001):
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae


Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Umbellales

Suku

: Umbelliferae

Marga

: Foeniculum

Jenis

: Foeniculum vulgare Mill.


2.1.4 Nama lain
Tumbuhan adas manis memiliki nama lain yaitu Anethum foeniculum clairv.,
Foeniculum azoricum Mill. (Janwal, et al., 2013), dengan nama daerah das pedas
(Aceh), adeh manih (Minangkabau), hades (Sunda), adas, adas londa, adas landi
(Jawa), adhas (Madura), paapang, paampas (Menado), popaas (Alfuru), denggudenggu (Gorontalo), papaato (Buol), porotomu (Baree), adasa, rempasu (Makasar),
adase (Bugis), kumpasi (Sangir Talaut), Adas (Bali) (Dalimartha, 1999).
Nama asing adalah Hsiao hui (Cina), Mellet karee (Thailand), Jintan manis
(Malaysia), Madhurika (India), Fennel, Common fennel, Sweet fennel, Fenkel,
Spigel (Inggris) (Nuris, 2011).
2.1.5 Khasiat
Tumbuhan adas manis digunakan sebagai obat sakit perut, sakit kuning,
perangsang nafsu makan, sesak nafas, batuk berdahak, nyeri haid, haid tidak

Universitas Sumatera Utara

teratur, menambah ASI, mengatasi susah tidur, pembengkakan saluran sperma,
penimbunan cairan dalam kantung buah zakar, rematik, keracunan tumbuhan obat
dan jamur (Nuris, 2011). Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap buah adas
manis antara lain, sebagai antijamur (Singh, et al., 2005), hipolipedimia
(Oulmouden, et al., 2014), antibakteri, antioksidan, antidiabetes (Rather, et al.,

2012), antiinflamasi (Nassar, et al., 2010), analgetik, antipiretik dan diuretik
(Tanira, et al., 1996).
2.1.6 Kandungan kimia
Buah adas manis (Foeniculum vulgare Mill.) mengandung metabolit
sekunder golongan alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, steroid/terpenoid dan
tannin (Chatterjee, et al., 2012). Buah adas manis mengandung tidak kurang dari
1,40% minyak atsiri yang mengandung transanethole, fenchone, estragole (Ditjen
POM RI, 2008; Rather, et al., 2012).

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.
Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM RI, 2000).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia
nabati atau hewani menurut cara yang cocok di luar pengaruh cahaya matahari
langsung (Ditjen POM RI, 1979). Tujuan ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau


Universitas Sumatera Utara

memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan
(Syamsuni, 2006).
Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian
antara lain yaitu:
a. Cara dingin
i. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan
remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM RI, 2000).
Maserasi dilakukan dengan cara masukkan 10 bagian simplisia atau
campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana,
tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari
secukupnya hingga dipreoleh 100 bagian. Dipindahkan ke dalam bejana tertutup,
biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan dan
saring (Ditjen POM RI, 1979).
ii. Perkolasi

Perkolasi adalah suatu proses penyarian simplisia menggunakan alat yang
disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan
terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan. Prosesnya terdiri dari
tahapan pengembangan bahan, perendaman antara, perkolasi sebenarnya
(penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Ditjen POM RI, 2000).
Prosedur perkolasi yaitu 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan
derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan dibasahi cairan

Universitas Sumatera Utara

penyari, dimasukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama 3 jam.
Massa dipindahkan ke dalam perkolator sambil tiap kali di tekan hati-hati, dituangi
dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas
simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama
24 jam. Cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan

1 ml per menit, cairan

penyari berulang-ulang ditambahkan secukupnya sehingga selalu terdapat selapis
cairan penyari di atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian perkolat. Massa

diperas, cairan perasan dicampurkan ke dalam perkolat, ditambahkan cairan
penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Cairan dipindahkan ke dalam
bejana, ditutup, dibiarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk, terlindung cahaya
dan dienaptuangkan atau disaring (Ditjen POM RI, 1979).
b. Cara panas
i. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi
menuju pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM RI, 2000).
ii. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu
baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel
(Ditjen POM RI, 2000).
iii. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50°C (Ditjen POM RI, 2000).

Universitas Sumatera Utara


iv. Infudasi
Infudasi adala proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit (Ditjen POM RI, 2000).
v. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM RI, 2000).

2.3 Biologi Mencit
Mencit termasuk mamalia pengerat (rodensia) merupakan salah satu hewan
percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Hewan ini dinilai cukup efisien
ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu
kebuntingan yang singkat dan banyak memilki anak perkelahiran. Mencit
mempunyai sifat-sifat produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia besar
serta memiliki siklus estrus yang pendek (Malole dan Pramono, 1989). Mencit dan
tikus

putih

memiliki


banyak

data

toksikologi,

sehingga

mempermudah

membandingkan toksisitas zat - zat kimia (Lu, 1995). Sistem taksonomi mencit
menurut Malole etal (1989) adalah:
Divisi

: Chordata

Subdivisi

: Vertebrata


Kelas

: Mamalia

Bangsa

: Rodentia

Suku

: Muridae

Marga

: Mus

Jenis

: Mus musculus


Universitas Sumatera Utara

Penelitian dalam bidang toksikologi dan farmakologi memerlukan
serangkaian percobaan untuk mengetahui tingkat toksisitas dan keamanan obat.
Penggunaan berbagai tingkat dosis obat terhadap hewan percobaan dilakukan
untuk mendapatkan dosis terbesar yang tidak memberikan efek merugikan. Respon
berbagai hewan percobaan terhadap uji toksisitas berbeda-beda karena kepekaan
terhadap zat toksik antara individu sejenis maupun berbeda jenis dapat bervariasi.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi, fisiologis, variasi dalam sifat
keturunan, umur dan kondisi tubuh individu dalam satu jenis (Koeman, 1987).

2.4 Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.
Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia. Uji toksisitas
menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat adanya reaksi
biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil
uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan
suatu sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas
relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia
(BPOM, RI., 2014).
1. Uji toksisitas akut oral
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang
diberikan secara oral dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan

Universitas Sumatera Utara

dalam waktu 24 jam. Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok, kemudian diamati adanya efek toksik dan kematian. Hewan
yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi
untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas (BPOM, RI., 2014).
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut sebenarnya bukan hanya untuk
menetukan dosis letal 50% melainkan juga untuk mengetahui mekanisme dan
target organ dari zat toksik yang diuji, tetapi sangat luas yaitu meliputi:
i.

Menentukan range dosis (interval dosis) untuk uji berikutnya (uji
farmakologi, toksisitas subkronis dan toksisitas kronis).

ii.

Untuk mengklasifikasikan zat uji, apakah kategori praktis tidak toksik, super
toksik atau yang lain, sebagaimana tabel dibawah.

Tabel 2.1 Klasifikasi toksisitas sediaan uji (BPOM, RI., 2014)
Tingkat toksisitas
LD50 oral (mg/kg bb)
Klasifikasi
1
15000
Relatif tidak membahayakan
Sumber: BPOM, RI., 2014
iii. Mengidentifikasikan kemungkinan target organ atau sistem fisiologi yang
dipengaruhi.
iv. Mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek seperti perubahan
perilaku, koma dan kematian.
v. Mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat untuk
membantu diagnosis adanya kasus keracunan.
vi. Untuk memenuhi persyaratan, jika zat uji dikembangkan menjadi obat.

Universitas Sumatera Utara

vii. Mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, cara pemberian dan faktor
lingkungan terhadap toksisitas suatu zat (Priyanto, 2009).
LD50 adalah besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50% dari hewan
yang dicoba dalam jangka waktu tertentu. Hal ini memberikan gambaran besarnya
daya racun suatu zat; makin kecil LD50, maka makin besar daya racun suatu zat,
begitu juga sebaliknya (Elya, 2010).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis
yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu yang satu dengan individu
yang lain dalam satu jenis. Faktor tersebut antara lain (Retnomurti, 2008):
i. Spesies, strain dan keragaman individu
Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan
detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan
bioaktivasi dan toksikasi suatu zat.
ii. Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan
oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem
hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan
kepekaan terhadap suatu toksikan.
iii. Umur
Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi
terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal
belum sempurna. Pada hewan yang tua kepekaan individu meningkat karena
fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun.
iv. Berat badan
Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai

Universitas Sumatera Utara

LD50 yang berbeda pula, semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang
diberikan semakin besar.
v. Cara pemberian
Lethal dosis juga dapat dipengaruhi oleh cara pemberian. Pemberian obat
peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau
toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi penyerapan di
saluran cerna sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme di dalam tubuh.
vi. Faktor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain
temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperatur
suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.
vii. Kesehatan hewan
Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu
toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan
lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda
dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat.
viii. Diet
Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50.
Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan.
2. Uji toksisitas subkronis oral
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan.

Universitas Sumatera Utara

Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok
satelit untuk melihat adanya efek tertunda atau efek yang bersifat reversibel.
Selama waktu pemberian sediaan uji hewan harus diamati setiap hari untuk
menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian
sediaan uji bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi dan
organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi.
Semua hewan yang masih hidup pada akhir periode pemberian sediaan uji
diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ dan jaringan, pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi.
Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi
adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang
dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
(No Observed Adverse Effect Level / NOAEL) dan mempelajari adanya efek
kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (BPOM, RI., 2014).
3. Uji toksisitas kronis oral
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas
subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan. Tujuan
dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah
pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang dan untuk
menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL). Uji

Universitas Sumatera Utara

toksisitas kronis harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh
informasi toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, fisiologi, hematologi,
biokimia klinis dan histopatologi (BPOM, RI., 2014).
4. Uji teratogenisitas
Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi
adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian sediaan uji selama masa
pembentukan organ fetus (masa organogenesis). Informasi tersebut meliputi
abnormalitas bagian luar fetus (morfologi), jaringan lunak serta kerangka fetus.
Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis pada beberapa kelompok hewan bunting selama paling sedikit masa
organogenesis dari kebuntingan, satu dosis per kelompok. Satu hari sebelum waktu
melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus
(BPOM, RI., 2014).
5. Uji sensitisasi kulit
Uji sensitisasi kulit adalah suatu pengujian untuk mengidentifikasi suatu zat
yang berpotensi menyebabkan sensitisasi kulit. Prinsip uji sensitisasi kulit adalah
hewan uji diinduksi dengan dan tanpa Freund’s Complete Adjuvant (FCA) secara
injeksi intradermal dan topikal untuk membentuk respon imun, kemudian
dilakukan uji tantang (challenge test). Tingkat dan derajat reaksi kulit dinilai
berdasarkan skala Magnusson dan Kligman (BPOM, RI., 2014).
6. Uji iritasi mata
Uji iritasi mata adalah suatu uji pada hewan uji (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada mata.
Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis tunggal dipaparkan kedalam
salah satu mata pada beberapa hewan uji dan mata yang tidak diberi perlakuan

Universitas Sumatera Utara

digunakan sebagai kontrol. Derajat iritasi/korosi dievaluasi dengan pemberian skor
terhadap cedera pada konjungtiva, kornea, dan iris pada interval waktu tertentu.
Tujuan uji iritasi mata adalah untuk memperoleh informasi adanya kemungkinan
bahaya yang timbul pada saat sediaan uji terpapar pada mata dan membran
mukosa mata (BPOM, RI., 2014).
7. Uji mutagenik
Uji mutagenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi
mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu senyawa. Efek mutagenik
merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat genetika sel
tubuh makhluk hidup (Lu, 1995).
8. Uji karsinogenik
Uji karsinogenik dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai efek
korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan. Suatu senyawa bersifat
karsinogenik jika senyawa tersebut dapat menginduksi karsinoma (pembentukan
tumor). Uji ini memerlukan biaya yang banyak dan waktu yang lama (Lu, 1995).

2.5 Hati
Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah
hati, bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati dan oleh
karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati. Bahan
kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hipotoksik (Wicaksono, 2002).
Secara anatomi hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya.
Hepar mencit (Mus musculus L.) memiliki empat lobus utama yang saling
berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian dorsal
organ ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan, yakni: sebuah lobus median,

Universitas Sumatera Utara

dua lobus lateral (kiri dan kanan), dan satu lobus caudal yang terbagi setengah
dibagian dorsal dan setengah lainnya di bagian ventral (Covelli, 1972).
Manusia (Homo sapiens) memiliki hepar dengan dua lobus utama, yakni
lobus kanan dan kiri yang masing-masing terdiri dari dua segmen (Hage, 1982).
Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di tubuh dan kelenjar terbesar dalam
tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut
di bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2005).
Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar
obat dan toksikan (Lu, 1994). Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan
kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husada, 1996) yaitu :
a. Fungsi metabolik
Hati berperaan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea,
untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.
b. Fungsi pertahanan tubuh
Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan fungsi perlindungan. Fungsi
detoksifikasi dilakukan oleh enzim- enzim hati yang melakukan oksidasi, reduksi,
hidrolisis,

atau

konjugasi

zat

yang

kemungkinan

membahayakan

dan

mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan
dilakukan oleh sel kupfer yang terdapat di dinding sinusoid hati.
c. Fungsi vaskuler hati
Pada orang dewasa jumlah aliran darah ke hati diperkirakan mencapai 1500
cc tiap menit. Hati berfungsi sebagai ruang penampung dan bekerja sebagai filter
karena letaknya antara usus dan sirkulasi umum.

Universitas Sumatera Utara

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset
pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan
(Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara
(reversible) dan tetap (irreversible) (Wicaksono, 2002). Sel akan mengalami
perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa
disebut degenerasi. Degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis dan
degenerasi lemak. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang
disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang
bersifat toksik (Cheville, 1999).
Degenerasi hidropis merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di
intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak.
Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran Na+
keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan
kedalam sel. Degenerasi hidropis merupakan respon awal sel terhadap bahanbahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel (Jones,
et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur oleh pompa Na+ yang
memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan mengakibatkan masuknya Na+
ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto, 2009).
Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga
terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila berlangsung
cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat
melanjutkan metabolisme (Juhriyyah, 2008). Inti sel yang mati dapat terlihat lebih
kecil dan menjadi lebih padat (piknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis)
dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati
adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Ginjal
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum
dan di depan dua iga terakhir. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh
bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak diatas kutub masing-masing
ginjal. Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung-di sebelah posterior
dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang meliputi kosta, sedangkan di anterior
dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri
karena besarnya lobus hepatis dekstra (Price dan Wilson, 2006).
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal
(Junquiera and Carneiro, 2007). Di dalam korteks terdapat berjuta–juta nefron
sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit
fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal,
tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes (Purnomo, 2009).
Menurut Guyton & Hall (2008), ginjal adalah organ utama untuk membuang
produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini
meliputi urea (dari sisa metabolisme asam amino), kreatin asam urat (dari asam
nukleat), produk akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin).
Menurut Junquiera (2007), Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat
dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein
tersebut dapat lolos. Sel tubulus selain berfungsi mereabsorbsi, juga menambahkan
zat-zat kimiawi seperti yodium, amonia dan hippuric acid. Pada disfungsi
glomerulus, bahan-bahan asing tiba di tubulus dalam kadar yang abnormal melalui
ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi
bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang harus diserap kembali.

Universitas Sumatera Utara

Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali natrium,
albumin, glukosa, air dan juga bermanfaat dalam penggunaan kembali bikarbonat.
Epitelium tubulus proksimalis merupakan bagian yang paling sering terserang
iskemia atau rusak akibat toksin, karena kerusakan yang terjadi akibat laju
metabolisme yang tinggi (Suyanti, 2008). Nefrosis merupakan istilah morfologik
untuk kelainan ginjal degeneratif terutama yang mengenai tubulus. Kelainan
tubulus dapat menyebabkan albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara
mikroskopis kelainan dijumpai pada tubulus kontortus proksimal berupa
degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosis dan kalsifikasi (Suyanti, 2008).

Universitas Sumatera Utara