Luaran Kanker Ovarium Berdasarkan Modifikasi Glasgow Prognostik Skor

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kanker ovarium merupakan penyebab kematian akibat kanker reproduksi
yang paling sering dijumpai. Di seluruh dunia setiap tahunnya sebanyak 204.000
orang wanita didiagnosa

kanker ovarium, dan sebanyak 125.000 orang wanita

meninggal akibat penyakit ini.1 Secara keseluruhan, kanker epitel ovarium
merupakan penyebab terbanyak terjadinya kanker ovarium yaitu sebesar 90-95%.1

Umumnya kanker ovarium ini dijumpai pada stadium lanjut (stadium III dan
IV). Tindakan pembedahan dengan melakukan debulking , kemudian diikuti
pengobatan kemoterapi berbasis platinum umumnya memberikan hasil remisi klinis.
Tetapi hampir 80% pasien dengan kanker ovarium ini akan mengalami kekambuhan
yang mengarah pada progresifitas sehingga menyebabkan kematian. 1

Banyak penelitian tentang angka ketahanan hidup kanker ovarium selama 5
tahun, salah satunya adalah pada sebuah disertasi doktoral oleh Bjὄrn Nodin tahun

2013 menyebutkan angka ketahanan hidup 5 tahun untuk pasien adenokarsinoma
ovarium berusia ≥ 20 tahun, untuk stadium III 33,5% , stadium III A 45,3 % , stadium
III B 38,6%, stadium III C 35,2% ,stadium IV 17,9% dan angka ketahanan hidup
10 tahun untuk pasien adenokarsinoma ovarium berusia ≥ 20 tahun, untuk stadium
III 22,2%, stadium III A 31,4% , stadium III B 26,1%, stadium III C 22,6%, stadium
IV 10,4 %.

2

Dan pada sebuah text book juga disebutkan bahwa angka ketahanan hidup
selama 5 tahun untuk pasien kanker ovarium stadium I sebesar 86%,untuk stadium
II sebasar 70%, untuk stadium III sebasar 34%,dan untuk stadium IV sebesar 19%. 1

Hipotesa tentang etiologi kanker ovarium diantaranya dikenal dengan
hipotesa ovulasi yang terus menerus, hipotesa gonadotropin, hipotesa hormonal,
dan hipotesa inflamasi.3,4 Hipotesa inflamasi dimulai dari adanya asumsi bahwa
terjadinya kanker ovarium disebabkan respon terhadap kerusakan genetik yang
disebabkan faktor-faktor inflamasi, seperti berasal dari lingkungan, endometriosis,
infeksi saluran genital, atau proses ovulasi itu sendiri.3


Inflamasi memegang peranan dalam fisiologi kanker, bisa sebagai pemicu
karsinogenesis, diferensiasi, dan pertumbuhan tumor primer; lebih jauh lagi inflamasi
memicu proliferasi sel dengan cara inhibisi proses apoptosis dan meningkatkan laju
mitosis.5

Inflamasi juga memiliki efek proteksi, berperan sebagai permulaan respon
antikanker, secara umum dengan cell-mediated immunity; sel imun dapat mengenali
zat yang muncul akibat respon inflamasi didalam tumor untuk mendeteksi limfosit,
makrofag, dan sel dendrit (dikenal dengan paradox of inflammation) 6; inflamasi
memiliki peranan pada beragam tumor dan juga memiliki peranan dalam kondisi
rekurensi pada keganasan.5

Respon inflamasi sangat erat kaitannya dengan fisiologi kanker, banyak
penelitian yang meneliti respon inflamasi untuk luaran kanker. Untuk operasi kanker,

systemic inflammatory response (SIR) telah menunjukkan peran sebagai faktor
prognostik yang penting dihubungkan dengan rendahnya survival post operatif pada
beberapa jenis kanker.5

Banyak bukti bahwa adanya SIR, bisa dinilai dengan naiknya kadar Creactive protein (CRP) dalam sirkulasi, dan hal ini dikaitkan dengan rendahnya

angka ketahanan hidup pasien kanker, termasuk pasien kanker ovarium. 7 Respon
inflamasi juga dikaitkan dengan patogenik dalam munculnya malnutrisi pada kondisi
kanker.8 Kondisi malnutrisi dihubungkan dengan rendahnya performa, rendahnya
angka ketahanan hidup, dan kenaikan angka kematian pasien kanker. 7

Lee.S dkk, tahun 2010 di Korea Selatan, selama 3 tahun penelitian mencatat
80.781 pasien yang datang kefasilitas kesehatan, dari seluruh pasien tersebut
dijumpai 729 pasien kanker, dan diketahui bahwa kadar serum hs-CRP secara
signifikan lebih tinggi pada pasien kanker (2.9 mg/L) dibandingkan dengan pasien
non kanker (1.4 mg/L; P < 0.0001).9

Ada beberapa penelitian yang bertujuan mendeteksi kondisi inflamasi pada
pasien kanker diantaranya adalah penelitian yang menilai tingginya NLR (netrofil
limfosit rasio)

untuk mendeteksi prognosa yang buruk pada pasien kanker

preoperatif, sebagai terminologi komorbiditas dan cancer disease-free and overall
survival. Penelitian yang menilai NLR terhadap pasien kanker menemukan bahwa
NLR dapat digunakan sebagai alat yang valid untuk mengetahui sensitivitas pasien

terhadap regimen kemoterapi yang diberikan dengan atau tanpa tindakan
operasi10,11,12,13,14

Selain NLR, PLR (platelet limfosit rasio) juga digunakan sebagai penanda
prognostik pada pasien kanker lambung stadium lanjut yang mendapatkan
kemoterapi, dan nilai PLR preoperatif dikorelasikan dengan prognosa. Sama seperti
NLR, penelitian untuk PLR kebanyakan bersifat retrospektif dan hanya dilakukan
untuk sebagian kecil jenis kanker; dan masih belum ada kesepakatan untuk standar
cut off PLR yang dihubungkan dengan prognosa yang berbeda beda. 15,16,17

Dari beberapa penelitian berbasis inflamasi seperti NLR dan PLR, Glasgow
prognostic Score (GPS) merupakan skoring sistem yang sudah divalidasi. Sehingga
bisa dipakai untuk pemeriksaan klinis rutin pada pasien kanker (terutama karena
hubungannya dengan kondisi kaheksia dan buruknya status performa), sehingga
GPS dapat dipakai untuk mendeteksi kondisi inflamasi serta status nutrisi pasien
dan akan menempatkan inflamasi sebagai target terapi masa depan, yang
memungkinkan untuk menunda onset kaheksia dan/atau kematian pasien kanker. 5

Modifikasi Glasgow Prognostic score (mGPS) menggunakan kombinasi CRP
dan albumin sebagai parameter untuk menilai adanya respon inflamasi. Dengan

mGPS, adanya kenaikan nilai CRP dan kondisi hipoalbuminemia menjadi marker
prognostik yang buruk, pada kanker payudara stadium lanjut, kanker paru, kanker
pankreas, kanker sel renal dan kanker gasto-oesophagus yang inoperable serta
kanker ovarium nilai mGPS tidak berkaitan dengan stadium kanker dan status
performa. 7

Peningkatan CRP dan kondisi hipoalbuminemia bisa mengidentifikasi pasien
dengan prognosa lebih jelek dan juga bisa membantu kita untuk menentukan target

terapi yang lebih baik. Sebagai contoh pasien dengan peningkatan nilai mGPS
harus diperhatikan sebagai pasien dengan kondisi prekaheksia dan diberikan terapi
multimodalitas (operasi untuk mengangkat tumor, pemberian anti inflamasi, dan
pengawasan nutrisi dan metabolisme), terapi multimodalitas yang diberikan pada
pasien kanker ini diharapkan bisa menunda onset kaheksia dan/atau kematian 18 ;
selain itu pemilihan tehnik pembiusan dan tehnik operasi dengan tujuan untuk
menurunkan timbulnya reaksi inflamasi setelah tindakan operasi perlu dilakukan
pada pasien dengan kondisi inflamasi yang lebih tinggi.5

Naiknya kadar CRP dan hipoalbuminemia, akan membuat kita lebih
memperhatikan kebutuhan terapi tidak hanya untuk tumornya tetapi juga terhadap

kondisi SIR, sebagai target yang lebih menarik dibandingkan dengan menilai
hilangnya berat badan dan/atau buruknya status performa. Karenanya masih
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikan manfaat GPS/mGPS sebagai
kriteria seleksi dalam randomized clinical trials, dan sebagai target terapi pasien
kanker. 5

Suatu penelitian oleh M.J Proctor dkk diantara tahun 2000-2006 mereka
meneliti skor mGPS pada 21.669 pasien kanker, diantaranya terdapat 533 pasien
kanker ginekologi. Penelitian mereka menilai skor mGPS dan melihat waktu
ketahanan hidup pasien kanker, dari penelitian tersebut didapatkan peningkatan nilai
mGPS, kadar kalsium, bilirubin, alkalin fosfatase, aspartat transaminase, alanin
transaminase dan g-glutamyl transferase berkaitan dengan menurunnya waktu
ketahanan hidup selama 5 tahun dan cancer-specific survival. Peningkatan nilai

mGPS juga dapat memprediksi turunnya angka ketahanan hidup pada seluruh jenis
kanker ( P