Luaran Kanker Ovarium Berdasarkan Modifikasi Glasgow Prognostik Skor

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiopatogenesis Kanker Ovarium
2.1.1 Etiologi kanker ovarium
Kanker epitel ovarium diyakini berasal dari transformasi maligna permukaan
epitel ovarium yang mengalami ruptur berulang-ulang dan mengalami perubahan
pada saat ovulasi. Beberapa hipotesa tentang etiologi kanker ovarium diantaranya
yang dikenal dengan hipotesa ovulasi yang terus menerus, hipotesa gonadotropin,
hipotesa hormonal, dan hipotesa inflamasi. 2,3

Hipotesa ovulasi menjelaskan bahwa kerusakan epitel permukaan ovarium
yang terjadi terus menerus, diikuti proliferasi permukaan sel epitel setelah ovulasi
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya mutasi, sehingga meningkatkan resiko
terjadinya kanker epitel ovarium.2,3

Hipotesa gonadotropin mengatakan bahwa akibat paparan terhadap kadar
gonadotropin yang tinggi dapat memicu terjadinya transformasi maligna, perubahan
ini terjadi akibat meningkatnya pertumbuhan sel dan terhambatnya apoptosis, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui stimulasi estrogenik permukaan
epitel ovarium. 2,3


Hipotesa hormonal mengatakan bahwa stimulasi androgen yang berlebihan
dapat meningkatkan resiko kanker ovarium epitel, yang pada akhirnya mungkin
menurun akibat stimulasi progesteron. 2,3

Hipotesa inflamasi dimulai dari adanya asumsi bahwa terjadinya kanker
ovarium disebabkan respon terhadap kerusakan genetik yang disebabkan faktorfaktor inflamasi, yang berasal dari lingkungan, endometriosis, infeksi saluran genital,
atau proses ovulasi itu sendiri. 2,3

Kanker ovarium epitel tampaknya berasal dari permukaan sel epitel ovarium
yang terjadi melalui salah satu dari dua alur:
1. Tumor tipe I
Terjadi melalui perkembangan yang lambat dari lesi prekursor, dari kista
inklusi berubah menjadi Adenoma jinak atau cystadenoma dengan potensi
keganasan yang rendah melalui metastase adenokarsinoma.20,21
2. Tumor tipe II
Timbul secara spontan dan agresif, dari epitel permukaan atau kista inklusi
tanpa lesi prekursor.20,21

2.1.2 Patogenesis Kanker Ovarium
Terdapat


3

jalur

tumorigenik

yang

bertanggung

jawab

terhadap

heterogenisitas kanker epitel ovarium. Pertama beberapa kasus berasal dari
akumulasi perubahahan genetik yang menyebabkan perubahan kista ovarium jinak
menjadi low malignant potential tumor (LMP) yang pada akhirnya berkembang
menjadi kanker ovarium invasif. Umumnya tumor invasif ini bersifat low grade dan
indolen secara klinis. Ras famili onkogen termasuk K-ras, dan N-ras. Produksi

protein onkogen ini ikut mempengaruhi regulasi siklus sel dan pengaturan proliferasi
sel. Sehingga mutasi yang terjadi pada ras ini ikut mempengaruhi proses
pertumbuhan kanker melalui cara kerja penghambatan terhadap apoptosis sel dan

peningkatan proliferasi sel. Sebaliknya kanker invasif yang timbul dari tumor LMP
memiliki mutasi pada gen supresor tumor p53.1

Jalur kedua, sekitar 5-10% kanker epitel ovarium merupakan faktor
keturunan. Wanita yang lahir dengan mutasi BRCA hanya memerlukan pemicu
pada copy alelle yang normal untuk menyingkirkan produk BRCA supressor gen.
Kanker yang berkaitan dengan mutasi BRCA sudah berkembang selama 15 tahun
sebelum timbulnya kasus. Setelah itu, BRCA-terkait ovarium dan kanker peritoneal
tampaknya memiliki patogenesis molekul yang unik, membutuhkan inaktivasi p53
untuk mengalami perkembangan. p53 merupakan produk protein yang mencegah
sel untuk memasuki tahap pembelahan dan menghambat pertumbuhan sel yang
tidak terkontrol. Terjadinya mutasi pada p53 juga dikaitkan dengan sejumlah
kanker.1

Ketiga, sebagian besar karsinoma tampaknya berasal dari sel-sel de novo
permukaan epitel ovarium yang diasingkan dalam kista inklusi dalam stroma

ovarium. Sejumlah peristiwa yang memicu timbulnya kanker dan jalur pembentukan
kanker telah diusulkan. Sebagai contoh, perbaikan siklik dari permukaan ovarium
selama periode panjang ovulasi berulang membutuhkan proliferasi sel melimpah.
Pada wanita , mutasi p53 spontan yang timbul selama sintesis DNA yang menyertai
proliferasi tampaknya memainkan peran utama dalam karsinogenesis. Dan sangat
banyak jalur perkembangan yang mungkin berasal dari inaktivasi gen awal.1

High-grade serous carcinoma (HGSC) merupakan tipe kanker ovarium yang
paling sering dijumpai dan paling sering menyebabkan kematian. Penelitian yang

dilakukan beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa HGSC “ovarian”
berkembang di epitel tuba fallopi bagian distal, disertai adanya serous tubal
intraepithelial carcinomas (STICs) kondisi ini terdeteksi sebesar 5–10% pada karier
mutasi BRCA1/2 yang menjalani operasi untuk mengurangi resiko dan dijumpai
pada lebih dari 60% wanita yang menderita HGSC. Yang harus diketahui,
lingkungan proinflamasi akut tercipta dibagian distal tuba saat ovulasi, tempat ini
merupakan lokasi tersering dijumpainya keganasan.22,23,24

Pada spesimen prophylactic (risk-reducing) bilateral salpingo-oophorectomy
(RRSO). Setiap siklus ovulasi melibatkan infiltrasi leukosit dan produksi mediator

inflamasi, dan anti inflamasi nonsteroid diketahui dapat menghambat ovulasi.
Ovulasi merupakan hasil dari terlepasnya sebuah oosit dengan bagian cumulus
granulosa cells yang melekat dan masuk kedalam tuba falopii, membasahi
permukaan ovarium dan fimbria dengan cairan folikuler yang kaya dengan
inflamatori sitokin dan reactive oxygen species (ROS), dan sekresi pro-inflamatori
sitokin terjadi akibat terlepasnya sel sel kumulus. Mutasi BRCA1 nonmaligna pada
epitel tuba falopi terjadi saat fase luteal setelah terjadinya ovulasi menunjukkan profil
ekspresi gen yang luas yang menyerupai HGSC dibandingkan dengan kumpulan
epitel tuba falopi selama fase folikuler post menstruasi pasien kontrol, dan analisa
lanjutan menunjukkan pengaruh ovulasi terhadap sinyal inflamasi dalam predisposisi
menjadi HGSC.22

Karst dkk menyatakan tereksposnya tuba falopi dengan lingkungan mikro
ovulasi memiliki peranan dalam pembentukan prekusor histologi HGSC. Telah
dibicarakan sebelumnya, sel epitel tuba pada fase sekresi sangat mirip dengan sel

asal HGSC, tetapi memiliki respon yang berbeda terhadap stress genotoxic.
Berulangnya paparan dengan stress genotoxic dihubungkan dengan ovulasi dan
dihubungkan dengan lingkungan inflamasi dan akan memicu kerusakan DNA dan
mutasi TP53; dan berkembang menjadi STIC, dan sangat sering dijumpai invasive

HGSC terjadi pada saat ini. 22

2. 2 Pengaruh Inflamasi Pada Kanker Ovarium
Beberapa penelitian menunjukkan faktor yang terkait dengan inflamasi pada
epitel permukaan ovarium, seperti ovulasi, endometriosis dan pelvic inflammatory
diseases, hal tersebut dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker ovarium epitel.
Secara terpisah, mediator inflamasi dan beberapa produksi sitokin dengan aktivasi
sel imun berupa TNF-α, IL-1β dan IL-6, dan IL-6, sepertinya memicu pembentukan,
pertumbuhan dan progresifitas kanker ovarium epitel.25

Hipotesis yang paling berkembang tentang karsinogenesis adalah teori
ovulasi, hal ini berkaitan dengan terjadinya ovulasi yang terus menerus. Untuk
mendukung hipotesis ini, muncul ketertarikan tentang etiologi inflamasi yang terjadi
pada setiap ovulasi. Epitel permukaan ovarium tepatnya pada lokasi ovulasi akan
terekspos oleh proses inflamasi dan oksidatif dengan konsekuensi munculnya resiko
perubahan kearah malignansi.25

Hal terpenting yang ditemukan oleh para peneliti adalah adanya respon T-sel
yang dihubungkan dengan meningkatnya kadar proinflammatory cytokines dalam
sirkulasi


(IL-1α, IL-1β, IL-6, TNF-α) dan mediator inflamasi lainnya seperti

fibrinogen, CRP dan sIL-2R (gambar 1).25

Gambar. 1. Aktivasi sistem imun yang tidak spesifik selama evolusi kanker ovarium yang
menghubungkan imunodepresi dengan kadar serum inflamatori sitokin dan protein fase akut yang
tinggi. Singkatan: ROS, Reactive Oxygen Species, RIL-2, IL-2 receptor, CRP, C-reactive protein.

25

Sangat menarik bahwa IL-6 dan CRP tampaknya bisa mensupresi respon Tsel dan beberapa penelitian menunjukkan hal ini terjadi akibat mekanisme imunologi
yang mendasari munculnya aktivitas anti tumor IL-2. Selanjutnya, CRP diketahui
diinduksi oleh IL-6, hal ini melibatkan ikatan oleh komplemen sel CD3+ yang bersifat
sitotoksik dan memegang kunci dalam pengaturan aktivitas sitotoksik sel NK. Lalu,
IL-6 dapat mengaktifkan atau menghambat respon T-sel, efeknya ini bergantung
pada lama dan durasi aktivitasnya. Interaksi antara aktivitas pro-inflammatory dan
anti inflammatory menunjukkan bahwa IL-6 mungkin memiliki peranan dalam
regulasi untuk mengontrol aktivasi respon imun pada setiap fase progresifitas kanker
epitel ovarium (KEO). Interaksi sel imun dan tumor yang paling diterima adalah,

batasan immunoediting, penjelasan tentang restriksi pertumbuhan sel tumor, dengan
tetap menjaga seleksi sistem imun untuk mengenali sel tumor sehingga terjadi
penurunan imunogenisitas yang akan mempengaruhi sistem imun pejamu.25

Gambar 2. Lingkungan mikro pada tumor dan produksi CRP oleh hati. Lingkungan mikro tersebut
mengandung

leukosit, lymphocytes dan macrophages dengan cytokines dan chemokines yang

berfungsi sebagai mediator, menggambarkan kondisi inflamasi yang persisten. Didalam lingkungan
mikro pada tumor , sel inflamasi memproduksi sitokin, secara terpisah IL-6 sebagai respon terhadap
sel tumor, jaringan yang nekrosis dan inflamasi yang terkait. Cytokines dilepaskan kedalam sirkulasi
dan menginduksi hepatocytes untuk mensintesa CRP dan protein fase akut lainnya Setelah kembali
kedalam lingkungan mikro pada tumor melalui sirkulasi, CRP bekerja pada sel tumor. Secara tidak
langsung dibantu oleh IL-6, protein CRP berikatan dengan phospholipids dipermukaan sel tumor dan
bekerja sebagai opsonin, memacu lisisnya sel tumor. Sebaliknya,overekspresi dari COX-2- di sel
tumor menghasilkan prostaglandins (PGE-2, dsb.) untuk memfasilitasi progresi tumor, sebagai respon
terhadap stimulasi inflamasi seperti sitokin.

26


2. 3 Prognosa Kanker Ovarium Dikaitkan Dengan Inflamasi
Inflamasi dianggap memiliki peranan dalam patogenesis kanker ovarium,
tetapi masih sedikit bukti langsung yang mendukung hipotesa tersebut. Hal yang
mendukung hipotesa ini secara tidak langsung dengan cara mengobservasi kondisi
yang terkait dengan inflamasi seperti pelvic inflammatory disease, endometriosis,
dan polycystic ovary syndrome terhadap pembentukan kanker ovarium. Ovulasi
merupakan suatu proses inflamasi melibatkan siklus penyembuhan luka dan
perbaikan dan ovulasi terus menerus telah lama dianggap sebagai faktor yang
mendasari kanker ovarium. Sejalan dengan hipotesis tersebut, faktor faktor yang
bisa mencegah ovulasi, termasuk penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan dan
menyusui, secara konsisten berhubungan dengan menurunnya resiko kanker
ovarium. Sebagai tambahan, ligasi tuba dan histerektomi, tindakan ini mungkin akan
membatasi transmisi zat yang menimbulkan iritasi secara lokal ke ovarium, sehingga
menurunkan resiko terhadap kanker ovarium. 9,27,28

Hipotesa penelitian menyatakan inflamasi sistemik dan kronik dapat dinilai
dengan kadar

CRP sebelum onset penyakit. Untuk menilai secara langsung


hubungan antara inflamasi sistemik dan pembentukan kanker ovarium, dilakukan
sebuah penelitian multicenter nested case– control. CRP merupakan protein fase
akut yang masuk kedalam sirkulasi sebagai respon terhadap rusaknya jaringan dan
inflamasi dan bisa menjadi marker biologis dari inflamasi sistemik kronis.
Meningkatnya nilai CRP secara moderat berhubungan dengan peningkatan resiko
penyakit jantung dan kanker kolon. Kadar CRP juga bisa menunjukkan bahwa
inflamasi berhubungan dengan karsinogenesis pada ovarium, karena CRP berkaitan
dengan berbagai mekanisme respon imunologi yang berhubungan dengan

perkembangan kanker pada hewan, CRP juga dipercaya memiliki peran penting
pada progresi kanker peritoneal. 9,29

Inflamasi kronis dinyatakan memiliki peranan dalam pembentukan tumor,
khususnya akumulasi dari mutasi sel, proliferasi, dan angiogenesis. Hubungan
antara CRP dan subsekuensi pembentukan kanker ovarium dinilai secara prospektif
dengan spesimen biologis yang dikumpulkan beberapa tahun sebelum diagnosa
kanker.9

CRP merupakan protein fase akut yang disintesa oleh hepatosit di liver untuk

merespon interleukin-6 (IL-6), induksi sitokin sesuai dengan proses inflamasi
sebagai hasil dari respon imun pejamu. Walaupun CRP bukan penanda inflamasi
yang spesifik jika dikaitkan dengan penyakit inflamasi, tetapi CRP dinyatakan
sebagai penanda penting untuk mendeteksi kondisi abnormal yang menimbulkan
aksi inflamasi, termasuk kanker, penyakit auto imun seperti systemic lupus
erythromatosus (SLE), kidney failure (KF), dan cardiovascular diseases (CVD).30

Lee.S dkk, tahun 2010 di Korea Selatan, selama 3 tahun penelitian mencatat
80.781 pasien yang datang kefasilitas kesehatan, dari seluruh pasien tersebut
dijumpai 729 pasien kanker, dan diketahui bahwa kadar serum hs-CRP secara
signifikan lebih tinggi pada pasien kanker (2.9 mg/L) dibandingkan dengan pasien
non kanker (1.4 mg/L; P < 0.0001). Kadar hs-CRP terendah (3 mg/L), kesepakatan ORs untuk

kanker adalah 1.16 (95% CI = 0.95–1.42) pada kategori tertinggi kedua dan 1.94
(95% CI = 1.51–2.51) untuk kategori paling tinggi.9

Lukas A Hefler dkk, meneliti nilai CRP pre operatif pasien kanker ovarium
pada tahun 2008 di amerika, mereka mendapatkan Mean (SD) serum CRP pre
operatif sebesar 3.6 (4.8) mg/dL. Serum CRP secara bermakna berhubungan
dengan stadium Federation of Gynecologists and Obstetricians (P < 0.001) dan
residu massa tumor post operatif (P < 0.001) tetapi tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan derajat histopatologi (P = 0.1) dan tipe histologi (P = 0.7), korelasi
dengan usia pasien (Pearson‟s correlation coefficient = 0.05; P = 0.2), dan korelasi
dengan serum CA125 (Pearson‟s correlation coefficient = 0.02; P = 0.6). 31

Dari penelitian Lukas A Hefler dkk , diketahui bahwa pasien kanker ovarium
epitel yang resisten terhadap platinum secara signifikan memiliki kadar serum CRP
lebih tinggi dibandingkan dengan penderita kanker ovarium epitel yang sensitif
terhadap platinum [6.0 (6.6)mg/dL versus 2.8 (3.8)mg/dL; P < 0.001]. Stadium
International Federation of Gynecologists and Obstetricians yang lebih tinggi (P <
0.001), adanya residu massa tumor post operatif (P < 0.001), grading tumor (P =
0.001), serum CA 125 (P = 0.03), dan serum CRP (P = 0.001) secara independent
berhubungan dengan angka ketahan hidup seluruhnya. Pasien dengan serum CRP
≤1mg/dL memiliki angka ketahan hidup 5 tahun secara seluruhnya sebesar 82%
dibandingkan pasien dengan serum CRP >1mg/dL memiliki angka ketahan hidup 5
tahun secara seluruhnya sebesar 82% 58.5% (P < 0.001).31

Penelitian yang dilakukan oleh Rohini Sharma dkk terhadap seratus lima
puluh empat penderita kanker ovarium pada tahun 2008 di Australia. Dengan hasil,
usia rata rata pasien saat diagnosa adalah 63.3 tahun (berkisar antara 30–93).
Sebagian besar pasien pada penelitian ini adalah pasien kanker ovarium stadium III,
dengan hasil histopatologi serous papillary carcinoma (79 dari 147, 54%). Sebelum
mendapatkan terapi sistemik, dari 154 pasien hanya 142 pasien kanker ovarium
yang diperiksa kadar CRP dan dijumpai kadar CRP meningkat (≥10 mg/dL) pada
65% pasien (92 dari 142), dan kadar albumin seluruh pasien (154 orang) diperiksa
dan dijumpai sebanyak 70% pasien memiliki kadar albumin dibawah 35 mg/dL (108
dari 154).7

Sebagian besar pasien pada penelitian Rohini Sharma dkk memiliki nilai GPS
abnormal (78%). Pada tumor derajat 1 dijumpai 4 orang pasien dengan nilai GPS 0,
2 orang pasien dengan nilai GPS 2. Pada tumor derajat 2 dijumpai 9 orang pasien
dengan nilai GPS 0, 13 orang dengan nilai GPS 1, dan 14 orang dengan nilai GPS
2. Pada tumor derajat 3 dijumpai 16 orang dengan nilai GPS 0, 14 orang dengan
nilai GPS 1, dan 43 orang dengan nilai GPS 2 (p-value 0.03).7

Pada penelitian oleh Rohini Sharma tersebut juga diperoleh 7 pasien yang
memiliki asites dengan GPS 0, 18 pasien yang memiliki asites dengan nilai GPS 1,
57 pasien yang memiliki asites dengan nilai GPS 2 dan dijumpai 16 pasien tanpa
asites dengan nilai GPS 0, 9 pasien tanpa asites dengan nilai GPS 1, dan 14 pasien
tanpa asites dengan nilai GPS 2 (p-value