Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka)

1

BAB I
A. LATAR BELAKANG
Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime
dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari
segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali
memerlukan “pendekatan sistem (system approach)” terhadap pemberantasannya
karena cenderung sulit memperoleh procedural pembuktiannya. Korupsi tidak
sekedar pemidanaan saja, tetapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi
invisible crime tsb. 1

Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia,
karena telah merebak di segala bidang dan sector kehidupan masyarakat secara
meluas dan sistematis.2 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hal-hak
social masyarakat yang mulai endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan oleh
pejabat

atau

mantan


kepala

pemerintahan

pada

masa

pemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile
crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.3

Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan
dan/ atau perekonomian Negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat sebagai
sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Terdapat cukup alasan yang rasional untuk

1

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta,2009,

halaman 191.
2
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Paragraf ke-2.
3
Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman
289.

Universitas Sumatera Utara

2

mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar

biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumentinstrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).4
Indonesia pada saat ini mulai aktif dalam penggunaan teknologi
elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital.5 Perkembangan
teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang
dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara
diperlukan teknik dan prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.6

Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana
dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana
diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan
bahwa “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh Negara,

karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-

undang pidana”.7
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam
proses pemeriksaan di siding pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan
nasib terdakwa. Hasil dari pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap

4

H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. Halaman 76.
5
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005,

halaman 31.
6
Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006,
halaman, 3.
7
Andi Hamzah,dkk, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2004, halaman 2.

Universitas Sumatera Utara

3

terdakwa, maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), maka terdakwa dinyatakan
bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Hakim harus berhati-hati,
cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian,
serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs
kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.


Pembuktian menurut KUHAP, menganut system pembuktan menurut
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian
yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in
time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif

(berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang). Kedua
sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim dimana media sistem ini dikenal
dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan
hakim dengan undang-undang secara positif.8
Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem pembuktian di Indonesia
adalah sistem pembuktian negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan hakim, sistem ini
sejalan dengan yang dianut dalam pasal 183 KUHAP yang juga merupakan batas
minimum pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standard terbukti secara
sah dan meyakinkan (beyond a reasonable doubt). Dalam pembuktian di
8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 1985,

halaman 278

Universitas Sumatera Utara

4

persidangan tercapainya batas minimum pembuktian namun mengandung cacat
materiil yang disebabkan antara lain oleh keterangan palsu, tidak relevan,
ketarangan bohong, keterangan tidak jelas sumbernya, lemahnya alat bukti yang
satu dengan alat bukti yang lain, tidak bersentuhan dan bertalian, masing-masing
alat bukti berdiri sendiri dan dokumen palsu. Dengan demikian maka pembuktian
sebagai dasar perkara pidana dapat didasarkan pada petunjuk-petunjuk, hal itu
dikarenakan setiap kejahatan khususnya tindak pidana korupsi dilakukan dengan
terencana, terorganisir dan melibatkan banyak jaringan yang kemudian akan
menghilangkan jejak perbuatannya. Maka dengan demikian Penyadapan dijadikan
alat bukti petunjuk dengan tujuan agar kejahatan yang disembunyikan itu dapat
terungkap.
Tujuan pokok sistem peradilan pidana berdasarkan sah dan meyakinkan
untuk mencari dan mewujudkan kebenaran sejati (Ultimate Truth, Absolute
Truth).


Hasil

penyadapan

bisa

mewujudkan

kebenaran

sejati

selama

pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan
bersesuaian dengan alat-alat bukti yang lain maka keterbuktian kesalahan
terdakwa dianggap beralasan. Banyak hal yang akan menimbulkan keraguraguan
akan membuat terdakwa bisa dibebaskan atau sebaliknya akan dijatuhi hukuman
karena dianggap tidak bersalah oleh karena itu penyadapan dijadikan sebagai alat

bukti petunjuk untuk memberikan keyakinan kepada hakim dalam mengambil
keputusan. Maka dalam pembuktian tindak pidana korupsi, menurut pasal 26A
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001

Universitas Sumatera Utara

5

tentang Perubahan Atas Undang- Undang 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi dalam kasus korupsi, pembuktian didasarkan atas alat bukti yang
ditentukan dalam pasal 184 ayat KUHAP, namun khusus tindak pidana korupsi
ditambah lagi hasil penyadapan sebagai petunjuk yang diperoleh dari :
a.

Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu ; tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (
electronic data interchange ), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks,
dan faksimili; dan


b.

Dokumen, yaitu rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, banda fisik apapun selain
kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.9
Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa

bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 28 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman. Diperlukan kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam
memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian

9

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Pasal 26A huruf (a) dan

(b).

Universitas Sumatera Utara

6

antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang
menjadi dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik (electronic evidence)
sehingga hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan
seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan
ahli), kecuali pembicara dalam rekaman tersebut mengakuinya bahwa suara yang
diperdengarkan di muka siding pengadilan adalah suara dirinya sendiri.
Rekaman elektronik sebagai alat bukti yang tersendiri di tegaskan dalam
Pasal 26A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
meyebutkan bahwa alat bukti pemeriksaan di dalam tindak pidana korupsi,
termasuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, dan juga alat bukti
lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan rekaman elektronik.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu untuk melakukan penelitian dengan judul

“Tinjauan Yuridis Penyadapan Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak
Pidana Korupsi”, di dalam penulisan skripsi ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diuraikan pada latar belakang di atas, maka
masalah yang akan diteliti adalah sebgai berikut :
1. Bagaimana ketentuan alat bukti dalam tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana kedudukan alat bukti penyadapan sebagai pembuktian
dalam tindak pidana korupsi?

Universitas Sumatera Utara

7

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang akan menjadi objek pembahasan
dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengkaji dan mengetahui lebih dalam lagi terhadap ketentuan alat
bukti dalam tindak pidana korupsi.

2.

Untuk mengkaji dan mengetahui lebih dalam lagi terhadap kedudukan alat
bukti penyadapan sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan alat
bukti di dalam tindak pidana korupsi sehingga kemungkinan terjadinya
kecurangan atau kebohongan dalam pembuktian dappat diminimalisasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat untuk kepentingan
penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana
penegakan

hukum

dalam

rangka

melaksanakan

tugas-tugas

mulianya

memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum
dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka) berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

8

pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan, sedangkan penulisan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi ada ditemukan penulis tetapis hanya
secara khusus membahas masalah pembuktian terbalik dalam tindak pidana
korupsi yang ditulis oleh Saudara Zulpadli. Penulisan tersebut mempunyai
bahasan permasalahan yang berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh
penulis.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari
keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan
perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan
pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penulisan skripsi ini
merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.
F. Tinjauan Kepustakaan
1.

Tindak Pidana Korupsi
Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang

berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan
dengan keuangan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah ”korupsi”
yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau
”seduction”, maka yang diartikan ”corruptio” dalam bahasa Latin ialah
”corrupter” atau ”seducer”. ”Bribery” dapat diartikan sebagai memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara

9

seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara
”seduction” berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.10
Hendry Campbell Black (1991) mendefenisikan korupsi sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihakpihak lain.11
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK). Selain itu, hukum
acara dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus
dalam UU PTPK.12
Dalam ketentuan UU PTPK tidak memuat pengertian tentang korupsi.
Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik
formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas mengenai
unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2 UU PTPK,
menyatakan sebagai berikut :

10

: http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dantindak-pidana/#ixzz32Qu090CV.
11
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 137.
12
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Penaku bekerjasama dengan
Maharini Press, Jakarta, 2008, Halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

10

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonoman negara...”
Selanjutnya dalam Pasal 3 UU PTPK, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Definisi yuridis di atas merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh
badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara.
Oleh karena itu, batas-batas korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada
kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.13
2.

Alat Bukti Penyadapan
Asal kata “penyadapan” berasal dari kata “sadap” atau “menyadap” yang

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) artinya
adalah mengambil air atau mengambil getah dari pohon dengan cara memangkas
mayang atau dengan cara memangkas akar atau menorah kulit.14
Perkembangan selanjutnya, pengertian menyadap tidak hanya sebatas
pengertian mengambil air atau mengambil getah dari pohon sebagaimana
dikemukakan di atas. Terminology “penyadapan” dengan asal kata “sadap” atau
“menyadap” sama dengan kata lainnya yang memiliki awalan “me-“ atau “pe-an”
13

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dantindak-pidana/#ixzz32Qu090CV.
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008,
halaman 1337.

Universitas Sumatera Utara

11

misalnya “memangka” atau “pemangkasan” merupakan cara kerja atau
menunjukkan sebuah proses. Dengan demikian, berlaku pula bagi terminoligi
“penyadapan” atau “menyadap”, “penyadapan” atau “menyadap” harus diartikan
sebagai sebuah proses, sebuah cara, atau menunjukkan perbuatan, atau tindakan
melakukan sadapan.15
Terkait

penyadapan

atau

tindakan

menyadap,

menurut

KBBI,

penyadapan dapat diartikan sebagai proses dengan sengaja mendengarkan
dan/atau merekam informasi orang lain secara diam-diam dan penyadapan itu
sendiri suatu proses, suatu cara atau perbuatan penyadapan.16
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
(selanjutnya disebut UU Telekomunikasi) dalam Pasal 42 ayat (2) merumuskan
tentang alat bukti penyadapan yang dapat dilakukan untuk pembuktian dalam
proses peradilan. Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi menyatakan :
Untuk

keperluan

proses

peradilan

pidana,

penyelenggara

jasa

telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima
oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku.
15

Kristian dan Yopi Gunawan, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif di
Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, halaman 179.
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008,
halaman 1337.

Universitas Sumatera Utara

12

Pasal 26A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menjelaskan
bahwa penyadapan atau rekaman elektronik juga merupakan alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi dapat
diperoleh dari:
a. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku. Alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu saran, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf; tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
G. Metode Penelitian
1.

Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum

normatif dengan mengkaji asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan.
Penelitian hukum normative disebut juga penelitian hukum doctrinal. Penelitian
hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai

Universitas Sumatera Utara

13

kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap
pantas.17
2.

Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang

diperoleh secara langsung dari asyarakat (data primer ) dan dari bahan-bahan
pustakan (data sekunder ).18 Metode penelitian hukum normative hanya mengenal
data sekunder saja.19 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer;
bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.20
a)

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:
1.

Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;

2.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

3.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi;

5.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

6.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;

17

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman 118.
18
Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman 12.
19
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009, halaman 12.
20
Ibid, halaman 118

Universitas Sumatera Utara

14

7.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman;

8.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi;

9.

Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, diantaranya;
1.

Buku-buku yang terkait dengan hukum;

2.

Artikel di jurnal hukum;

3.

Skripsi ,Tesis dan Disertasi Hukum;

4.

Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademisi yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.

c)

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekuder, diantaranya;
1.

Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;

2.

Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;

3.

Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi
khususnya tentang alat bukti penyadapan.

3.

Metode Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian
kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang

Universitas Sumatera Utara

15

meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.21 Studi kepustakaan
yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan
menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan
alat bukti penyadapan dalam tindak pidana korupsi, termasuk juga bahanbahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.
4.

Analisis Data
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.22
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber.23 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi
ini adalah data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan
metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik,
sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase
sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang
diteliti.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4
(empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan
dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama
lain. Sistematika penulisan ini secara terperinci adalah sebagai berikut:

21

Ibid, halaman 38
Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1999, halaman 103
23
Ibid, halaman 190
22

Universitas Sumatera Utara

16

BAB I

: Pendahuluan yang berisikan memaparkan latar belakang penulisan
skripsi, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan
berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait
dengan judul untuk memberikan batasan dan pembahasan
mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari
skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan
sistematika penulisan skripsi.

BAB II

: Menguraikan tentang pengertian alat bukti penyadapan dalam tindak
pidana korupsi. Bab ini secara khusus menguraikan istilah tindak
pidana korupsi dan perkembangan tindak pidana korupsi di
Indonesia berikut dengan sejarah pengaturannya dalam perundangundangan di Indonesia. Bab ini juga memuat uraian unsure-unsur
tindak pidana pidana korupsi yang terkait dengan kerugian uang
Negara, alat bukti dalam tindak pidana korupsi dan penyadapan
dalam tindak pidana korupsi.

BAB III

: Menguraikan tentang kekuatan hukum alat bukti penyadapan dalam
tindak pidana korupsi dan penerapannya dalam peradilan. Bab ini
secara khusus menguraikan tentang kedudukan alat bukti
penyadapan dalam pembuktian di persidangan dan peran keterangn
saksi ahli tentang alat bukti penyadapan didalam persidangan.

BAB IV :

Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Universitas Sumatera Utara