Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka)
17
BAB II
KETENTUAN ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya
Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena
telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari
kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan
pemerintahan Negara.24 Fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah ada
sejak lama dalam kehidupan masyarakat, bahkan jauh sebelum zaman penjajahan.
Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat tertentu kepada penguasa
setempat atau kepada penjajah pada masa itu.25
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi
ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional
serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat
yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa.26
24
Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang ada masih banyak menemui egagalan. (http://id.shvoong.com/lawand-politics/law/2027081, Opcit.)
25
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-diindonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasantindak-pidana-korupsi/halaman 1
26
Ibid, halaman 2
Universitas Sumatera Utara
18
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di
negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang
menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di
akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat
kecil hingga pejabat tinggi.27
1.
Istilah Tindak Pidana Korupsi
Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian
konsideransnya, yang antara lain enyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai
dinamakan korupsi.28 Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya,
Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16
Agustus 1999 diganti denga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.29
Tujuan pemerintah dan pembuatan undang-undang melakukan revisi atau
mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi
27
Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008,
28
H. Elwi Danil. Opcit, halaman 5
Ibid.
halaman 3
29
Universitas Sumatera Utara
19
yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai
modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum,
yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.30
Pemahaman atas hal tersebut sangat membantu mempermudah segala tindakan
hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan
(preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya
memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
Pemahaman tentang korupsi perlu dijelaskan, karena korupsi merupakan
bagian dari tindak pidana itu sendiri. Secara umum pertbuatan korupsi adalah
suatu perbuatan yang melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dimana
dampak yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat dalam arti luas dan jika
dibiarkan secara terus menerus, maka akan merugikan keuangan Negara/
perekonomian Negara yang mengakibatkan Negara tersebut gagal dalam
mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera.
Black „s Law Dictionary mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi
dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hal-hak dari pihak lain.31
Syed Husein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan
menyebutkan benang merah yang menjekujuri dalam ativitas korupsi, yaitu
30
31
Ibid.
Rohim, SH, Opcit, halaman 7
Universitas Sumatera Utara
20
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa
akan akibat yang diderita oleh masyarakat.32
Modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi
bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan
(occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai
kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun
kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu cirri yang bersifat umum dari
kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga
ditujukan terhadap kepentingan hukum dari Negara.33
Secara harfiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan
yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Di dalam
Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003 United Nation Convention Againts
Corruption 2003 (UNCAC), yang telah diratifikasi Pemerintah RI dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, ada beberapa perbuatan yang
dikategorikan korupsi, yaitu sebagai berikut.34
1.
Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat public atau
swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat public atau swasta atau
internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak
semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang
ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam
32
http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/
halaman 1
33
P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan
Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman
7
34
Aziz Syamsuddin, Opcit, halaman 137-138
Universitas Sumatera Utara
21
2.
3.
pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan
dari tindakan tersebut.
Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat
public/swasta/internasional.
Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.
Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagaimana
yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi”.35 Syed Hussein Alatas mengemukakan secara
sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni
penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.36
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak pidana korupsi
tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga sanksi hukuman yang
diancamkan dan ditetapkan akan membantu memperlancar upaya penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi.
Syed Hussein Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai
berikut:37
a.
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b.
Krupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya;
c.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang;
35
36
37
Firman Wijaya, Opcit, halaman 7
Ibid.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1
Universitas Sumatera Utara
22
d.
Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;
e.
Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;
f.
Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan public atau umum (masyarakat);
g.
Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Selanjutnya ia mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai
berikut:38
1.
Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara
seorang pendonor denga resipien untuk keuntungan kedua belah pihak;
2.
Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan
untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang
dekat dengan pelaku korupsi;
3.
Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan
investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
4.
Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik
dalam pengangkatan kantor public maupun pemberian proyek-proyek bagi
keluarga dekat;
5.
Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat
keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders
information) tentang berbagai kebijakan public yang seharusnya dirahasiakan;
38
Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, 2008, halaman 2-3
Universitas Sumatera Utara
23
6.
Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi
intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan; dan
7.
Korupsi
Defensif,
yaitu
korupsi
yang
dilakukan
dalam
rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
Klitgaard mengemukakan bahwa korupsi ada apabila seseorang secara
tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan
sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam
berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari yang kecil sampai monumental. Korupsi
dapat melibatkan penyalahgunaan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip dan
perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, penegakan hukum dan
peraturan berkaitan dengan keselamatan umum, pelaksanan kontrak dan pelunasan
pinjaman atau melibatkan prosedur yang sederhana. Itu dapat terjadi pada sector
swasta atau sector public dan sering terjadi dalam kedua sector tersebut secara
simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya; pada sejumlah Negara yang
sedang berkembang, korupsi telah menjadi sistemik. Korupsi dapat melibatkan
janji, ancaman atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegawai negeri atau
masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak melakukan
atau melakukan; dapar melibatkan pekerjaan yang tidak sah maupun sah; dapat di
dalam atau di luar organisasi publik. Batas-batas korupsi sangat sulit
didefenisikan dan tergantung pada hukum lokaldan adat kebiasaan. Tugas pertama
dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan tipe-tipe kebiasaan korupsi
Universitas Sumatera Utara
24
dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-contoh yang
kongkrit.39
Adawi Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa
criteria/bagian, yaitu:
a)
Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi;
b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi;
c)
Atas dasar sumbernya;
d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;
e)
Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian
negara.
1.
Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subtansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu:
a)
Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan Negara,
perekonomian Negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai
negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang
masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam Pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
39
Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), Opcit, halaman 3-4
Universitas Sumatera Utara
25
11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430
KUHP).40
b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana yang
substansi objek mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum
bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan
disini hanya diatur dalam 3 Pasal, yakni Pasal 21, 22, dan 24 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU
PTPK).41
2.
Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana
korupsi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:42
a)
Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas
sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk
korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua
orang yang termasuk dalam keompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah
tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal-Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13,
15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.
40
Adami Chazawi, hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang, 2005, halaman 20
41
Ibid, halaman 22
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara
Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi
pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang
yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Artinya,
tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibenntuk untuk pegawai
negeri atau penyelenggara Negara. Orang yang bukan pegawai negeri tida
dapat melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri ini. Disini, kualitas
pegawai negeri meupakan unsure esensalia tindak pidana.43
3.
Atas Dasar Sumbernya
Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yakni:
a)
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi
dua macam, yaitu:44
1.
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam UU PTPK.
Rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana
dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan
aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama.
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
2.
Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada Pasal-Pasal tertentu dalam
KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah
43
44
Ibid, halaman 23
Ibid, halaman 24
Universitas Sumatera Utara
27
ancaman dan sistem pemidanaannya. Termamsuk dalam kelompok
tindak pidana ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan
dalam pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari pasal 220, 231, 421,
422, 429, dan 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.
b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan sendiri
sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli
yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Termasuk dalam kelompok ini ialah tindak
pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15,
16, 21, 22, dan 24.45
4.
Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana.
Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka
tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara lain:
a. Tindak pidana korupsi aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif ialah
tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur
perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materil yang bisa disebut
juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya
diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang.46
b. Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negative
45
46
Ibid, halaman 25
Ibid, halaman 25
Universitas Sumatera Utara
28
Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif adalah
tindak pidana yang unsure tingkah lakunya dirumuskan secara pasif.
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana
yang melarang untuk tidak berbuat aktif (disebut perbuatan pasif). Dalam
kehidupan sehari-hari ada kalanya seseorang berada dalam situasi tertentu
dan orang itu diwajibkan (disebutkan kewajiban hukum) hukum
melakukan suatu perbuatan (aktif) tertentu. Apabila ia tidak menuruti
kewajiban hukumnya untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut artinya dia
melanggar
kewajiban
hukumnya
untuk
berbuat
tadi,
maka
dia
dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana pasif tertentu.47
Tindak pidana pasif dalam doktri hukum pidana dibedakan menjadi
(a) tindak pidana pasif murni dan (b) tindak pidana pasif yang tidak murni.
Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang dirumuskan
secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya
adalah berupa perbuatan pasif. Tindak pidana korupsi pasif menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001
semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni. Sedangkan tindak
pidana pasif yang murni adalah berupa tindak pidana yang pada dasarnya
berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak
berbuat atau tidak melakukan perbuatan aktif.48
5.
Atas Dasar Dapat Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian
Negara.
47
48
Ibid, halaman 28
Ibid, halaman 28-29
Universitas Sumatera Utara
29
Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapar dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak
mensyaratkan
dapat
menimbulkan
kerugian
keuangan
Negara
atau
prekonomian Negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang
dapat membawa kerugian Negara pada sub (a) tersebut bukanlah tindak
pidana materil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana
korupsi secara sempurna tidakperlu menunggu timbulnya kerugian Negara.
Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat
menimbulkan kerugian Negara, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub
(a) maupun sub (b) dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana
formil dan tidak ada yang dirumuskan secara materil atau berupa tindak
pidana materil.49
2.
Sejarah Perundang-undangan Korupsi di Indonesia
Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan
dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:
1.
Delik-delik Korupsi dalam KUHP;
2.
Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan
Darat dan Laut);
49
Ibid, halaman 30
Universitas Sumatera Utara
30
3.
Undang-undang No. 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
4.
Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
5.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
6.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 31 Tuhan 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
1) Delik-delik korupsi dalam KUHP
Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku
sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodefikasi dan unifikasi berlaku
bagi semua golongan penduduk di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi
(diselaraskan dengan WvS tahun 1981 di Belanda).50 KUHP merupakan hasil
karya sarjana-sarjana hukum, yaitu Stibbe, Veenstra, Hagen, dan Scheur yang
tergabung dalam panitia pembuat rencana unifikasi pada tanggal 14 Juli
1909.51
KUHP merupakan suatu sistem dimana segala Pasal serta bab yang
ada didalamnya terikat dengan sistem itu. Sehingga ditarik 19 buah Pasal
untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi
yang masuk dalam delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II
50
51
Ibid, halaman 33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
31
KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan
seperti Pasal 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut
active omkoping), berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II
KUHP.52
Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut
dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan
kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.
Begitu pula dalam code penal, delik jabatan seperti itu termasuk dalam buku
tentang kejahatan biasa.53
2) Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat
dan Laut)
Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama adalah Peraturan
Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/ PM/ 06/ 1957, tanggal 27
Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut:
Bahwa berhubungan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha
memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian Negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi,
perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi,….dan
seterusnya.54
Penting untuk diketahui dari peraturan perundangan-undangan
tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilahistilah korupsi sebagai istillah hukum dan member batasan pengertian korupsi
sebagai berikut “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
52
Ibid, halaman 38
Ibid.
54
Ibid, halaman 41
53
Universitas Sumatera Utara
32
perekonomian Negara”.55 Kemudian peraturan penguasa militer ini
digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat
Nomor: Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada
tanggal 16 April 1958.56
Bagian yang menanrik dari peraturan penguasa perang pusat (AD/AL)
tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1
yang juga dijabarkan dalam Pasal 1dan 2, ahwa perbuatan korupsi terdiri
atas:57
1) Perbuatan korupsi pidana
2) Perbuatan korupsi lainnya (Pasal1)
Perbuatan korupsi pidana antara lain:
a.
Perbuatan seseorang denga atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian Negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
b.
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang
dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
55
Ibid, halaman 42
Ibid.
57
Ibid, halaman 43-44
56
Universitas Sumatera Utara
33
c.
Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420
KUHP (Pasal 2).
3) Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 ini pada awalnya
berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang kemudian
disahkanenjadi Undang-undang. Dasar pengesahan tersebut adalah Undangundang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan semua undang-undang
darurat dan semua peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang.58
Defenisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut
dirumuskan dalam Pasal 1 yang menyatakan:59
Pertama, “tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan
suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan tau perekonomian Negara tau daerah atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggarankelonggaran dari Negara atau masyarakat”
Kedua, “perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan
suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan…”
Ketiga, “kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21
peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, dan 432 KUHP”
58
Dani Krisnawati Dkk (Editor Eddy O. S. Hiariej), Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus,
Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman 48
59
Ibid, halaman 48-49
Universitas Sumatera Utara
34
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 187160 mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri dan
orang lain atau badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara
langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara dan
perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.61
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan
pro parte dolus pro parte culpa . Artinya, entuk kesalahan disini tidak saja
diisyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut
disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara sudah dapat
menjerat pelaku.62
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:63
1.
Barang siapa dengan melawan hukum melaukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan atau perekonomian Negara;
60
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini selanjutnya diubah dan digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diubah ladi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
61
Ibid, halaman 53
62
Ibid, halaman 54
63
Ibid, halaman 54-56
Universitas Sumatera Utara
35
2.
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langnsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;
4.
Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti
dimaksud pada Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah
atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini;
5.
Barang siapa dengan tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya,
seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak
melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;
6.
Barang siapa melakukan percobaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini.
Rumusan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi didalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini kemudian berkembang menjadi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Perkembangan
pengaturan
perundang-undangan
pidana
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
Universitas Sumatera Utara
36
perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaruan
hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa
Indonesia terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan
dan era reformasi seperti sekarang ini.64
Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi
dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik,
maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek
kebijakan, baik kebijakan social (social policy), kebijakan kriminal (criminal
policy) maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law
enforcement).65
Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument
hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas
dasar 3 alasan utama, yaitu:66
1. Alasan Sosiologis
Krisis kepercayaan dalam setiap segemn kehidupan yang melanda
bangsa Indonesia, secara umum bermuara pada suatu penyebab besar, yaitu
belum terciptanya suatu pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi.
Sikap pemerintah yang terkesan belum konsisten dalam menegakkan hukum,
mengakibatkan bangsa ini harus membayar mahal, sebab realitas korupsi telah
menghancurkan perekonomian Negara.
Bertolak dari berbgai relitas sosial, maka secara sosiologis adalah wajar
dilakukan kebijakan legislative untuk memperkuat landasan hukum dalam
64
Elwi Danil, Opcit, halaman 17
Ibid, halaman 31
66
Ibid, halaman 17
65
Universitas Sumatera Utara
37
menciptakan pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Esensi pemikiran yang
demikian dapat diterapkan dalam kerangka filosofi penyusunan suatu undangundang tentang pemberantasan korupsi. Kerangka filosofi tersebut disamping
guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang semakin canggih
dan sulit pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian
yang lebih besar terhadap keuangan dan perekonomian Negara.
2. Alasan praktis
Alasan dan latar belakang pementukan suatu undang-undang dapat
diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU
Nomor 31 tahun 1999 yang dibentuk dengan konsideran dan pengakuan bahwa
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan
keuangan Negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi dalam rangka
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan
kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus
diberantas.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi sebelumnya
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan dianggap
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Oleh karena itu, perlu diganti dengan undang-undang yang baru sehingga akan
lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dimasa
mendatang.
3. Kebijakan Politis
Universitas Sumatera Utara
38
Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan
perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam
rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal
ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang
lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi
(good governance). Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundangundangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan
sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan
masalah korupsi.
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian
Keuangan Negara
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur
yang terdapt dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagai berikut:
Pasal:
Pasal 3:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling
sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana
dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar
rupiah.
Universitas Sumatera Utara
39
Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt
dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:67
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya
adalah sebagai berikut:
1.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
3.
Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Penjelasan Pasal 2 UU PTPK
1) Setiap orang
Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana
korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi.68
Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan
menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi
67
Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3
68
Universitas Sumatera Utara
40
yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.69
2) Secara melawan hukum
Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.70
a)
Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila
perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (hukum tertulis). Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum
adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam
rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah
terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam
arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan
delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum
69
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1
70
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
41
secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak
pidana telah terpenuhi.71
b) Sifat melawan hukum materil
Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu
perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar
bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi
syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu
perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah
dipandang tercela oleh masyarakat.
Sifat melawan huku materil berarti suatu tindak pidana itu telah
melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi
oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.72
Bersifat melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan
hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.73
Loebby Logman mengemukakan bahwa ukuran untuk mengatakan suatu
perbuatan melwan hukum secara materil bukan didasarkan pada ada atau
tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai
yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan
hukum secara formil cenderung melihat sifat dari sisi objek atau perbuatan
pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak
71
D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004,
halaman 39
72
D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta,
1987, halaman 7
73
Universitas Sumatera Utara
42
pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu
perbuatan melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil,
merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subjek
atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak
pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan
ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari sisi diri si
pelaku.74
Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam
mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan
undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan
hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain,
hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.
Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif,
yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur
tetapi jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka
perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak
memungkinkan untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang
mengandung asas legalitas didalamnya.
Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006
sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa
pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam
74
Loebby Logman, Beberapa Ikwal di Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, 1991, halaman 25
Universitas Sumatera Utara
43
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: “yang
dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan
denga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh
karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.75
3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya.
Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya),”
demikian
juga
dalam
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia
buah
tangan
Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan
orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi
bertambah kaya.76
Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK
1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat (1) sub (a)
75
Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa
konsep melawan hukum materiil (materiels wederechtlijk), yang merujuk pada hukum tidak
tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat,
sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari
satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang
melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang
sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat
setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut,
merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil
yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
76
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177
Universitas Sumatera Utara
44
adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat
ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada
terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian
rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan
saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 37 ayat (4) UU
PTPK Tahun 1999)
Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-kata “….kekayaan
yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan
tindak pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:77
a) Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan
pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan
perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya memperkuat
keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya
keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang
tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari
orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan
tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain
yang
menyatakan
keterangan
tertuduh
tidak
benar,
itu
merupakan
ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak
memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat
77
Ibid, halaman 178
Universitas Sumatera Utara
45
keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa
terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan
bagi negara.
b) Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan
berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar
pertambahan kekayaannya secara konkret.
c) Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat
membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung
diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum
dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh
secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang
memperkaya terdakwa.
4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara
Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian
negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.
Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak
Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
Universitas Sumatera Utara
46
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:78
a)
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat
Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah;
b) Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan
dan
pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan
modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Arti dari perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik
ditingkat pusat, maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memebrikan manfaat kemakmuran dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.79
2) Penjelasan Pasal 3 UU PTPK
1) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan
Sejak Peraturan Penguasaan Militer tahun 1957 hingga sekarang yang
dimasukkan dalam bagian inti delik (bestanddeel delict) dalam tindak pidana
korupsi adalah penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi peraturan peundangundangan
tidak
ada
memberikan
penjelasan
yang memadai
mengenai
penyalahgunaan wewenang, sehingga membawa implikasi interprestasi yang
beragam.
Berbeda
dengan
penjelasan
mengenai
“melawan
hukum”
78
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
79
Adami Chazawi, Opcit, halaman 46
Universitas Sumatera Utara
47
(wederrechtelijkheid)
yang
dirasakan
cukup
memadai
walaupun
dalam
penerapannya masih debatable.80
Sampai saat ini para sarjana atau pakar hukum pidana tidak memberikan
defenisi atau batasan pengertian tentang penyalahgunaan wewenang secara
memadai. Selain itu tidak ada satupun pernyataan dari pakar hukum pidana yang
menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan ranah dari hukum
administrasi, tetapi dalam praktik peradilan pembuktian penyalahgunaan
wewenang dilakukan dengan konsep-konsep dan parameter yang berlaku dalam
hukum administrasi.81
Kewenangan yang digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan
tertentu,
itulah
yang
disebut
menyalahgunakan
kewenagan.
Artinya,
menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak unutk melakukannya, tetapi
dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan
dengan hukum atau kebiasaan.
2) Perbuatan menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan
Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak
pidana korupsi dan tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang
berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku. Pada
umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan
dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara
80
Arief Ussama, Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi, Forum
Kajian Hukum UNPAK, Bogor, 2008, halaman 48
81
Ibid, halaman 53
Universitas Sumatera Utara
48
salah pada ketentuan-ketentuan tersebut.82 Orang yang karena jabatan atau
kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu untuk melakukan perbuatanperbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu jika digunakan
untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan
bertentangan
dengan
tugas
pekerjaannya,
maka
disini
telah
terdapat
menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.
3) Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam
mencapai tujuan. Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki
sarana atau alat yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatan
dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau
kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang
menjadi tugas dan tanggungjawabnya, tidak digunakan untuk perbuatan diluar
tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan. Dikatakan perbuatan
yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila
seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau
kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan denga tugas
pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya
Apa yang dimaksud dengan “ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”
tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau
kedudukan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, antara keberadaan
82
R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 39
Universitas Sumatera Utara
49
kewenangan, kesempatan, atau sarana haruslah memiliki hubungan dengan
jabatan atau kedudukan. Jabatan atau kedudukan menjadikan seseorang
mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan
atau kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan tersebut hilang, maka
serta merta juga kewenangan, kesempatan, dan sarana juga hilang karenanya.
Dengan demikian, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana karena jabatan atau keduduk
BAB II
KETENTUAN ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya
Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena
telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari
kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan
pemerintahan Negara.24 Fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah ada
sejak lama dalam kehidupan masyarakat, bahkan jauh sebelum zaman penjajahan.
Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat tertentu kepada penguasa
setempat atau kepada penjajah pada masa itu.25
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi
ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional
serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat
yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa.26
24
Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang ada masih banyak menemui egagalan. (http://id.shvoong.com/lawand-politics/law/2027081, Opcit.)
25
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-diindonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasantindak-pidana-korupsi/halaman 1
26
Ibid, halaman 2
Universitas Sumatera Utara
18
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di
negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang
menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di
akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat
kecil hingga pejabat tinggi.27
1.
Istilah Tindak Pidana Korupsi
Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian
konsideransnya, yang antara lain enyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai
dinamakan korupsi.28 Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya,
Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16
Agustus 1999 diganti denga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.29
Tujuan pemerintah dan pembuatan undang-undang melakukan revisi atau
mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi
27
Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008,
28
H. Elwi Danil. Opcit, halaman 5
Ibid.
halaman 3
29
Universitas Sumatera Utara
19
yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai
modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum,
yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.30
Pemahaman atas hal tersebut sangat membantu mempermudah segala tindakan
hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan
(preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya
memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
Pemahaman tentang korupsi perlu dijelaskan, karena korupsi merupakan
bagian dari tindak pidana itu sendiri. Secara umum pertbuatan korupsi adalah
suatu perbuatan yang melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dimana
dampak yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat dalam arti luas dan jika
dibiarkan secara terus menerus, maka akan merugikan keuangan Negara/
perekonomian Negara yang mengakibatkan Negara tersebut gagal dalam
mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera.
Black „s Law Dictionary mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi
dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hal-hak dari pihak lain.31
Syed Husein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan
menyebutkan benang merah yang menjekujuri dalam ativitas korupsi, yaitu
30
31
Ibid.
Rohim, SH, Opcit, halaman 7
Universitas Sumatera Utara
20
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa
akan akibat yang diderita oleh masyarakat.32
Modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi
bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan
(occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai
kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun
kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu cirri yang bersifat umum dari
kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga
ditujukan terhadap kepentingan hukum dari Negara.33
Secara harfiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan
yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Di dalam
Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003 United Nation Convention Againts
Corruption 2003 (UNCAC), yang telah diratifikasi Pemerintah RI dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, ada beberapa perbuatan yang
dikategorikan korupsi, yaitu sebagai berikut.34
1.
Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat public atau
swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat public atau swasta atau
internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak
semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang
ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam
32
http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/
halaman 1
33
P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan
Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman
7
34
Aziz Syamsuddin, Opcit, halaman 137-138
Universitas Sumatera Utara
21
2.
3.
pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan
dari tindakan tersebut.
Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat
public/swasta/internasional.
Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.
Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagaimana
yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi”.35 Syed Hussein Alatas mengemukakan secara
sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni
penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.36
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak pidana korupsi
tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga sanksi hukuman yang
diancamkan dan ditetapkan akan membantu memperlancar upaya penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi.
Syed Hussein Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai
berikut:37
a.
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b.
Krupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya;
c.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang;
35
36
37
Firman Wijaya, Opcit, halaman 7
Ibid.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1
Universitas Sumatera Utara
22
d.
Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;
e.
Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;
f.
Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan public atau umum (masyarakat);
g.
Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Selanjutnya ia mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai
berikut:38
1.
Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara
seorang pendonor denga resipien untuk keuntungan kedua belah pihak;
2.
Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan
untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang
dekat dengan pelaku korupsi;
3.
Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan
investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
4.
Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik
dalam pengangkatan kantor public maupun pemberian proyek-proyek bagi
keluarga dekat;
5.
Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat
keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders
information) tentang berbagai kebijakan public yang seharusnya dirahasiakan;
38
Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, 2008, halaman 2-3
Universitas Sumatera Utara
23
6.
Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi
intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan; dan
7.
Korupsi
Defensif,
yaitu
korupsi
yang
dilakukan
dalam
rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
Klitgaard mengemukakan bahwa korupsi ada apabila seseorang secara
tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan
sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam
berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari yang kecil sampai monumental. Korupsi
dapat melibatkan penyalahgunaan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip dan
perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, penegakan hukum dan
peraturan berkaitan dengan keselamatan umum, pelaksanan kontrak dan pelunasan
pinjaman atau melibatkan prosedur yang sederhana. Itu dapat terjadi pada sector
swasta atau sector public dan sering terjadi dalam kedua sector tersebut secara
simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya; pada sejumlah Negara yang
sedang berkembang, korupsi telah menjadi sistemik. Korupsi dapat melibatkan
janji, ancaman atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegawai negeri atau
masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak melakukan
atau melakukan; dapar melibatkan pekerjaan yang tidak sah maupun sah; dapat di
dalam atau di luar organisasi publik. Batas-batas korupsi sangat sulit
didefenisikan dan tergantung pada hukum lokaldan adat kebiasaan. Tugas pertama
dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan tipe-tipe kebiasaan korupsi
Universitas Sumatera Utara
24
dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-contoh yang
kongkrit.39
Adawi Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa
criteria/bagian, yaitu:
a)
Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi;
b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi;
c)
Atas dasar sumbernya;
d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;
e)
Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian
negara.
1.
Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subtansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu:
a)
Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan Negara,
perekonomian Negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai
negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang
masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam Pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
39
Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), Opcit, halaman 3-4
Universitas Sumatera Utara
25
11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430
KUHP).40
b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana yang
substansi objek mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum
bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan
disini hanya diatur dalam 3 Pasal, yakni Pasal 21, 22, dan 24 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU
PTPK).41
2.
Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana
korupsi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:42
a)
Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas
sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk
korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua
orang yang termasuk dalam keompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah
tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal-Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13,
15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.
40
Adami Chazawi, hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang, 2005, halaman 20
41
Ibid, halaman 22
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara
Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi
pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang
yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Artinya,
tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibenntuk untuk pegawai
negeri atau penyelenggara Negara. Orang yang bukan pegawai negeri tida
dapat melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri ini. Disini, kualitas
pegawai negeri meupakan unsure esensalia tindak pidana.43
3.
Atas Dasar Sumbernya
Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yakni:
a)
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi
dua macam, yaitu:44
1.
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam UU PTPK.
Rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana
dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan
aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama.
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
2.
Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada Pasal-Pasal tertentu dalam
KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah
43
44
Ibid, halaman 23
Ibid, halaman 24
Universitas Sumatera Utara
27
ancaman dan sistem pemidanaannya. Termamsuk dalam kelompok
tindak pidana ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan
dalam pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari pasal 220, 231, 421,
422, 429, dan 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.
b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan sendiri
sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli
yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Termasuk dalam kelompok ini ialah tindak
pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15,
16, 21, 22, dan 24.45
4.
Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana.
Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka
tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara lain:
a. Tindak pidana korupsi aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif ialah
tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur
perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materil yang bisa disebut
juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya
diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang.46
b. Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negative
45
46
Ibid, halaman 25
Ibid, halaman 25
Universitas Sumatera Utara
28
Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif adalah
tindak pidana yang unsure tingkah lakunya dirumuskan secara pasif.
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana
yang melarang untuk tidak berbuat aktif (disebut perbuatan pasif). Dalam
kehidupan sehari-hari ada kalanya seseorang berada dalam situasi tertentu
dan orang itu diwajibkan (disebutkan kewajiban hukum) hukum
melakukan suatu perbuatan (aktif) tertentu. Apabila ia tidak menuruti
kewajiban hukumnya untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut artinya dia
melanggar
kewajiban
hukumnya
untuk
berbuat
tadi,
maka
dia
dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana pasif tertentu.47
Tindak pidana pasif dalam doktri hukum pidana dibedakan menjadi
(a) tindak pidana pasif murni dan (b) tindak pidana pasif yang tidak murni.
Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang dirumuskan
secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya
adalah berupa perbuatan pasif. Tindak pidana korupsi pasif menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001
semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni. Sedangkan tindak
pidana pasif yang murni adalah berupa tindak pidana yang pada dasarnya
berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak
berbuat atau tidak melakukan perbuatan aktif.48
5.
Atas Dasar Dapat Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian
Negara.
47
48
Ibid, halaman 28
Ibid, halaman 28-29
Universitas Sumatera Utara
29
Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapar dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak
mensyaratkan
dapat
menimbulkan
kerugian
keuangan
Negara
atau
prekonomian Negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang
dapat membawa kerugian Negara pada sub (a) tersebut bukanlah tindak
pidana materil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana
korupsi secara sempurna tidakperlu menunggu timbulnya kerugian Negara.
Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat
menimbulkan kerugian Negara, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub
(a) maupun sub (b) dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana
formil dan tidak ada yang dirumuskan secara materil atau berupa tindak
pidana materil.49
2.
Sejarah Perundang-undangan Korupsi di Indonesia
Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan
dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:
1.
Delik-delik Korupsi dalam KUHP;
2.
Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan
Darat dan Laut);
49
Ibid, halaman 30
Universitas Sumatera Utara
30
3.
Undang-undang No. 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
4.
Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
5.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
6.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 31 Tuhan 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
1) Delik-delik korupsi dalam KUHP
Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku
sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodefikasi dan unifikasi berlaku
bagi semua golongan penduduk di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi
(diselaraskan dengan WvS tahun 1981 di Belanda).50 KUHP merupakan hasil
karya sarjana-sarjana hukum, yaitu Stibbe, Veenstra, Hagen, dan Scheur yang
tergabung dalam panitia pembuat rencana unifikasi pada tanggal 14 Juli
1909.51
KUHP merupakan suatu sistem dimana segala Pasal serta bab yang
ada didalamnya terikat dengan sistem itu. Sehingga ditarik 19 buah Pasal
untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi
yang masuk dalam delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II
50
51
Ibid, halaman 33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
31
KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan
seperti Pasal 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut
active omkoping), berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II
KUHP.52
Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut
dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan
kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.
Begitu pula dalam code penal, delik jabatan seperti itu termasuk dalam buku
tentang kejahatan biasa.53
2) Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat
dan Laut)
Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama adalah Peraturan
Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/ PM/ 06/ 1957, tanggal 27
Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut:
Bahwa berhubungan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha
memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian Negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi,
perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi,….dan
seterusnya.54
Penting untuk diketahui dari peraturan perundangan-undangan
tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilahistilah korupsi sebagai istillah hukum dan member batasan pengertian korupsi
sebagai berikut “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
52
Ibid, halaman 38
Ibid.
54
Ibid, halaman 41
53
Universitas Sumatera Utara
32
perekonomian Negara”.55 Kemudian peraturan penguasa militer ini
digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat
Nomor: Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada
tanggal 16 April 1958.56
Bagian yang menanrik dari peraturan penguasa perang pusat (AD/AL)
tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1
yang juga dijabarkan dalam Pasal 1dan 2, ahwa perbuatan korupsi terdiri
atas:57
1) Perbuatan korupsi pidana
2) Perbuatan korupsi lainnya (Pasal1)
Perbuatan korupsi pidana antara lain:
a.
Perbuatan seseorang denga atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian Negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
b.
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang
dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
55
Ibid, halaman 42
Ibid.
57
Ibid, halaman 43-44
56
Universitas Sumatera Utara
33
c.
Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420
KUHP (Pasal 2).
3) Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 ini pada awalnya
berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang kemudian
disahkanenjadi Undang-undang. Dasar pengesahan tersebut adalah Undangundang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan semua undang-undang
darurat dan semua peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang.58
Defenisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut
dirumuskan dalam Pasal 1 yang menyatakan:59
Pertama, “tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan
suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan tau perekonomian Negara tau daerah atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggarankelonggaran dari Negara atau masyarakat”
Kedua, “perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan
suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan…”
Ketiga, “kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21
peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, dan 432 KUHP”
58
Dani Krisnawati Dkk (Editor Eddy O. S. Hiariej), Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus,
Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman 48
59
Ibid, halaman 48-49
Universitas Sumatera Utara
34
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 187160 mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri dan
orang lain atau badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara
langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara dan
perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.61
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan
pro parte dolus pro parte culpa . Artinya, entuk kesalahan disini tidak saja
diisyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut
disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara sudah dapat
menjerat pelaku.62
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:63
1.
Barang siapa dengan melawan hukum melaukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan atau perekonomian Negara;
60
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini selanjutnya diubah dan digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diubah ladi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
61
Ibid, halaman 53
62
Ibid, halaman 54
63
Ibid, halaman 54-56
Universitas Sumatera Utara
35
2.
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langnsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;
4.
Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti
dimaksud pada Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah
atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini;
5.
Barang siapa dengan tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya,
seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak
melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;
6.
Barang siapa melakukan percobaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini.
Rumusan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi didalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini kemudian berkembang menjadi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Perkembangan
pengaturan
perundang-undangan
pidana
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
Universitas Sumatera Utara
36
perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaruan
hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa
Indonesia terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan
dan era reformasi seperti sekarang ini.64
Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi
dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik,
maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek
kebijakan, baik kebijakan social (social policy), kebijakan kriminal (criminal
policy) maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal law
enforcement).65
Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument
hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas
dasar 3 alasan utama, yaitu:66
1. Alasan Sosiologis
Krisis kepercayaan dalam setiap segemn kehidupan yang melanda
bangsa Indonesia, secara umum bermuara pada suatu penyebab besar, yaitu
belum terciptanya suatu pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi.
Sikap pemerintah yang terkesan belum konsisten dalam menegakkan hukum,
mengakibatkan bangsa ini harus membayar mahal, sebab realitas korupsi telah
menghancurkan perekonomian Negara.
Bertolak dari berbgai relitas sosial, maka secara sosiologis adalah wajar
dilakukan kebijakan legislative untuk memperkuat landasan hukum dalam
64
Elwi Danil, Opcit, halaman 17
Ibid, halaman 31
66
Ibid, halaman 17
65
Universitas Sumatera Utara
37
menciptakan pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Esensi pemikiran yang
demikian dapat diterapkan dalam kerangka filosofi penyusunan suatu undangundang tentang pemberantasan korupsi. Kerangka filosofi tersebut disamping
guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang semakin canggih
dan sulit pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian
yang lebih besar terhadap keuangan dan perekonomian Negara.
2. Alasan praktis
Alasan dan latar belakang pementukan suatu undang-undang dapat
diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU
Nomor 31 tahun 1999 yang dibentuk dengan konsideran dan pengakuan bahwa
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan
keuangan Negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi dalam rangka
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan
kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus
diberantas.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi sebelumnya
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan dianggap
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Oleh karena itu, perlu diganti dengan undang-undang yang baru sehingga akan
lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dimasa
mendatang.
3. Kebijakan Politis
Universitas Sumatera Utara
38
Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan
perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam
rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal
ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang
lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi
(good governance). Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundangundangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan
sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan
masalah korupsi.
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian
Keuangan Negara
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur
yang terdapt dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagai berikut:
Pasal:
Pasal 3:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling
sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana
dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar
rupiah.
Universitas Sumatera Utara
39
Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt
dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:67
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya
adalah sebagai berikut:
1.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
3.
Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Penjelasan Pasal 2 UU PTPK
1) Setiap orang
Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana
korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi.68
Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan
menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi
67
Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3
68
Universitas Sumatera Utara
40
yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.69
2) Secara melawan hukum
Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.70
a)
Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila
perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (hukum tertulis). Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum
adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam
rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah
terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam
arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan
delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum
69
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1
70
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
41
secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak
pidana telah terpenuhi.71
b) Sifat melawan hukum materil
Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu
perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar
bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi
syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu
perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah
dipandang tercela oleh masyarakat.
Sifat melawan huku materil berarti suatu tindak pidana itu telah
melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi
oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.72
Bersifat melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan
hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.73
Loebby Logman mengemukakan bahwa ukuran untuk mengatakan suatu
perbuatan melwan hukum secara materil bukan didasarkan pada ada atau
tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai
yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan
hukum secara formil cenderung melihat sifat dari sisi objek atau perbuatan
pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak
71
D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004,
halaman 39
72
D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta,
1987, halaman 7
73
Universitas Sumatera Utara
42
pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu
perbuatan melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil,
merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subjek
atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak
pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan
ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari sisi diri si
pelaku.74
Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam
mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan
undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan
hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain,
hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.
Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif,
yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur
tetapi jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka
perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak
memungkinkan untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang
mengandung asas legalitas didalamnya.
Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006
sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa
pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam
74
Loebby Logman, Beberapa Ikwal di Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, 1991, halaman 25
Universitas Sumatera Utara
43
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: “yang
dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan
denga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh
karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.75
3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya.
Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya),”
demikian
juga
dalam
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia
buah
tangan
Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan
orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi
bertambah kaya.76
Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK
1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat (1) sub (a)
75
Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa
konsep melawan hukum materiil (materiels wederechtlijk), yang merujuk pada hukum tidak
tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat,
sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari
satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang
melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang
sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat
setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut,
merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil
yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
76
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177
Universitas Sumatera Utara
44
adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat
ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada
terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian
rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan
saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 37 ayat (4) UU
PTPK Tahun 1999)
Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-kata “….kekayaan
yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan
tindak pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:77
a) Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan
pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan
perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya memperkuat
keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya
keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang
tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari
orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan
tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain
yang
menyatakan
keterangan
tertuduh
tidak
benar,
itu
merupakan
ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak
memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat
77
Ibid, halaman 178
Universitas Sumatera Utara
45
keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa
terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan
bagi negara.
b) Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan
berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar
pertambahan kekayaannya secara konkret.
c) Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat
membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung
diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum
dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh
secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang
memperkaya terdakwa.
4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara
Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian
negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.
Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak
Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
Universitas Sumatera Utara
46
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:78
a)
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat
Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah;
b) Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan
dan
pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan
modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Arti dari perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik
ditingkat pusat, maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memebrikan manfaat kemakmuran dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.79
2) Penjelasan Pasal 3 UU PTPK
1) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan
Sejak Peraturan Penguasaan Militer tahun 1957 hingga sekarang yang
dimasukkan dalam bagian inti delik (bestanddeel delict) dalam tindak pidana
korupsi adalah penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi peraturan peundangundangan
tidak
ada
memberikan
penjelasan
yang memadai
mengenai
penyalahgunaan wewenang, sehingga membawa implikasi interprestasi yang
beragam.
Berbeda
dengan
penjelasan
mengenai
“melawan
hukum”
78
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
79
Adami Chazawi, Opcit, halaman 46
Universitas Sumatera Utara
47
(wederrechtelijkheid)
yang
dirasakan
cukup
memadai
walaupun
dalam
penerapannya masih debatable.80
Sampai saat ini para sarjana atau pakar hukum pidana tidak memberikan
defenisi atau batasan pengertian tentang penyalahgunaan wewenang secara
memadai. Selain itu tidak ada satupun pernyataan dari pakar hukum pidana yang
menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan ranah dari hukum
administrasi, tetapi dalam praktik peradilan pembuktian penyalahgunaan
wewenang dilakukan dengan konsep-konsep dan parameter yang berlaku dalam
hukum administrasi.81
Kewenangan yang digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan
tertentu,
itulah
yang
disebut
menyalahgunakan
kewenagan.
Artinya,
menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak unutk melakukannya, tetapi
dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan
dengan hukum atau kebiasaan.
2) Perbuatan menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan
Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak
pidana korupsi dan tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang
berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku. Pada
umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan
dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara
80
Arief Ussama, Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi, Forum
Kajian Hukum UNPAK, Bogor, 2008, halaman 48
81
Ibid, halaman 53
Universitas Sumatera Utara
48
salah pada ketentuan-ketentuan tersebut.82 Orang yang karena jabatan atau
kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu untuk melakukan perbuatanperbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu jika digunakan
untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan
bertentangan
dengan
tugas
pekerjaannya,
maka
disini
telah
terdapat
menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.
3) Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam
mencapai tujuan. Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki
sarana atau alat yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatan
dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau
kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang
menjadi tugas dan tanggungjawabnya, tidak digunakan untuk perbuatan diluar
tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan. Dikatakan perbuatan
yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila
seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau
kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan denga tugas
pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya
Apa yang dimaksud dengan “ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”
tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau
kedudukan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, antara keberadaan
82
R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 39
Universitas Sumatera Utara
49
kewenangan, kesempatan, atau sarana haruslah memiliki hubungan dengan
jabatan atau kedudukan. Jabatan atau kedudukan menjadikan seseorang
mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan
atau kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan tersebut hilang, maka
serta merta juga kewenangan, kesempatan, dan sarana juga hilang karenanya.
Dengan demikian, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana karena jabatan atau keduduk