Tradisi Lisan Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep
2.1.1 Tradisi Lisan
Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis
keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi
masyarakat

dapat

berupa

adat

atau

budaya

masyarakat


setempat

(Koentjaraningrat, 1997:9). Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan
adat kebiasaan yang secara turun temurun dijalankan oleh masyarakat dan
menjadi kebiasaan yang bersifat rutin. Adat kebiasaan tersebut disampaikan
secara lisan dari generasi ke generasi dan selanjutnya dilakukan oleh masyarakat
setempat menjadi sebuah tradisi. Inilah yang menjadi tradisi lisan.
Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang
diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang
beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus
penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan
antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun
akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika,
norma, dan adat istiadat.
Pendekatan-pendekatan tradisi lisan yang lebih awal kebanyakan didesain
untuk menjelaskan sejarah dari bentuk-bentuk khusus (pada dasarnya yang
bersifat naratif) dalam hubungannya dengan originalitas, difusi atau evolusi.
Selanjutnya teori-teori tradisi lisan dikembangkan pemahamnnya secara teoritis.

Universitas Sumatera Utara


Dundes (1969) dan Holbek (1987) dalam Finnegan (1992:29) mengatakan
bahwa pengembangan dan kemunduran teori-teori: dongeng adalah mitos-mitos
yang sudah dipecah-pecah, yang turun levelnya dari level yang lebih tinggi ke
level anak-anak dan/atau level kaum kelas bawah; epik dikembangkan dari
gabungan lagu-lagu rakyat; dan teori-teori yang serupa.Development and
deterioration theories: fairy tales are broken down myths, sunk down from higher
levels to that of childrenand/or of lower classes; epics developed from composite
folksongs; similar theories. (Dundes, 1969; Holbek, 1987 dalam Finnegan, 1992:

29).
Menurut Finnegan (1992:29), pandangan tentang tradisi lisan secara
antropologis yang dikembangkan oleh Andrew Lang bahwa bentuk-bentuk tradisi
lisan seperti cerita-cerita sejenis legenda, kisah naratif yang membuat orang ingin
tahu apa selanjutnya berawal dari suatu periode cerita yang nampaknya tidak
rasional, jika dinilai berdasarkan sifat keprimitifannya. Namun, karena sudah
dapat dimengerti, kemudian cerita itupun diwariskan/diturunkan dari generasi ke
generasi.
Menurut Dick Van Det Meji (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan
kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan dari generasi ke generasi secara

tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian
yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon dan sebagainya.
Sibarani (2012:43-46) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri
tradisi lisan sebagai berikut:
1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan ,
sebagian lisan dan bukan lisan.

Universitas Sumatera Utara

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya.
3. Dapat diamati atau ditonton
4. Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan
harus mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun
kreasi baru yang ada unsur etnisnya.
5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain.
6. Proses penyampaian ‗dari mulut ke mulut‘. Tradisi yang disampaikan,
diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi
lisan.
7. Mengandung nilai-nilai dan norma budaya.

8. Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan,
sebuah tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang
disebut dengan variasi atau versi.
9. Milik bersama komunitas tertentu.
10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi
lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan
yang bukan lisan (non verbal). Oral traditions are the community’s traditionally
cultural activities inherited orally from one generation tro the other generation,
either the tradition is verbal or non verbal (Sibarani, 2012: 47).

2.1.2 Folklor
Secara etimologis, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Folk
berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal, fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri

Universitas Sumatera Utara

pengenal itu seperti: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian

yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama
(Sibarani, 2012:37). Sedangkan lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu
sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan
maupun melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu
pengingat, baik secara verbal maupun non verbal. Jadi, definisi folklore secara
keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).

Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja, 2002) seorang ahli folklor
AS, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya
yaitu:

1. Folkor lisan (verbal folklore)
2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore).
Folklor lisan bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang
termasuk pada kelompok ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti
logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (2) ungkapan

tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pomeo; (3) pertanyaan tradisional,
seperti teka-teki; (4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (5) cerita
prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat
(folksong), dan (7) musik rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran
unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang
―modern‖ seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan
ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti
tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang
dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap
berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu
permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini
selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat,
adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi

dua sub kelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk
folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah
asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat,
pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan
tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak
isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat.

Danandjaya (1994:3) mengemukakan sembilan ciri folklor yaitu:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
2. Folkor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif atau
dalam bentuk standar dalam waktu yang lama minimal dua generasi.

Universitas Sumatera Utara

3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda.
Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan),
biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa
folklor mudah mengalami perubahan.
4. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5. Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat bisanya

selalu mempergunakan kata-kata klise seperti ―bulan empat belas hari‖.
6. Folklor mempunyaikegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif. Cerita rakyat misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes
sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan ligika umum. Ciri folkor ini berlaku bagi folklor lisan dan sebagain
lisan.
8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan
karena penciptanya yang pertama sudah tidak ada sehingga setiap anggota
kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
9. Folklor umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak
folklor

merupakan

proteksi

emosi


manusia

yang

paling

jujur

manifestasinya.

Selanjutnya menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) ada beberapa
fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu:
1. Sebagai sistem proyeksi (projective system); folklor memperlihatkan
pandangan, pemikiran, dan

visi masyarakat pemilik folklor itu. Folklor itu

Universitas Sumatera Utara

menjadi cermin komunitas pemiliknya karena di dalam folklor itu tergambar

cara pandang (way of life) komunitas pemiliknya. Sebagai contoh, kalau di
Jawa Barat ada cerita Sangkuriang merupakan proyeksi keinginan manusia
untuk bersenggama dengan ibu kandungnya. Jika ditinjau dari psikoanalisis
Freud, keinginan manusia yang meledak-ledak itu sering terpendam.
Keinginan yang dinamakan odipus complex tersebut diwujudkan ke dalam
mimpi, karena masyarakat akan melarangnya.
2.

Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating
culture); folklor merepresentasikan dan melegitimasi eksistensi pranata dan

lembaga kebudayaan. Pranata dan lembaga kebudayaan akan semakin eksis
dan legal dengan adanya folklor sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat
itu.

Sebagai contoh, di Jawa Timur ada legenda cecak yang menghianati

Nabi Muhammad SAW, yakni kisah nabi yang telah dikhianati cecak
berwarna kelabu, sewaktu beliau bersembunyi di dalam goa untuk
menghindari kejaran musuh-musuhnya. Legenda ini digunakan untuk

menghindari masyarakat Jawa Timur tidak membunuh cecak berwarna kelabu
pada hari Jumat Legi. Apabila hal ini dilanggar akan menyebabkan sial.
3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device); menggali nilai-nilai
pendidikan yang ada pada folklor khususnya nilai-nilai pendidikan karakter
yang bersumber dari kearifan lokal (bentuk ajaran pada anak). Sebagai
contoh, dalam lagu rakyat Dang-dang Tut, menurut Sanimo (1992:4)
merupakan pendidikan agar siapa yang berbuat salah sebaiknya mengaku
salah.

Universitas Sumatera Utara

4.

Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat
pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya (as a mean of applying social pressure and
exercisingsocial control); folklor berisikan petuah-petuah, etika dan norma-

norma yang perlu diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat.

Selanjutnya Dundes (dalam Endraswara, 2008:129-30) menambahkan fungsi
lain, yaitu:

1.

Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif (promoting a group’s feeling
of solidarity). Sebagai contoh, tentang legenda kepahlawanan Pangeran

Sambernyawa, akan mempertebal solidaritas bangsa dan khususnya bagi
warga Mangkunegaran, mitos Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan
Senopati.
2.

Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang. Sebagai contoh,
ketika anak-anak memberikan cangkriman kepada orang dewasa, jaran
madhep ngetanbuntute neng ngendi? Jika orang dewasa menjawab: neng
kulon, spontan anak tadi akan menyalahkan. Yang betul ekornya di atas silit

atau di tempat semula.
3.

Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa
sakit hati dan pemberian hukuman. Sebagai contoh, kaya kuping ngluwhi
sungu, untuk menyebut orang bawahan yang akan kurang ajar terhadap

atasannya.
4.

Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat (serving a
vehical for social protes). Sebagai contoh, dagelan atau lawak dalam

Universitas Sumatera Utara

masyarakat Jawa sebagai pertunjukan segar yang sering diboncengi misi
protes. Oleh karena bentuk protes lewat seni, justru lebih menarik.
5.

Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (offering an enjoyable
escape from reality), yang penuh kesukaran, sehingga dapat mengubah

pekerjaan yang membosankan, menjadi permainan yang menyenangkan.
Fungsi semacam ini disebut juga fungsi rekreasi.
6.

Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan (converting
dull work into play).

Dari fungsi tersebut berarti folklor dapat memuat aneka ragam fungsi, seperti
fungsi kultural, hukum, politik, dan keindahan. Fungsi-fungsi tersebut tentu saja
bisa berubah dan atau berkembang dalam kehidupan pemilik folklor.

2.1.2.1 Folklor Anak
Secara psikologis, anak tergolong mudah menerima folklor. Hafalan anak jauh
lebih kuat, dalam memori sajak-sajak dan permainan bunyi. Di samping itu,
psikologi anak juga membenarkan bahwa mereka gemar bermain. Dalam bermain,
banyak unsur folklor yang dilagukan. Oleh sebab itu, folklor anak jauh lebih lekat
di hati mereka, bahkan setelah menjadi orang dewasa pun folklor anak itu masih
membekas (Endraswara, 2008: 60). Sejak dini anak-anak telah menjadi
pendengar, anak-anak (balita) usia 4-5 tahun, sudah dapat menerima dan
merasakan keindahan inti sari cerita karena kepintaran otaknya mengungguli
kekuatan badannya (Gana, 1966: 53). Pada usia taman kanak-kanak (4-7 tahun)
mereka sudah dapat menangkap cerita yang dikisahkan, meskipun belum dapat
membedakan khayalan dengan kenyataan. Pada usia sekolah dasar (7-12 tahun) di

Universitas Sumatera Utara

samping mendengarkan, anak-anak sudah dapat membaca. Para ahli berpendapat
bahwa anak-anak usia 8-12 tahun merupakan pengamat-pengamat yang teliti dan
serius karena pandangan mereka yang realistis terhadap dunia, serta pandangan
mereka yang serius terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Dalam kaitannya dengan folklor anak yang berupa kisah atau cerita, Davis
(dalam Endraswara, 2008: 62) mengemukakan bahwa cerita anak itu bersifat:

1.

Tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam
bentuk mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang
romantis.

2.

Idealistis, yaitu yang pantas dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan
yang terbaik yang diambilkan dari zaman dahulu dan karya penulis terbaik
pada masa kini.

3.

Populer, yaitu bersifat hiburan, yang menyenangkan anak-anak

4.

Teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan dan
arahan orang-orang dewasa serta penulisannya dikerjakan oleh orang-orang
dewasa pula.

2.1.2.2 Nilai Luhur Folklor Anak
Pribadi anak adalah polos. Maksudnya seperti kertas putih, dapat dicoret
apapun. Jiwa yang masih bersih ini dapat diisi dengan cerita apa saja. Berkenaan
dengan hal ini, dalam cerita anak-anak sebetulnya terkandung nilai-nilai luhur,
terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Dongeng, misalnya, dapat dijadikan
sarana pendukung pendidikan untuk membentuk kepribadian yang berjiwa
teladan. Cerita atau bacaan merupakan sumber penting yang membukakan

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan-kemungkinan perkembangan jiwa. Figur-figur andalan anak dalam
folklor akan diteladani dalam sikap hidupnya.

Anak memiliki kebebasan jiwa. Anak juga kaya akan alternatif. Namun, perlu
diketahui bahwa anak dibesarkan dan belajar tidak dalam kevakuman budaya
(Edwards, 2004:89). Budaya yang dimaksud adalah berbagai adat kebiasaan,
perilaku verbal dan non verbal, dan lain-lain, sebagaimana yang didemonstrasikan
secara konkret oleh dan di lingkungan keluarganya. Budaya semacam ini hampir
seluruhnya terangkum dalam kandungan folklor. Setiap folklor merupakan
refleksi pengalaman yang berharga bagi perkembangan budaya anak. Oleh sebab
itu folklor tersebut jika diberdayakan akan mempengaruhi perjalanan dan
perkembangan kejiwaan anak selanjutnya. Meskipun seorang anak belum dapat
membaca, tetapi sudah dapat menerima rangsangan suara dan gerak, maka lewat
media suara dan gerak inilah nilai dan kenikmatan keindahan diberikan.
Singkatnya, sastra yang diperkenalkan kepada anak adalah sastra yang
bermediakan suara dan diperkuat dengan gerakan-gerakan anggota badan yang
mendukung. Jika puisi yang diberikan kepada anak, maka puisi itu adalah puisipuisi yang dilagukan, puisi lagu, dan jika cerita fiksi yang diberikan (setelah anak
mampu memahami), maka cerita anak itu adalah cerita yang dikisahkan secara
lisan atau dibacakan dari buku.

Hal tersebut menandai bahwa juru dongeng, pelantun tembang, juru kisah, dan
penutur amat penting bagi jiwa anak. Kemampuan atraktif mereka dibutuhkan
dalam rangka mengorganisasi kelenturan jiwa anak. Dalam kaitan ini, puisi anak
yang dilagukan, tembang dolanan anak, atau nyanyian yang biasa didendangkan

Universitas Sumatera Utara

saat menimang, menina bobo (lullaby), dipandang lebih komunikatif dalam jiwa
anak. Anak lebih mudah menerima pesan lewat lagu yang didendangkan, apalagi
disertai mimik dan atraksi.
2.1.3 Masyarakat Batak Toba
Sebagai satu kesatuan etnik, MBT mendiami suatu daerah kebudayaan
(culture area ) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Luas
daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km2. Umumnya tanah kawasan ini
terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah
berada pada 20- 30 Lintang Utara dan 980 – 99,50 Bujur Timur. Luas daratan
Provinsi Sumatera Utara 71.680 km2. Sumatera Utara dibagi menjadi 26
kabupaten, 8 kota (dahulu kotamadya), 325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan/desa.
Populasi penduduk diperkirakan 12.985.075 (tahun 2010), dengan kepadatan 177,
9/km kuaderat terdiri dari berbagai kelompok etnis. Batak (41, 95%), Jawa (32,
62%), Nias (6, 36%), Melayu (4, 92%), Tionghoa (3, 07%), Minangkabau (2,
66%), Banjar (0, 97%), lain-lain (7, 45%) (Pemerintah Propinsi Sumatera Utara,
2010)
Wilayah Batak Toba berada di sekeliling danau Toba, Sumatera Utara.
Sekarang ini wilayah Batak Toba meliputi: Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten
Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan.
Adapun batas-batas wilayah Batak Toba adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten
Mandailing Natal.

Universitas Sumatera Utara

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Tapanuli
Tengah.
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan (Lumbantoruan, 2012:1).
MBT mendiami wilayah Batak Toba, dan selain itu telah banyak berada di
luar wilayah Batak Toba. Pada umumnya MBT hidup dari pertanian, dan mereka
dikenal sebagai pekerja keras dan pantang menyerah.
MBT terkenal sebagai pemegang teguh adat yang merupakan warisan nenek
moyang. Struktur kekerabatan serta kehidupan masyarakat diatur dalam falsafah
hidupnya yang disebut dalihan natolu. Dalihan natolu terdiri dari: hula-hula yaitu
kelompok pemberi mempelai wanita, dongan tubu yaitu kerabat atau teman
semarga, dan boru yaitu kelompok penerima mempelai wanita.
Pada umumnya MBT adalah penganut agama Kristen (Protestan dan Katolik)
diperkirakan sekitar 95%, sedangkan 5% lainnya adalah penganut agama Islam
dan penganut kepercayaan tradisional. Penganut kepercayaan tradisional yang
dimaksud adalah: parbaringin, parmalim, dan golongan si Raja Batak
(Lumbantoruan, 2012: 4).
2.1.4 Permainan Tradisional Anak Pada Masyarakat Batak Toba
Perkembangan industri permainan bagi anak-anak yang sudah berbalutkan
tehnologi mengalahkan trend permainan tradisional. Tak kala sudah sangat jarang
sekali terlihat anak-anak di sekitar kita yang masih bertahan dengan permainan
tradisional. Khususnya bagi orang tua, saat ini permainan itu sudah menjadi
memori yang hanya bisa dikenang namun bukan untuk diterapkan lagi untuk
anak-anak. Kalau dibandingkan dengan kondisi tempo dulu interaksi sosial
bersama anak tercipta pada saat bermain dengan ragam permainan tradisional

Universitas Sumatera Utara

anak. Permainan tradisional anak pada MBT terdiri dari permainan yang
menggunakan alat, permainan yang tidak menggunakan alat, dan permainan yang
menggunakan nyanyian atau lagu.

2.1.4.1 Permainan yang Menggunakan Alat
Permainan yang menggunakan alat adalah permainan yang menggunakan alat
ketika bermain. Contoh permainan tradisional anak pada MBT yang
menggunakan alat adalah sebagai berikut:

1. Marsitengka (marsitekka)

Maristekka merupakan salah satu permainan tradisional anak-anak yang

sangat digemari. Permainan ini biasanya dilakukan di sekolah dan di depan
rumah-rumah masyarakat Batak Toba. Permainan ini biasanya dilakukan oleh 2
orang anak. Caranya dengan membuat beberapa kotak persegi empat yang
digariskan di tanah dengan menggunakan kayu atau kapur putih jika area
permainannya berlantai semen. Permainan ini menggunakan alat seperti batu yang
dilemparkan ke salah satu kotak, ketika berlomba dengan melompat-lompat di
dalam kotak tersebut dengan aturan kaki peserta tidak boleh mengenai tepi garis
kotak tersebut dan melangkahi batu yang disebut "umpan" yang harus di ambil si
peserta pada saat memutar dari ujung kotak

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1: Permainan marsitengka (marsitekka)
Sumber: www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014

2.

Pat ni Gajah - Lomba Tempurung Kelapa

Permainan ini memakai potongan tempurung kelapa yang sudah kering
dengan bantuan tali yang diikatkan ke lubang tempurung kelapa serta saling
berhubungan. Permainan ini memerlukan kekuatan tenaga yang kuat karena harus
berlari di atas kedua tempurung yang diikatkan tadi. Biasanya permainan ini
dilakukan beberapa orang dan sering peserta berjatuhan dan putus talinya.

Gambar 2.2: Permainan pat ni Gajah
Sumber: www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014

Universitas Sumatera Utara

3. Marjalengkat (marjalekkat)

Dulu, marjalengkat ini sering dilakukan sebagai ajang adu ketangkasan yang
berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan berlari dengan memakai alat bantu
dua tongkat. Biasanya tongkat tersebut terbuat dari batang pohon bambu. Dan
jenis permainan ini dilakukan pada siang hari. Keseimbangan tubuh sangat
diperlukan karena pada marjalengkat ini kedua kaki tidak boleh menginjak tanah.
Bagian tubuh hanya dipikul oleh alat bantu dua buah tongkat dan harus bisa
berlari melintasi badan jalan dan bahkan sering dilakukan melintasi sungai.

Gambar 2.3: Permainan marjalengkat (marjalekkat)
Sumber: www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014
4. Marultop ( Bambu Tembak)

Marultop merupakan permainan yang menggunakan alat yang terbuat dari bambu

dan pelurunya terbuat dari biji atau buah pohon atau dari gulungan kertas.
Caranya, kertas di basahi air, lalu di dimasukkan ke lubang laras sampai padat lalu
disodok. Suara letusan dari laras senapan ini tidak kalah dengan senjata mainan
yang banyak dijual di toko-toko mainan anak. Bahkan, suaranya tidak membuat
bising dan tidak mengejutkan siapa saja yang mendengarnya. Sejumlah anak
mengaku, jika terkena sasaran senapan bambu, tidak sakit.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4: Marultop (Bambu Tembak)
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
2.1.4.2 Permainan yang Tidak Menggunakan Alat
Permainan yang tidak menggunakan alat adalah permainan yang tidak
menggunakan alat ketika bermain. Contoh permainan yang tidak menggunakan
alat pada MBT adalah margala . Permainan margala adalah permainan yang
mengandalkan kecepatan kaki dan pikiran untuk mengatur strategi mengalahkan
lawan.

Gambar 2.5: Permainan Margala
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.3 Permainan yang Menggunakan Nyanyian
Permainan

yang

menggunakan

nyanyian

adalah

permainan

yang

menggunakan nyanyian ketika bermain. Contoh permainan yang menggunakan
nyanyian dalam MBT adalah: sampele sampele, jambatan Tapanuli, kacang
koring, sada dua tolu, dan lain-lain. Permainan yang menggunakan nyanyian ini

akan dibahas lebih jauh pada bab empat.
2.1.5 Sastra Lisan Batak Toba
Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke
mulut secara turun temurun (Endaswara, 2008: 151) dan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.

Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat
tradisional.

2.

Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa
penciptanya.

3.

Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik.

4.

Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.

5.

Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
klise.

6.

Tradisi lisan sering bersifat menggurui.
Oleh karena itu sebuah sastra lisan yang penyebarannya melalui mulut ke

mulut dapat dikatakan tradisi lisan. Tradisi lisan mempunyai fungsi sosial atau
manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.
Perihal sastra lisan Batak Toba, seorang ahli sastra Batak berkebangsaan
Jerman bernama Profesor Uli Kozok (dalam Lumbantoruan, 2012:6) mengatakan

Universitas Sumatera Utara

bahwa ―sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat
dalam bentuk fable, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-torhanan
dan turi-turian, huling-hulingan semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan

secara lisan dari generasi ke generasi”. Walaupun orang Batak sudah berabadabad memiliki tulisan tersendiri mereka tidak pernah menggunakan sistem
tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang
Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan yaitu: (1) ilmu kedukunan
(hadatuon), (2) surat-menyurat (termasuk surat ancaman), dan (3) ratapan (hanya
di Karo, Simalungun, dan Angkola Mandailing).
Sastra lisan Batak Toba yang merupakan warisan leluhur MBT masih dapat
disaksikan hingga saat ini. Sastra lisan seperti tarombo, umpasa, umpama, hata
adat, turi-turian, andung/andung-andung, huling-hulingan, ende-ende bahkan
tonggo-tonggo masih bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

merupakan suatu keunggulan MBT yang mampu meneruskan tradisi lisannya dari
generasi ke generasi hingga sekarang ini.
Masyarakat Batak Toba (MBT) memiliki sebuah tradisi yang unik dalam
kehidupannya, yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi tersebut adalah
nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat anak-anak merupakan salah satu tradisi lisan
MBT yang hampir hilang dan pupus ditelan zaman. Untuk itu perlu dilakukan
dokumentasi dan fungsionalisme yang berkelanjutan terhadap tradisi lisan ini.
2.1.6 Nyanyian Rakyat (folksong)
Nyanyian rakyat disebut juga puisi oral. Dikatakan puisi oral karena pencipta,
penyebaran, dan penerimaan lagu dilakukan secara lisan. Dalam hal ini,
Nurgiyantoro (dalam Endraswara, 2008: 65) menyatakan bahwa syair lagu atau

Universitas Sumatera Utara

tembang tidak lain adalah puisi. Tembang atau nyanyian dapat pula disebut
sebagai puisi yang dilagukan, atau puisi lagu. Sebagai sebuah karya seni, puisi,
termasuk puisi anak, mengandung berbagai unsur keindahan, khususnya
keindahan yang dicapai lewat bentuk-bentuk kebahasaan.
Nyanyian rakyat merupakan salah satu

sumber dan

media

dalam

mengaktualisasikan diri sebagai perwujudan dan pancaran dari sifat manusia yang
senang berkesenian dan bermain. Selaras dengan pandangan Brunvand (dalam
Danandjaya, 1994:141) bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor
yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota
kolektif tertentu berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.
Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu
yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan
beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki
perbedaan dengan nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena
sifat dari nyanyian rakyat yang mudah berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya.
Sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian lainnya.
Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu masyarakat dari pada
lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf
maupun buta huruf, kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian
rakyat pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat juga
beraneka ragam, yakni dari yang paling sederhana sampai yang cukup rumit.
Penyebarannya melahirkan tradisi lisan menyebabkan nyanyian rakyat cenderung
bertahan sangat lama dan memiliki banyak varian-varian.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Brunvand, nyanyian rakyat dapat digolongkan dalam 3 jenis yaitu:
a.

Nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan

lagunya memegang peranan yang sama penting. Jenis nyanyian rakyat ini
dibagi menjadi: (1). Nyanyian kelonan (lullaby); (2). Nyanyian kerja
(working song). Nyanyian ini bersifat menggugah semangat kerja karena
bekerja

mempunyai

tujuan

untuk

meminang

kekasih

pujaannya.

(3). Nyanyian permainan (playing song)
b.

Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yakni nyanyian rakyat yang teksnya

bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang
anonim itu, tanpa menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Jenis dari
nyanyian ini yaitu: (1). Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, yakni
nyanyian-nyanyian

yang

liriknya

mengungkapkan

perasaan

tanpa

menceritakan suatu kisah yang bersambung. (2). Nyanyian rakyat liris yang
bukan sesungguhnya, yakni nyanyian rakyat yang menceritakan kisah yang
bersambung (coherent). Uraian lebih terperinci mengenai hal ini yaitu sebagai
berikut: a)

Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan

lainnya. b) Nyanyian rakyat yang memberi nasehat untuk berbuat baik.
c) Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan pernikahan.
c.

Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative songs).
Nyanyian rakyat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Masyarakat
adalah sekelompok orang yang mempunyai kebudayaan yang sama atau
setidaknya mempunyai sebuah kebudayaan bersamayang dapat dibedakan
dari yang dimiliki oleh

kelompok

lainnya. Mereka tinggal satu daerah

wilayah tertentu, mempunyai perasaan akan adanya persatuan akananggota-

Universitas Sumatera Utara

anggotanya dan menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda
dengan yang lainnya.
2.1.7 Nyanyian Rakyat Anak-Anak pada Masyarakat Batak Toba
Pada MBT terdapat dua jenis nyanyian anak yaitu nyanyian menidurkan anak dan
nyanyian permainan anak.
2.1.7.1 Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)
Nyanyian menidurkan anak adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan sebagai
nyanyian pengantar tidur bagi anak. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan oleh
seorang ibu. Nyanyian menidurkan anak (dideng) bisa dilakukan kapan saja disaat
anak hendak tidur baik di waktu siang maupun malam hari. Akan tetapi waktu
yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah di siang hari. Dideng dalam
menidurkan anak biasanya berlangsung di dalam rumah sianak itu sendiri, tetapi
jika ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke ladang, maka dideng juga
bisa berlangsung di tempat tersebut. Dalam mendidengkan anak biasanya
dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan menimang-nimang sambil
menggendong anaknya, kedua dengan memasukkan anak kedalamayunan. Contoh
nyanyian menidurkan anak pada MBT adalah Dideng dideng.
2.1.7.2 Nyanyian Permainan Anak
Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang dinyanyikan anak-anak pada
saat bermain. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan secara kolektif oleh anak-anak
dalam jumlah yang besar, di luar rumah atau di pekarangan yang luas. Contoh
nyanyian permainan anak pada MBT adalah: Sampele sampele, Jambatan
Tapanuli, Kacang koring, Sada dua tolu.

Universitas Sumatera Utara

Sebagaimana ciri-ciri folklor pada umumnya (Danandjaja, 1991:3-5), maka
nyanyian anak MBT memiliki tujuh ciri yaitu:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan dari mulut ke mulut. Dalam proses ini enkulturasi kebudayaan
dilakukan dengan alamiah, dan tidak memiliki jadwal tertentu yang ketat,
disesuaikan dengan pola kehidupan sehari-hari MBT.
2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Bentuk yang tetap atau standar ini menjadi norma atau aturan
umum dalam menyanyikannya, tidak boleh diubah-ubah dengan sekehendak
hati penyanyinya, melainkan mengikuti ketetapan yang telah disetujui secara
kolektif. Nyanyian ini juga disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu
yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). Oleh karena proses yang
demikian, biasanya nyanyian ini sangat fungsional dalam konteks sosio budaya
masyarakat.
3. Nyanyian anak ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang
berbeda. Meskipun pada umumnya memiliki bentuk yang tetap dan standar,
namun ada pula nyanyian anak memiliki versi dan variasi yang berbeda. Hal
ini disebabkan oleh pengembangan nyanyian anak ini oleh masing-masing
pencipta atau penyanyi, dan juga sebagai dampak dari enkulturasinya yang
dilakukan secara lisan, sehingga akurasi nada ataupun melodi tidak
diutamakan.
4. Nyanyian anak bersifat anonim, artinya nama penciptanya sudah tidak
diketahui lagi. Hal ini disebabkan oleh karena nyanyian ini bagian dari tradisi
yang usianya relatif lama, dam selain itu nyanyian anak bukan bagian dari

Universitas Sumatera Utara

kebudayaan populer yang memerlukan pencipta dan royalti, melainkan sebagai
bagian dari kehidupan kelompok yang lebih mengutamakan fungsi sosial.
5. Nyanyian anak mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
Inilah yang menjadi ciri utama bahwa nyanyian anak sangat fungsional dalam
kehidupan masyarakat. Di antara fungsi sosio budayanya adalah untuk
menghibur anak. Selain itu untuk sarana pembelajaran nilai-nilai kehidupan
kelompoknya. Nyanyian ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan peran
keluarga, baik keluarga inti, atau yang lebih luas struktur MBT. Nyanyian anak
juga berfungsi sebagai sarana kontinuitas kebudayaan Batak Toba. Nyanyian
ini juga memiliki fungsi untuk kesehatan fisik dan rohani, serta berbagai fungsi
lainnya.
6. Nyanyian anak adalah milik bersama dari suatu kolektif. Nyanyian anak ini
dimiliki bersama, bukan dimiliki secara individu. Dalam hal ini nyanyian anak
Batak Toba seperti diuraikan di atas adalah milik MBT. Oleh karena itu
nyanyian ini termasuk kepada milik dan hak intelektual MBT, secara
keseluruhan, bukan saja yang tinggal di desa tetapi juga di kota, bukan saja
yang tinggal di kawasan budaya Batak Toba, tetapi juga mereka yang merantau
ke daerah lainnya.
7. Nyanyian anak umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat
kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa
nyanyian anak merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur
manifestasinya.
Dari ciri-ciri nyanyian anak di atas, maka MBT belajar nyanyian anak adalah
secara lisan dari mulut ke mulut. Seorang ibu ataupun nenek, menggendong

Universitas Sumatera Utara

anaknya sambil menyanyikan dideng dideng, membuai dan menepuk secara
perlahan-lahan, nyanyian dikumandangkan terus menerus hingga si anak tidur.
Tentu anak gadis si ibu tersebut mendengarkan nyanyian yang didendangkan si
ibu. Dengan terbiasa melihat dan mendengarkan nyanyian tadi, kemudian ia
menghapal dan mencoba, lama kelamaan dapat menirunya. Sang gadis tadi dapat
menidurkan adiknya melalui nyanyian yang baru dipelajarinya. Begitu juga
nyanyian permainan anak, anak-anak kecil melihat dan mendengarkan saudara
maupun teman-teman mereka yang lebih besar bernyanyi sambil bermain. Dengan
terbiasa melihat dan mendengarkan nyanyian permainan tersebut, mereka
menghapal dan mencoba, lama kelamaan dapat memainkannya. Begitulah proses
belajar mendidengkan anak dan menyanyikan nyanyian permainan anak pada
MBT Sumatera Utara.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Fungsionalisme Folklor
Dalam menganalisis nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, akan digunakan teori
fungsionalisme folklor, teori semiotik, dan teori teks, konteks serta konteks. Teori
fungsionalisme folklor terbagi dua yaitu:
2.2.1.1 Fungsionalisme Murni
Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog sosial.
Dia tertarik pada dongeng masyarakat primitif. Menurut dia, dongeng dapat
dijadikan sebagai alat pendidikan dan kontrol sosial. Dongeng suci dianggap
sebagai hal sakral dan benar-benar terjadi. Karenanya di wilayah Trobriand, ada
dongeng yang berfungsi sebagai pedoman keagamaan, kesusilaan, dan aktifitas

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Fungsi semacam ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki
fungsi bagi pemenuhan kebutuhan naluri manusia.
Pada dasarnya folklor akan berfungi memantapkan identitas serta meningkatkan
integrasi sosial, dan secara simbolis mampu mempengaruhi masyarakat. Bahkan,
kadang-kadang folklor justru lebih kuat pengaruhnya dibanding sastra modern.
Folklor akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan tata nilai yang berupa
sikap dan perilaku.
Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor
milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang
mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak
menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi
dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor di suatu tempat kurang
berfungsi, di tempat lain justru memegang peranan penting. Prop (1975:21)
menyatakan: ―Function is understood as an act of character, defined from point of
view of its significance for the course of the action : Dalam konteks ini, fungsi

merupakan bentuk ―ketergantungan‖ secara utuh pada sebuah sistem budaya.
Dalam kaitan ini, fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).
Dalam menganalisis fungsi nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yaitu
nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak akan digunakan teori
fungsionalisme folklor murni yaitu bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi
pemenuhan kebutuhan naluri manusia.
Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) fungsi folklor bagi pendukungnya
adalah:

Universitas Sumatera Utara

1. Sebagai sistem proyeksi (projective system)
2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture)
3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device)
4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat
pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya
Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara, 2008: 129-30) menambahkan
fungsi lain, yaitu:
1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif
2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang.
3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit
hati dan pemberian hukuman.
4. Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat
5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (fungsi rekreasi).
6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan
2.2.1.2 Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural meyakini bahwa memiliki fungsi bagi pemenuhan
keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai
pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan yang ditemukan oleh institusi,
yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Di lain pihak,
Evan Pritchard berpendapat bahwa struktur sosial adalah konfigurasi kelompok
yang mantap.
Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu sama lain saling
terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal tersebut

Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949:542) bahwa struktur sosial merupakan
bentuk ―eksis‖ pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi
manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu
pula folklor. Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan
itu membentuk struktur yang unik.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek
struktural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial.
Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi
kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih
jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar.
Setiap unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus
diteima atau ditolak oleh unsur lain. Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada
―pola pilihan‖ yang harus diambil. Pada saat itu masyarakat akan menentukan
pilihan dan memutuskan.
2.2.2

Teori Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang
berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori
semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda,
bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia
dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang
lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tanda-tanda itu mempunyai arti
dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan struktur

Universitas Sumatera Utara

tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotika
ketandaan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara
ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun
non verbal.
Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang
ahli linguistik dari Swiss dan Charles Sander Pierce, seorang folosof dari
Amerika Serikat (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama
semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Saussure melihat
bahasa sebagai system yang membuat lambing bahasa itu terdiri dari sebuah imaji
bunyi (soundimage) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified).
Setiap bahasa mempunyai lambing bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai system lambang, tetapi terdiri
dari

tiga bagian yang

saling

berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(interpretant), dan (3) objek. Peirce membedakan lambang-lambang kedalam tiga

kategori: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunujukkan
hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu
adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang
menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret,
gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda yang menunujukkan
hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap
menandai api, alat penanda angin menunujukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunujukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka).

Universitas Sumatera Utara

Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‗Ibu‘ adalah simbol, artinya ditentukan
oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya
mother . Perancis menyebutnya la mere. dsb. Adanya bermacam-macam tanda

untuk satu arti itu menunujukkan ―kesemena-menaan‖ tersebut. Dalam bahasa,
tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Panuti Sudjiman danvan Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti
tanda atau isyarat dalam satu system lambing yang lebih besar. Mana kala bidang
pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi.
Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis
makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan
dengan

lambang, termasuk: penggunaan lambing, isi pesan, dan cara

penyampaiannya. Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang,
objek dan makna. Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerimayang
menghubungkan lambing dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang
berfungsi sebagai perantara antara lambing dengan objek yang dilambangkan.
Oleh karena itu, makna lambing hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas
saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.
Berdasarkan gambar 2.6 berikut, yaitu segitiga Makna Ogden & Richards
(1923) maka dapat dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara
lambang atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan tak langsung
ini digambarkan oleh garis terputus-putus antara lambing atau isyarat dengan
objek. Garis penghubung antara pemikiran dengan lambang-lambang dan
pemikiran dengan objek yang dirujuk adalah secara terus dan langsung.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6: Segi Tiga Maknadari Ogdendan Richard (1923)
Sumber: Theories of Human Communications (oleh Stephen Littlejohn, 1992:64,
juga Zaleha Abu Hasan 1996:57)
Hubungan ini menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi
makna

lambing dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa

pikiran

seseorang

mengkonseptualisasikan

sesuatu

objek

yang

dirujuk

berdasarkan rupa bentuk lambing atau isyarat tertentu. Karena itu terwujudlah
hubungan secara tidak langsung antara lambing dengan objek walaupun pada
kenyataannya hubungan itu tidak mutlak. Hubungan antara pemikiran, lambing
dan objek yang dirujuk itu akan menghasilkan makna. Oleh karena itu, hubungan
lambang dengan objek bersifat arbitrer. Pengertian terhadap sesuatu lambing juga
berubah-ubah dari masak emasa menurut keadaan dan kehendak masyarakat.
Makna digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan. Pemancaran makna
dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya
baik dalam

bentuk bahasa ataupun perbuatan, atau kedua-duanya sekaligus.

Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan disusun secara sistematik
untuk mewujudkan makna tertentu. Oleh karena pengirim bebas memilih

Universitas Sumatera Utara

lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif.
Oleh karena itu, hubungan antara lambing dengan objek yang dilambangkan
adalah berdasarkan imajinasi suatu objek. Pikiran penerima harus menafsi lambing
yang digunakan oleh pengrimpesan. Penafsiran penerima terhadap makna lambing
adalah bergantung kepada situasi dan juga konteks. Dalam hal ini cara pengirim
menggunakan lambang sangat penting untuk merangsang fikiran penerima bagi
mengkonseptualisasikan objek. Rangsangan itu juga sangat penting karena
lambang mempunyai makna yang versatil yaitu lambing bisa membawa makna
konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain dapat membawa
makna denotatif bergantung kepada konteksnya.
Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran
utama, yaitu Saussurean dan Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006:103),
dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat
dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut:
(1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam
kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan
maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu
lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
(2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh
makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda
tanpa maksud langsung, sebagai symptom, di samping sastra juga diterapkan
dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.
(3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan
sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan

semiotika

yang

dikembangkan

Saussure,

Barthes

mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem
denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama,

yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda
atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan
tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda,
dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih
tinggi.

Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa
sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E =
expression) dan maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi

menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua
(sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem
metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya,
sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E)
pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem meta bahasa terhadap
perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan
perluasan dari sistem denotatif (Barthes, 2009: 158-162).

Piliang (dalam Christomy, 2004: 94-95) menjelaskan bahwa denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau
antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang
eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini

Universitas Sumatera Utara

adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto waja