TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Demak Magdalena Perawati Silaban demakmagdalenaslbngmail.com Hamzon Situmorang, Mhd. Takari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumater

  Kajian Linguistik, Februari 2015, 77-98 Tahun ke-12, No 1 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

  

TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG

HASUNDUTAN

Demak Magdalena Perawati Silaban

  

  

Hamzon Situmorang, Mhd. Takari

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

  

Abstract

Folksong is a form of folklore consisting of the wordsand songs, which

circulated orally among members of a particular collective, traditionally

shaped, and has many variants. This research aimed to determine the factors

that influence the extinction of children folksong on Batak Toba society,

analyze the function and meaning, context, and local wisdom. For that, the

theory of functionalism and semiotics were used. The method used was

descriptiv equalitative method. The data were the lullaby songs to make the

child sleeping (lullaby) and the children playing song were recorded directly

in Lintongnihuta Humbang Hasundutan District. The results showed that

both lullaby and children play songs had the same functions suac as to

entertain, educate the child, to be a mean of coercion of social norms and

social control, and to reinforce the bond of brotherhood. However, the

difference is that the play song has a function of critic for another people

while the lullaby was not. In terms of contexts, both lullaby and children

playing song took the venue as the background of singing the children

folksong. They listened to the atmosphere and use natural resources to sing

them. The lullaby had local wisdom values that were respecting the parents,

honor the women, while the local wisdom values of children playing song

were sharing, health, brothers harmony, and love the environment. From the

discussion, it was concluded that the oral tradition of lullaby and children

playing song on MBT contained local knowledge therefore need to be

preserved as an oral tradition of MBT.

  

Keywords: Folksong, lullaby, children playing song, Batak Toba society,

and local wisdom.

LATAR BELAKANG

  Awal mula tradisi lisan berkembang di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat yang memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi kelisanan lebih mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.Tradisi lisan, dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya yang penting dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan kekuatan kultural dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat oleh Sibarani (2012: 15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban.

  Demak Magdalena Perawati Silaban

  Folklor merupakan bagian dari tradisi lisan, sebagai suatu memori kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (baca juga Danandjaja 2007: 2). Berdasarkan klasifikasi folklor menurut ahli folklor dari Amerika Serikat yaitu Brunvand (dalam Danandjaja, 2007: 22-153), folklor dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan.

  Wujud tradisi lisan dapat berupa tradisi berkesusasteraan lisan seperti tradisi menggunakan bahasa rakyat, tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan menabalkan gelar kebangsawanan (Sibarani, 2012: 48). Sastra lisan merupakan tradisi yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan menggunakan bahasa sebagai media utama. Finnegan (1977: 17) berpendapat bahwa sastra untuk dapat disebut lisan harus memenuhi tiga kriteria yaitu 1) segi komposisi, 2) segi transmisi, 3) segi penyajian atau pementasan.Kriteria yang terakhir tidak selalu harus di hadapan orang banyak seperti teater. Penelitian khazanah tradisi lisan di Indonesia pada awalnya digalakkan setelah muncul kesadaran akan semakin banyaknya penutur dan penikmat yang hilang. Perkembangan zaman yang modern juga sedikit banyaknya mendukung hilangnya dan pupusnya tradisi lisan. Nyanyian rakyat merupakan salah satu wujud tradisi lisan yang dikhawatirkan kehilangan penutur dan penikmatnya. Nyanyian rakyat merupakan bunyi (suara) yang berirama dan berlagu musik yang terangkai sehingga menghasilkan suatu harmonisasi yang indah. Hal ini diperkuat oleh Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 141) yang menyatakan bahwa nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta memiliki banyak varian.

  Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 142) nyanyian rakyat terdiri dari tiga jenis yaitu: 1) nyanyian rakyat yang berfungsi yaitu nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting, contoh: nyanyian kelonan/menidurkan anak (lullaby), nyanyian kerja (working song), dan nyanyian permainan (playing song); 2) nyanyian rakyat yang bersifat liris yaitu nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya; dan 3) nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative song). Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, nyanyian rakyat tidak diketahui siapa penciptanya karena pada saat nyanyian tersebut diciptakan rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (lullaby), maupun nyanyian permainan anak (playing song) dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk menyanyikan nyanyian pengantar tidur anaknya. Berbeda dengan masa sekarang, orang tua sudah jarang menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya, memperdengarkan lagu-lagu klasik dirasa lebih bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu juga nyanyian permainan anak yang pada masa lalu begitu populer digunakan anak-anak dalam mengiringi permainan mereka, tetapi pada masa sekarang mereka umumnya sudah tidak menggunakan bahkan tidak mengenal lagi nyanyian-nyanyian permainan tersebut.

  Nyanyian menidurkan anak (lullaby) dan nyanyian permainan (playingsong) termasuk ke dalam golongan nyanyian rakyat yang memiliki fungsi di dalamnya. Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan manusia. Nyanyian menidurkan anak berisi pesan-pesan, nasihat-nasihat, petuah-petuah, harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap anaknya dari kecil hingga beranjak dewasa, sedangkan nyanyian permainan menurut Danandjaja (1991: 147) adalah nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan (play) atau permainan bertanding (game).

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki nyanyian rakyat, demikian pula dengan masyarakat Batak Toba (selanjutnya disingkat MBT) yang berada di Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. MBT memiliki berbagai jenis nyanyian rakyat yang dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu jenis nyanyian rakyat MBT yang sudah mulai tertinggal adalah nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak maupun nyanyian permainan anak.

  Dalam MBT nyanyian menidurkan anak disebut dideng. Biasanya sebelum menidurkan anak, para orang tua pada MBT gemar sekali mendidengkan anaknya, dan ketika hendak mendidengkan anak maka si anak akan digendong (diompa) dengan memakai kain gendongan yang disebut parompa, atau memasukkannya ke dalam ayunan. Ketika si anak sudah dalam gendongan si orang tua, maka si orang tua tersebut mulai mendidengkan anaknya sambil menepuk-nepuk bokong si anak dengan pelan ataupun mengelus-elus badannya. Selain itu hentakan kaki si orangtua akan turut mengikuti irama lagu yang dinyanyikan. Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang biasanya dinyanyikan anak-anak pada saat bermain, baik dilakukan di dalamwaktu siang atau sore hari dalam keadaan cerah, atau di tempat lain di tempat mereka bermain yang menurut mereka nyaman, seperti di lapangan terbuka. Nyanyian permainan anak ini biasanya dinyanyikan secara kolektif baik oleh anak laki-laki maupun perempuan yang jumlahnya minimal empat atau enam orang.Biasanya tidak semua daérah sama dalam hal isi lagu permainan anak, tergantung tempat di mana mereka tinggal. Nyanyian permainan anak pada MBT yang dibahas dalam penelitian ini adalah nyanyian permainan anak yang masih eksis di lapangan penelitian yaitu Sampele

  sampele, Jambatan Tapanuli, Kacang koring, dan Sada dua tolu.

  Beberapa nyanyian anak pada MBT memiliki beberapa varian. Pewarisan nyanyian anak yang dilakukan secara lisan oleh nenek moyang Batak Toba mengakibatkan nyanyian anak tersebut memiliki banyak varian. Halini pun terjadi dalam pelantunan beberapa nyanyian anak misalnya Sampele sampele, Jambatan Tapamuli memiliki beberapa varian. Adanya varian dalam nyanyian anak pada MBT menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dianalisis. Sebagai sebuah seni, nyanyian anak juga memiliki fungsi. Salah satu fungsinya yang sangat menonjol adalah nyanyian anak berfungsi untuk mendidik, yakni di dalam nyanyian anak tersebut berisi nasihat-nasihat, petuah-petuah, cita-cita, dan harapan-harapan para orang tua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya ketika beranjak dewasa. Lirik nyanyian anak terdiri dari barisan kata-kata yang memiliki makna mendalam atau tujuan tertentu yang dipesankan kepada masyarakat sebagai pendengarnya. Selain itu lirik nyanyian anak mengandung makna yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas dan karakter mereka. Kemudian, nyanyian anak berkaitan erat dengan konteks pertunjukan yang meliputi dua hal: konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi merupakan lingkungan atau tempat peristiwa berlangsung. Selain konteks situasi, konteks budaya pun turut mempengaruhi dalam hal- hal yang berkaitan dengan peristiwa yang melatari pertunjukan. Di samping memiliki fungsi dan makna, nyanyian anak yang merupakan warisan budaya juga sarat akan kearifan-kearifan lokal yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang sangat penting untuk digali yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehingga dapat melangsungkan kehidupan bahkan berkembang secara berkelanjutan. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas yaitu tentang latar belakang penelitian dengan objek kajian nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang berada di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun alasan pengambilan data di lokasi tersebut karena keberadaan tradisi lisan khususnya nyanyian rakyat anak-anak masih bertahan di daerah tersebut ditengah masyarakat yang telah mengalami modernisasi. Sehubungan dengan nyanyian rakyat anak-anak memiliki banyak

  Demak Magdalena Perawati Silaban

  varian, maka penelitian dilakukan di dua desa di Kecamatan Lintongnihuta yaitu Desa Nagasaribu dan Desa Tapian Nauli.

  LANDASAN TEORI Teori Fungsionalisme Folklor

  Dalam menganalisis nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, akan digunakan teori fungsionalisme folklor, teori semiotik, dan teori teks, konteks serta konteks. Teori fungsionalisme folklor terbagi dua yaitu:

  Fungsionalisme Murni Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog sosial.

  Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Prop (1975: 21) menyatakan: “Function is understood as an act of character, defined

  

from point of view of its significance for the course of the action : Dalam konteks ini,

fungsi merupakan bentuk “ketergantungan” secara utuh pada sebuah sistem budaya.

  Dalam kaitan ini, fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).

  Fungsionalisme Struktural

  Teori fungsionalisme struktural memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan kontinu atas orang- orang dalam kaitan yang ditemukan oleh institusi, yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu sama lain saling terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949: 542) bahwa struktur sosial merupakan bentuk “eksis” pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu pula folklor.Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu membentuk struktur yang unik.

  Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek struktural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau ditolak oleh unsur lain. Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada “pola pilihan” yang harus diambil. Pada saat itu masyarakat akan menentukan pilihan dan memutuskan.

  Teori Semiotika

  Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotik (semiotics).Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006: 103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai beikut: 1) Aliran semiotika komunikasi, 2) Aliran semiotika konotatif, dan 3) Aliran semiotika ekspansif. Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi

  atau sistem

  penandaan tingkat kedua —rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.

  Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative

  meaning).

  Teks, Koteks, dan Konteks

  Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal (Sibarani, 2012: 241-242). Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi. Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion), yang masing-masing saling mendukung secara koheren (Sibarani, 2012: 242).

  Ko-teks menurut Cook (1994) adalah hubungan antar wacana yang merupakan lingkungan kebahasaan yang melingkupi suatu wacana. Menurut Sibarani (2012: 242) koteks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Deskripsi paralinguistik mencakup intonasi, aksen, jeda, dan tekanan sedangkan kinetik merupakan bidang ilmu yang mengkaji gerak isyarat. Proksemik merupakan bidang ilmu yang mempelajari penjagaan jarak antara pembicara dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi. Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antar pelaku dan antara pelaku dengan penonton akan memberikan kontribusi pada interpretasi makna dalam tradisi lisan. Bentuk ko-teks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah unsur material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsi masing-masing. Dalam penelitian nyanyian anak-anak pada MBT yang menjadi ko-teks adalah intonasi, aksen, jeda, dan tekanan dari nyanyian anak

  Demak Magdalena Perawati Silaban

  tersebut, dan juga benda-benda atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan tersebut. Secara harfiah, konteks berarti “something accompanying text”, yang berarti: sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday, pengertian harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu fakta sosial.

  Oleh Halliday “something” di atas diolah menjadi “sesuatu yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks sosial (Halliday, 1978) yang diidentifikasikan melalui medan, pelibat dan sarana (Sinar, 2010). Dalam kajian tradisi lisan peranan konteks sangat penting. Dalam penelitian tradisi lisan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks merupakan salah satu yang harus diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis tertarik dalam mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks sosial dan konteks situasi yang dikemukakan oleh Sibarani. Dalam Sibarani (2012: 326) konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur, pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya

  Kearifan Lokal

  Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani, 2012: 133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom) yaitu kesejahteraan dan kedamaian.

  METODOLOGI

  Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti Tradisi lisan Nyanyian Rakyat Anak- Anak Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif dipilih karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggali, menggambarkan, dan menjelaskan objek yang diteliti secara alamiah yaitu mendeskripsikan data berdasarkan permasalahan dalam penelitan ini yaitu keberadaan nyanyian anak pada MBT, fungsi dan makna, konteks, serta kearifan lokal.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 1.

   Deskripsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)

  Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, waktu di desa Nagasaribu menunjukkan pukul dua belas (12) siang, ibu L. Sinaga telah selesai memberi makan anak bayinya yang berumur enam (6) bulan yang bernama Mauliate Sinaga. Saatnya anaknya akan ditidurkan, sambil menunggu anak-anaknya yang lain pulang sekolah. Sudah menjadi kebiasaan dalam menidurkan anaknya, ibu Sinaga selalu menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya. Terlebih dahulu ibu Sinaga mengambil sebuah kain panjang (parompa) yang akan digunakan untuk menggendong anaknya. Posisi menggendong anaknya adalah gendong depan (ompa jolo) agar ibu dapat mengelus-elus bokong maupun badan anaknya (Gambar 4.1) agar anaknya cepat tidur. Dengan irama lagu yang pelan serta mendayu-dayu ibu Sinaga menyanyikan nyanyian dideng-dideng secara terus menerus sambil mengelus-elus badan anaknya hingga anaknya tertidur lelap. Setelah anaknya tertidur, barulah ibu Sinaga berhenti menyanyikan nyanyian dideng

  

dideng dan kemudian meletakkannya di tempat tidur. Ibu Sinaga dan suaminya adalah

  seorang petani, hampir setiap hari ibu itu dan suaminya pergi ke kebunnya yang berada tidak jauh dari rumahnya yaitu di belakang rumahnya. Setelah anak-anaknya pulang sekolah, ibu itu pergi ke kebun dan menyuruh anak-anaknya menjaga dan mengawasi adiknya yang masih bayi. Jika anak bayinya tersebut terbangun dari tidurnya dan menangis, maka dengan segera anak-anaknya akan memanggil ibunya yang bekerja di kebun di belakang rumah untuk menyusui maupun mendidengkan anaknya kembali.

Gambar 4.1. Ibu L. Sinaga mendidengkan anaknya dalam gendongannya

  Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 3 Mei 2014 Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

  Tabel 4.1: Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng Versi informan Op. Versi informan ibu Versi Ibu L.Sinaga Versi Ibu D. Felix Sihombing S. Sihombing di desa Nagasaribu Simanullang di desa

  Tapian Nauli

  

Molo huingot i Molo huingot i Molo huingot i Molo huingot i sude

sude sude sude loja ni dainang i

loja ni dainang i loja ni dainang i loja ni dainang i marmudu au sian na

marmudu au sian marmudu au sian marmudu au sian metmet tu na balga na metmet na metmet na metmet tu na balga tu na balga tu na balga

  Demak Magdalena Perawati Silaban Diabing au Diabing au Diabing au Diompa au diompa au diompa au diompa au asa diabing au

asa sonang asa sonang sonang modom asa sonang

modom au modom au au modom au

dideng dideng dideng dideng dideng dideng dideng dideng

didok tu au didok muse didok muse didok muse o hasian o hasian o hasian o hasian 2.

   Deskripsi Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba Deskripsi Nyanyian Permainan Kacang koring

  Tradisi lisan nyanyian permainan Kacang koring direkam pada tanggal 5 Mei 2014 di desa Tapian Nauli dan tanggal 16 Juni 2014 di desa Nagasaribu. Nyanyian ini dinyanyikan ketika hendak bermain petak umpat (martabun tabuni). Nyanyian permainan kacang koring merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran dalam sebuah permainan yaitu siapa yang menang (yang akan dicari) dan yang kalah (yang akan mencari). Jumlah pemain biasanya minimal empat orang anak.

  Di desa Tapian Nauli nyanyian permainan ini dilakukan oleh delapan (8) orang anak, mereka adalah Nova, Lamtiur, Novita, Rotua, Sanni, Anna, Marito dan Lusi. Dalam melakukan permainan ini mereka membentuk lingkaran kecil, mereka menurunkan tangan kanannya masing-masing dengan telapak tangan menghadap ke bawah (Gambar 4.3), kemudian secara bersama- sama mereka mengucapkan „kacang koring sibuat na

  

otik’. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing memperlihatkan

  salah satu telapak tangan mereka dengan bagian telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah jumlah minimal anak yang posisi telapak tangannya tidak sama dengan telapak tangan temannya yang lain. Pemenang pertama adalah Rotua dan Sanni, telapak tangan mereka berdua menghadap ke bawah, sedangkan telapak tangan enam (6) orang lainnya menghadap ke atas. Pemenang kedua adalah Novita dan Lamtiur, telapak tangan mereka berdua menghadap ke atas sedangkan yang empat lainnya menghadap ke bawah. Pemenang selanjutnya adalah Marito, telapak tangannya menghadap ke atas sedangkan telapak tangan tiga orang lainnya menghadap ke bawah. Kemudian Nova menyusul sebagai pemenang berikutnya, telapak tangannya mengahadap ke atas sedangkan telapak tangan dua orang lainnya menghadap ke bawah. Akhirnya tinggal dua pemain yaitu Anna dan Lusi, untuk menentukan siapa yang menang dari antara mereka berdua maka mereka melakukan sut. Siapa yang yang kalah bermain sut maka dia akan bertugas sebagai penjaga pos. Anna kalah dalam bermain sut, sehingga dia mendapat giliran sebagai penjaga pos. Anna menghadapkan wajahnya ke dinding sambil menunggu temannya yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu Anna mengucapkan kata „nunga”? (sudah?), jika masih ada temannya yang menjawab „daung’ (belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi jika tidak ada lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah berada di tempat persembunyiannya masing-masing dan sudah bisa untuk dicari. Pertama sekali Anna menemukan Nova yang bersembunyi di balik bunga, setelah Nova ditemukan Anna mengucapkan „tul si Nova‟ sambil memegang dinding tempat di mana wajahnya dihadapkan tadi. Selanjutnya Anna dan Nova bersama-sama mencari teman mereka yang lain. Begitu seterusnya dilakukan hingga semua teman mereka temukan.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Gambar 4.3 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Tapian Nauli

  Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 5 Mei 2014 Di desa Nagasaribu nyanyian permainan ini dilakukan oleh enam (6) orang anak (Gambar 4.4), mereka adalah Paskah, Daniel, Heppy, Dewi, Masta dan Lambok.

  Pemenang pertama adalah Daniel dan Dewi, pemenang kedua adalah Masta, pemenang ketiga adalah Paskah. Heppy dan Lambok melakukan sut dan Heppy adalah pemenangnya, yang juga berarti bahwa Lambok adalah pemain yang kalah yang akan bertugas sebagai penjaga pos. Dia menghadapkan wajahnya ke dinding dan menghitung satu sampai lima puluh (50) sedangkan teman-temannya yang lain sibuk mencari tempat persembunyian. Temannya yang pertama ditemukan adalah Daniel yang bersembunyi di atas pohon, kemudian Masta ditemukan dibalik bunga pangkas. Ketika Lambok meninggalkan pos dan sibuk mencari temann-temannya, Paskah datang ke pos dan langsung memegang dinding tadi sambil mengatakan „tul’ lalu dia kembali mencari tempat persembunyian. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali menghadapkan wajahnya ke dinding dan menghitung satu sampai lima puluh. Ketika Lambok menemukan Paskah, segera lambok datang ke pos dan memegang dinding sambil mengatakan tul si Paskah, tetapi tanpa disadari dari belakangnya telah datang Daniel dan Masta meraka langsung memegang dinding sambil mengatakan tul. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali menjaga pos dan menghitung satu sampai lima puluh. Begitu terus dilakukan hingga dia berhasil mengamankan pos dan menemukan teman-temannya di tempat persembunyian mereka.

Gambar 4.4 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Nagasaribu

  Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 16 Juni 2014 Berdasarkan pengamatan di lapangan lirik nyanyian permainan Kacang koring versi informan ibu S. Sihombing, versi anak-anak di desa Nagasaribu dan desa Tapian Nauli memiliki lirik yang sama atau tidak memiliki varian. Hal tersebut disebabkan lirik nyanyian permainan ini yang pendekyang hanya dua baris sehingga mudah untuk diingat. Liriknya adalah sebagai berikut:

  Demak Magdalena Perawati Silaban

  (kacang kering)

  Kacang koring sibuat na otik (ambil sedikit)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Bagian ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama yaitu deskripsi keberadaan nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak pada MBT saat ini, analisis fungsi dan makna, koteks, konteks, serta pembahasan refleksi kearifan lokal.

  

Keberadaan Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak Pada Masyarakat Batak

Toba Saat Ini

  Keberadaan nyanyian menidurkan anak dideng pada MBT saat ini sudah mulai sulit ditemukan. Ini terlihat dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang dipengaruhi oleh mobilitas zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Kemajuan teknologi yang semakin merata baik di desa maupun di kota turut mempengaruhi keberlangsungan dideng pada MBT. Sekarang, di zaman yang canggih dan modern ini para orangtua lebih suka memperdengarkan nyanyian-nyanyian atau musik-musik melalui media elektronik seperti CD, DVD, VCD, radio, dan media elektronik lainnya. Mereka cenderung lebih suka memperdengarkan musik-musik klasik yang diputar melalui audiovisual, atau media-media elektronik daripada dideng dideng dalam menidurkan anak. Hal itu dirasa lebih praktis, tidak merepotkan dan lebih up to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Kebiasaan para orang tua Batak Toba yang sudah mulai terpengaruh oleh kemajuan teknologi perlahan- lahan membuat mereka menjadi orang tua yang pasif yang berakibat pada kedekatan mereka dengan anak-anak mereka secara psikologis akan berkurang. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam mendideng, selain menyanyi orang tua juga akan kreatif menciptakan gerakan yang bisa membuat anaknya cepat tidur seperti mengelus- elus badan si anak, menepuk-nepuk bokongnya, dan lain-lain. Tetapi dengan hadirnya CD maupun DVD telah dapat menggantikan tradisi dideng tersebut yang dulunya biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka. Kondisi seperti ini perlahan-lahan akan membuat tradisi dideng tersebut akan benar-benar hilang di tengah-tengah kehidupan MBT itu sendiri. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba, nyanyian dideng dideng hendaknya dipelihara dan diwariskan kepada generasi selanjutnya karena nyanyian ini adalah salah satu kekayaan budaya daerah dari Batak Toba yang sangat sayang untuk dilupakan begitu saja.

  Keberadaan Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini

  Keberadaan nyanyian permainan anak pada MBT akhir-akhir ini juga sudah mulai mengalami kepunahan. Berdasarkan penelitian di lapangan hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.

1. Teknologi

  Kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan bagi manusia. Permainan modern dalam komputer yang dikenal dengan games yang kaya dengan sensasi, mengasyikkan, dan penuh fantasi diciptakan. Dan sebagai bayarannya permainan anak tradisional kini mulai ditinggalkan. Permainan anak tradisional yang kaya nilai digantikan dengan permainan anak modern produk teknologi. Games modern dirasa lebih praktis karena tidak memerlukan tanah lapang dan banyak teman, cukup sendirian di depan komputer seseorang bisa terjun dalam permainan yang mengasyikkan. Hal tersebutlah yang juga menghampiri anak-anak Batak Toba saat ini tak terkecuali yang di desa, bisa memainkan bermacam-macam games di komputer merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena hal

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  itu menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Padahal di balik semua itu anak-anak tersebut tidak menyadari bahwa bermain games di komputer lama kelamaan akan berpengaruh buruk bagi mereka. Pengaruh buruk tersebut antara lain: a) Membunuh kreatifitas anak-anak sebagai generasi muda. Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang, benda-benda, atau tumbuh- tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal tersebut mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. b) Hilangnya kecerdasan spiritual anak. Dalam permainan tradisional terdapat konsep menang dan kalah. Namun, menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya bertengkar atau minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa melakukan permainan mengajarkan secara langsung kepada teman-temannya yang belum bisa. c) Hilangnya kecerdasan natural anak, banyak alat-alat permainan yang dibuat atau digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas tersebut mendekatkan anak terhadap alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu terhadap alam. d) Matinya kecerdasan kinestetik anak, pada umumnya, permainan tradisional mendorong para pemainnya untuk bergerak, seperti melompat, berlari, menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya. Menguasai teknologi bukanlah hal yang salah, tetapi menguasai teknologi lalu melupakan dan meninggalkan tradisi budaya yang sudah diwariskan nenek moyang adalah hal yang salah.

  2. Pendidikan

  Dewasa ini, sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan sebagai rumah kedua bagi anak sudah tidak lagi berkontribusi dalam memperkenalkan atau mensosialisasikan nyanyian permainan anak. Hal itu disebabkan karena guru sekolah sendiri tidak paham permainan tradisi yang seharusnya diajarkan kepada anak dalam kaitan implementasi kurikulum muatanlokal. Karen awalaupun ada buku permainan tradisi khususnya yang menggunakan nyanyian, tetapi tidak disertai notasi sehingga syair nyanyian tersebut hanya sebatas sekelompok kata-kata saja. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya beberapa sekolah di Kecamatan Lintongnihuta yang dalam pembelajarannya mengajarkan permainan tradisi yang menggunakan nyanyian salah satunya adalah SD Negeri Nababan Dolok desa Nagasaribu. Kalaupun ada sedikit sekolah yang mengajarkan permainan tradisi, hanya sebatas permainan yang tidak menggunakan nyanyian yang diajarkan dalam pelajaran olahraga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sepantasnya juga mengajarkan kepada anak didik nyanyian permainan yang merupakan warisan nenek moyang ini yang didalamnya terkandung pendidikan karakter.

  1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak a.

   Analisis Fungsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

  Pada dasarnya dideng berfungsi sebagai media, baik itu media penghibur anak, media untuk menyampaikan pesan, media untuk menyampaikan doa dan harapan untuk anak, media untuk belajar bagi anak, media untuk penguat tali kasih sayangan tara orang tua dan anak dan juga media untuk mencurahkan kasih sayang orang tua kepadaanaknya. Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan teori diatas, maka dapat dikatakan bahwa fungsi dideng adalah sebagai: (1) sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pendidikan anak; (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial; dan(4) berfungsi sebagai penguat ikatan persaudaraan.

  Demak Magdalena Perawati Silaban 1.

   Sebagai bentuk hiburan

  Fungsi dideng dikatakan sebagai bentuk hiburan karena dideng sendiri merupakan nyanyian yang dinyanyikan ketika hendak menidurkan anak. Nyanyian bagi anak bayi Mauliate Sinaga (6 bulan) dan Lina Simanullang (2 bulan) akan membuat mereka semakin terlelap dalam tidur, sedangkan bagi ibu mereka yang menyanyikannya yaitu ibu L. Sinaga dan ibu D. Simanullang juga dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan mereka dalam bekerja sehari-hari yang berprofesi sebagai petani. Hal ini disebabkan dengan bernyanyi ibu Sinaga dan ibu Simanullang akan lebih bersantai sejenak dan melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan. Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Danandjaja bahwa nyanyian rakyat memiliki fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu atau menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.

  2. Sebagai alat pendidikan anak

  Selain sebagai bentuk hiburan dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Fungsi pendidikan mengarah kepada fungsi pembentukan karakter, etika, dan moral. Hal ini dapat dihubungkan dengan berbagai nilai yang benar dan salah, nilai baik dan buruk. merupakan nyanyian yang diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak usia dini.

  Dideng

  Proses belajar bayi maupun anak usia dini seperti Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang tidak sama dengan proses belajar anak-anak pada umumnya. Pada umumnya proses belajar anak-anak dapat dilakukan disekolah. Selain itu faktor lingkungan juga turut memberikan pengalaman belajar bagi anak. Sangat berbeda dengan proses belajar bayi maupun anak usia dini karena pada masa ini anak hanya belajar dari orang tuanya. Maka dari itulah dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak karena di dalam dideng tersebut terdapat pesan-pesan moral, petuah-petuah dan pengajaran yang diberikan oleh orang tua sehingga secara tidak langsung anak akan mulai belajar. Pesan atau pengajaran yang terdapat dalam nyanyian Dideng dideng ini adalah agar setiap anak selalu menghormati orangtuanya khususnya ibunya, karena pengorbanan seorang ibu bukan hanya ketika melahirkan anaknya saja tetapi juga ketika merawat anaknya dari kecil hingga dewasa. Oleh karena itu, ketika seorang anak sudah dewasa janganlah menjadi anak yang durhaka kepada ibunya, tetapi menjadi anak yang berbakti.

  3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial

  Begitu pula halnya dengan fungsi dideng sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan orang tua kepada anaknya lewat dideng biasanya berisi tentang hal-hal yang mengandung nilai-nilaimoral. Hal ini bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa ia menjadi pribadi yang baik, yang menghormati orang tua, mertua, maupun orang-orang yang lebih tua darinya, serta bertindak serta berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa, maupun masyarakat.

  4. Sebagai penguat ikatan persaudaraan

  Selanjutnya fungsi dideng sebagai penguat ikatan persaudaraan merupakan bentuk adanya cinta dan kasih sayang yang besar antara ibu dan anaknya. Dengan mendidengkan anaknya ibu Sinaga dan ibu Simanullang dapat mencurahkan segala keinginan dan harapannya kepada anak-anak yang sangat mereka kasihi. Dari sanalah akan semakin tumbuh dan tercipta ikatan tali cinta kasih antara anak dan ibunya.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 2.

  Analisis Makna Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak Nyanyian dideng dideng merupakan nyanyian yang menggambarkan perwujudan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dari kecil hingga dewasa. Dalam konteks mandideng si anak yang ditidurkan adalah masih bayi, atau usia dini. Anak yang masih bayi atau usia dini tentu belum bisa mengungkapkan atau mengekspresikan kasih sayang ibunya kepadanya melalui kata-kata maupun nyanyian. Dalam hal ini sang ibulah yang bernyanyi dengan harapan kelak nanti anaknya dewasa, anaknya tersebut akan tetap mengingat dan menghargai semua perjuangan ibunya yang telah membesarkannya dari kecil hingga dewasa.

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lirik nyanyian dideng dideng versi informan, dan versi kedua ibu yang mendideng anaknya di Desa Nagasaribu dan Desa Tapian Nauli adalah sama atau tidak memiliki varian. Lirik pada bait pertama adalah sebagai berikut:

  molo huingot i sude jika kuingat semua itu loja ni dainang i lelahnya ibuku marmudu au sian na metmet merawat aku dari kecil tu na balga hingga besar

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Kebiasaan Berolahraga dengan Tingkat Stres pada Mahasiswa di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 9

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE DAN NILAI PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG LISTING DI BURSA EFEK INDONESIA TESIS

0 1 17

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN KUALITAS HIDUP PASIEN KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

0 0 29

Lampiran 1 HASIL PENGUKURAN ANTROPOMETRI PADA MURID SD SWASTA No Berat badan (kg) Tinggi badan (m) IMT Lingkar kepala (cm) Usia (tahun) Kategori IMT

0 0 20

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN LINGKAR KEPALA PADA ANAK USIA DINI (6-8 TAHUN) PADA DEUTRO MELAYU

0 0 13

KESANTUNAN DENGAN DAYA SEMIOTIKA BAHASA BERKAMPANYE CALON LEGISLATIF PARTAI GOLONGAN KARYA DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA Awaluddin Sitorus awaluddinsitorusyahoo.com Nurlela, Masdiana Lubis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Kesant

0 0 20

IMPLEMENTASI ALGORITMA ANT COLONY DALAM PENCARIAN LOKASI RUMAH SAKIT BERBASIS MOBILE GIS PADA PLATFORM ANDROID (STUDI KASUS : KOTA MEDAN) SKRIPSI YUSTINA 081401028

0 0 14

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI Dairi Sapta Rindu Simanjuntak dairisaptajuntakyahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstract - Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa

0 0 19

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PADA CORUCA COFEE SHOP KISARAN SKRIPSI

0 0 10

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS DALAM BAHASA ANGKOLAMANDAILING: KAJIAN EKOLINGUISTIK Deli Kesuma delikesumayahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Keterancaman Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Man

0 1 23