Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Pro
Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas
Indonesia ke Korea
Makalah
Bisnis Internasional
Dosen Pengampu:
Rochiyati Murni N. SE.MP
Disusun Oleh:
Anggri Ristiyo Iriyawan
13.0102.0176
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. Barang ekspor
adalah barang yang dikeluarkan dari daerah pabean. Kegiatan ekspor akan meningkatkan
devisa negara, untuk melakukan kegiatan ekspor suatu barang ke negara tertentu, diperlukan
prosedur ekspor yang harus dilakukan sesuai dengan dasar hukum yang berlaku di setiap
negara. Jika ekspor yang dilakukan tidak mengikuti prosedur dan tidak sesuai dengan dasar
hukum yang mengatur kegiatan ekspor, maka si pengekspor akan dikenai sankasi sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan
yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik
(export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat
waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping itu eksportir
haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor.
Ekspor sebagai kegiatan yang rumit dan juga melibatkan banyak pihak, tentu saja juga
terdapat kasus ataupun konflik sehingga membuat ekspor menjadi terhambat. Di sini saya
berusaha untuk menyampaikan salah satu contoh kasus yang sering terjadi ketika adanya
kegiatan ekspor, yaitu dumping. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk
impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap
kesepakatan WTO. Kasus ini merupakan kasus antara Indonesia dan Korea. Di mana
Indonesia dituduh melakukan kegiatan dumping kertas oleh Korea Selatan, namun pada
kenyataan hal itu tidak benar dilihat dari data-data perekonomian Korea Selatan yang tidak
berpengaruh sama sekali terhadap adanya ekspor kertas ini.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat untuk mempelajari dan memahami tentang ekspor dalam bisnis
internasional, selain itu makalah ini juga berisi contoh kasus ekspor yang mana biasa dan
sering terjadi dalam melakukan kegiatan ekspor. Dan tidak kalah pentingnya, penulis
membuat makalah ini untuk memenuhi syarat kuliah yaitu tugas individu mata kuliah Bisnis
Internasional.
1.3 Metode Penulisan
Makalah ini dibuat berdasarkan metode kepustakaan. Di dalam makalah ini
pembahasan atau inti sari dari makalah ini berasal dari beberapa referensi yang berkaitan
dengan judul makalah di atas. Serta menggunakan metode research yang di ambil dari
beberapa sumber dari media internet untuk menunjang isi makalah yang akan dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekspor
Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara
lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah
tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukannya
ke negara lain. Ekspor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea
cukai di negara pengirim maupun penerima. Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan
internasional, lawannya adalah impor. Ekspor adalah kegiatan perseorangan atau badan
hukum yang menjual barang ke luar negeri. Orang atau badan hukum yang melakukan
kegiatan ekspor dinamakan eksportir. Tujuan dilakukannya kegiatan ekspor biasanya adalah
untuk memperoleh keuntungan. Sementara itu, tujuan dilakukannya ekspor bagi negara
adalah untuk memperoleh devisa negara dalam bentuk mata uang asing.
Barang-barang Ekspor
Pada prinsipnya semua produk/barang dapat diekspor, kecuali barang-barang yang
terlarang dan untuk tujuan pelestarian maupun karena aturan internasional.
Barang/jasa terdiri dari 4 kelompok :
a. Barang-barang yang diatur ekspor
Dalam rangka mengikuti ketentuan internasional, menyangkut kesehatan, keselamatan,
keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM), menjaga kelestarian alam dan
b.
c.
d.
meningkatkan nilai tambah.
Barang-barang yang diawasi ekspornya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menjaga kelestarian alam.
Barang-barang yang dilarang ekspornya.
Dalam rangka menjaga kelangkaan, menyangkut kesehatan, keselamatan, keamanan,
lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM), kelestarian alam dan bernilai sejarah.
Barang-barang yang bebas ekspornya.
Dalam rangka mendorong ekspor melalui pembukaan akses pasar peningkatan
diversifikasi produk.
2.2 Tujuan Kegiatan Ekspor
1) Meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pasar serta untuk memperoleh harga
jual yang lebih baik.
2) Membuka pasar baru di luar negeri sebagai perluasan pasar dalam negeri.
3) Memanfaatkan kelebihan komoditas yang dimiliki.
4) Membiasakan diri bersaing dalam pasar internasional sehingga mampu bersaing
dengan negara lain.
2.3 Pihak-pihak yang Berperan dalam Kegiatan Ekspor
Kegiatan perdagangan antarnegara lebih rumit daripada perdagangan di dalam negeri.
Hal ini karena perdagangan antarnegara melibatkan banyak pihak. Selain itu, ada perbedaan
bahasa, mata uang dan peraturan perdagangan di tiap-tiap negara. Para pelaku kegiatan
ekspor yaitu sebagai berikut:
a. Produsen Eksportir
Produsen Eksportir adalah perusahaan yang memproduksi barang-barang untuk
diekspor. Produsen eksportir tidak menggunakan jasa perantara yaitu pedagang ekspor.
Perusahaan yang bisa berperan sebagai produsen ekportir biasanya merupakan perusahaan
besar atau berskala internasional. Perusahaan ini biasanya sudah memiliki pasaran di luar
negeri. Misalnya, perusahaan di bidang tekstil, mebel, makanan kemasan dan elektronik.
b. Pedagang Ekspor
Pedagang ekspor merupakan badan usaha yang diberi izin pemerintah untuk
melakukan kegiatan ekspor. Pedagang ekspor tidak memproduksi sendiri barang yang
diekspornya, tetapi menjual hasil produksi orang lain. Pedagang ekspor harus memiliki izin
pemerintah dalam bentuk surat pengakuan eksportir, disertai dengan kartu Angka Pengenal
Ekspor (APE). Dengan surat tersebut, pedagang ekspor diperbolehkan untuk melaksanakan
ekspor komoditas sesuai yang tercantum dalam surat tersebut.
c. Wisma Dagang
Wisma dagang merupakan suatu perusahaan ekspor yang besar dan dapat mengekspor
berbagai komoditas. Perusahaan ini mempunyai jaringan pemasaran di seluruh dunia. Wisma
dagang bisa bermula dari eksportir yang hanya mengekspor satu komoditas. Seiring
perkembangan usahanya, eksportir mampu mengekspor berbagai komoditas.
2.4 Prosedur atau Langkah-langkah dalam Proses Ekspor
Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam proses ekspor :
1. Mencari tahu terlebih dahulu apakah barang yang akan kita ekspor tersebut termasuk
barang yang dilarang untuk di ekspor, diperbolehkan untuk di ekspor tetapi dengan
pembatasan, atau barang yang bebas di ekspor (Menurut undang-undang dan
peraturan di Indonesia).
2. Memastika juga apakah barang kita diperbolehkan untuk masuk ke Negara tujuan
ekspor.
3. Jika kita sudah mendapatkan pembeli (buyer), menentukan sistem pembayaran,
menentukan quantity dan spesifikasi barang, dll, maka selanjutnya kita
mempersiapkan barang yang akan kita ekspor dan dokumen-dokumennya sesuai
kesepakatan dengan buyer.
4. Melakukan pemberitahuan pabean kepada Pemerintah (Bea Cukai) dengan
menggunakan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) beserta dokumen
pelengkapnya.
5. Setelah eksportasi kita di setujui oleh Bea Cukai, maka akan diterbitkan dokumen
NPE (Nota Persetujuan Ekspor). Jika sudah terbit NPE, maka secara hukum barang
kita sudah dianggap sebagai barang ekspor.
6. Melakukan stuffing dan mengapalkan barang kita menggunakan moda transportasi
udara (air cargo), laut (sea cargo), atau darat.
7. Mengasuransikan barang atau kargo kita (jika menggunakan term CIF)
8. Mengambil pembayaran di Bank (Jika Menggunakan LC atau pembayaran di akhir)
BAB III
CONTOH KASUS EKSPOR
Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
3.1 Latar Belakang
Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya
melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk
memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi
dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong
industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai
perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang
pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri
yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil
kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non tariff dan
kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi
anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara
yang melakukkan dumping adalah Indonesia.
3.2 Kerangka Pemikiran
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat
tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka
WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah
yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau
dukungan:
1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana
negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada
tingkat yang diperbolehkan;
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut
sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota
boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya
perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga
kategori:
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini
berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari
persentase dari nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement
Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggotaanggotanya. Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah
Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih
rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan
perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut
menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus
dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan
adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui
seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di
mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan
mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas
125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan
praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel
mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah
disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum
internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik
yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan
hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi
syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan
kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya
tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena
kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan
subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi
Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek
hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan
perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara
berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO
yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang
mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum
internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38
Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang
diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
3.3 Analisis Kasus
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia,
dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel
sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan
Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga
8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor
produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun
2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini,
kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16
jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and
paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia
kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei
2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk
PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat
0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC
menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan
PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar
8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke
WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang
dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement
Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui
proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan
Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam
mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai
Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping
produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan
bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk
kertas Indonesia.
3.4 Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara
jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara
di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan
negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang
terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur
aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu
perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor.
Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih
murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia
meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang
dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel
kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya dan Indonesia
juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan
kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan
oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel
kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti
yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan
suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini
menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional,
bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga
dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah
bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya
atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan
dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional
Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005
menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping
untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan
paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB
menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik
dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan
antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil
panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis
sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga
tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas
kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk
tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel
mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah
disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT
Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat
tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7
persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated
wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan
4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur
terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi.
Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum
melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan
Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok
hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga
menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun
untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia
perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk
melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu,
diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses
investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri)
yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan
BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah
menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia.
Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, negara yang
mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai perhitungan injury (kerugian)
sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi
berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas
melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan
informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
KESIMPULAN
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan
pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara
penanganan dan pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan
perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar
mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman
barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler.
Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor.
Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak
ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh
eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada
akhirnya dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus
dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi
dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam
negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor.
REFERENSI
Anindika, Ratya & Reed, R. Michael. Bisnis dan Perdagangan Internasional. 2008. Andi:
Yogyakarta
Griffin, Ricky W & Pustay, Michael W. Bisnis Internasional Edisi Keempat Jilid 2. 2006.
Indeks: Jakarta.
Tambunan, Tulus T H. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. 2004. Ghalia Indonesia:
Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspor, 20.30
http://www.sumbarprov.go.id/detail_news.php?id=3771, 20.57
http://www.wto18604.htm
http://www.mediaindo.co.id/newsprint.asp?Id=79789&Jenis=a&cat_name=Polkam
http://www.worldtradelaw.net/reports/wtopanels/korea-paperad(panel).pdf
Indonesia ke Korea
Makalah
Bisnis Internasional
Dosen Pengampu:
Rochiyati Murni N. SE.MP
Disusun Oleh:
Anggri Ristiyo Iriyawan
13.0102.0176
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. Barang ekspor
adalah barang yang dikeluarkan dari daerah pabean. Kegiatan ekspor akan meningkatkan
devisa negara, untuk melakukan kegiatan ekspor suatu barang ke negara tertentu, diperlukan
prosedur ekspor yang harus dilakukan sesuai dengan dasar hukum yang berlaku di setiap
negara. Jika ekspor yang dilakukan tidak mengikuti prosedur dan tidak sesuai dengan dasar
hukum yang mengatur kegiatan ekspor, maka si pengekspor akan dikenai sankasi sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan
yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik
(export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat
waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping itu eksportir
haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor.
Ekspor sebagai kegiatan yang rumit dan juga melibatkan banyak pihak, tentu saja juga
terdapat kasus ataupun konflik sehingga membuat ekspor menjadi terhambat. Di sini saya
berusaha untuk menyampaikan salah satu contoh kasus yang sering terjadi ketika adanya
kegiatan ekspor, yaitu dumping. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk
impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap
kesepakatan WTO. Kasus ini merupakan kasus antara Indonesia dan Korea. Di mana
Indonesia dituduh melakukan kegiatan dumping kertas oleh Korea Selatan, namun pada
kenyataan hal itu tidak benar dilihat dari data-data perekonomian Korea Selatan yang tidak
berpengaruh sama sekali terhadap adanya ekspor kertas ini.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat untuk mempelajari dan memahami tentang ekspor dalam bisnis
internasional, selain itu makalah ini juga berisi contoh kasus ekspor yang mana biasa dan
sering terjadi dalam melakukan kegiatan ekspor. Dan tidak kalah pentingnya, penulis
membuat makalah ini untuk memenuhi syarat kuliah yaitu tugas individu mata kuliah Bisnis
Internasional.
1.3 Metode Penulisan
Makalah ini dibuat berdasarkan metode kepustakaan. Di dalam makalah ini
pembahasan atau inti sari dari makalah ini berasal dari beberapa referensi yang berkaitan
dengan judul makalah di atas. Serta menggunakan metode research yang di ambil dari
beberapa sumber dari media internet untuk menunjang isi makalah yang akan dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekspor
Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara
lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah
tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukannya
ke negara lain. Ekspor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea
cukai di negara pengirim maupun penerima. Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan
internasional, lawannya adalah impor. Ekspor adalah kegiatan perseorangan atau badan
hukum yang menjual barang ke luar negeri. Orang atau badan hukum yang melakukan
kegiatan ekspor dinamakan eksportir. Tujuan dilakukannya kegiatan ekspor biasanya adalah
untuk memperoleh keuntungan. Sementara itu, tujuan dilakukannya ekspor bagi negara
adalah untuk memperoleh devisa negara dalam bentuk mata uang asing.
Barang-barang Ekspor
Pada prinsipnya semua produk/barang dapat diekspor, kecuali barang-barang yang
terlarang dan untuk tujuan pelestarian maupun karena aturan internasional.
Barang/jasa terdiri dari 4 kelompok :
a. Barang-barang yang diatur ekspor
Dalam rangka mengikuti ketentuan internasional, menyangkut kesehatan, keselamatan,
keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM), menjaga kelestarian alam dan
b.
c.
d.
meningkatkan nilai tambah.
Barang-barang yang diawasi ekspornya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menjaga kelestarian alam.
Barang-barang yang dilarang ekspornya.
Dalam rangka menjaga kelangkaan, menyangkut kesehatan, keselamatan, keamanan,
lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM), kelestarian alam dan bernilai sejarah.
Barang-barang yang bebas ekspornya.
Dalam rangka mendorong ekspor melalui pembukaan akses pasar peningkatan
diversifikasi produk.
2.2 Tujuan Kegiatan Ekspor
1) Meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pasar serta untuk memperoleh harga
jual yang lebih baik.
2) Membuka pasar baru di luar negeri sebagai perluasan pasar dalam negeri.
3) Memanfaatkan kelebihan komoditas yang dimiliki.
4) Membiasakan diri bersaing dalam pasar internasional sehingga mampu bersaing
dengan negara lain.
2.3 Pihak-pihak yang Berperan dalam Kegiatan Ekspor
Kegiatan perdagangan antarnegara lebih rumit daripada perdagangan di dalam negeri.
Hal ini karena perdagangan antarnegara melibatkan banyak pihak. Selain itu, ada perbedaan
bahasa, mata uang dan peraturan perdagangan di tiap-tiap negara. Para pelaku kegiatan
ekspor yaitu sebagai berikut:
a. Produsen Eksportir
Produsen Eksportir adalah perusahaan yang memproduksi barang-barang untuk
diekspor. Produsen eksportir tidak menggunakan jasa perantara yaitu pedagang ekspor.
Perusahaan yang bisa berperan sebagai produsen ekportir biasanya merupakan perusahaan
besar atau berskala internasional. Perusahaan ini biasanya sudah memiliki pasaran di luar
negeri. Misalnya, perusahaan di bidang tekstil, mebel, makanan kemasan dan elektronik.
b. Pedagang Ekspor
Pedagang ekspor merupakan badan usaha yang diberi izin pemerintah untuk
melakukan kegiatan ekspor. Pedagang ekspor tidak memproduksi sendiri barang yang
diekspornya, tetapi menjual hasil produksi orang lain. Pedagang ekspor harus memiliki izin
pemerintah dalam bentuk surat pengakuan eksportir, disertai dengan kartu Angka Pengenal
Ekspor (APE). Dengan surat tersebut, pedagang ekspor diperbolehkan untuk melaksanakan
ekspor komoditas sesuai yang tercantum dalam surat tersebut.
c. Wisma Dagang
Wisma dagang merupakan suatu perusahaan ekspor yang besar dan dapat mengekspor
berbagai komoditas. Perusahaan ini mempunyai jaringan pemasaran di seluruh dunia. Wisma
dagang bisa bermula dari eksportir yang hanya mengekspor satu komoditas. Seiring
perkembangan usahanya, eksportir mampu mengekspor berbagai komoditas.
2.4 Prosedur atau Langkah-langkah dalam Proses Ekspor
Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam proses ekspor :
1. Mencari tahu terlebih dahulu apakah barang yang akan kita ekspor tersebut termasuk
barang yang dilarang untuk di ekspor, diperbolehkan untuk di ekspor tetapi dengan
pembatasan, atau barang yang bebas di ekspor (Menurut undang-undang dan
peraturan di Indonesia).
2. Memastika juga apakah barang kita diperbolehkan untuk masuk ke Negara tujuan
ekspor.
3. Jika kita sudah mendapatkan pembeli (buyer), menentukan sistem pembayaran,
menentukan quantity dan spesifikasi barang, dll, maka selanjutnya kita
mempersiapkan barang yang akan kita ekspor dan dokumen-dokumennya sesuai
kesepakatan dengan buyer.
4. Melakukan pemberitahuan pabean kepada Pemerintah (Bea Cukai) dengan
menggunakan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) beserta dokumen
pelengkapnya.
5. Setelah eksportasi kita di setujui oleh Bea Cukai, maka akan diterbitkan dokumen
NPE (Nota Persetujuan Ekspor). Jika sudah terbit NPE, maka secara hukum barang
kita sudah dianggap sebagai barang ekspor.
6. Melakukan stuffing dan mengapalkan barang kita menggunakan moda transportasi
udara (air cargo), laut (sea cargo), atau darat.
7. Mengasuransikan barang atau kargo kita (jika menggunakan term CIF)
8. Mengambil pembayaran di Bank (Jika Menggunakan LC atau pembayaran di akhir)
BAB III
CONTOH KASUS EKSPOR
Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
3.1 Latar Belakang
Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya
melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk
memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi
dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong
industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai
perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang
pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri
yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil
kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non tariff dan
kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi
anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara
yang melakukkan dumping adalah Indonesia.
3.2 Kerangka Pemikiran
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat
tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka
WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah
yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau
dukungan:
1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana
negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada
tingkat yang diperbolehkan;
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut
sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota
boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya
perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga
kategori:
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini
berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari
persentase dari nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement
Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggotaanggotanya. Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah
Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih
rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan
perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut
menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus
dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan
adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui
seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di
mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan
mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas
125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan
praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel
mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah
disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum
internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik
yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan
hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi
syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan
kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya
tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena
kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan
subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi
Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek
hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan
perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara
berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO
yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang
mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum
internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38
Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang
diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
3.3 Analisis Kasus
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia,
dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel
sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan
Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga
8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor
produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun
2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini,
kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16
jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and
paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia
kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei
2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk
PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat
0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC
menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan
PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar
8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke
WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang
dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement
Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui
proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan
Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam
mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai
Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping
produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan
bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk
kertas Indonesia.
3.4 Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara
jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara
di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan
negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang
terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur
aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu
perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor.
Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih
murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia
meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang
dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel
kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya dan Indonesia
juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan
kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan
oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel
kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti
yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan
suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini
menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional,
bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga
dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah
bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya
atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan
dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional
Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005
menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping
untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan
paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB
menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik
dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan
antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil
panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis
sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga
tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas
kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk
tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel
mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah
disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT
Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat
tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7
persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated
wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan
4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur
terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi.
Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum
melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan
Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok
hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga
menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun
untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia
perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk
melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu,
diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses
investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri)
yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan
BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah
menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia.
Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, negara yang
mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai perhitungan injury (kerugian)
sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi
berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas
melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan
informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
KESIMPULAN
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan
pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara
penanganan dan pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan
perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar
mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman
barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler.
Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor.
Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak
ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh
eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada
akhirnya dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus
dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi
dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam
negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor.
REFERENSI
Anindika, Ratya & Reed, R. Michael. Bisnis dan Perdagangan Internasional. 2008. Andi:
Yogyakarta
Griffin, Ricky W & Pustay, Michael W. Bisnis Internasional Edisi Keempat Jilid 2. 2006.
Indeks: Jakarta.
Tambunan, Tulus T H. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. 2004. Ghalia Indonesia:
Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspor, 20.30
http://www.sumbarprov.go.id/detail_news.php?id=3771, 20.57
http://www.wto18604.htm
http://www.mediaindo.co.id/newsprint.asp?Id=79789&Jenis=a&cat_name=Polkam
http://www.worldtradelaw.net/reports/wtopanels/korea-paperad(panel).pdf