Bahan Ajar Fiqih Kontemporer id

SHALAT GHAIB

  ”Ghaib” artinya tidak ada. Shalat Ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan seseorang ketika jasad si mayit sudah dimakamkan, atau shalat yang dilakukan dari jarak yang jauh dari si mayit.

  Shalat Ghaib ini termasuk shalat yang unik. Pada Muktamar ke-11NU di Banjarmasin tahun 1936, telah diambil keputusan lewat pendapat Imam Ibnu Hajar yang menyatakan: "Tak perlu Shalat Ghaib bagi seorang yang meniggal di dalam satu negeri." Sementara fakta yang berlaku di masyarakat NU, biasanya pada hari Jum'at sebelum khotbah ada pengumuman untuk mengerjakannya secara bersama-sama; seorang imam berdiri dan diikuti jama'ah untuk mengerjakan Shalat Ghaib.

  Dua kubu yang kami sebutkan tadi tampil dengan argumen masing- masing. Bagi kubu yang tidak perlu Shalat Ghaib (Keputusan Muktamar ke 11) dalilnya adalah:

  ”Bahwa tak sah shalat jenasah atas mayit yang ghaib yang tidak berada di tempal seorang yang hendak menyalatinyaa, sementara ia berada di negeri (daerah) di mana mayit itu berada walaupun negeri tersebut luas karena dimungkinkan untuk bisa mendatanginya. Para ulama menyamakannya dengan qadha atas seorang yang berada di suatu negeri sementara ia bisa menghadirinya. Yang menjadi pedoman adalah ada tidaknya kesulitan untuk mendatangi tempat si mayit. Jika sekiranya sulit untuk mendatanginya walaupun berada di negerinya, misalnya karena sudah tua atau sebab lain maka shalat hgaibnya sah. Sedangkan jika tidak ada kesulitan maka shalatnya tidak sah walau berada di luar batas negeri

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  pedoman bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat ghaib atas mayit yang meninggal dalam satu negeri, sedang ia tidak hadir karena sakit atau ditahan.

  Sedangkan dari kubu yang membolehkan dilakukan shalat ghaib dalilnya adalah, pertama, shalat ghaib boleh diselenggarakan karena lain negara. Rasulullah pernah menyalati seorang muslim Najasyi yang meninggal sewaktu berada di Madinah (HR Bukhari dan Muslim).

  Jika seorang menyalati jenasah di hari meninggalnya setelah dimandikan, hukumnya adalah sah, sebagaimana pendapat Imam Ar-Rayani. Juga menyalati jenasah yang telah dimakamkan, hukumnya juga sah karena Rasulullah pernah menyalati jenasah yang sudah dikubur (HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni). (Lihat dalam kitab Kifayatul Ahyar

  I hlm 103-104) Dalil kedua: Jelas tertera dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim: Ada

  seorang Najasi meninggal Rasulullah segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: ”Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal shalatlah kalian untuknya.” Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya. (Tafsir Ibnu Katsir

  I hlm. 443) Dalil ketiga: ”Boleh menyalati beberapa jenasah dengan sekali shalat dan

  niat untuk semua secara global.” Disebutkan juga boleh dengan niat ''ijmal'' artinya seperti dalam kalimat saya niat shalat untuk para jenazah muslim... atau, berniat shalat seperti sang imam menyalati saja. (dalam kitab Fathul Mu’in, juga Ianatut Thalibin II, 132-135).

  Dalil keempat: ”Batasan ''ghaib'' adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana panggilan adzan sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: Jika sudah di luar jangkauan pertolongan.” (Bughyatul Musytarsyidin, hlm 95)

  Dalil Kelima, Keputusan bahtsul masail Syuriah NU se-Jateng 1984. Ketentuan jarak untuk Shalat Ghaib ada tiga versi: (1) Jarak 44 meter, (2) Jarak 1666 meter (1 mil), (3) Jarak 2000 - 3000 meter.

  KH. Munawir Abdul Fatah, Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  C. Shalat Gerhana Dalam Fiqih, shalat gerhana dilakukan baik bila terjadi gerhana rembulan

  mapun gerhana matahari. Ada dua artikel yang saya sediakan di sini untuk perbandingan, dari Mazhab Salafy dan dari NU Oline.

  SHALAT GERHANA BULAN DAN GERHANA MATAHARI Oleh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

  Shalat kusuf (gerhana bulan) dan khusuf (gerhana matahari) merupakan sunnat mua’kkad. Disunatkan bagi orang muslim untuk mengerjakannya. Hal itu didasarkan pada dalil berikut ini.

  Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia bercerita bahwa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi gerhana matahari, lalu beliau mengerjakan shalat bersama orang-orang. Maka beliau berdiri dan memanjangkan waktu berdiri, lalu beliau ruku dan memanjangkannya. Kemudian beliau berdiri dan memanjangkannya –berdiri yang kedua ini tidak selama berdiri pertama-. Setelah itu, beliau ruku dan memanjangkan ruku, ruku-nya ini lebih pendek dari ruku pertama. Selanjutnya, beliau sujud dan memanjangkannya. Kemudian beliau mengerjakan pada rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat pertama. Setelah itu, beliau berbalik sedang matahari telah muncul. Lalu beliau memberikan khutbah kepada orang-orang. Beliau memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah. Dan setelah itu, beliau bersabda.

  “Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Setelah itu, beliau bersabda : “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang yang lebih cemburu dari Allah jika hambaNya, laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [1]

  Dapat saya katakan, sisi dalil yang dikandung hadits di atas, bahwa perintah mengerjakan shalat itu berbarengan dengan perintah untuk

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  SIFAT DAN JUMLAH RAKAA’AT SHALAT KUSUF Pertama : Tidak Ada Adzan Dan Iqamah Untuk Shalat Kusuf Para ulama telah sepakat untuk tidak mengumandangkan adzan dan

  iqomah bagi shalat kusuf [3]. Dan yang disunnahkan [4] menyerukan untuknya “ Ash-Shalaatu Jaami’ah”.

  Yang menjadi dalih bagi hal tersebut adalah apa yang ditegaskan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahuma, dia bercerita : “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diserukan : Innash Shalaata Jaami’ah” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani.[5]

  Kedua : Jumlah Raka’at Shalat Kusuf Shalat gerhana itu dikerjakan dua rakaat dengan dua ruku’ pada setiap

  rakaat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah kami sampaikan sebelumnya. Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia bercerita : “Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun berdiri dengan waktu yang panjang sepanjang bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang cukup panjang, lalu beliau bangkit dan berdiri dalam waktu yang lama juga- -tetapi lebih pendek dari berdiri pertama-. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang lama –ruku yang lebih pendek dari ruku pertama-. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berdiri dalam waktu yang lama –tetapi lebih pendek dari berdiri pertama. Selanjutnya, beliau ruku dengan ruku yang lama- ruku yang lebih pendek dari ruku pertama. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berbalik, sedang matahari telah muncul. Maka beliau bersabda.

  “Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut, maka berdzikirlah kepada

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Allah” Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, kami melihatmu mengambil

  sesuatu di tempat berdirimu, kemudian kami melihatmu mundur ke belakang”. Beliau bersabda.

  “Artinya : Sesungguhnya aku melihat Surga, maka aku berusaha mengambil setandan (buah-buahan). Seandainya aku berhasil meraihnya, niscaya kalian akan dapat memakannya selama dunia ini masih ada. Dan aku juga melihat Neraka, aku sama sekali tidak pernah melihat pemandangan yang lebih menyeramkan dari pemandangan hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita”.

  Para sahabat bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka”. Ada yang bertanya “Apakah mereka kufur kepada Allah?”. Beliau menjawab.

  “Artinya : Mereka kufur kepada keluarganya (suaminya), dan kufur terhadap kebaikan (tidak berterima kasih). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka sepanjang waktu, lalu dia melihat sesuatu (kesalahan) darimu, niscaya dia akan mengatakan : “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu” {Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [6]

  Kesimpulan Didalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas Radhiyallahu

  anhuma diatas terdapat dalil yang menunjukkan disunnatkannya khutbah dalam shalat kusuf, yang disampaikan setelah shalat.[7]

  Ketiga : Menjaharkan Bacaan Dalam Shalat Kusuf Bacaan dalam shalat kusuf dibaca dengan jahr (suara keras), sebagaimana

  yang dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

  menjaharkan bacaannya dalam shalat kusuf. Jika selesai dari bacaannya, beliau pun bertakbir dan ruku. Dan jika dia bangkit ruku, maka beliau berucap : “Sami Allaahu liman Hamidah. Rabbana lakal hamdu”. Kemudian beliau kembali mengulang bacaan dalam shalat kusuf. Empat ruku dalam dua rakaat dan empat sujud.” Diriwayatkan oleh Asy- Syaikhani] [8]

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  At-Tirmidizi rahimahullah mengatakan : “Para ulama telah berbeda pendapat mengenai bacaan didalam shalat kusuf. Sebagian ulama berpendapat supaya dibaca pelan (sirr, dengan suara tidak terdengar) dalam shalat kusuf pada waktu siang hari. Sebagian lainnya berpendapat supaya menjaharkan bacaan dalam shalat kusuf pada siang hari. Sebagaimana halnya dengan shalat ‘Idul Fithi dan Idul Adha serta shalat Jum’at. Pendapat itulah yang dikemukakan oleh Malik, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat menjaharkan bacaan pada shalat tersebut. Asy- Syafi’i mengatakan : Bacaan tidak dibaca Jahr dalam shalat sunnat [9]

  Dapat saya katakan bahwa apa yang sesuai dengan hadits, itulah yang dijadikan sandaran [10]. Wabillahi Taufiq

  Keempat : Shalat Kusuf Dikerjakan Berjamah Di Masjid. Yang sunnat dikerjakan pada shalat kusuf adalah mengerjakannya di

  masjid. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal berikut ini. [1]. Disyariatkannya seruan di dalam shalat kusuf, yaitu dengan “Ash-

  Shalaatu Jaami’ah” [2]. Apa yang disebutkan bahwa sebagian sahabat mengerjakan shalat

  kusuf ini dengan berjama’ah di masjid.[11] [3]. Isyarat yang diberikan oleh kedua riwayat di atas dari hadits Aisyah

  dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat gerhana itu secara berjama’ah di masjid. Bahkan dalam sebuah riwayat hadits Aisyah di atas, dia bercerita, “Pada masa hidup Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari, lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau. [12]

  Kelima : Jika Seseorang Tertinggal Mengerjakan Satu dari Dua Ruku Dalam Satu Raka’at.

  Shalat kusuf ini terdiri dari dua rakaat, masing-masing rakaat terdiri dari dua ruku dan dua sujud. Dengan demikian, secara keseluruhan, shalat kusuf ini terdiri dari empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat.

  Barangsiapa mendapatkan ruku kedua dari rakaat pertama, berarti dia telah kehilangan berdiri, bacaan, dan satu ruku. Dan berdasarkan hal

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  

  Yang menjadi dalil baginya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  “Artinya : Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka dia akan ditolak” [Muttaffaq ‘alaihi] [13]

  Dan bukan dari perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat satu rakaat saja dari shalat kusuf dengan satu ruku. Wallahu ‘alam

  Shalat Gerhana Bulan Sama Dengan Shalat Gerhana Matahari Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari.

  Hal tersebut didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda)

  dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”.[14]

  Dapat saya katakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah pernah mengerjakan shalat gerhana matahari dan beliau menyuruh kita untuk melakukan hal yang sama ketika terjadi gerhana bulan. Dan hal itu sudah sangat jelas lagi gamblang. Wallahu ‘alam

  Ibnu Mundzir mengatakan : “Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari” [15]

  [Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

  ______ ___ Foote Note [ 1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Ash-Shadaqah fil Kusuuf (hadits no.

  33

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  1044). Dan redaksi di atas adalah miliknya. Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf (hadits no. 901). [2]. Lihat sekitar Dalalaatul Itqiraan, kapan waktu muncul, kapan muncul kelemahannya, dan kapan pula keduanya sama . Badaa’iul Fawaa’id (IV183-184) [3]. Fathul Baari (II533) dan Masuu’atul Ijmaa (I696) [4]. Syarhul Umdah, karya Ibnu Daqiqil Ied (II135-136). Dan juga kitab Fathul Baari (II533). [5]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab An-Nidaa bish Shalaati Jaami’ah fil Kusuuf (hadits no. 1045). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Dzikrun Nidaa bi Shalaatil Kusuuf : Ash- Shalaatu Jaami’ah, (hadits no. 910). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI178) [6]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatil Kusuuf Jama’atan, (hadits no. 1052), dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Maa ‘Aradha Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Shalaatil Kusuuf min Amril Jannah wan Naar, (hadits no. 907). Dan lihat kitab. Jaami’ul Ushuul (VI173). [7]. Dan termasuk terjemahan Al-Bukhari di dalam (Kitaabul Kusuuf, bab Khuthbatul Imam fil Kusuuf), Aisyah dan Asma Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah…” Selanjutnya, dia menyitir hadits Aisyah di atas, Fathul Baari (II533-534) [8]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Al-Jahr bil Qiraa’ah fil Kusuuf, (hadits no. 1065) dan lafazh diatas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf, (hadits no. 901). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI156). Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya, tanpa memberi isyarat kepada riwayat ini. [9]. Sunan At-Tirmidzi (II448 –tahqiq Ahmad Syakir). [10]. Lihat ungkapan Asy-Syafi’i dan dalilnya di dalam kitab Al-Umm (I243). Juga pembahasan dalil-dalilnya serta penolakan terhadapnya di dalam kitab, Fathul Baari (II550) [11]. Dari terjemahan Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya, bab Shalaatul Kusuuf Jamaa’atan. Dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjadi imam untuk shalat mereka di pelataran zam-zam. Ali bin Abdullah bin Abbas mengumpulkan (orang-orang). Dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun shalat …”. Kemudian dengan sanadnya dia menyitir hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu. Pendapat yang mensyariatkan shalat kusuuf dengan berjama’ah adalah pendapat jumhur. Sekalipun imam tetap tidak hadir, maka sebagian mereka boleh menjadi imam atas sebagian lainnya. Lihat kitab Fathul Baari (II539-540). [12]. Dari terjemah Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya : Bab : Shalatul Kusuuf fil Masjid. Di dalamnya dsiebutkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha di atas dengan

  34

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  riwayat yang didalamnya terdapat ucapannya : “Kemudian pada suatu pagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan, lalu terjadilah gerhana matahari. Kemudian beliau pulang kembali pada waktu Dhuha, maka beliau pun berjalan di antara rumah-rumah isteri beliau …. (hadits no. 1056). Di dalam kitab Fathul Baari (II544), dalam mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : “Tidak ada pernyataan jelas yang menyebutkan bahwa shalat kusuf ini dikerjakan di masjid, tetapi hal tersebut disimpulkan dari perkataan Aisyah : “Lalu beliau berjalan di dekat rumah-rumah para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memang menempel pada masjid. Dan shalat kusuf di masjid ini telah dinyatakan secara gamblang dalam sebuah riwayat Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id, dari Umrah yang ada pada Muslim (saya katakan : “Hadits no. 903) Dan lafazhnya adalah sebagai berikut :” Kemudian aku keluar di antara para wanita di depan rumah isteri-isteri Nabi di masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan turun dari binatang tunggangannya hingga akhirnya sampai ke tempat shalat yang beliau mengerjakan shalat di sana”. Dapat saya katakan, dan yang lebih jelas dari itu adalah apa yang terdapat dalam hadits Aisyah terdahulu, yang ada pada Muslim, pada no. 901 Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Pada masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari, lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau..” [13]. Hadits shahih. Diriwayatlkan oleh Al-Bukhari sebagai kata pembuka dengan lafazh ini di dalam Kitaabul Buyuu’ bab An-Najasy, Fathul Baari (IV355). Dan diriwayatkan secara bersambungan di dalam Kitabush Shulh, bab Idzaa Ishtalahu ‘alaa Shulhi Juurin fa Shulhu Marduud, dengan lafazh : “Barangsiapa membuat suatu hal yang baru dalam perintah kami ini, yang bukan darinya, maka dia tertolak”. Dan diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Uqdhiyah, bab Naqdhul Ahkaam Al- Baathilah wa Raddu Muhdatsaatil Umuur, (hadits no. 1718). Dan lihat juga kitab, Jaami’ul Ushuul (I289) [14]. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya, dimana ia merupakan bagian dari hadits Aisyah mengenai shalat kusuf yang disebutkan di awal pembahasan [15]. Al-Iqnaa, kartya Ibnul Mundzir (I124-125)

  E. Shalat Isitisqa’ Berikut ini ada materi shalat istisqa’ yang saya ambil dari an-neahira.com

  Shalat istisqa adalah shalat yang dilakukan sebagai permohonan kepada Allah untuk meminta hujan. Shalat ini biasanya dilakukan bila terjadi kemarau yang panjang atau karena dibutuhkannya hujan untuk keperluan tertentu.

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Shalat istisqa' ini dilakukan secara berjama'ah dipimpin oleh seorang imam.

  Cara melaksanakannya ada tiga cara, yaitu: • Berdoa saja di mana pun dan kapan pun, dengan suara nyaring atau

  pelan. • Menambah doa istisqa (mohon turunnya hujan) pada khutbah Jumat. • Dengan shalat dua rakaat yang disertai dengan dua khutbah.

  A. Niatnya: Ushallii sunnatal-istisqaa’I rak’ataini (imaamanma’muuman) lillaahi ta’aalaa.

  Allahu Akbar. Artinya: “Aku niat shalat sunah istisqa’ dua rakaat (jadi imammakmum)

  karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”

  B. Cara melaksanakannya: Tiga hari sebelum shalat istisqa’, imam atau ulama memerintahkan

  kaumnya untuk berpuasa selama tiga hari, dan menganjurkan untuk beramal shaleh, seperti sedekah, tobat dari segala dosa, beradamai dengan musuh, dan melepaskan diri dari kezaliman.

  Pada hari keempat, semua penduduk disuruh keluar rumah. Bahkan, binatang ternak pun dikeluarkan ke tanah lapang ketika shalat istisqa. Waktu keluar rumah menuju tanah lapang, sebaiknya memakai pakaian sederhana dan tidak memakai wewangian, tidak berhias. Selama itu, dianjurkan untuk memperbanyak istighfar.

  Setelah salam, khatib membaca dua khutbah dan pada khutbah pertama dimulai dengan membaca istighfar 9 kali pada khutbah yang kedua dimulai dengan membaca istighfar 7 kali.

  C. Pelaksanaan Khutbah Istisqa • Khatib disunahkan memakai selendang • Khutbahya berisi anjuran unutk beristigfar dan merendahkan diri

  kepada Allah, serta yakin bahwa Allah akan mengabulkan tutunnya hujan

  • Ketika berdoa mengagkat kedua belah tangan • Pada khutbah kedua, di kala berdoa hendaknya khatib berpaling kea

  rah kiblat, membelakangi makmum.

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  • Ketika berpaling ke arah kiblat, khatib hendaknya mengubah

  selendangnya dari kanan ke kiri, dan yang di atas ke bawah.

  D. Istighfar dan doa istiqa’ Astaghfirullaahal azhim alladzi laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyumu wa

  atuubu ilaihi. Artinya: “Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Allah. Dia yag hidup dan yang tegak dan akau bertaubat kepadanya.”

  Doa istiqa Allahumma-sqinal ghaitsa wa laa taj’alnaa minal qaanithiin.

  Artinya: “Ya Allah, tumpahkanlah hujan kepada kami dan janganlah Engkau jadika kami termasuk orang-orang yang berputus asa.”

  Allahumma ‘alath-thiraabi wal aakaami wa manaabitisy syajari wa buthuunii audiyah. Allahumma hawaalainaa wa laa ‘alaina. Artinya: “Ya Allah, curahkanlah hujan itu di atas tumpukan-tumpukan tanah dan bukit-bukit, tempat pepohonan tanaman dan tumuh- tumbuhan, dan di lembah-lembah. Ya Allah, curahkanlah di sekeliling kami dan jangan di atas kami.”

  Allahummaj’alhaa suqyaa rahmatin wa laa taj’alhaa suqyaa adzabin wa laa muhqin wa laa balaa’in wa laa hadamin wa laa gharaqin. Artinya: "Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai siraman rahmat, dan janganlah Tuhan jadikan hujan ini sebagai siraman siksa, dan janganlah Tuhan menjadikan hujan ini suatu siraman yang memusnahkan harta, benda dan mara bahaya dan janganlah siraman yang menghancurkan dan menenggelamkan.”

  Allahummasqinaa ghaitsan mughiitsan hanii’an marii’an marii’an sahhan ‘amman ghadaqan thabaqan mujallalan daa’iman ilaa yaumid diin. Allahummasqinal ghaitsa wa laa taj’alnaa minal qaanithiin. Artinya: “Ya Allah, siramilah kami dengan hujan yang menyelamatkan, menikmatkan, menyenangkan, menyuburkan, mengalirkan ke segenap penjuru, banyak air dan kebaikannya, memenuhi sungai-sungai dan selalu mengalir rata hingga sampai hari kiamat. Ya Allah, tumpahkanlah hujan kepada kami, dan janganlah Tuhan jadikan kami orang-orang yang berputus asa.”

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Allahumma bil ibadi wal bilaadi minal juhdi wal juu’I wadh dhanki wa laa nasykuu illa liaika. Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya hamba Allah dan negeri tengah ditimpa kemelaratan dan kelaparan dan kesempitan hidup dan kami tidak dapat mengadu kecuali kepada-Mu.”

  Allahumma anbitiz zar’a wa adirra lanadh dhar’a wa anzil ‘alainaa min barakaatis samaa’I wa anbit min barakaatil ardhi waksyid ‘annaa minal balaa’I maa laa yaksifuhu ghairuka. Artinya: “Ya Allah, tumbuhkanlah tetanaman ini untuk kami dan perbanyaklah air-air susu binatang untuk kami, tumpahkanlah barakah dari atas untuk kami, tumbuhkanlah isi bumi ii untuk kami, dan hindarkanlah kami dari mara bahaya sesuatu becana alam yang tak akan kami sanggup hidari, kecuali Engkau ya Allah.”

  Allahumma inna nastagfiruka innaka kuta ghaffaaran fa arsilis samaa’a alaina midraaraa. Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon ampunan-Mu. Sungguh Tuhan Maha Pengampun. Tumpahkanlah hujan itu dari langit untuk kami dengan sederas-derasnya.”

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  KULIAH 5

  • Falak

  POKOK BAHASAN

  • Hisab • Ru’yah

  Dalam menentukan awal bulan Hijriyah, kita mengenal dua cara: ru’yah dan hisab. Ru’yah adalah cara yang lebih tradisional, yaitu hanya dengan menggunakan mata telanjang untuk melihat bulan; sementara hisab adalah metode menentukan awal bulan sepenuhnya dengan menggunakan perhitungan ilmu falak.

  Sebenarnya, beberapa kelompok pendukung Ru’yah seperti NU, tetap menggunakan hisab sebagai alat bantu untuk menentukan kapan dan dimana ru’yah bisa dilakukan. Tetapi mereka tidak mau menggunakan Hisab sebagai penentu akhir. Sebagian kelompok lagi menolak sama sekali digunakannya Hisab. Sementara di kubu pendukung Hisab, seperti Muhammadiyah, Hisab dijadikan sebagai penentu. Apa pun hasil Hisab akan diikuti oleh Muhammadiyah tanpa perlu menunggu konfirmasi dari hasil ru’yah.

  Beikut ini ada dua tulisan dari dua kelompok ekstrem yang anti-Hisab dan pendukung hisab untuk Anda jadikan bahan bacaan dan diskusi di kelas.

  A. Pro Hisab

  PUASA IDUL FITRI DAN HISAB - RUKYAT Oleh : Prof. Dr. Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

  Menurut perhitungan hisab, insya Allah awal Ramadan 1430 H jatuh pada hari Sabtu 22 Agustus 2009 dan 1 Syawal 1430 H (Idulfitri) jatuh pada hari Ahad 20 September 2009 yang akan datang. Insya Allah juga untuk kedua momen itu, menurut perkiraan hisab, tidak akan terjadi perbedaan. Untuk Ramadan, tinggi Bulan pada hari konjungsi [Kamis 20-08-2009, pukul

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  17:02:48 WIB] saat matahari terbenam adalah negatif (masih dibawah ufuk). Oleh karena bagi yang memegangi hisab wujudul hilal keesokan harinya belum dapat dinyatakan sebagai awal bulan baru, melainkan sebagai hari ke-30 bulan Syakban. Bulan baru karena itu jatuh lusa, yaitu hari Sabtu 22-08-2009 M. Bagi penganut rukyat, kedudukan Bulan di bawah ufuk itu tidak memungkinkan untuk dirukyat. Oleh karena itu mereka juga akan menggenapkan bulan Syakban 30 hari dan menjatuhkan

  1 Ramadan lusa Sabtu 22-08-2009 M. Sementara itu untuk Idulfitri 1430 H, tinggi Bulan pada hari konjungsi

  [Sabtu 19 September 2009 M pukul 01:45:36 WIB] saat matahari tenggelam sudah positif di atas ufuk (di Yogyakarta 5º 48’ 22”). Oleh karena itu bagi pendukung hisab hari Ahad 20 September 2009 dinyatakan sebagai 1 Syawal 1430 H. Bagi pendukung rukyat, tinggi Bulan 5º itu memungkinkan untuk dapat merukyat hilal apabila cuaca terang. Oleh karena itu diperkirakan penganut rukyat juga akan berlebaran pada hari Ahad 20-08-2009.

  Untuk menentukan bulan kamariah, khususnya bulan-bulan ibadah seperti Ramaddan, Syawal, dan Zulkaidah, umat Islam menggunakan metode rukyat. Metode ini telah digunakan sejak berabad-abad hingga sekarang. Nabi saw sendiri juga menggunakannya dan memerintahkan penggunaannya. Akan tetapi setelah berkembangnya kajian astronomi di lingkungan umat Islam, sebagian umat beralih kepada penggunaan hisab untuk menentukan bulan kamariah. Ulama pertama yang dikenal membolehkan penggunaan hisab adalah seorang ulama Tabiin Besar Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w. 95 H 714 M). Sejak itu penggunaan hisab berkembang dan semakin banyak diterima hingga sekarang. Sering timbul pertanyaan: apakah penggunaan hisab itu syar’i dan apakah sesuai dengan sunnah Nabi saw? Apa dasar yang membenarkan penggunaan hisab itu?

  Ada beberapa alasan bagi kebolehan penggunaan hisab, baik dari sudut pandang syar’i maupun dari sudut pandang astronomis (falakiah).

  Pertama, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar- Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan. Kemudian ayat 5 dari

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Kalau memang semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri menggunakan dan memerintahkan melakukan rukyat? Menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah berilat, maksudnya perintah yang disertai ilat (kausa hukum). Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak berlaku. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian. Maksud beliau terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Ini artinya bahwa setelah keadaan ummi itu hilang dan umat Islam telah menguasai baca tulis dan pengetahuan hisab, maka rukyat tidak digunakan lagi dan kembali kepada prinsip pokok, yaitu hisab.

  Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al- Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

  Kedua, alasan astronomi, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Dr. Nidhal Qasum, salah seorang penulis, mengeluh karena menurutnya adalah suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Ketiga, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.

  Ragaan 1 memperlihat keadaan rukyat Syawal 1404 H pada hari Jumat tanggal 29 Juni 1984. Daerah dalam garis lengkung adalah kawasan yang dapat melihat hilal Syawal 1404 H pada hari Jumat sore 29 Juni 1984. Ini berati bahwa kawasan tersebut (sebagian besar benua Amerika dan satu kawasan kecil di Afrika) memasuki 1 Syawal 1404 pada hari Sabtu 30 Juni 1984. Sedangkan kawasan di luar garis lengkung yang meliputi Eropa, Asia, Australia dan Afrika kecuali satu kawasan kecil di pantai barat, memasuki 1 syawal 1404 lusa, yaitu hari Ahad 1 Juli 1984 karena kawasan itu belum dapat merukyat pada hari Jumat sore sehingga harus menggenapkan Ramadan 30 hari. [Catatan: menag tahun 1984 mengumumkan Idulfitri 1404 H jatuh hari Sabtu 39 Juni 1984 atas dasar laporan rukyat dari beberapa tempat (tinggi Bulan 2º sd 2,5º). Thomas Djamaluddin mengeliminir rukyat ini dan menganggapnya tidak akurat, para perukyat terkicuh oleh obyek-onyek bumi atau angkasa].

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Selain itu rukyat secara normal hanya dapat dilakukan dari kawasan yang terletak 60º ke utara dan ke selatan dari garis khatulistiwa. Kawasan pada garis lingtang tinggi (di atas 60º) akan terlambat dapat melihat hilal. Bahkan pada kawasan Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim dingin Bulan hanya terlihat pada saat telah besar.

  Lingkaran Artika adalah kawasan di atas garis lintang utara 66º 33’ 39” untuk tahun 2009, dan Lingkaran Antartika adalah kawasan di atas garis lintang selatan. Kawasan itu adalah kawasan yang mengalami malam terus menerus selama musim dingin dan siang terus menerus selama musim panas. Lama malam dan siang pada musim-musim tersebut tergantung jaraknya ke kutub. Semakin dekat ke kutub semakin lama malam dan siang terus menerusnya. Di kutub sendiri malam dan siang terus menerus mencapai 6 bulan. Pada musim dingin itu matahari berada di bawah ufuk. Oleh karena itu Bulan ketika melintasi garis konjungsi berada dekat matahari dan karena itu juga tidak muncul ke atas ufuk, kecuali setelah amat jauh dari garis konjungsi, yaitu saat Bulan itu sudah sangat besar. Oleh karena itu rukyat tidak bisa dipedomani karena munculnya Bulan yang tidak normal.

  Keempat, jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal 9 atau 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin untuk menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Jadi orang Indonesia tidak mungkin menanti

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Kelima, rukyat tidak memungkinkan orang di seluruh dunia untuk melakukan puasa Arafah pada hari yang sama. Apabila di Mekah pada suatu sore rukyat telah berhasil dilakukan, sementara di Indonesia belum dapat dilakukan, maka akibatnya terjadi perbedaan memasuki bulan Zulhijah dan akibatnya terjadi perbedaan jatuhnya tanggal 9 Zulhijah sehingga terjadi perbedaan atau permasakahan mengenai pelaksanaan puasa Arafah.

  Oleh karena itu dalam upaya dunia Islam saat ini untuk menyatukan penanggalan Hijriah internasional, rukyat telah ditinggalkan. Ini tercermin dalam keputusan “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of Islamic Calendar)” yang diselenggarakan oleh ISESCO di Rabat 15-16 Oktober 2008 yang berbunyi:

  Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.

  Pada saat ini ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu lembaga OKI (Organisasi Konferensi Islam) sedang melakukan uji validitas empat usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan hijriah di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 90 tahun ke depan hingga tahun 2100.

  Puasa Idul Fitri dan Hisab - Rukyat

  B. Ru’yah Berikut ini adalah pandangan yang anti-Hisab. Pandanga ini umumnya

  dipegang oleh kelompok Salafy (Wahabi)

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Menggunakan metode Hisab dalam penentuan Ramadhan Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy

  Dari penjelasan yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :

  1.Ru’yatul Hilal (melihat hilal), 2.Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, 3.Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal

  atau pemberitaanpengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat. Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai

  sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :

  “Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :

  ( ِ)ِ;َ ْؤُ ِ اوُ ِْ5َأَو ،ِ)ِ;َ ْؤُ ِ ا-ُB-ُ, ،ُُCْ1َ َDَو ُُ;ْEَ َD ٌGَِّّBُأ ٌGَّBُأ َّ ِإ )

  “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

  Sementara orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana juga sangat

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous (س- '7)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (K ' L ا ر M-آ ) dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?

  Sebabnya : karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu tersebut tidak dapat diketahuiditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.

  Aku telah memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat dipastikan berdasarkan ilmu hisab. … –sekian– [1]

  Seluruh anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` nomor 2, yang ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut secara ringkas:

  را ا ـه . X5-; ا + 7 و ،Nر !; ا مL ' GP ا ء R أ Sأ L 5 ب C1 7 G'هVا ت !047 X'8; B Bأ و Sementara permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal

  pada setiap bulan berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Majelis Hai`ah bersepakat tentang tidak bolehnya. ([2] Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang

  senada dengan fatwa di atas, beliau berkata : “Ash-Shaum tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan

  ketentuan hisab (falaki) walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul hilal.” ( [3])

  Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi :

  1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :

  : ة!ا . ُ)ْ ُ َْ'َ5 َ ْ َّ ا ُُEْ6ِB َLِ َM ْ َ َ5

  Artinya

  Karena itu barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al-Baqarah : 185].

  Dalam ayat ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr (Al-Hilal)

  2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan ru’yatul hilal, seperi hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

  ير `! ا ] َ ِْ0َ\َ0 َن َ!ْ8َM َةَّLِ ا-ُ'ِ ْآَ]َ5 ُْEَْ'َ َKِّ!ُ2 ْنِ4َ5 ِ)ِ;َ ْؤُ ِ اوُ ِْ5َأ َو ِ)ِ;َ ْؤُ ِ ا-ُB-ُ,

  Artinya

  “Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R. Al-Bukhari]([4])

  Demikian juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :

  )' Xa;B ] (( ُNْوَ َ َّ;َ" اوُ ِْaُ َDَو ،َلَ\ِ ْ ا اُو َ َ َّ;َ" ا-ُB-ُ َ َD )) : َل َ َ5 َن َRَBَر َ َآ َذ ِ+ا َل-ُ(َر َّنَأ Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang

  Ramadhan, kemudian beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [5])

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.

  3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.

  4. Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.

  5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.

  Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :

  ( ِ)ِ;َ ْؤُ ِ اوُ ِْ5َأَو ،ِ)ِ;َ ْؤُ ِ ا-ُB-ُ, ،ُُCْ1َ َDَو ُُ;ْEَ َD ٌGَِّّBُأ ٌGَّBُأ َّ ِإ )

  dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

  Beliau berkata : “Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan

  dan peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :

  (( َ ِْ0َ\َ0 َةَّLِ8 ا ا-ُ'ِ ْآَ]َ5 ُْEَْ'َ َُّ2 ْنِ4َ5 )) “Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban)

  menjadi tiga puluh hari”

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  Tidaklah beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.

  Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan sebagian kecil ahli Fiqih terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ – sekian Al-Hafizh–

  Itulah beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.

  NOTE: [1] Al-Fatawa XXV207-208. [2] Taudhihul Ahkam III134-135. [3] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314. [4] Al-Bukhari (hadits no. 1909 [5] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no. 1080. (Dikutip dari tulisan "Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Untuk Menentukan Masuk

  Url sumber

  http:www.assalafy.orgmahad?p=225 ) Silahkan menyalin memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan

  url sumbernya. Sumber artikel http:www.salafy.or.idprint.php?id_artikel=1337

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  KULIAH 6

  • Zakat Fitrah

  POKOK BAHASAN

  • Zakat Mal • Zakat Profesi

  Materi zakat cukup banyak tersedia di Internet karena semakin banyaknya lembaga-lembaga pengelola zakat setelah lahirnya undang- undang zakat No. 38 Tahun 1999 (download UU zakat di sini: http:www.bpkp.go.idunithukumuu199938-99.pdf

  A. Zakat Fitrah Berikut ini saya kutipkan beberapa di antaranya, yaitu artikel zakat fitrah

  dari situs pesantrenvirtual.com.

  a. Dasar hukum.

  B , وأ B , ، a ا ة آز '(و )' +ا ', +ا ل-(ر ض 5 : ل 7ا

  جو ! يدe نأ 7 Bأو، 'C ا B ، !E او ، f او ، g Vاو آh او 1 او L!8 ا ' ، 8M

  )' Xa;B . ة\ ا إ س 6 ا

  Dari Ibnu Umar r.a. berkata : "Rasulullah saw.mewajibkan zakat Fitrah sejak bulan Ramadhan satu sha' kurma atau satu sha' gandum kepada hamba dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan kecil dan besar dari kaum Muslimin. (Bukhari dan Muslim).

  b. Hukum : Wajib ( Fardlu Ain).

  c. Syarat wajib zakat Fitrah : semua orang (Muslim, orang merdeka, hamba sahaya, pria, wanita, besar, kecil, tua dan muda.

  d. Bahan dan ukuran. Zakat Fitrah adalah dengan mengeluarkan bahan makanan pokok, seperti

  beras, gandum, jagung danlain sebagainya sebanyak 1 sha' (2,751 kg.). Dan boleh juga diganti dengan uang sejumlah harga bahan, jika kondisi penerimaan lebih membutuhkannya.

  e. Waktu pengeluaran.

  1. Sebaiknya sebelum shalat 'Ied.

  2. Boleh dikeluarkan pada awal bulan Ramadhan.

  Bahan Ajar Fiqih – Arif Maftuhin

  3. Apabila dikeluarkan setelah shalat 'Ied maka ia dianggap sebagai shadaqah.

  f. Hikmahnya :

  1. Membersihkan diri orang yang berpuasa dari perbuatan yang kurang baik.

  2. Memberi makan kepada fakir miskin. KLASIFIKASI PENERIMA ZAKAT.

  1. Fakir.

  2. Miskin.

  3. Pengurus zakat ('Amil).

  4. Muallaf, orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah.

  5. Hamba sahaya.

  6. Orang yang dililit hutang.

  7. Kepentingan umum di jalan Allah.

  8. Orang Ibnu Sabil ; dalam perjalanan di jalan Allah, serta mengalami kesulitan financial dalam perjalannya.

  Firman Allah :

  ِ)i' ا ِ ِ!َ( Kِ5َو َ ِBِر َfْ اَو ِب َ ِّ ا Kِ5َو ُْ ُ7-ُ'ُ ِGَai َeُ ْ اَو َ َْ'َ َ ِ'ِB َ8ْ اَو ِ ِآ َCَ ْ اَو ِءاَ َ ُaْ'ِ ُت َ َLi ا َ i ِإ