MORAL REASONING ANAK JALANAN DI LINGKUNGAN EX. DOLLY.

(1)

MORAL REASONING ANAK JALANAN DI LINGKUNGAN EX. DOLLY

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Fatkhiyah B77212104

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan moral reasoning anak jalanan di lingkungan ex Dolly. penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan triangulasi sebagai validitas. Subjek penelitian adalah anak jalanan di lingkungan ex. Dolly yang masih remaja, berusia tiga belas hingga tujuh belas tahun dengan mengungkapkan pengalamannya. Ada tiga subjek yang dijadikan sumber informasi mengenai moral reasoning anak jalanan di lingkungan ex. Dolly.

Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa anak jalanan di lingkungan ex. Dolly telah melalui beberapa tahap moral reasoning, bahkan ada yang mencapai tahap 6 yaitu berorientasi pada suara hati. Hal ini ditemukan pada subjek 1 (T) dan subjek 3 (U) ketika melakukan suatu perbuatan kedua subjek memikirkan masa depan anak, selain itu subjek 1 (T) mengingat akan hak asasi manusia, kasihan, dan diliputi rasa takut akan kematian. Secara moral sebenarnya remaja mencapai pada tingkat konvensional atau pada tahap 3 dan tahap 4, peneliti menemukan bahwa ketiga subjek cenderung pada tahap 5, yaitu ketiga subjek melakukan suatu perbuatan didasari oleh orientasi kontrak sosial berupa geng atau kelompok yang diikutinya.

Selain itu peneliti juga menemukan faktor-faktor moral reasoning di lingkungan ex. Dolly, diantaranya kelompok keluarga subjek 1 (T), subjek 2 (J), dan subjek 3 (U) kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Selain itu dalam kelompok teman sebaya, teman sangat mempengaruhi subjek 1 (T), subjek 2 (J), dan subjek 3 (U) dalam berperilaku. Sedangkan dalam kelompok sosial – ekonomi subjek 1 (T) dan subjek 3 (U) telah putus sekolah semenjak duduk dibangku lima SD, berbeda halnya dengan subjek 2 (J) yang masih sekolah dibangku kelas tiga SMK. Lingkungan sekitar subjek pun tidak mendukung untuk terciptanya moral yang baik. Dari ketiga faktor yang ada peneliti menemukan temuan baru yang mempengaruhi faktor moral reasoning anak jalanan yaitu pengalaman hidup.


(7)

ABSTRACT

This study attampts to describe moral reasoning street children in the ex. Dolly. The research is qualitative research using triangulation as the validity of. The subject of study is a street children in the ex. Dolly in the ground, aged thirteen to seventeen by expressing his experiences. There are three subject used as a source of information on moral reasoning street children in the ex. Dolly.

It produces the research findings that street children in the ex. Dolly has been through some stages of moral reasoning, some even reach the stage 6 namely oriented at the sound of the heart. It is foaund on the subject of 1 (T) considering will human rights, pity, and suffused the fear of death. Morally actualy teenagers reach on conventional level or on the stage of the stage 3 and 4, researchs found that third subject tends in the stage 5, namely third subject do a deed constituted by social orientation contract in the form of gang or group he follows. Researchers also found the factors moral reasoning in the ex. Dolly, including family groups subject 1 (T), subject 2 (J), and subject 3(U) less mercy and attention of parents. In addition to the peers, friends affected subject 1(T), subject 2 (J), and subject 3 (U) in behave. While in social – economic subject 1 (T) and subject 3 (U) have drop outs since sitting was five primary schools, in contrast to the subject 2 (J) still school was third grade SMK. The environment subject would not support to the good morals. Of the factors that is the researchers found a new finding that affect the moral reasoning street children the experience.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

BAB II KAJIAN TEORI A. Moral Reasoning ... 20

1. Pengertian Moral Reasoning ... 20

2. Faktor-Faktor Moral Reasoning ... 22

3. Tahap-Tahap Moral Reasoning ... 24

B. Remaja... 30

1. Pengertian Remaja ... 30

2. Tahap Perkembangan Remaja ... 34

3. Karakteristik Remaja ... 36

4. Tugas Perkembangan Remaja ... 40

C. Anak Jalanan ... 43

1. Pengertian Anak Jalanan ... 43

2. Kategori Anak Jalanan ... 44

D. Moral Reasoning Anak Jalanan di Lingkungan Ex. Dolly ... 46

E. Kerangka Teoritik ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 53

B. Lokasi Penelitian ... 54

C. Sumber Data ... 54

D. Cara Pengumpulan Data ... 59

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 60

F. Keabsahan Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Setting penelitian ... 62


(9)

B. Hasil Penelitian ... 70 C. Pembahasan ... 101

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 113 B. Saran ... 114


(10)

DAFTAR TABEL


(11)

DAFTAR SKEMA


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan banyak

waktunya dijalanan, mereka biasa dipandang sebelah mata oleh

masyarakat sekitar karena kecenderungan anak jalanan melakukan

tindakan diluar batas sehingga meresahkan warga sekitar.

Data jumlah anak jalanan di Indonesia telah mencapai 36.000 anak

pada tahun 1997, meningkat pada tahun 2010 menjadi 232.894 anak

(kemsos.go.id, 2010), dan tahun 2016 tercatat 1,4 juta anak

(republika.co.id, 2016). Di Jakarta dalam tiga tahun terakhir dari tahun

2009 terdapat 3.724 orang, tahun 2010 meningkat menjadi 5.650 orang,

dan pada tahun 2011 juga terjadi peningkatan sebanyak 7.315 orang, pada

umumnya mereka bekerja sebagai pengemis, pengamen, pengelap kaca

mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, dan parker liar (kompas.com, 2011).

Dinas Sosial pun mencatat bahwa anak jalanan di DKI Jakarta telah

mencapai 7.300 orang pada tahun 2013, jumlah ini meningkat 10 persen

dari tahun sebelumnya (republika.co.id, 2013).

Badan Pusat Statistik (BPS) di Jawa Timur mencatat terdapat

248.665 anak jalanan pada tahun 2012 (jatim.bps.go.id, 2012). Tidak jauh

dengan yang kota lainnya di Depok terdapat peningkatan anak jalanan

menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 terdapat 30


(13)

2

Banyak penyebab anak jalanan semakin meningkat tiap tahunnya

diantaranya karena faktor ekonomi, pendatang yang ingin mencari

pekerjaan di kota lain namun tidak mendapatkan pekerjaan, suka hidup di

jalanan, dan adapula yang telah mengkoordinir anak jalanan itu sendiri.

Dari berbagai data yang telah disajikan mengenai jumlah anak

jalanan, berikut akan peneliti sajikan data mengenai kasus yang terjadi di

mana pelakunya adalah anak jalanan itu sendiri sehingga dapat

meresahkan warga sekitar. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa

menyebutkan berdasarkan data Kementerian Sosial jumlah anak jalanan

mencapai 18.000 lebih, 70 persennya adalah korban penyalahgunaan

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau napza. Korban

penyalahgunaan napza usianya tidak hanya remaja bahkan anak-anak atau

balita pun terkena obat terlarang tersebut sehingga hal ini sangat

mengkhawatirkan. Khofifah pun menyatakan bahwa anak jalanan yang

menjadi korban penyalahgunaan narkoba yaitu bermula dari candu

terhadap lem dengan cara menghirupnya (liputan6.com, 2016).

Salah satu pengamen mengakui bahwa dirinya tidak asing dengan

yang namanya narkotika ataupun zat adiktif karena banyak dari temannya

yang menggunakan lem serta merokok, dan bahkan ganja dan ekstasi.

Menurut kasie Layar Lebar dan Media Elektronik lainnya Dep. Bid.

Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Diah Hariani Surtikanti,


(14)

3

Faktor genetik dapat terjadi apabila orang tua anak tersebut menggunakan

narkoba, sedangkan faktor lingkungan terjadi akibat adanya

penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekitar yang akhirnya ikut-ikutan

(news.okezone.com, 2014).

Kasus anak jalanan ngelem terjadi di Lubuklingau Palembang, di

daerah ini menjadikan gawat darurat lem karena anak usia tiga tahun sudah

menjadi pecandu lem sehingg anak tersebut nge-fly. Pemakai lem tidak

lain anak usia sekolah dari umur tiga tahun hingga lima belas tahun. Jenis

lem yang digunakan anak jalanan ini yaitu lem aibon. Dinyatakan status

darurat oleh pemerintah setempat karena salah satu pintu masuk

penyalahgunaan narkoba, selain itu mereka akan tidak sadarkan diri

dengan melakukan kerusakan yang lain seperti menggores body

mobil,motor dan sebagainya. Kepala Badan Narkotika Nasiona Kota

(BNNK) Ibnu Mudzakir menyebutkan bahwa anak jalanan ini membeli

lem dari hasil ngamen, minta-minta, menjadi juru parkir, dan bila mereka

tidak diberi uang akan mengeluarkan kata-kata kotor. Ibnu Mudzakir juga

mengungkapkan bahwa dampak ini menjadikan rusaknya moral dan

akhlak generasi muda (koran-sindo.com. 2016).

Merdeka.com (2013) mengungkapkan anak jalanan yang mulai

kecanduan lem sejak usia 10 tahun, ia sudah tujuh tahun melakukan hal

tersebut (menghirup aroma lem) dengan menghabiskan dua kaleng lem

tiap hari, ketika ditanyakan alasannya yaitu ia tidak mampu membeli ganja


(15)

4

negatifnya, namun ia mengaku sudah kecanduan sehingga sangat sulit

untuk dihilangkan selain itu dengan cara ini ia mampu menghilangkan

beban yang ada dalam hidupnya. Kompasina.com (2015) menyebutkan

ngelem merupakan trend bagi anak jalanan, hal ini bukanlah suatu yang

asing namun kegiatan yang sangat disukai oleh mereka. Efek menghirup

aroma lem ini sangat dahsyat diantaranya memberikan efek euphoria dan

gembira sehingga mampu menghilangkan kedukaan yang dirasakan dalam

dirinya. Selain itu efek yang sangat membahayakan yaitu kehilangan

kesadaran, halusinasi, merusak sistem saraf otak, dan bahkan

menyebabkan kematian. Efek ini hampir mirip dengan penggunaan

narkoba. Perilaku buruk dan bahkan hal-hal mustahil akan dilakukannya

dari efek ngelem seperti lompat dari gedung tinggi atau berenang di air

yang dalam, imi terjadi karena kehilangan kesadaran.

Miras mampu menghilangkan kesadaran seseorang, terdapat

seorang pengamen tewas dibunuh oleh rekannya yang sama-sama

berprofesi sebagai pengamen. Kejadian ini bermula dari setelah meminum

minuman keras kemudian mereka beradu mulut karena hal yang sepele

sehingga terjadilah pembunuhan yang di mana korban dianiaya dan

dicekik kemudian korban digantung oleh pelaku di pintu irigasi.

Sebenarnya peristiwa itu hanya emosi sesaat dibawah pengaruh minuman

beralkohol, tidak ada unsur dendam pribadi (republika.co.id, 2016).


(16)

5

pada tahun 1997 menyebutkan bahwa anak jalanan sangat sering

melakukan tindakan kriminal dan bahkan menjadikan sebuah kebutuhan,

diantaranya yaitu mencopet, menodong, dan merampas uang teman.

Tindakan tersebut dilator belakangi kerena mereka membutuhkan untuk

kebutuhan sehai-hari seperti makan, minum, dan kebutuhan lainnya.

Namun tidak semuanya anak jalanan pernah melakukan tindakan kriminal

(yayasansetara.org, 1997).

Tempo.co (2016) memberitakan bahwa telah terjadi penganiayaan

terhadap dua wanita yang sedang melewati jembatan penyeberangan UI

oleh pengamen yang beratriut punk. Tindakan penganiayaan bermula dari

pengamen tersebut meminum minuman keras sehingga tak sadarkan diri

yang berimbas pada tindakan ingin merampas harta korban, karena korban

melawan maka pengamen yang dibawah minuman beralkohol ini berani

melakukan tindakan penganiayaan sehingga ia berurusan dengan pihak

kepolisian.

Anak punk merupakan salah satu anak jalanan yang di mana

keberadaan mereka sangat meresahkan warga dengan penampilan yang

menurut masyarakat menakutkan, salah satunya di Aceh, anak punk

ditangkap oleh Satpol PP sebanyak 17 anggota komunitas punk dengan usia rata-rata 14 – 16 tahun, mereka ditangkap karena ada laporan warga bahwa telah mengganggu kenyamanan (beritasatu.com, 2011). Selain itu

tindakan anak punk di Banda Aceh telah menusuk salah satu Satpol PP


(17)

6

Ali mengatakan bahwa komunitas punk meresahka masyarakat sebab

mereka telah menjurus pada tindakan kriminal dan keberadaan mereka

bertentangan dengan nilai-nilai Islam (republika.co.id, 2011).

Rahma salah seorang penumpang angkot mengatakan bahwwa

dirinya merasa tidak nyaman dengan keberadaan anak punk ketika naik

angkot kemudian ada anak punk yang masuk dengan berdalih mengamen

padahal mereka tidak membawa alat musik unuk mengamen, mereka

hanya menepukkan tangannya saja, karena takut rahma pun memberikan

uang pada mereka (anak punk). Penangkapan anak punk pun dilakukan

oleh Polisi Pamong Praja Kota Depok, hal ini dilakukan karena banyaknya

laporan dari warga yang khawatir akan keberadaan anak punk ini

(sindonews.com, 2016). Hal ini juga di ungkap oleh tempo.co (2015)

bahwa anak punk ditertibkan untuk mengantisipasi kejahatan berkedok

pengamen jalanan sehingga meresahkan warga karena berpotensi

melakukan aksi kriminal. Selain itu ada juga dua pengamen di Jakarta

telah membajak sebuah angkot 06A jurusan Kampung Melayu-Gandaria,

keduanya menodong sejumlah penumpang yang ada diangkot tersebut

menggunakan pisau lipat. Peristiwa ini mengakibatkan satu orang tewas

dan tiga orang luka-luka (tempo.co, 2012).

Dari berbagai data yang telah disajikan diatas menunjukkan bahwa

betapa adanya kemunduran moral anak jalanan yang sangat


(18)

7

perjuangan untuk kemajuan Negara maupun Agama. Apabila hal ini

dibiarkan saja maka akan terjadinya kehancuran di suatu Negara tersebut.

Anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan banyak waktu

dijalanan dengan rentang usia dibawah 18 tahun. Jadi mereka merupakan

generasi penerus yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan

pembinaan. Selain itu Sarwono (2007 : 4) juga mengungkapkan bahwa

permasalahan yang menyangkut kelompok remaja salah satunya anak

jalanan semakin hari semakin bertambah. Dengan perkataan lain, masalah

remaja (anak jalanan) sudah menjadi kenyataan sosial dalam masyarakat.

Anak jalanan yang menginjak masa remaja merupakan masa-masa

pencarian jati diri yang menimbulkan sifat labil sebab ia bukan lagi

anak-anak dan belum bisa dikatakan dewasa, nama lain pada masa ini yaitu

masa transisi. Di sini remaja sangat senang sekali mengeksplorasi

kemampuannya agar menemukan jati dirinya yang sesungguhnya untuk

dapat menentukan bagaimana seharusnya mereka bersikap atas apa yang

dihadapinya saat ini. Dengan penuh kelabilan, remaja sangat perlu sekali

pendampingan orang tua, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk

meningkatkan kemampuannya untuk mecari solusi bagaimana seharusnya

ia bersikap dan bertindak.

Sarwono (2007 : 2) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi

antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau

seseorang yang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur,


(19)

8

93) pun menyebutkan hal yang tidak jauh beda bahwa sebelum memasuki

masa remaja, kehidupannya teratur dan mengikuti tata cara tertentu. Setelah memasuki masa remaja, maka terasa seolah-olah “kehilangan kemudi”, kehilangan arah. Tindak-tanduknya seringkali mengalami tantangan dari teman sebaya maupun generasi yang lebih tua. Sering pula

tindakan-tindakan mereka di luar batas kesopanan. Penanaman nilai moral

sangat dibutuhkan pada diri anak terutama pada diri remaja yang berada

dijalanan (anak jalanan) karena pada masa ini keingintahuannya sangat

tinggi sehingga apapun yang ia lihat atau ketahui akan berusaha

mencobanya. Maka orang tua harus membekali anak-anaknya nilai moral

sejak dini agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan pada anak.

Menurut Furter (dalam Tarigan & Siregar, 2013 : 80) moral

merupakan masalah penting bagi remaja. Proses perkembangan yang

terjadi dalam diri seseorang remaja terbentuk dengan apa yang dialami dan

dirterimanya selama masa anak-anak, sedikit demi sedikit hal tersebut

mempengaruhi perkembangannya yang akan menuju dewasa. Masalah

moral merupakan salah satu aspek penting yang perlu ditumbuh

kembangkan dalam diri seseorang. Kohlberg (1995 : 136) mengungkapkan

bahwa secara moral remaja telah mencapai tingkat moral konvensional,

yang menunjukkan bahwa remaja cenderung menyetujui aturan dan

harapan masyarakat hanya memang demikian keadaannya.


(20)

9

dihadapinya sehingga mudah terkena dampak perkembangan dan

teknologi, karena masa ini remaja mengalami peralihan anak menuju

dewasa. Selain itu Gunarsa & Gunarsa (2003 : 95) menyebutkan bahwa

remaja memiliki keinginan untuk menjalankan peraturan yang berlaku

dalam kelompok sebayanya atau masyarakat sekitarnya.

Kohlberg (1995 : 22) menuturkan bahwa moral reasoning yaitu

penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau “nilai”, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat

konstruktif kognitif yang aktif terhadap titik pandangan masing-masing

partisipan dan kelompok yang terlibat, sambil mempertimbangkan segala

macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi atau

kelompok terhadap yang baik dan yang adil. Sedangkan menurut Tarigan

& Siregar (2013 : 80) pada moral reasoning diharapkan seseorang remaja

yang menghadapi dilema-dilema moral secara reflektif mengembangkan

prinsip-prinsip moral pribadi yang dapat bertindak sesuai dasar moral yang

diyakini dan bukan merupakan tekanan sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2013 : 80) tentang

pengaruh harga diri dan penalaran moral (moral reasoning) terhadap

perilaku seksual remaja berpacaran di SMK Negeri Samarinda

menunjukkan hasil penalaran moral (moral reasoning) tidak berpengaruh

terhadap harga diri perilaku seksual remaja berpacaran. Adapun Afroh


(21)

10

moral dengan perilaku menyontek pada siswa di Madrasah Tsanawiyah

Negeri Gondowulung Bantul dengan menggunakan teknik analisis uji

korelasi product moment dari Pearson mendapatkan hasil bahwa tidak ada

korelasi antara penalaran moral dengan perilaku menyontek pada siswa

Madrasah Tsanawiyah Negeri Gondowulung Bantul. Selain itu Endicott,

dkk (2003 : 403) meneliti mengenai penalaran moral (moral reasoning),

pengembangan antarbudaya, dan pengalaman multicultural : hubungan dan

dasar-dasar kognitif memperoleh hasil adanya keterkaitan penalaran moral

dan pengembangan antarbudaya secara signifikan terkait satu sama lain.

Penelitian selanjutnya yaitu tentang gambaran penalaran moral

(moral reasoning) pada remaja yang tinggal di daerah konflik yang diteliti

oleh Tarigan dan Siregar (2013 : 79) memperoleh hasil bahwa 31 orang

berada pada tahap 4 dan 21 orang pada tahap 3 yang artinya 52 subyek

berada pada tingkat konvensional di mana pada tingkat ini orientasinya

pada otoritas hukum dan keterlibatan sosial dengan ditandai adanya

konformitas dengan teman sebaya.

Moral reasoning anak jalanan di lingkungan ex Dolly sangat menarik perhatian peneliti sebab anak jalanan memiliki berbagai

permasalahan yang dihadapi secara komplek apalagi dengan kehidupannya

yang banyak menghabiskan waktunya di jalanan yang begitu bebas

ditambah pada lingkungan yang demikian (ex. Dolly). Menurut de Moura


(22)

11

jalanan. Secara umum, pendapat yang berkembang di masyarakat

mengenai anak jalanan adalah anak-anak yang berada di jalanan untuk

mencari nafkah dan menghabiskan waktunya bermain, tidak sekolah dan

kadang kala ada pula yang menambahkan bahwa anak-anak jalanan

menganggu ketertiban umum dan melakukan tindak kriminal.

Perkembangan pesat anak jalanan di berbagai sudut jalan, selain

memprihatinkan dari segi kemanusiaan, disaat yang sama ternyata juga

melahirkan permasalahan sosial yang cukup meresahkan. Kendati disadari

bahwa tidak semua anak jalanan melakukan tindakan-tindakan yang

sampai mengganggu ketertiban umum, namun tidak dipungkiri bahwa ada

sebagian di antara mereka yang merusak citra anak jalanan secara

keseluruhan dengan tindakan mereka yang mengarah pada perilaku

kriminal (Suyanto & Hariadi, 2002 : 40).

Moral reasoning dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana dan mengapa seseorang memutuskan suatu perbuatan itu baik dan buruk

atau benar dan salah. Untuk mendukung penelitian ini, peneliti telah

melakukan wawancara dan observasi tiga orang responden yaitu dua anak

jalanan yang tinggal di daerah Putat Jaya dan satu anak jalanan yang

tinggal di daerah stren kali Jagir Surabaya. Responden satu merupakan

anak jalanan usia 15 tahun yang tinggal di jalanan atau tidur di depan

rumah warga sekitar di daerah Putat Jaya ex. Dolly Surabaya. Responden


(23)

12

merokok, minum-minuman keras dan mencuri itu tidak baik, namun

responden melakukannya. Sebagaimana cuplikan wawancara dibawah ini : “Penting polane dilarang agama, lek gak dilarang yo

mbendino (minum-minuman keras) mbak. Jarang-jarang lek

ditawari tok. Tawuran iku yo buruk mbak, soale ngerusak

lingkungan. Sembarang dirusaki sampek embong-embong barang.

Ngerokok iku gak apik soale ngerusak kesehatan koyok operasian

iki gak sembuh-sembuh. Nyuri gak tahu, tapi mbiyen gumbul karo

arek-arek nakal iku, nyolong doro. Yo wong salah wedi ketangkep, dimassa wong barang, wong salah kok (Wawancara dengan T, tgl 3

Januari 2016, jam 12.50).”

Dari cuplikan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa

responden menyatakan penting mengetahui baik dan buruk. Hal-hal yang

negatif seperti merokok, mencuri, minum-minuman keras, dan tawuran

responden mengungkapkan bahwa dilarang oleh agama dan menjabarkan

resiko yang akan ditanggungnya. Walau responden menyatakan bahwa

tindakan tersebut buruk, tetapi tetap dilakukannya.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan responden dua, yaitu

anak jalanan berusia 17 tahun yang tinggal bersama orang tuanya

(memiliki tempat tinggal) di daerah Putat Jaya Surabaya. Adapun cuplikan

wawancara sebagai berikut :

“Penting saja mbak, biar gak salah paham. Sing apik yo

kerjo sing pengalaman, lek sing elek nyolong, nyopet-nyopet. Gak

baik mbak soale dilarang sama agama. Ngerokok, kalau gak

rokokan sepet. Gak baik sih gawe kesehatan. Rokokan mulai dari

kecil, jadi biasa. Kurang baik (merokok). Lek mari mangan

rokokan. Pernah dinasehatin nanti jangan rokokan terus nanti

sakitnya makin parah. Takut dosa, hukuman (Wawancara dengan


(24)

13

Dari hasil wawancara di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

responden menyatakan perbuatan baik itu seseorang yang bekerja dan

mendapatkan pengalaman. Tindakan buruk itu seperti mencuri. Merokok

merupakan suatu yang buruk karena dapat merusak kesehatan dan

penyakitnya tidak kunjung sembuh. Perbuatan buruk menurut responden

yang telah disebutkan tadi, memiliki alasan bahwa suatu perbuatan itu

buruk karena dilarang oleh agama, berdosa, dan akan mendapatkan

hukuman.

Responden ketiga merupakan anak jalanan usia 15 tahun yang

hidup bersama keluarganya di daerah stren kali Jagir, responden

menyatakan bahwa perbuatan minum-minuman keras, merokok, dan

mencuri merupakan perbuatan yang buruk, sebagaimana kutipan

wawancara berikut ini :

agak penting sih kak, susah mikirnya, mikir orang tua

juga. Nanti kalau aku gini-gini itu orang tua, ya mikir juga kak.

Buruk (minum-minuman keras) kak, soalnya kayak orang lupa

ingatan gitu kak. Ya, gak pernah. Tapi dikasih pernah. Tak kirain

itu kayak extra joss gitu kak, tak ombe kok arak kak. Pernah, tapi

gak nerus kak. Dibohongi. Ya, saya kirain kayak air putih gitu kak,

kok pas dirasain kok rasanya gak enak. Kalau ngerokok gak

pernah. Menjauh (tawuran, rokok, judi, mencuri) kak, gak mau

terlibat. Aku pernah nyuri sih kak, tapi terpaksa kak. Ya aku bilang

ya Allah aku nyuri karena orang tua ku butuh untuk pengobatan

kak di RSI butuh lima juta untuk penyakit kanker parunya. Sebenere yo gak berani kak nyuri tapi gimana lagi terpaksae. Takut dosa. Yo aku tahu itu dosa, tapi gak tak ulangi kok kak (Wawancara

dengan OP, tgl 2 Januari 2016, jam 16.35).”


(25)

14

responden mengatakan bahwa minum-minuman keras itu buruk karena

akan merusak akal pikiran, responden pernah minum-minuman keras

ketika itu responden tidak mengetahui bahwa itu merupakan arak,

responden mengira minuman tersebut merupakan minuman biasa, seperti

air atau extra joss. Setelah mengetahuinya responden tidak mengulangi

lagi. Responden tidak merokok, namun pernah mencuri karena desakan

ekonomi yang melilit untuk membiayai pengobatan ibunya. Responden

mengakui bahwa perbuatan tersebut buruk karena hal itu termasuk dosa.

Responden mengaku tidak melakukan mencuri lagi.

Anak jalanan memiliki kecenderungan untuk susah diatur, mereka

senang dengan apa yang dilakukannya tanpa mempedulikan sekitarnya

merasa nyaman atau tidak, seperti berkelahi sampai melukai beberapa

temannya yang ada disekitar. Hal ini terlihat dari beberapa hari peneliti

mengikuti pembinaan untuk anak jalanan di daerah Jagir dan Putat Jaya

(ex. Dolli) (Observasi, 2-3 januari 2016)

Penelitian ini sangat menarik diteliti karena pada penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa moral reasoning yang ada dalam diri

individu pada masa perkembangan usia remaja akan lebih memiliki variasi

tersendiri apalagi pada anak jalanan yang di mana banyak menghabiskan

waktu di jalanan. Hal-hal yang telah dipaparkan di atas mendorong peneliti

untuk mengambil penelitian berjudul moral reasoning anak jalanan di


(26)

15

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana gambaran tahap moral reasoning anak jalanan di

lingkungan ex. Dolly?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi moral reasoning anak

jalanan di lingkungan ex. Dolly?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran tahap moral reasoning anak jalanan di

lingkungan ex. Dolly.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi moral reasoning

anak jalanan di lingkungan ex. Dolly.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat secara teoritis;

Menambah wawasan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dalam

bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan.

2. Manfaat secara praktis

a. Memberikan informasi mengenai moral reasoning anak jalanan di

lingkungan ex. Dolly.

b. Membuka peluang bagi penelitian selanjutnya untuk topik yang

sejenis, khususnya dilingkup psikologi perkembangan.

c. Mampu memberikan suatu wacana kepada orang tua dan anak,

sehingga mereka memperoleh gambaran mengenai moral


(27)

16

d. Memberikan masukan bagi keluarga dan masyarakat untuk lebih

memahami perkembangan keluarga khususnya remaja.

E. Keaslian Penelitian

Pentingnya memahami moral reasoning remaja menjadikan

banyak ilmuwan dan akademisi melakukan penelitian dan

mengembangkannya secara lebih mendalam sehingga dapat dipahami serta

dipraktikan oleh masyarakat.

Hidayat (2013 : 80) yang meneliti tentang pengaruh harga diri dan

penalaran moral (moral reasoning) terhadap perilaku seksual remaja

berpacaran di SMK Negeri 5 Samarinda dengan metode uji regresi

menyebutkan bahwa penalaran moral tidak berpengaruh terhadap perilaku

seksual remaja berpacaran.

Endicott, Bock, dan Narvaez (2003 : 403) yang meneliti penalaran

moral (moral reasoning), pengembangan antarbudaya, dan pengalaman

multikultural : hubungan dan dasar-dasar kognitif memperoleh hasil

adanya keterkaitan penalaran moral dan pengembangan antarbudaya

secara signifikan terkait satu sama lain.

Tarigan dan Siregar (2013 : 79) meneliti gambaran penalaran moral

(moral reasoning) pada remaja yang tinggal di daerah konflik dengan

metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif rmemperoleh hasil

bahwa 31 orang berada pada tahap 4 dan 21 orang pada tahap 3 yang


(28)

17

ini orientasinya pada otoritas hukum dan keterlibatan sosial dengan

ditandai adanya konformitas dengan teman sebaya.

Rose (2012 : 81) meneliti tentang Pengembangan Penalaran moral

pada perguruan tinggi di Nigeria yang menggunakan survey

cross-sectional menunujukkan hasil bahwa penalaran moral meningkat selama

studi sarjana ketika siswa memiliki kontak dengan professor mereka di

luar kelas.

Grezo & Lubor. (2013 : 56) yang meneliti tentang kemarahan dan

penalaran moral dalam pengambilan keputusan menunjukkan hasil bahwa

kemarahan dapat menyebabkan pengolahan informasi lebih otomatis dan

juga menilai berdasarkan intuisi. Peserta yang marah memilih hukuman

lebih keras dan dianggap lebih benar secara moral. Peneliti mencatat

bahwa keadaan emosi yang sebenarnya dapat mempengaruhi proses

penalaran moral dan menentukan penilaian moral.

Fang & Fang, Keller, Edelstein, Kehle, dan Bray (2003 : 125)

melakukan penelitian dengan judul penalaran moral (moral reasoniing)

sosial pada anak Cina : studi pembangunan memperoleh hasil bahwa

keputusan anak Cina menekankan menghormati otoritas, altruisme, dan

keprihatinan atas kebenaran moral yang dilakukan saudara mereka.

Peneliti mengungkapkan bahwa anak-anak Cina memiliki karakteristik

moral yang dipengaruhi oleh konteks lingkungan.

Sachdeva, Singh, dan Medin (2011 : 161) meneliti tentang budaya


(29)

18

(moral reasoning) mendapatkan hasil bahwa proses-proses yang

mendasari kognisi moral yang tidak menyeluruh karena sistem memainkan

peran yang berbeda dalam budaya yang berbeda pula.

Selanjutnya Supeni (2000 : 13 & 16) yang meneliti tentang

penalaran moral (moral reasoning) remaja asrama, penalaran moral orang

tuanya dan lama tinggal di asrama dengan menggunakan teknik analisis

korelasi product moment memperoleh hasil ada hubungan antara pada

tahap penalaran moral remaja dan tahap penalaran orang tuanya, namun

lamanya tinggal di asrama tidak berhubungan dengan tingkat penalaran

moral remaja.

Vinariesta, Margono, dan Awaliyah (2013 : 1) yang meneliti

tentang pola asuh orang tua dalam mengembangkan penalaran moral anak

dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif menunjukkan

hasil bahwa pola asuh orang tua yang otoriter maka penalaran moral anak

berorienrtasi terhadap hukuman dan kepatuhan pola asuh orang tua yang

otoritatif maka penalaran moral anak berorientasi terhadap hukuman dan

ketertiban dan pola asuh orang tua yang permissif maka penalaran moral

anak berorientasi terhadap pemuas kebutuhan.

Penalaran moral pada siswa SLTP umum dan Madrasah

Tsanawiyah yang diteliti oleh Muslimin (2004 : 25) dari uji statistik

dengan menggunakan scheffe test diperoleh t : 0,2248 dengan p : 0,015 (p


(30)

19

moral yang signifikan antara siswa yang bersekolah di SLTP umum

dengan siswa Madrasah Tsanawiyah.

Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang telah

dilakukan oleh berbagai pihak. Pada penelitian terdahulu belum peneliti

temukan adanya riset yang secara gamblang mengkaji moral reasoning

anak jalanan di lingkungan ex. Dolly. Selain itu, subjek dan tempat

penelitian yang digunakan juga berbeda. Sehingga hal ini sangat perlu

untuk diteliti agar dapat mengetahui lebih dalam moral reasoning anak


(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Moral Reasoning

1. Pengertian Moral Reasoning

Moral berasal dari bahasa Latin mores berarti adat kebiasaan.

Maksud moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima

tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Di Indonesia ada

beberapa makna dan tujuan yang hampir sama dengan moral ialah

akhlaq (Arab) dan etika (Yunani). Susila, kesusilaan, tata susila, budi

pekerti, sopan santun, adab, perangai, tingkah laku, dan kelakuan

(Panuju & Umami, 1999 : 135).

Menurut Yusuf (2012 : 132) istilah moral berasal dari kata

Latin mos (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan,

tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk

menerima dan melakukan peraturan, nilali-nilai atau prinsip-prinsip

moral. Nilai-nilai moral itu; seperti seruan untuk berbuat baik kepada

orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara

kebersihan dan memelihara hak orang lain; dan larangan mencuri,

berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang

dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai

dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosial.


(32)

21

sekelompok orang dengan perilaku pantas dan baik yang menyinggung

hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. Sedangkan

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online (kbbi.web.id, 2015)

menyatakan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk yang

diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.

Adapun moral ialah segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu

dilakukan, serta perbuatan yang dinilai tidak baik sehingga perlu

dihindari (Sarwono, 2007 : 91). Perkembangan moral yaitu bekaitan

dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan

oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 2002 :

287).

Menurut Kohlberg (1995 : 22) moral reasoning ialah penilaian

dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau “nilai”, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat

konstruktif kognitif yang aktif terhadap titik pandangan

masing-masing partisipan dan kelompok yang terlibat, sambil

mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan

keterlibatan setiap pribadi atau kelompok terhadap yang baik dan yang

adil. Sarwono (2007 : 95) menambahkan bahwa moral reasoning yaitu

orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik atau


(33)

22

Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan di atas dapat

ditarik kesimpulan bahwasannya moral merupakan perbuatan baik dan

buruk yang berlaku secara umum. Sedangkan moral reasoning yaitu

mengenai mengapa atau bagaimana seseorang dapat mengatakan suatu

perbuatan itu baik dan buruk, atau salah dan benar.

2. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Moral Reasoning

Perkembangan moral remaja dapat dipengaruhi oleh lingkungan,

terutama keluarga tepatnya yaitu orang tua. Maka patut diperhatikan

oleh orang tua sehubungan dengan perkembangan moral remaja,

diantaranya (Yusuf, 2012 : 133) :

1. Konsisten dalam mendidik anak

Kedua orang tua antara ayah dan ibu harus memiliki

peraturan yang sama dalam mendidik anak dan senantiasa tetap dan

tidak mudah berubah dalam menerapkan peraturan.

2. Sikap orang tua dalam keluarga

Sikap orang tua terhadap anak, ayah terhadap ibu, dan

sebaliknya mampu mempengaruhi perkembangan moral anak

sebab anak mudah sekali meniru apa yang dilihatnya.

3. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut

Orang tua yang menanamkan nilai-nilai atau ajaran agama


(34)

23

4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma

Orang tua harus mampu menerapkan norma-norma yang

ada secara konsisten dan tidak melanggar norma yang ada agar

anak pun bersikap yang demikian, sehingga dapat membentuk

moral yang baik pada diri anak.

Menurut Gunarsa & Gunarsa (2003 : 95-96) perkembangan

moral dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu erat kaitannya dengan

kemampuan menentukan peran dalam pergaulan dan menjalankan

peran tersebut. Semakin banyak peran yang dijalankannya maka akan

semakin banyak pula pengalaman yang merangsang perkembangan

moral. Salah satu menjalankan suatu peran adalah kesempatan

berpartisipasi dengan suatu kelompok. Berikut kelompok di mana

individu harus menjalankan peran sosial :

1. Kelompok keluarga : membantu perkembangan moral anak

dengan melalui diskusi dan pengambilan keputusan keluarga.

2. Kelompok teman sebaya : ikut serta secra aktif dalam tanggung

jawab, penentuan ataupun keputusan dalam kelompok.

3. Kelompok yang berkaitan dengan sosial-ekonomi seperti di

sekolah maupun tempat kerja.

Faktor orang tua dan orang dewasa sangat penting untuk

mengembangkan moral remaja, diantaranya yaitu lingkungan keluarga,


(35)

24

lingkungan keluarga tepatnya orang tua karena mereka merupakan

rujukan utama anak dalam menerapkan nilai moral.

3. Tahap - Tahap Moral Reasoning

Mead, dkk (dalam Kurtines & Gerwitz 1992 : 380)

mengungkapkan tahap moral reasoning bahwa dalam kehidupan

seseorang akan melalui tiga tahap. Tahap pertama, orang harus

mengakui kewibawaan yaitu pandangan tentang dirinya diharapkan

dimiliki oleh orang lain tentang dirinya. Tahap kedua, pada fase ini

sebagian besar persoalan terpusat pada hubungan dengan teman

sebaya. Dan tahap ketiga, seseorang akan mulai menyatakan tujuan

hidupnya serta merencanakan strategi yang akan ditempuh dalam

mengejar tujuan hidup.

Selman (dalam Santrock, 2003 : 123) mengemukakan

terdapat lima tahap moral reasoning, diantaranya :

1. Tahap pertama (usia 3-6 tahun, sudut pandang egosentrisme)

Anak menyadari adanya pembedaan antara diri dari orang

lain tetapi tidak mampu membedakan antara perspektif sosial

(pikiran dan perasaan) dari diri sendiri dan orang lain. Anak dapat

memberikan label pada perasaan orang lain yang tampak tetapi

tidak dapat melihat hubungan sebat akibat dari penalaran terhadap


(36)

25

2. Tahap kedua (usia 6-8 tahun, pengambilalihan cara pandang secara

sosial-informasional)

Anak sadar bahwa orang lain memiliki perspektif sosial

yang didasari oleh penalaran orang itu sendiri, yang bisa sama

ataupun tidak dengan penalaran anak tersebut. Akan tetapi, anak

cenderung berfokus pada suatu perspektif daripada

mengkoordinasikan beberapa sudut pandang.

3. Tahap ketiga (usia 8-10 tahun, pengambilalihan refleksi diri)

Anak sangat menyadari bahwa setiap orang sadar akan

perspektif orang lain dan kesadaran ini mempengaruhi pandangan

diri dan orang lain tentang satu sama lain. Menempatkan diri pada

posisi orang lain adalah suatu cara untuk menilai keinginan, tujuan,

dan tindakan orang lain. Anak dapat membentuk suatu rangkaian

perspektif yang terkoordinasi tetapi tidak dapat melakukan

abstraksi dari tingkat ini untuk mencapai tahapan mutualis

simultan.

4. Tahap keempat (usia 10-12 tahun, pengambilalihan perspektif

secara mutualis)

Remaja menyadari bahwa baik diri maupun orang lain

dapat melihat satu sama lain sebagai objek secara bersamaan

(mutualis) dan secara simultan. Remaja dapat melangkah keluar

dari hubungan dua orang dan melihat interaksi tersebut dengan


(37)

26

5. Tahap kelima (usia 12-15 tahun, pengambilalihan perspektif

tentang sisten sosial dan konvensional)

Remaja menyadari bahwa pengambilalihan perspektif

secara mutual tidak selalu menghasilkan pemahaman yang

lengkap. Konvensi sosial dilihat sebagai suatu persyaratan mutlak

karena konvensi dimengerti semua anggota kelompok (orang lain

yang digeneralisasikan). Tanpa mempedulikan posisi, peran, atau

pengalaman mereka.

Tahap-tahap perkembangan moral reasoning juga pernah

diungkapkan oleh Dewey (dalam Kohlberg, 1995 : 23) yang dibagi

menjadi tiga tahap, diantaranya pertama, tahap pramoral yaitu anak

belum menyadari ketertarikannya pada aturan. Kedua, tahap

konvensional yaitu dicirikan oleh ketaatan pada kekuasaan. Ketiga

tahap otonom yaitu bersifat ketertarikan pada aturan yang didasarkan

pada aturan yang ada. Piaget (dalam Papalia, dkk, 2008 : 440)

berpendapat bahwa penalaran moral (moral reasoning) berkembang

dalam tiga tahap, diantaranya yaitu :

1. Tahap pertama (usia 2-7 tahun, praoperasional)

Didasarkan kepada kepatuhan terhadap otoritas. Anak

berpikiran kaku tentang konsep moral. Mereka percaya bahwa

aturan datang dari orang dewasa yang memegang otoritas dan tidak


(38)

27

2. Tahap kedua (usia 7-11 tahun, operasional konkrit)

Ditandai dengan meningkatnya fleksibilitas dan beberapa

tingkat otonomi tergantung kepada rasa hormat dan kerjasama

mutual. Ketika anak berinteraksi dengan banyak orang dan

bersentuhan dengan berbagai sudut pandang, mereka mulai

membuat ide bahwa hanya ada standart tunggal dan absolut dan

benar atau salah dan mulai mengembangkan perasaan akan

keadilan yang didasarkan kepada keadilan atau perlakuan yang

sama untuk semua, seperti memasukkan dalam pertimbangan niat

yang melatar belakangi suatu tindakan.

3. Tahap ketiga (usia 11-12 tahun, operasional formal)

Pada tahap ini perkembangan moral mulai muncul.

Memiliki keyakinan bahwa semua orang harus diperlakukan sama

dengan perlahan akan membuka jalan ide-ide tentang keadilan,

mempertimbangkan situasi tertentu. Anak yang memasuki tahap ini

biasanya akan menyatakan bahwa anak yang melakukan suatu

kesalahan harus diperlakukan tuntutan standar moral yang lebih

longgar dibandingkan anak usia 10 tahunyang melakukan hal

sama.

Kolhberg mengungkapkan terdapat tiga tingkatan moral

reasoning di mana setiap tingkatan terdapat dua tahap, diantaranya (1995 : 81 - 82) :


(39)

28

1. Tingkat Prakonvensional

a. Tahap 1

Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tidak

dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi. Akibat

tindakan fisik atau yang tampak dari luar, sehingga terlepas

dari arti atau nilai manusiawinya dalam menentukan sifat baik

dan sifat buruk dari tindakan itu.

b. Tahap 2

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara

instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan

kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia

dipandang seperti hubungan di tempat umum terdapat unsur

kewajaran, timbal balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi

semuanya itu selalu ditafsirkan secara timbal balik, seperti “Jika Anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih , dan keadilan.

2. Tingkat Konvensional

a. Tahap 3

Orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan


(40)

29

dianggap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang wajar. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan “ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan.

b. Tahap 4

Orientasi pada otoritas, peraturan yang pasti dan

pemeliharaan tata aturan sosial. Peraturan yang benar adalah

menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap

otoritas, dan memelihara tata aturan sosial tertentu demi tata

aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan

berperilaku menurut kewajibannya.

3. Tingkat Pasca-Konvensional

a. Tahap 5

Orientasi pada kontrak sosial, umumnya berdasarkan

legalitasdan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung

didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran

yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh

masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai

relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi serta

suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai

kesepakatan. Terlepas dari apa yang disepakati secara

konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya


(41)

30

adalah “sudut pandang legal”, tetapi dengan menggaris bawahi kemungkinan perubahan hokum, berdasarkan pertimbangan

rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka “hokum dan ketertiban”.

b. Tahap 6

Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip

etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis

menyeluruh, universalitas, dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini

bersifat abstrak dan etis, selain itu prinsip-prinsip tersebut

adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal

balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta mengenai rasa

hormat terhadap martabat manusia sebagai person individual.

Tahap-tahap yang dikemukakan oleh Kohlberg di atas sangat

dipengaruhi oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Piaget

dan Dewey. Secara moral remaja telah mencapai tingkat konvensional,

yang menunjukkan bahwa remaja cenderung menyetujui aturan dan

harapan masyarakat hanya memang demikian keadaannya.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Santrock (2003 : 8-9) mengungkapkan bahwa pada zaman

Yunani kuno, baik Plato maupun aristoteles membuat pernyataan


(42)

31

Plato, nalar sebagai faset tertinggi dan hal ini belum berkembang pada

masa anak, tetapi baru muncul ketika masa remaja. Aristoteles

menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa pembentukan

kemampuan untuk memilih. Maksudnya, kemampuan untuk

menentukan secara mandiri merupakan tanda dari kematangan. Ia

percaya bahwa permulaan masa remaja, individu tidak stabil dan tidak

sabar, karena kurang adanya kontrol diri yang dibutuhkan untuk

menjadi seseorang yang matang. Pada masa zaman pertengahan, anak

dan remaja tidak dibedakan statusnya dari orang dewasa. Pada abad

ke-18, Jean Jacques Rousseau memberikan pandangan yang lebih

positif tentang remaja. Rousseau menegaskan bahwa memperlakukan

anak seperti dewasa mini sebenarnya berbahaya. Menurut Rousseau,

sampai usia sekitar 12 tahun, anak seharusnya diberikan kesempatan

untuk mendapat pengalaman mengenai dunia secara alamiah, tanpa

dikekang oleh aturan kaku dan bebas dari pembatasan oleh orang

dewasa.

Selanjutnya G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2003 : 10)

menuturkan bahwa remaja adalah masa antara usia 12 - 23 tahun dan

penuh dengan topan dan tekanan. Topan dan tekanan (storm and

stress) adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Menurut

Hall pikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-ubah anatara


(43)

32

kesedihan. Papalia, dkk (2008 : 534) menyatakan bahwa remaja

merupakan masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dan masa

dewasa yang mengandung perubahan besar fisik, kognitif, dan

psikososial. Sarwono (2007 : 52) pun hampir mengungkapkan hal yang

senada, yaitu remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke

dewasa, bukan hanya dari segi psikis melainkan fisik pun juga.

Istilah adolescence atau remaja berasala dari kata Latin

adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget pun mengungkapkan secara

psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi

dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di

bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam

tingkatan yang sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat

dewasa mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan

dengan masa pubertas (Hurlock, 1980 : 206).

Neidhart (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2003 : 7) berpendapat

bahwa remaja merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada

masa anak ke masa dewasa, di mana ia sudah harus dapat berdiri

sendiri. Sedangkan Erikson (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2003 : 7)

menyebutkan bahwa remaja merupakan masa di mana terbentuk suatu


(44)

33

hakiki ia tetap sama walaupun telah mengalami berbagai macam

perubahan. Selain itu Salzman (dalam Yusuf, 2012 : 184)

mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap

tergantung terhadap orang tua kearah kemandirian, minat-minat

seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan

isu-isu moral. Freud (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2003 : 7-8) pun

mengungkapkan bahwa remaja merupakan suatu masa yang meliputi

proses perkembangan di mana terjadi perubahan-perubahan dalam hal

motivasi seksuil, organisasi daripada ego, dalam hubungan dengan

orang tua, orang lain, dan cita-cita yang dikejarnya.

WHO (World Healt OrganizationI) (dalam Sarwono, 2007 : 9)

mendefinisikan remaja adalah suatu masa ketika individu berkembang

dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual

sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu

mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadi peralihan dari ketergantungan

sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Selanjutnya remaja menurut Hurlock (1980 : 206) dibagi menjadi dua

bagian yaitu remaja awal dan remaja akhir. Awal masa remaja

berlangsung kira-kira dari 13 – 16/17 tahun, sedangkan masa akhir

remaja bermulai dari usia 16/17 tahun dan berakhir pada 18 tahun.

Remaja merupakan periode yang singkat. Menurut Mappiare (dalam


(45)

34

bagi wanita dan 13 – 22 tahun bagi laki-laki. Gunarsa dan Gunarsa

(2003 : 6) pun mengungkapkan bahwa masa remaja terdapat antara usia 12 – 22 tahun. Konopka (dalam Yusuf, 2012 : 184) menjelaskan bahwa remaja dibagi menjadi tiga bagian diantaranya yaitu remaja awal yang ditandai pada usia 12 – 15 tahun, remaja madya usia 15 – 18

tahun, dan remaja akhir usia 19 – 22 tahun.

Dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya remaja merupakan

masa transisi atau peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan

perubahan-perubahan yang dialaminya baik dari fisik maupun psikis.

Masa remaja sendiri merupakan masa yang sangat singkat dan tidak

berlangsung lama.

2. Tahap Perkembangan Remaja

Sarwono (2007 : 24 - 25) menjabarkan bahwa dalam proses

penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan

remaja, diantaranya :

1. Remaja Awal (Early Adolescence)

Seorang remaja pada masa ini masih heran akan

perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan

dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka

mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan

jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang


(46)

35

terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

2. Remaja Madya (Middle Adolescence)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan.

Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama

dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan

karena ia tidak tahu harus memilih yang mana : peka atau tidak

peduli, rama-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau

materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri

dari oedipoes complex (perasaaan cinta pada ibu sendiri pada masa

kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan

dari lawan jenis.

3. Remaja Akhir (Late Adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa

dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini :

a. Minat yang makin mantap terhadapa fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang

lain dan dalam pengalaman-pengalam baru.


(47)

36

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)

diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri

dengan orang lain.

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum.

Tahap remaja dibagi menjadi tiga, diantaranya remaja awal,

remaja madya, dan remaja akhir. Di setiap tahap, remaja akan

mengalami perubahan-perubahan. Pada tahap awal remaja mulai

adanya perasaan berbeda ketika disentuh oleh lawan jenis. Tahap

selanjutnya yaitu pada tahap remaja madya, pada masa ini remaja

cenderung bingung mencari jati diri yang sesungguhnya. Tahap remaja

akhir sudah mampu untuk menetapkan jati dirinya secara matang.

3. KarakteristikRemaja

1. Perkembanang Fisik

Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya

pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan

menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai

berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada

wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual

sekunder yang tumbuh. Selanjutnya, Muss (dalam Sarwono, 2007:

52 -53) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada


(48)

37

payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan,

mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap

tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid,

tumbuh bulu-bulu ketiak. Sedangkan perubahan fisik yang terjadi

pada remaja laki-laki yaitu; pertumbuhan tulang-tulang, testis

membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, berwarna

gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu

kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai

tingkat maksimal setiap tahunnya, tumbuh bulu-bulu halus di

wajah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan

suara, rambut-rambut wajah bertambah tebal dan gelap, tumbuh

bulu di dada.

2. Perkembangan Kognitif

Piaget (dalam Sarwono, 2007 : 80) berpendapat bahwa

setiap orang mempunyai sistem pengaturan dari dalam pada sistem

kognisinya. Sistem pengaturan ini terdapat sepanjang hidup

seseorang dan berkembang sesuai dengan perkembangan

aspek-aspek kognitif. Perkembangan aspek-aspek-aspek-aspek kognitif meliputi

beberapa hal, diantaranya :

a. Kematangan, yang merupakan perkembangan susunan syaraf

sehingga misalnya fungsi-fungsi indera menjadi lebih


(49)

38

b. Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik dengan

lingkungannya.

c. Transmisi sosial, yaitu hubungan timbal balik dengan

lingkungan sosial, antara lain melalui pengasuhan dan

pendidikan dari orang lain.

d. Ekuilibrasi, yaitu sistem pengaturan dalam diri anak itu sendiri

yang mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian

diri terhadap lingkungannya.

Masa remaja telah mencapai tahap operasi formal (operasi

= kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja,

secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan

yang abstrak. Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih

bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam

memecahkan masalah daripada berpikir konkret. Pada periode

konkret remaja lebih mengartikan secara abstrak, yaitu suatu aspek

kepedulian pemerintah terhadap hak-hak warga masarakat yang

mempunyai interes beragam. Selain itu terdapat model

cabang-cabang yang membangun berpikir operasi formal itu memiliki dua

sisi yang khusus, yaitu pengetahuan estetika yang bersumber dari

pengalaman main musik, membaca literatur atau seni; dan

pengetahuan personal yang bersumber dari hubungan interpersonal


(50)

39

pengalaman belajar khusus, tetapi juga dengan tingkah laku

nonverbal (sikap, motif, atau keinginan), simbolik (simbol-simbol

tertulis), semantik (gagasan dan makna),dan figural (reprensetatif

visual dari objek-objek konkret) (Piaget & Berzonsky; dalam

Yusuf, 2012 : 195-196).

3. Perkembangan Sosial

Hurlock (1980 : 213) mengatakan bahwa salah satu tugas

perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan

dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri

dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum

pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di

lingkungan luar keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari

pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak

penyesuaian baru. Yang penting dan tersulit adalah penyesuaian

diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan

dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai

baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan

dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.

Yusuf (2012 : 198) mengungkapkan bahwa dalam

hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki

kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik

menyangkut interes, sikap, nilai, dan kepribadian. Pada masa ini


(51)

40

menyerah dan mengikuti opini, penapat, nilai, kebiasaan,

kegemaran atau keinginan orang lain. Perkembangan sikap

konformitas pada remaja dapat memberikan dampak positif

maupun negatif pada diri sendiri. Hurlock (1980 : 215) pun

memberikan pernyataan yang tidak jauh berbeda mengenai teman

dekat, bahwa remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang

teman dekat, atau sahabat karib. Mereka adalah sesama jenis yang

memiliki minat dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling

mempengaruhi satu sama lain meskipun kadang-kadang juga

bertengkar.

Ada beberapa karakteristik pada diri remaja diantaranya

yaitu perkembangan fisik, yaitu terdapat perubahan-perubahan

yang ada pada bagian-bagian tubuh remaja; perkembangan

kognitif, yakni remaja sudah mulai mampu berpikir secara logis

pada gagasan yang abstrak; perkembangan sosial, menjadikan

remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar

dalam berinteraksi.

4. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada

upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta

berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara


(52)

41

1. Mampu menerima keadaan fisiknya,

2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa,

3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlainan jenis,

4. Mencapai kemandirian emosional,

5. Mencapai kemandirian ekonomi,

6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat,

7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

orang tua,

8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

untuk memasuki dunia dewasa,

9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan,

10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan keluarga.

Robert Y. Havighurst (dalam Panuju & Umami, 1999 : 23 - 25)

dalam bukunya Human Development and Education menyebutkan

adanya sepuluh tugas perkembangan remaja, yaitu :

1. Mencapai hubungan sosial yang matang dengan teman-teman

sebayanya, baik dengan teman-teman sejenis maupun dengan


(53)

42

2. Dapat menjalankan peranan-peranan sosial menurut jenis

kelaminmasing-masing, artinya mempelajari dan menerima

peranan masing-masing sesuia dengan ketentuan norma

masyarakat.

3. Menerima kenyataan (realitas) jasmania serta menggunakannya

seefektifnya dengan perasaan puas.

4. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua atau orang dewasa

lainnya. Ia tidak kekanakan lagi, yang selalu terikat pada orang

tuanya.

5. Mencapai kebebasan ekonomi. Ia merasa sanggup untuk hidup

berdasarkan usaha sendiri. Ini terutama sangat penting bagi

laki-laki. Akan tetapi dewasa ini bagi kaum wanita pun tugas ini

berangsur-angsur menjadi tambah penting.

6. Memilih dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan atau jabatan

artinya belajar memilih satu jenis pekerjaan sesuai dengan bakat

dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan tersebut.

7. Mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan dan hidup

berumah tangga.

8. Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep-konsep yang

diperlukan untuk kepentingan hidup masyarakat.

9. Memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial dapat


(54)

43

10. Memperoleh sejumlah norma-norma sebagai pedoman dalam

tindakan-tindakannya dan sebagai pandangan hidup.

Tugas-tugas perkembangan remaja merupakan tugas yang

harus dijalani dan dipenuhi oleh remaja untuk mencapai kematangan

diri untuk menuju dewasa.

C. Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan temasuk dalam kategori anak terlantar. Menurut

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”. Anak-anak yang seharusnya berada di lingkungan belajar, bermain, dan berkembang

justru mereka harus mengarungi kehidupan yang keras dan penuh

berbagai bentuk eksploitasi. Selanjutnya Suyatno (dalam Nugroho,

2014) mendefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang tersisih,

marjinal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena

kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan

dengan lingkungan kota yang keras dan bahkan sangat tidak

bersahabat.

Menurut Suyanto & Hariadi (2002 : 39) anak jalanan adalah

anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun, yang menghabikan

sebagian besar waktu mereka untuk bekerja dijalanan, baik sebagai


(55)

44

Pardede, 2008 : 147 -148) pun menjabarkan bahwa anak jalanan adalah

anak yang menghabiskan besar waktunya untuk mencari nafkah dan

berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya. Mereka

biasanya berusia 6 – 18 tahun, masih sekolah atau sudah putus sekolah,

tinggal dengan orang tua maupun tidak, atau tinggal di jalanan sendiri

maupun dengan teman-temannya, dan mempunyai aktivitas di jalanan,

baik terus-menerus maupun tidak.

Anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan banyak

waktunya dijalanan untuk bekerja maupun tinggal di jalanan dan

mereka berusia dibawah 18 tahun. Mereka termasuk anak yang tersisih

sehingga kebutuhannya kurang terpenuhi secara baik dari segi fisik,

psikis, maupun spiritualnya.

2. Kategori Anak Jalanan

Menurut de Moura (dalam Pardede, 2008 : 147) menyatakan

anak-anak jalanan dibedakan menjadi dua kelompok, yakni anak yang

bekerja di jalanan dan anak yang hidup di jalanan (gelandangan).

Adapun Subakti, dkk (dalam Suyanto & Hariadi, 2002 : 41 - 42)

menjelaskan bahwa beradasarkan hasil kajian lapangan, secara garis

besar anak jalanan dibedakan menjadi tiga kelompok, diantaranya :

1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan

ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai


(56)

45

anak jalanan ini yaitu untuk membantu perekonomian keluarga

yang tidak bisa diselesaikann sendiri oleh kedua orang tua.

2. Children of the street, yaitu anak-anak yang berpertisipasi penuh di

jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara

mereka masih mrmpunyai hubungan dengan orang tuanya tetapi

frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara

mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya

kekerasan, sehingga lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan

terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik,

maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal

dari keluarga yang hidup dijalanan. Walaupun anak-anak ini

mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup

mereka terombang-ambingdari satu ke tempat lain dengan segala

resiko.

Anak jalanan memiliki beberapa kategori yang di mana

masing-masing mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, diantaranya

yaitu anak jalanan yang berada di jalanan hanya untuk mencari nafkah;

dan anak jalanan yang tidak hanya bekerja di jalanan melainkan


(57)

46

D. Moral Reasoning Anak Jalanan di Lingkungan Ex. Dolly

Melihat fenomena yang ada saat ini, begitu banyak anak jalanan

yang melakukan tindakan-tindakan diluar batas sehingga dapat merugikan

dirinya sendiri bahkan orang lain yang ada disekitarnya. Hal ini sangat

berkaitan dengan moral. Moral yang semakin tahun semakin mengalami

kemunduran membuat berbagai pihak mengalami kecemasan yang

mendalam pada nasib bangsa yang akan datang. Karena mereka

merupakan aset Negara yang harus dibentuk sedemikian rupa agar dapat

menjadi generasi yang berkualitas. Penanaman nilai moral sangat

dibutuhkan pada diri anak terutama pada diri remaja yang banyak

menghabiskan waktunya di jalanan karena pada masa ini

keingintahuannya sangat tinggi sehingga apapun yang ia lihat atau ketahui

akan berusaha mencobanya. Maka orang tua harus membekali

anak-anaknya nilai moral sejak dini agar terhindar dari sesuatu yang tidak

diinginkan pada anak.

Menurut Furter (dalam Tarigan & Siregar, 2013 : 80) moral

merupakan masalah penting bagi remaja. Proses perkembangan yang

terjadi dalam diri seseorang remaja terbentuk dengan apa yang dialami dan

dirterimanya selama masa anak-anak, sedikit demi sedikit hal tersebut

mempengaruhi perkembangannya yang akan menuju dewasa. Masalah

moral merupakan salah satu aspek penting yang perlu ditumbuh


(58)

47

yang menunjukkan bahwa remaja cenderung menyetujui aturan dan

harapan masyarakat hanya memang demikian keadaannya.

Menurut Gunarsa & Gunarsa (dalam Hidayat, 2013 : 81) remaja

relatif masih sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan suasana yang

dihadapinya sehingga mudah terkena dampak perkembangan dan

teknologi, karena masa ini remaja mengalami peralihan anak menuju

dewasa. Selain itu Gunarsa & Gunarsa (2003 : 95) menyebutkan bahwa

remaja memiliki keinginan untuk menjalankan peraturan yang berlaku

dalam kelompok sebayanya atau masyarakat sekitarnya. Hurlock (1980 :

206) mengungkapkan bahwa seorang yang bisa dikatakan remaja itu

ketika memasuki usia 13 tahun sampai dengan 16 tahun atau 17 tahun,

usia tersebut termasuk dalam kategori remaja awal dan remaja merupakan

periode yang singkat.

Kohlberg (1995 : 22) menuturkan bahwa moral reasoning yaitu

penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau “nilai”, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat

konstruktif kognitif yang aktif terhadap titik pandangan masing-masing

partisipan dan kelompok yang terlibat, sambil mempertimbangkan segala

macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi atau

kelompok terhadap yang baik dan yang adil. Menurut Tarigan & Siregar

(2013 : 80) pada moral reasoning diharapkan seseorang remaja yang


(59)

48

prinsip-prinsip moral pribadi yang dapat bertindak sesuai dasar moral yang

diyakini dan bukan merupakan tekanan sosial.

Moral reasoning anak jalanan di lingkungan ex. Dolly sangat menarik untuk diteliti sebab anak jalanan memiliki berbagai permasalahan

yang dihadapi secara komplek apalagi dengan anak jalanan yang hidup di

daerah ex Dolly yang memiliki karakteristik tersendiri dari anak jalanan

pada umumnya. Menurut de Moura (dalam Pardede 2008 : 147),

anak-anak jalanan dibedakan menjadi dua kelompok, yakni anak-anak yang bekerja di

jalanan dan anak yang hidup di jalanan. Secara umum, pendapat yang

berkembang di masyarakat mengenai anak jalanan adalah anak-anak yang

berada di jalanan untuk mencari nafkah dan menghabiskan waktunya

bermain, tidak sekolah dan kadang kala ada pula yang menambahkan

bahwa anak-anak jalanan menganggu ketertiban umum dan melakukan

tindak kriminal.

E. Kerangka Teoritik

Anak jalanan yang menginjak remaja memiliki karakteristik yang

khas di mana pada masa ini merupakan masa transisi sehingga remaja

mengalami perubahan secara drastis dari segi fisik maupun psikologis.

Selain itu pada masa ini remaja cenderung mencari jati dirinya yang

sesungguhnya, sehingga ia mudah sekali mengikuti apa yang ia lihat atau

dengar. Karena ingin mendapatkan pengakuan yang lebih terhadap dirinya


(1)

115

5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan melakukan observasi keseharian subjek agar data semakin valid.

6. Bagi pembaca, dengan adanya penelitian ini menjadikan suatu wacana, wawasan, pengetahuan baru mengenai moral reasoning anak jalanan di


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Afroh, Khoridatul. (2014). Hubungan Antara Penalaran Moral dengan Perilaku Menyontek pada Siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Gondowulung Bantul. Skripsi. Yogyakarta : Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Ali, Mohammad., & Asrori, Mohammad. (2006). Psikologi Remaja :

Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Beritasatu.com. (2011). Lagi Anak Punk Ditangkap. Aceh :

(http://www.beritasatu.com/nasional/23482-lagi-anak-punk-ditangkap.html). Diakses tanggal 1 Juni 2016,jam 09.58.

Bps.go.id. (2012). Persentase Anak Terlantar (Usia 5-17 Tahun) Terlantar dan

Jumlah Anak, Tahun 2012 di Jawa Timur. Jawa Timur :

(http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/230). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 19.30.

Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa : Kartini Kartono. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Creswell John W. (2013). Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Endicot, Leilani., Bock, Tonia., & Narvaes, Darcia (2003). Moral reasoning, intercultural development and multicultural experiences : relations and cognitive underpinnings. International Journal of Intercultural Relations. 27 403-419.

Fang, Ge & Fang, Fu-Xi., Keller, Monika., Edelstein, Wolfgang., Kehle, Thomas J., & Bray, Melissa A. (2003). Social Moral Reasoning In Chinese Children : A Developmental Study. Psychology in the School. Vol. 40 (1), pp. 125-138.

Grezo, Matus., & Pilarik, Lubor. (2013). Anger and Moral Reasoning in Decision Making. Journal of European Psychology Student. 4, 56-68.

Gunarsa, Singgih D., & Gunarsa, Singgih D. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.

Hidayat, Khafri (2013). Pengaruh haga diri dan penalaran moral terhadap perilaku seksual remaja berpacaran di SMK Negeri 5 Samarinda. eJournal


(3)

117

Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan

Sepanjang RentangKehidupan. Alih bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo.

Jakarta : Erlangga.

Kemsos.go.id. (2010). Perlindungan Sosial Anak dan Masalahnya. Jakarta : (https://www.kemsos.go.id/modules.php?name=Content&pa=showpage& pid=16). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 09.47.

Kkbi.web.id. Diakses tanggal 21 Desember 2015. Jam 16.37.

Kohlberg, Lawrence. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Alih bahasa: John de Santo & Agus Cremers. Yogyakarta : KANISIUS.

Kompas.com. (2011). Jumlah Anak Jalanan Meningkat Signifikan. Jakarta : (http://megapolitan.kompas.com/read/2011/08/24/1641249/jumlah.anak.jal anan.meningkat.signifikan). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 13.08. Kompasiana.com. (2015). Ngelem Trend Anak Jalanan. Jakarta :

(http://www.kompasiana.com/lisaaa/ngelem-trend-anak-jalanan_56551537b593734a048b4587). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 14.17.

Koran-sindo.com. (2016). Gawat Darurat Ngelem. Lubuklingau : (http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=57&date=2016-03-17). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 14.16.

Kurtines, Wiliam M. & Gerwitz Jacob L. (1992). Moralitas, Perilaku Moral, dan

Perkembangan Moral. Alih bahasa: Soelaeman. Jakarta : UI-Press.

Liputan6.com. (2016). Mensos : 70 Persen Anak Jalanan Korban Narkoba. Jakarta : (http://health.liputan6.com/read/2453104/mensos-70-persen-anak-jalanan-korban-narkoba). Diakses tanggal 31 Mei 2016, jam 21.56.

Merdeka.com. (2013). Kisah Anak Jalanan 7 Tahun ‘Ngelem’ Habis Dua Kaleng

Sehari. Bandung :

(http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-anak-jalanan-7-tahun-ngelem-habis-dua-kaleng-sehari.html). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 14.15.

Moleong, Lexy J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Muslimin, Zidni Immawan. (2004). Penalaran Moral pada Siswa SLTP Umum Madrasah Tsanawiyah. Indonesian Psychologycal Journal. Vol. 1, No. 2, 25-32. Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.


(4)

118

News.okezone.com. (2014). Anak Jalanan Rentan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : (http://news.okezone.com/read/2014/09/29/337/1045963/anak-jalanan-rentan-penyalahgunaan-narkoba). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 14.00.

Nugroho, Fedri Apri. (2014). Realitas Anak Jalanan di Kota Layak Anak Tahun 2014. Jurnal Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Panuju, Panut., & Umami, Ida. (1999). Psikologi Remaja. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.

Papalia, Diane E., Olds, Sally Wendkos., & Feldman, Ruth Duskin. (2008).

Human Development : Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana.

Pardede, Yudit Oktaria Kristiana. (2008). Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja.

Jurnal Psikologi. Volume 1, No. 2. Jawa Barat : Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma.

Republika.co.id. (2011). Komunitas Punk Mewabah di Kalangan Anak Muda Aceh. Aceh : (http://www.republika.co.id/berita/breaking- news/nusantara/11/02/08/163076-komunitas-punk-mewabah-di-kalangan-anak-muda-aceh). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 10.12.

Republika.co.id. (2013). 7.300 Anak Jalanan di Jakarta Terlantar. Jakarta :

(http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/03/26/mk9siu-7300-anak-jalanan-di-jakarta-terlantar). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 07.45.

Republika.co.id. (2016). 4,1 Juta Anak Indonesia Terlantar. Jakarta : (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/29/o4s33a365 -41-juta-anak-indonesia-terlantar). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 08.36.

Republika.co.id. (2016). Usai Pesta Miras, Pengamen Dianiaya Hingga Tewas.

Malang :

(http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/05/11/o707ix377-usai-pesta-miras-pengamen-dianiaya-hingga-tewas). Diakses 1 Juni 2016, jam 08.26.

Rose, James D. (2012). Development of Moral Reasoning at a Higher Education Institution in Nigeria. Emerging Leadership Journeys. Vol. 5 lss 1, pp. 81-101. Regent University.


(5)

119

Sachdeva, Sonya., Singh, Purnima., & Medin Douglas. (2011). Culture and the quest for universal principles in moral reasoning. International Journal of

Psychology. 46 (3), 161-176. Psychology Press.

Santrock, John W. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5, Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Santrock, John W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja. Alih Bahasa : Shinto B. Adelar. Jakarta : Erlangga.

Sarwono, Jonathan. (2006). Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sindonews.com. (2013) Jumlah Anak Terlantar di Depok Meningkat. Depok : (http://metro.sindonews.com/read/811532/31/jumlah-anak-terlantar-di-depok-meningkat-1385714007). Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam 18.46. Sindonews.com. (2016). Polresta Depok Razia Anjal, Pol PP Tertibkan Anak

Punk. Depok : (http://metro.sindonews.com/read/1096755/170/polresta-depok-razia-anjal-pol-pp-tertibkan-anak-punk-1459290589). Diakses tanggal 31 Mei 2016, jam 22.10.

Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Supeni, Maria Garebti. (2000). Penalaran Moral Remaja Asrama, Penalaran Moral Orang tuanya, dan Lamanya Tinggal di Asrama. Jurnal utm. Vol. 13, No. 1, 7-20.

Suyanto, Bagong, & Hariadi, Sri Sanituti. (2002). Krisis Child Abuse : Kajian Sosiologi Tentang Kasus Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan

Khusus (Children in Need of Special Protection). Surabaya : Airlangga

University Press.

Tarigan, Solvia Karina, & Siregar, Ade Rahmawati. (2013). Gambaran Penalaran Moral pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik. Psikologia. Vol. 8, No. 2, hal. 79-88.

Tempo.co. (2012). 19 Anak Punk dan Preman Ditangkap di Pasar Minggu. Jakarta : (https://metro.tempo.co/read/news/2012/11/15/064441915/19-anak-punk-dan-preman-ditangkap-di-pasar-minggu). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 10.55.


(6)

120

Tempo.co. (2012). Polres Jakarta Timur Jaring 113 Anak Jalanan. Jakarta : (https://metro.tempo.co/read/news/2012/12/30/214451120/polres-jakarta-timur-jaring-113-anak-jalanan). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 10.32. Tempo.co. (2015). Anak Punk di Jalanan. Depok :

(https://metro.tempo.co/read/news/2015/12/12/064727134/inilah-hukuman-unik-pak-polisi-untuk-anak-punk-di-jalanan). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 09.37.

Tempo.co. (2016). Pengamen Punk Aniaya 2 Wanita di Jembatan UI. Depok :

(http://www.kompasiana.com/lisaaa/ngelem-trend-anak-jalanan_56551537b593734a048b4587). Diakses tanggal 1 Juni 2016, jam 10.57.

Vinariesta, Heni Anggraeni., Margono., & Awaliyah, Siti. (2013). Pola Asuh Orang tua dalam Mengembangkan Penalaran Moral Anak. Journal online um. Vol. 2, No. 1. Universitas Negeri Malang.

Yayasansetara.org. (1997). Anak Jalanan, erat dengan seksdan kriminal. Semarang : (http://yayasansetara.org/anak-jalanan-erat-dengan-seks-dan-kriminal-bisnis-indonesia-1997/) Diakses tanggal 3 Juni 2016, jam13. 39. Yusuf, Syamsu LN. (2012). Psikologi Perkembangan Anak Remaja. Bandung :